BAB V
EMPAT KEBENARAN MULIA
( Cattari Ariya Saccani )
“ Bahwa baik aku maupun engkau harus berjalan tertatih-tatih
melalui daur yang panjang ini adalah disebabkan karena
kita tidak menemukan, tak menembus empat kebenaran itu.
Apakah empat kebenaran itu?
Adalah: Kebenaran Mulia tentang dukkha,
Kebenaran Mulia tentang sebab dukkha,
Kebenaran Mulia tentang lenyapnya dukkha,
dan Kebenaran Mulia tentang Jalan menuju lenyapnya dukkha.”
( Digha Nikaya 16)
115. Empat Kebenaran Mulia ini disebut juga sebagai Empat Kesunyataan Mulia, Terdiri dari :
1. Dukkha Ariya Sacca
(Kebenaran Mulia tentang penderitaan)
2. Dukkha Samudaya Ariya Sacca
(Kebenaran Mulia tentang asal-mula timbulnya penderitaan)
3. Dukkha Nirodha Ariya Sacca
(Kebenaran Mulia tentang lenyapnya penderitaan)
4. Dukkha Nirodha Gaminipatipada Ariya Sacca
(Kebenaran Mulia tentang Jalan menuju lenyapnya penderitaan).
Keempat rumusan itu merupakan Pilar dari Pembebasan diri dari segala Penderitaan, yang kita kenal sebagai Empat Kebenaran Mulia ( Cattari Ariya Saccani ), dimana Sang Buddha untuk pertama kalinya membabarkan Dhamma dan mengajarkannya kepada 5 bhikkhu Pertama ( Panca Vaggiya Bhikkhu) Di Taman Rusa Isipatana, pada bulan Asalha.
(Dhammacakkappavattana Sutta; Samyutta Nikaya 56.11 {S 5.420})
(1) Kebenaran Mulia tentang Penderitaan
( Dukkha Ariya Sacca )
Sang Buddha bersabda:
”Apakah kebenaran mulia tentang Penderitaan itu?,
Kelahiran adalah penderitaan, Usia tua adalah penderitaan,
Penyakit adalah penderitaan, Kematian adalah penderitaan,
Kesedihan, ratap-tangis, rasa sakit,
kesengsaraan dan keputusasaan adalah penderitaan,
Berkumpul dengan orang yang dibenci adalah penderitaan,
berpisah dengan orang yang dicintai adalah penderitaan,
Tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan;
singkatnya, Lima kelompok kemelekatan
( Pancaupadanakkhandha ) adalah penderitaan .”
( Samyutta Nikaya 56 : 77 / Anguttara Nikaya III : 61 ).
116. Definisi :
Kata ”dukkha” (Pali), didalam Empat kebenaran Mulia memiliki pengertian filosofis yang mendalam dan meliputi seluruh fenomena yang berbentuk maupun tidak berbentuk, sehingga sulit sekali untuk ditemukan padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Secara etimologi berasal dari kata ”du” yang berarti sukar dan kata ”kha” yang berarti dipikul, ditahan. Jadi kata ”du-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul.
Penggunaan kata “dukkha” sering diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai “ penderitaan ” , juga mempunyai arti “ ketidak-puasan ”, “ beban ”, “ tidak sempurna ”, “ tidak memuaskan ”, “ tidak kekal ”, “ kosong ”. “ tanpa inti ” dan lain sebagainya.
117. Tiga Bentuk Dukkha
Dalam Dukkha Sutta, Samyutta 38.14 {S 4.259}, Y.A Sariputta menjelaskan adanya tiga bentuk dukkha kepada Jambukhadika,
“ Ada tiga bentuk dari dukkha, sahabatKu, yaitu : dukkha-dukkha, viparinama-dukkha, sankhara-dukkha. Inilah tiga bentuk dukkha.”
Dengan demikian , Konsep dukkha dapat ditinjau dari tiga segi, sbb:
1). Dukkha sebagai derita biasa-(dukkha-dukkha)
Semua jenis penderitaan dalam kehidupan seperti dilahirkan, usia tua, kematian, bekerja sama dengan orang yang tidak disukai atau harus berada pada keadaan yang tidak menyenangkan, dipisahkan dari orang-orang yang dicintai atau keadaan yang disenangi, tidak memperoleh sesuatu yang didambakan, kesedihan, keluh kesah, kegagalan dan semua bentuk derita fisik dan mental yang oleh umum dianggap sebagai derita dan sakit, dapat digolongkan dalam "Dukkha sebagai derita biasa" (dukkha-dukkha).
2). Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan-(viparinama- dukkha)
Suatu perasaan bahagia, suatu keadaan bahagia dalam kehidupan adalah tidak kekal. Cepat atau lambat hal ini akan berubah, dan perubahan ini akan menimbulkan kesedihan, derita dan ketidak-bahagiaan. Semua dukkha yang dirasakan sebagai akibat dari perubahan-perubahan ini dapat digolongkan dalam “Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan.” (viparinama-dukkha).
118. Kita semua hidup di dunia yang selalu terombang-ambing, seperti bandulan yang bergerak ke kiri dan ke kanan. Delapan kondisi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan berlalu dalam dunia ini. Semua orang tanpa terkecuali menemukan kondisi yang ada di alam ini sehingga selalu dicengkeram oleh kondisi-kondisi tersebut selama hidupnya.
Apakah delapan kondisi itu?
Delapan kondisi itu adalah lokadhammehi, yaitu empat pasang atau delapan kondisi yang tidak terpisahkan dari proses kehidupan ini, yaitu untung dan rugi, kemashuran dan nama buruk, pujian dan celaan, sukha dan dukkha. ( Anguttara Nikaya VIII:6 ).
Kedelapan kondisi ini digolongkan menjadi dua kelompok yang merupakan satu fenomena alam, yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Umumnya kita sebagai manusia menyenangi hal-hal yang menyenangkan dan selalu berusaha memupuknya dengan penuh keserakahan ( lobha ), dan tidak menyenangi hal-hal yang tidak menyenangkan sehingga berusaha untuk menjauhi atau bahkan berusaha untuk melenyapkan dengan kebencian ( dosa ).
Seorang manusia biasa ( puthujjhana ) seperti kita, yang telah mendengar Dhamma, hendaknya mengembangkan keseimbangan batin terhadap dua kondisi alam ini. Seseorang yang telah mencapai kesucian, terutama para Arahat, batinnya tidak tergoyahkan, tidak bersedih ( asokam ), tidak ternoda ( virajam ), dan penuh kedamaian ( khemam ).
· Untung dan Rugi
Umumnya para usahawan memperoleh untung dan menderita rugi. Ini merupakan suatu hal yang sangat wajar apabila seseorang merasa senang serta puas jika mendapat keuntungan, tetapi keadaan akan berubah sebaliknya bila seseorang kemudian menderita kerugian atau tidak mendapat keuntungan.
Persoalan akan muncul jika terjadi kerugian dalam usahanya. Keuntungan akan diterima dengan tersenyum, tetapi bukan demikian bila lagi menderita kerugian. Kerugian sering menyebabkan penderitaan batin dan lebih parah lagi kadang-kadang kecenderungan untuk bunuh diri yang disebabkan oleh penderitaan akibat kerugian yang parah.
Dalam keadaan demikian inilah seseorang harus menunjukkan keberanian moral yang tinggi dan memelihara keseimbangan batin yang wajar. Semua orang telah mengalami jatuh-bangun dalam menghadapi tantangan hidup. Kita harus siap sedia menerima keadaan yang baik dan yang buruk. Dengan sikap yang demikian kita akan mengalami kekecewaan sedikit saja.
Apabila kehilangan sesuatu, seseorang biasanya merasa sedih dan kecewa sekali, tetapi dengan kesedihan ini orang tidak dapat memperoleh kembali barang yang telah hilang itu. Kehilangan tersebut harus dipandang secara bijaksana. Seseorang harus bersikap sebagai seorang yang dermawan dan berpikir bahwa kebutuhan orang lain adalah lebih banyak daripadanya. Biarlah kita sehat dan bahagia.
· Kemashuran dan Nama Buruk
Kemashuran dan nama buruk juga merupakan kondisi duniawi yang pasti kita temui dalam kehidupan ini. Hal ini merupakan realitas yang wajar. Kemashuran disambut dengan senang, sebaliknya nama buruk menyakitkan kita semua. Sudah menjadi tradisi bahwa semua orang ingin menjadikan dirinya terkenal, bahkan seseorang ingin foto dirinya muncul di surat kabar. Seseorang menjadi sangat gembira ketika aktivitasnya diperhatikan oleh publik, bahkan suatu waktu orang mencari publisitas.
Mungkin kita menghukum seseorang yang kelaparan karena mencuri sebutir kelapa di kebun kita karena dia lapar. Tetapi kadang kita tidak ragu-ragu memberikan seribu buah kelapa untuk mendapatkan nama baik. Inilah sesungguhnya kelemahan manusia, karena kebanyakan orang berbuat atas dasar pamrih ( punna ). Orang yang berbuat tanpa pamrih tidak mementingkan diri sendiri sangatlah langka di dunia ini. Apa sebabnya? Karena kebanyakan perbuatan duniawi mempunyai tujuan yang tersembunyi.
Nah, sekarang siapakah yang benar-benar baik? Berapa banyak mereka yang sungguh-sungguh mementingkan orang lain? Bila kita memang termashur, itu akan datang dengan sendirinya tanpa harus dicari-cari. Seperti lebah yang tertarik dengan bunga yang mengandung madu.
Sesungguhnya, kita bisa senang atau lupa diri bila kemashuran kita tersebar luas. Sebaliknya kita harus menyadari bahwa kemashuran, kehormatan dan nama baik itu, hanya berlangsung sebentar dan akan segera lenyap. Itulah fenomena dari segala sesuatu yang wajar dan alami dari semua kondisi.
Sekarang bagaimana dengan nama buruk? Hal ini tidak enak didengar dan dipikirkan. Kita sangat gusar apabila mendengar kata-kata tentang keburukan kita. Pikiran kita akan lebih tertekan bilamana berita-berita tersebut adalah tidak adil dan salah sama sekali. Bila Anda dipersalahkan dengan sengaja, ingatlah nasihat Epictetus ;
"Oh, karena kurang kenal dan hanya sedikit saja yang diketahui tentang diriku, maka aku tak terlalu dikritiknya, tetapi bila aku dikenal dengan baik, maka akan lebih serius dan hebat tuduhan-tuduhan terhadap diriku.”
Lebih jelas lagi Dhamma mengajarkan bahwa:
"Jadilah seperti harimau yang tak gentar akan suara, jadilah seperti angin yang tak pernah melekat pada jala, jadilah seperti teratai yang tak ternoda oleh lumpur, tetapi ia tumbuh, mengembaralah sendiri bagaikan badak.”
· Pujian dan Celaan
Pujian dan celaan merupakan dua kondisi yang dialami manusia. Adalah sangat wajar untuk merasakan gembira bila sedang dipuji, dan menjadi sangat kecewa bila sedang dicela. Sang Buddha bersabda:
"Seperti batu karang
yang tidak tergoyahkan oleh tiupan angin,
demikian pula orang bijaksana,
tidak terpengaruh oleh pujian dan celaan."
( Dhammapada VI : 81)
Pujian yang wajar adalah menyenangkan untuk didengar, tetapi bila pujian itu hanya formalitas saja, maka pujian tersebut manis kedengarannya namun hanya tipuan belaka. Akan tetapi semua pujian tidak akan mengakibatkan apa-apa, apabila pujian tersebut tidak sampai terdengar oleh kita.
Bagaimana dengan celaan? Sang Buddha bersabda:
"Mereka yang banyak bicara dicela,
mereka yang sedikit bicara dicela,
mereka yang diam pun dicela.
Tidak seorang pun di dunia ini yang tidak dicela."
Celaan tampak merupakan hal yang umum terjadi pada manusia. Mengapa demikian? Karena sebagian besar manusia di dunia ini,
"Bagaikan seekor gajah dalam medan perang
menahan semua anak panah yang mengenai dirinya,
demikianlah pula Sang Buddha mengalami hinaan."
( Dammapada XIII : 320 )
Tidak seorang pun kecuali Sang Buddha Yang Sempurna. Tidak ada seorang pun yang sama sekali jahat, sebaik-baiknya kita, masih ada sifat buruk dari kita. Sang Buddha menyatakan:
"Ia yang mendiamkan dirinya bagaikan gong yang rusak,
bila diganggu, dihina dan dicela;
dialah yang Aku namakan berada di hadapan Nibbana,
walaupun belum mencapai Nibbana."
Inilah pelajaran yang patut kita renungkan selalu, apabila kita dicerca atau dicela, kita harus berpikir bahwa diberi kesempatan untuk mempraktikkan kesabaran. Sesungguhnya saat kita dicela, kita ditunjukkan harta karun yang sangat mulia yaitu "kesabaran". Daripada kita merasa dimusuhi, sebaiknya kita merasa berterima kasih kepada orang-orang yang telah memusuhi kita tersebut.
· Sukha dan Dukkha
Sukha dan Dukkha adalah pasangan yang umum. Kedua faktor ini mempengaruhi corak kehidupan manusia. Di mana ada sukha pasti ada Dukkha. Apa yang terpenuhi dengan mudah diterjemahkan sebagai "sukha" (kebahagiaan), sedangkan apa yang sukar sekali dihadapi diterjemahkan sebagai "dukkha" (penderitaan)
Kebahagiaan biasa adalah merupakan pemuasan keinginan manusia. Segera setelah hal yang diinginkan tercapai, maka kita menginginkan kebahagiaan lainnya lagi, jadi keinginan kita tidak pernah berhenti.
Kenikmatan indria adalah yang paling tinggi dan merupakan satu-satunya kebahagiaan bagi kebanyakan orang. Tidak diragukan lagi bahwa kebahagiaan sekejap pada kesenangan materi inilah yang diharapkan dan dibayangkan selalu bagi kebanyakan orang.
Sang Buddha menguraikan empat macam kebahagiaan bagi umat biasa, yaitu:
a) Athi sukha
yaitu kebahagiaan karena memiliki kekayaan, kesehatan, umur panjang, kecantikan, dan sebagainya.
b) Bhoga sukha
yaitu karena dapat menikmati apa yang diperolehnya.
c) Anana sukha
yaitu kebahagiaan karena seseorang bekerja keras dan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga dia tidak akan punya hutang .
d) Anavajja sukha
yaitu kebahagiaan yang didapatkan jika seseorang merasa dirinya telah berbuat sesuai Dhamma, sehingga hidup jauh dari hinaan.
Bagaimana dengan penderitaan? Penderitaan sangat sulit untuk diterima, apalagi dukkha yang datang dalam bermacam-macam bentuk. Jika menderita sakit, tua, dan mati, sadarilah bahwa semua itu adalah sifat yang alami dan wajar terjadi. Dengan ketenangan hati, kita menghadapi semua itu sehingga kita tidak terlalu menderita. Sering kita berpisah dengan orang yang kita cintai, perpisahan ini menyebabkan penderitaan pada batin kita, seharusnya kita menyadari bahwa pertemuan akan berakhir dengan perpisahan. Sebenarnya ini saat yang baik sekali bagi kita untuk melatih ketenangan dan keseimbangan batin kita. Dan banyak lagi contoh-contoh penderitaan-penderitaan yang lain.
Kerapkali kita harus berkumpul dengan orang-orang yang tidak kita sukai, sehingga kita harus sanggup menghadapi keadaan ini. Mungkin kita menerima buah kamma kita sendiri, yang berasal dari kamma lampau atau kamma sekarang ini. Seharusnya kita menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga berusaha mengatasi gangguan-gangguan tersebut dengan cara lain.
Sang Buddha bersabda:
"Bila disentuh oleh kondisi-kondisi duniawi,
batin seorang Arahat tidak akan pernah terguncang."
Antara untung dan rugi, kemashuran dan nama buruk, pujian dan celaan, sukha dan dukkha, marilah kita pandang dengan batin yang seimbang.
3. Dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi - (sankhara-dukkha).
Adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang berhubungan dengan Lima Kelompok Kemelekatan (Pancakkhandha), seperti perasaan susah karena tidak dapat menikmati makanan enak yang dipicu karena adanya indera pengecap yang merupakan salah satu dari Lima Kelompok Kemelekatan. Semua bentuk ketidakpuasan atau penderitaan yang berhubungan dengan Lima Kelompok Kemelekatan ini digolongkan dalam “Dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi” (sankhara-dukkha)
Mudah sekali untuk dapat mengerti akan kedua segi dukkha yang disebut diatas. Tidak seorangpun dapat menyangkalnya. Kedua segi ini memang merupakan gambaran umum tentang penghidupan kita sehari-hari.
Tetapi, segi ketiga dari dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi merupakan segi yang paling penting dari Kesunyataan Mulia Pertama ini dan memerlukan pembahasan secara analitis tentang apa yang kita anggap sebagai "mahluk", sebagai "orang" atau sebagai "aku" itu.
Menurut paham Buddhis, apa yang kita anggap mahluk, orang atau "aku" hanya merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang terdiri atas Lima kelompok Kemelekatan ( Pancakhandha ).
Sang Buddha pernah bersabda sbb:
"Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Lima Kelompok Kemelekatan ini adalah dukkha".
Pada Kesempatan lain Beliau dengan tegas menyatakan bahwa dukkha ialah Lima kelompok Kemelekatan.
“ O Bhikkhu, apakah dukkha itu ? Harus diketahui bahwa Lima Kelompok Kemelekatan itu adalah dukkha.”
Kita harus mengerti dengan jelas bahwa dukkha dan Lima Kelompok Kemelekatan bukanlah dua hal yang berbeda; Lima Kelompok Kemelekatan itu sendiri adalah dukkha. Kita akan dapat mengerti lebih baik persoalan ini apabila kita sudah menelaah lebih lanjut Lima Kelompok Kemelekatan tersebut yang merupakan unsur-unsur dari apa yang kita namakan “ Makhluk “, sebagai "orang" atau sebagai " aku " itu.
thanks for your info
BalasHapusVisit ya >>> empat kebenaran mulia