Kamis, Februari 09, 2012

Jalan menuju lenyapnya Paticcasamuppada


JALAN MENUJU LENYAPNYA PATICCASAMUPPADA


Munculnya Dukkha :

Di Majjhima Nikaya : 38 (Maha Tanha Sankhaya Sutta), dijelaskan sebagai berikut :

“Ketika melihat bentuk dengan mata, dia bernafsu terhadapnya jika itu menyenangkan; dia merasa jijik jika itu menyakitkan. Dia berdiam dengan perenungan pada tubuh yang belum kokoh, dengan batin yang terbatas, dan dia tidak memahami yang sebenarnya tentang pembebasan oleh batin dan pembebasan oleh kebijaksanaan dimana keadaan-keadaan yang tak bajik tersebut berhenti tanpa sisa. Karena dia disibukkan dengan menyukai dan menolak, maka perasaan apapun yang dia rasakan, entah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan menyakitkan pun bukan menyenangkan, dia bergembira di dalam perasaan itu, menyambutnya, dan mempertahankannya.

Ketika dia melakukan demikian, kegembiraan muncul di dalam dirinya. Di sini, kegembiraan di dalam perasaan-perasaan adalah kemelekatan. Dengan kemelekatan sebagai kondisi, keberadaan terjadi; dengan keberadaan sebagai kondisi, kelahiran terjadi; dengan kelahiran sebagai kondisi, penuaan dan kematian, kesedihan dan ratap tangis, rasa sakit, kemuraman dan keputusasaan terjadi. Demikianlah asal mula seluruh massa penderitaan ini.” Ini hanya penjelasan untuk mata.

Secara serupa, “Ketika mendengar bunyi dengan telinga… mencium bebauan dengan hidung…mencicipi cita rasa dengan lidah…dan seterusnya.” Dia bernafsu terhadapnya jika itu menyenangkan. Jika itu menyakitkan, dia merasa jijik. Demikianlah dia bergembira di dalam perasaan itu, menyambutnya, dan mempertahankannya. Ini adalah penyebab daripada keseluruhan massa penderitaan. Lenyapnya Dukkha : “Disini, para bhikkhu, seorang Tathagata muncul di dunia …dan sebagainya...” (yakni penjelasan umum tentang bagaimana seseorang mendengarkan Dhamma, memahaminya dan melepaskan keduniawian dan mengembangkan 4 jhana).

Sutta MN 38 melanjutkan, “Ketika melihat bentuk dengan mata, dia tidak bernafsu terhadapnya jika itu menyenangkan; dia tidak merasa jijik jika itu menyakitkan. Dia berdiam dengan perenungan pada tubuh yang telah kokoh, dengan batin yang tak-terukur, dan dia memahami sebagaimana adanya tentang pembebasan oleh batin dan pembebasan oleh kebijaksanaan dimana keadaan-keadaan yang tak bajik itu telah berhenti tanpa sisa. Setelah meninggalkan menyukai dan menolak demikian, maka perasaan apapun yang dia rasakan, baik menyenangkan atau menyakitkan atau bukan menyakitkan pun bukan menyenangkan, dia tidak bergembira di dalam perasaan itu, tidak menyambutnya, tidak tetap mempertahankannya. Karena dia tidak melakukan demikian, kegembiraan pada perasaan-perasaan pun berhenti di dalam dirinya. Dengan berhentinya kegembiraan, berhentilah kemelekatan; dengan berhentinya kemelekatan, berhentilah keberadaan; dengan berhentinya keberadaan, berhentilah kelahiran; dengan berhentinya kelahiran, berhentilah penuaan dan kematian, kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kemuraman dan keputusasaan. Demikianlah berhentinya keseluruhan massa penderitaan ini.”

Serupa halnya dengan mendengarkan bunyi dengan telinga, mencium bebauan, dan seterusnya….

298. Ini adalah jalan untuk mengakhiri penderitaan, yakni tidak dipengaruhi oleh keadaan menyenangkan dan menyakitkan. Karena dia tidak bergembira dalam perasaan, maka berhentilah kemelekatan. Berhentinya kemelekatan membawa pada berhentinya keberadaan, dan oleh sebab itu, berhentinya kelahiran, yang menuntun pada berhentinya penderitaan. Demikianlah jalan keluar dari penderitaan adalah dengan mengatasi perasaan. Jika kita memperhatikan dengan baik ke 12 mata rantai dari Paticcasamuppada, kita tidak menemukan di titik manapun untuk mematahkan mata rantai ini kecuali pada titik perasaan. Mengapa?

Karena kegelapan batin mengkondisikan munculnya pengkondisi; pengkondisi mengkondisikan munculnya kesadaran, kesadaran mengkondisikan munculnya mentalitas-materi, dan seterusnya.. kecuali di antara perasaan dan nafsu keinginan. Perasaan tidak semestinya menimbulkan nafsu keinginan.

299. Pentingnya Jhana.

Untuk seorang biasa yang tidak melatih batinnya, perasaan menimbulkan nafsu keinginan. Dia bernafsu pada perasaan, yakni kesenangan indera, untuk menjauhi dirinya dari dukkha, karakteristik kehidupan. Tetapi, seseorang yang melatih batinnya, perasaan tidak menimbulkan nafsu pada kesenangan indera karena dia mengetahui kebahagiaan yang lebih tinggi. Dia mengetahui kebahagiaan Jhana yang lebih tinggi dan lebih damai dari kesenangan indera. Hanya melalui kebahagiaan inilah dia dapat melepaskan nafsu kesenangan indera. Kita harus perhatikan di sini bahwa berdiam dalam Jhana tidak membawa pada kecenderungan pada kemelekatan (MN 44 – disebutkan di mata rantai no.7).

Pentingnya Jhana ditunjukkan di MN 14, Culadukkhakkhanda Sutta :
Suatu hari, sepupu Sang Buddha, Mahanama, datang untuk berjumpa dan berbicara dengan Sang Buddha. Dia berkata bahwa dia memahami Dhamma dan mengetahui bahwa keserakahan, kebencian dan kebodohan batin tidak bajik; namun walaupun dia memahami Dhamma, keserakahan, kebencian dan kebodohan batin masih menyerbu batinnya dan bertahan, dan dia ingin mengetahui alasannya. Sang Buddha berkata :

“Walaupun seorang siswa Ariya telah melihat dengan jelas sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan yang tepat bagaimana kesenangan indera memberi sedikit kebahagiaan, banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan dan berapa besar bahaya di dalamnya, selama dia masih belum mencapai piti dan sukha (kegirangan dan kebahagiaan) yang terpisah dari kesenangan indera terpisah dari keadaan-keadaan tak bajik, atau terhadap sesuatu yang lebih damai dari itu, dia masih dapat tertarik pada kesenangan indera.”

300. Ini adalah pernyataan yang sangat penting. Dari sini, kita memahami bahwa seseorang tidak dapat melepaskan kesenangan indera sampai kebahagiaan yang lebih tinggi tercapai. Dengan kata lain, kita hanya dapat melepaskan kesenangan indera dengan pencapaian Jhana. Sampai kita mengalami piti dan sukha (Rupa Jhana) atau sesuatu yang lebih damai (Arupa Jhana), kita masih dapat tertarik pada kesenangan indera.

301. Di sini, menurut Kitab Komentar, Mahanama sudah menjadi seorang Sakadagami tetapi belum mencapai Jhana. Jadi Sutta ini menunjukkan bahwa bahkan seorang siswa Ariya yang telah memahami Dhamma dan memiliki kebijaksanaan dapat tertarik pada kesenangan indera. Kita diikat dan diselimuti oleh kesenangan indera. Satu-satunya cara untuk melepaskan kesenangan indera adalah dengan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih tinggi, yakni kedamaian dan kebahagiaan Jhana. Ini pentingnya pelatihan Jhana. Oleh sebab itu, di Sutta AN 6.6.64 Sang Buddha berkata :

“Demikianlah, bahwasanya para bhikkhu, Samādhi (Jhāna) adalah jalannya, tanpa Samādhi bukanlah jalannya.”

302. Lalu di Sutta SN 12.23 kondisi untuk melihat sesuatu sebagai yang sebenarnya (yatha-bhuta- nana-dassana) dikatakan sebagai Samadhi. Kebenaran yang sangat mendalam hanya dapat dipahami melalui konsentrasi yang sangat mendalam. Dengan kata lain, konsentrasi yang dangkal hanya memungkinkan pemahaman yang dangkal dari kebenaran. Tidak ada jalan pintas.

303. Jadi di Sutta SN 12.10 Sang Buddha berkata bahwa Beliau memahami Paticcasamuppada dengan menggunakan Yoniso Manasikara. Yoni berarti sumber dan manasikara berarti perenungan/pertimbangan. Jadi Yoniso Manasikara berarti perenungan/pertimbangan yang mengarah pada sumber dari masalah, yakni penuh pertimbangan/perhatian, dan ini membutuhkan batin yang sangat jernih dan kebijaksanaan yang tinggi. Jadi dengan menggunakan yoniso manasikara, Bodhisatta menelusuri penyebab penderitaan melalui setiap mata rantai yang saling bergantungan sampai kepada penyebab pertama, yakni kegelapan batin. Jadi, cara untuk memahami Paticcasamuppāda adalah melalui Yoniso Manasikara, dan bukan Sati (perhatian).

304. Paticcasamuppada sangat mendalam dan halus.

Didalam Maha Nidana Sutta (DN 15) Ananda berkata:

“ Sungguh luar biasa dan mengagumkan, Bhante, walaupun Paticcasamuppada ini kelihatannya sangat mendalam dan sungguh sangat mendalam, namun saya dapat melihatnya dengan jelas sekali.”

Sang Buddha berkata,

“Jangan berkata demikian, Ananda! Jangan berkata demikian, Ananda! Paticcasamuppada ini, Ānanda, kelihatannya sangat mendalam dan sungguh sangat mendalam. Karena tidak memahami dan menembusi Dhamma ini, Ananda, generasi ini telah menjadi seperti benang kusut, segumpal tali kusut, seperti alang-alang kusut, tidak mampu mengatasi lingkaran kelahiran kembali dan kematian beserta alam-alam menderita, tempat tujuan yang menyedihkan dan alam-alam rendahnya.”

Di sini, Sang Buddha berkata bahwa Paticcasamuppada sangat mendalam dan topik yang sangat halus. Apa yang telah kita hadirkan di sini adalah penjelasan sederhana menurut Sutta-Sutta. Dikatakan halus karena adanya beberapa sambungan di antara mata rantai yang tidak dapat kita pahami sepenuhnya, misalnya, sambungan antara kemelekatan dan keberadaan. Keberadaan berarti keberadaan dari dunia dalam batin kita atau kesadaran. Sekarang, bagaimana kemelekatan menyebabkan dunia muncul dalam batin kita?

Untuk memahami hal ini, kita membutuhkan batin yang sangat jelas dan kebijaksanaan yang tinggi. Batin yang sangat jelas dan kebijaksanaan yang tinggi hanya dapat diperoleh melalui konsentrasi yang amat mendalam (Jhana, didukung oleh 7 faktor lainnya dari Jalan Mulia Berunsur Delapan).

305. Satipatthana hanya menuntun pada satu jalan.

Beberapa buku menginterpretasikan Satipatthana sebagai “hanya inilah satu-satunya jalan”, misalnya terjemahan dalam Satipatthana Sutta. Itu adalah terjemahan yang sangat tidak tepat dan menyesatkan.

Kata Palinya adalah Ekayana Maggo yang terdiri dari 3 kata Pali, yakni eka (satu), ayana (arah) dan maggo (jalan). Secara harafiah berarti “satu arah perjalanan” atau “satu arah jalan”. Yang Mulia Nanamoli menerjemahkan Ekayana Maggo dengan sangat baik, yakni Jalan yang hanya menuntun pada satu arah saja. Ini mengartikan bahwa pelatihan Satipatthana menuntun kita keluar dari Samsara, dan bukan ke arah yang lainnya. Satipatthana bukanlah satu-satunya jalan karena Sang Buddha berbicara mengenai 37 Bodhipakkhiya Dhamma, yakni :

-    4 Satipatthana,
-    4 Iddhipada,
-    4 Sammappadhana,
-    5 Bala,
-    5 Indriya,
-    7 Bojjhanga,
-    Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Di MN 149, Sang Buddha mengatakan bahwa apabila Jalan Mulia Berunsur Delapan sepenuhnya dikembangkan, semua 37 Bodhipakkhiya Dhamma juga akan sepenuhnya dikembangkan dengan sendirinya.

306. Paticcasamuppada membuat seseorang memahami terkondisinya dukkha dan dapat diluaskan ke terkondisinya segala sesuatu dalam keberadaan, bagaimana sesuatu muncul bergantungan pada sesuatu yang lainnya, dan oleh sebab itu, tidak ada jiwa/roh (atta) – sesuatu hal yang abadi, tidak berubah, yang tidak terkondisi.

“Sekarang, sejauh ini, para bhikkhu, ketika seorang siswa Ariya mengetahui Paticcasamuppada, mengetahui munculnya Paticcasamuppada, mengetahui lenyapnya Paticcasamuppada, mengetahui jalan menuju lenyapnya Paticcasamuppada, dia yang kita sebut siswa Ariya yang telah memenangkan pandangan, yang telah memenangkan pengetahuan, yang telah tiba pada Dhamma yang baik ini, yang melihat Dhamma yang baik ini, yang memiliki pengetahuan seorang yang terlatih, yang memiliki kebijaksanaan seorang yang terlatih, yang telah memasuki arus Dhamma, yang memiliki pengetahuan Ariya tentang kemuakan keduniawian, yang berdiri mengetuk pintu tiada-kematian.”
(Samyutta Nikaya 12.27 Nidana Samyutta, Sutta No. 27)


Proses Jalan menuju lenyapnya
Paticcasamuppada ( Patiloma ) :


•  Dengan padamnya ketidak-tahuan (avijja),
maka padamlah bentuk-bentuk kamma (sankhara).

•  Dengan padamnya bentuk-bentuk kamma (sankhara),
maka padamlah kesadaran (vinnana).

•  Dengan padamnya kesadaran (vinnana),
maka padamlah batin dan jasmani (nama-rupa).

•   Dengan padamnya batin dan jasmani (nama-rupa),
maka padamlah 6 landasan indera (salayatana).

•  Dengan padamnya 6 landasan indera (salayatana),
maka padamlah kesan-kesan (phassa).

•    Dengan padamnya kesan-kesan (phassa),
maka padamlah perasaan (vedana ).

•    Dengan padamnya perasaan (vedana),
maka padamlah nafsu keinginan (tanha ).

•    Dengan padamnya nafsu keinginan (tanha),
maka padamlah kemelekatan (upadana).

•    Dengan padamnya kemelekatan (upadana),
maka padamlah proses kelahiran kembali (bhava) .

•    Dengan padamnya proses kelahiran kembali (bhava),
maka padamlah kelahiran kembali (jati).

•    Dengan padamnya kelahiran kembali (jati),
maka padamlah kelapukan dan kematian, duka cita, sakit, kesusahan dan keputus-asaan (jara-marana).


Selanjutnya ----> Bab VIII : NIBBANA


1 komentar: