Kamis, Februari 09, 2012

Bab VIII : Nibbana


BAB VIII

NIBBANA


“Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan,
Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak.
Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan,
Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak,
maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran,
penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan,
Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak,
maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran,
penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.”
(Udana VIII : 3)

307. Pemahaman Nibbana yang hanya berdasarkan intelektual adalah mustahil, karena hal ini bukan suatu masalah yang dicapai berdasarkan pemikiran yang logis semata. Betapapun cemerlang dan dalamnya seseorang memaparkan tentang Nibbana dalam sebuah buku, adalah mustahil kita dapat memahaminya dengan cukup hanya membacanya saja, karena Nibbana adalah suatu keadaan di luar keduniawian (Lokuttara Dhamma) untuk disadari hanya oleh kebijaksanaan yang berdasarkan intuisi.

Definisi :

308. Kata Pali “ Nibbana “ (skt. Nirvana) berasal dari kata ‘Ni’ dan ‘Vana’. Ni adalah suatu unsur negatif, Vana berarti Jalinan atau keinginan. Keinginan ini bertindak sebagai suatu tali yang menghubungkan satu kehidupan dengan kehidupan yang lain. Disebut nibbana, karena ada suatu perpisahan (Ni) dari keinginan yang disebut Vana, nafsu keinginan. Secara harafiah, nibbana berarti terbebas dari kemelekatan.

309. Dari sudut pandangan metafisik, Nibbana merupakan kebebasan dari penderitaan. Dari sudut pandangan psikologis, Nibbana adalah penghancuran egoisme. Dari sudut pandangan etika, Nibbana adalah penghancuran keserakahan, kebencian dan kebodohan.

Nibbana dapat juga diartikan sebagai padamnya keserakahan, kebencian dan kebodohan. Sang Buddha bersabda :

“ Seluruh dunia terbakar.” “ Dengan  api apa dunia tersebut dinyalakan ? dengan api nafsu keinginan, kebencian  dan khayalan, ; dengan api kelahiran, usia tua, kematian, penderitaan, keluhan, kesakitan, kesedihan dan keputus-asaan dunia dinyalakan.”

310. Nibbana jangan ditafsirkan sebagai suatu kekosongan, keadaan hampa atau kemusnahan, melainkan suatu keadaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata – kata secara tepat, karena kita tidak dapat memahaminya dengan pengertian duniawi kita. Misalnya seseorang tidak dapat menyimpulkan bahwa cahaya itu tidak ada karena orang buta tidak dapat melihatnya. Juga seperti dalam sebuah cerita yang terkenal tentang seekor ikan ; yang hanya mengenal air, sedang  berdebat dengan sahabatnya seekor kura-kura, dengan bangga menyimpulkan bahwa tidak ada daratan.

Nibbana adalah sesuatu yang “ tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta “. Karenanya, Nibbana bersifat kekal ( dhuva ), damai    ( santi ), dan bahagia ( sukha ).

311. Ada kelompok Buddhis yang menyatakan bahwa Nibbana adalah pemusnahan diri, namun mereka juga menolak bahwa Sang Buddha mengajarkan " Kemusnahan diri ". Mereka mencoba menjelaskan kontradiksi ini dengan berkata : " Pemusnahan Diri hanya mungkin terjadi, bila ada pribadi yang akan dimusnahkan. Namun pada kebenaran akhir, tidak ada suatu yang disebut "Pribadi". Lalu, bagaimana mungkin Nibbana adalah " Pemusnahan Diri ", bila tidak ada pribadi yang akan musnah ?"

Dibalik permainan kata diatas, mereka juga tetap mengatakan Nibbana adalah kekosongan, dimana pribadi tidak ada lagi dalam bentuk apapun.

Banyak kesempatan bagi Sang Buddha untuk dapat menyatakan bahwa mereka yang mencapai Nibbana telah hilang keberadaannya, tapi Beliau tidak pernah mengatakan demikian.

Sekali waktu, Upasiva bertanya kepada Sang Buddha :

Mereka yang telah pergi (ke Nibbana),
Apakah mereka musnah keberadaannya,
Atau mereka tetap tak lekang selamanya ?
Jelaskan pada saya, O, Guru bijaksana
Sebab Kaulah yang mengetahui sejelasnya.

Lalu, Sang Buddha menjawab :

Tak dapat dinilai mereka yang telah pergi.
Yang oleh seseorang mungkin dikatakan sebagai Tidak ada lagi.
Ketika semua fenomena telah tiada,
Semua cara untuk menggambarkannya juga tiada.
(Sutta Nipata : 1075-1076)

312. Dalam Itivuttaka 44; Khuddaka Nikaya, Sang Buddha menjelaskan bahwa terdapat 2 elemen/jenis Nibbana, yaitu :

• Sa-upadisesa-Nibbana

Nibbana masih bersisa, yang dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini juga. Yang dimaksud dengan bersisa di sini adalah masih adanya Lima Khanda. Ketika Pertapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau dikatakan telah dapat mencapai Sa-upadisesa-Nibbana tetapi masih memiliki Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan).  Sa-upadisesa-Nibbana juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin (state of mind) yang murni, tenang, dan seimbang.

• An-upadisesa-Nibbana

Nibbana tanpa sisa. Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Parinibbana, dimana tidak ada lagi Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan), tidak ada lagi sisa-sisa dan sebab-sebab dari suatu bentuk kemunculan. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Hal ini dapat diumpamakan dengan padamnya api dari sebuah pelita, kemanakah api itu pergi ? Hanya satu jawaban yang tepat, yaitu ‘tidak tahu’. Ketika Guru Buddha mangkat /wafat, Beliau dikatakan telah mencapai anupadisesa-nibbana.

Sesungguhnya ini bukan dua macam Nibbana, karena hanya ada satu Nibbana. Perbedaan namanya sesuai dengan cara dicapainya, yaitu sebelum atau sesudah kematian.

313. Nibbana bukan suatu tempat ataupun semacam surga dimana roh kekal berada. Nibbana adalah suatu keadaan yang bergantung pada diri kita sendiri. Nibbana merupakan suatu pencapaian ( Dhamma ) yang berada dalam jangkauan semua orang. Nibbana merupakan suatu keadaan di atas keduniawian ( lokuttara ) yang dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini juga. Agama Buddha tidak mengajarkan bahwa tujuan akhir ini hanya dapat dicapai dalam kehidupan di alam lain. Di sinilah terletak perbedaan pokok antara konsep Buddhis tentang Nibbana dan konsep non–Buddhis tentang surga kekal yang hanya dapat dicapai setelah kematian atau bersatu dengan Tuhan atau Zat Agung pada kehidupan setelah mati.

Apakah setelah wafat seorang Arahat tetap ada atau tidak ?
Sang Buddha menjawab : “ Arahat yang telah bebas dari lima kelompok kehidupan ( khandha ) itu sungguh dalam, tak dapat diukur seperti lautan samudra. Menyatakan bahwa ia akan dilahirkan kembali adalah tidak sesuai. Menyatakan bahwa ia tidak dilahirkan kembali atau pun bukan tidak dilahirkan kembali juga tidak benar “.

Orang tidak dapat mengatakan seorang Arahat tidak dilahirkan kembali karena semua nafsu keinginan yang mensyarati tumimbal lahir telah dihancurkan ; juga orang tidak dapat mengatakan Arahat itu musnah karena tak ada sesuatu yang dimusnahkan.

Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika, menyatakan :
“ Misalnya, apabila kita bertanya, apakah kedudukan elektron tetap sama, kita harus menjawab “ tidak “. Apabila kita bertanya apakah kedudukan elektron berubah beberapa waktu kemudian, kita harus menjawab “ tidak “. Bila kita bertanya apakah electron bergerak, kita juga harus menjawab “ tidak “.

Sang Buddha telah memberikan jawaban yang sama sewaktu ditanya mengenai kondisi – kondisi seorang Arahat setelah wafatnya. Apakah setiap orang dapat mencapai Nibbana atau tidak? Jawaban dari pertanyaan ini tak dapat diramalkan, karena setiap orang mempunyai minat dan cita-cita masing-masing. Sang Buddha telah mengajarkan Dhamma dan dengan segala macam cara, menganjurkan orang untuk melaksanakannya; namun tentu saja pelaksanaannya tergantung pada orang itu sendiri-sendiri.

“ Gotama Yang Baik, setelah diajar dan diarahkan oleh-Mu, apakah semua Siswa-Mu akan mencapai cita-cita murni itu, atau sebagian tidak akan berhasil?”

“ Sebagian akan mencapainya dan sebagian tidak.”

“Apa alasannya, Gotama Yang Baik? Apa penyebabnya ?”

“ Aku akan bertanya padamu, brahmin ; jawablah bila berkenan. Bagaimana pikiranmu? Apakah engkau mengetahui jalan ke Rajagaha?”

“ Ya, Gotama yang baik, saya mengetahuinya.”

“ Baik, andaikan seorang datang padamu, dan berkata bahwa dia ingin ke Rajagaha dan bertanya arahnya. lalu, engkau berkata : ‘ Jalan ini menuju ke Rajagaha; berjalanlah terus sampai ke suatu desa, berjalanlah terus sampai engkau tiba di pasar, lalu bila engkau berjalan terus, engkau akan sampai di Rajagaha dengan kebun-kebunnya yang indah, hutan-hutan yang indah, lapangan-lapangan yang indah dan kolam-kolam yang indah.
Namun, walau telah ditunjukkan dan diarahkan olehmu jalan itu, tapi orang tadi mengambil jalan lain yang menuju ke Barat. Dan, oleh karenanya dia tidak sampai ke Rajagaha. Lalu, andaikan seorang lagi datang padamu, dan dia juga berkeinginan ke Rajagaha, lalu karena dia mengikuti petunjukmu, maka akhirnya dia tiba dengan selamat. Jadi oleh karena ada Rajagaha, oleh karena ada jalan menuju kesana  dan juga ada engkau sebagai penunjuk jalan, mengapa orang yang pertama tidak sampai, sedangkan orang yang satunya lagi sampai ke Rajagaha?”

“ Gotama yang baik, apa yang harus saya kerjakan dalam hal ini ? Saya tiada lain hanyalah seorang penunjuk jalan.”

“ Demikian pula, Brahmin; ada Nibbana, ada jalan menuju ke Nibbana, dan ada aku sebagai penunjuk jalan ke Nibbana. Tapi hanya sebagian siswa yang diajar dan diarahkan oleh-Ku yang mencapai Nibbana, sebagian lainnya tidak. Apa yang dapat aku perbuat dalam hal ini? Sang Tathagata hanyalah penunjuk jalan.”
(Majjhima Nikaya II ;5 )

Tapi satu hal yang pasti, siapapun yang mencapai Nibbana adalah sebagai hasil menjalankan ajaran Sang Buddha.

“ Bila, dengan pengertian penuh Gotama Yang Baik telah mengajarkan Dhamma pada Siswanya untuk pemurnian makhluk hidup, untuk mengatasi penyesalan dan keputus-asaan, untuk mengakhiri kesedihan dan kemurungan, untuk mencapai tatacara-Nya, untuk mencapai Nibbana; lalu apakah seluruh dunia akan mencapainya, atau seperduanya, atau sepertiganya?”

Sampai disitu, Sang Buddha berdiam diri. Lalu Ananda berpikir: ” Orang ini hendaknya jangan sampai berpikir bahwa Sang Buddha tidak dapat menjawab pertanyannya yang penting ini.”

Jadi Ananda berkata :” Saya akan memberitahu suatu perumpamaan.”

Bayangkan ada suatu kota dikelilingi oleh tembok dengan dasar pondasi yang sangat kuat, bermenara dan hanya berpintu gerbang hanya satu, pintu gerbang dijaga ketat, hanya orang yang dikenal diperbolehkan melewatinya dan orang asing tak diperbolehkan melewatinya. Lalu, ketika seseorang berjaga di sekeliling tembok, dia tidak menemukan satupun lobang yang dapat dilewati walau oleh seekor kucing pun. Dengan demikian dia tahu, bahwa semua makhluk, besar ataupun kecil, hanya dapat masuk ke kota atau keluar dari kota dengan melewati gerbang tersebut. Sama halnya dengan pertanyaanmu, tidaklah penting bagi Sang Buddha. Apa yang disabdakan  Beliau adalah, bahwa : Siapapun yang telah terbebas, sedang terbebas ataupun akan terbebas dari dunia ini, dia akan terbebas dengan cara melepaskan kelima rintangan, melepaskan kesesatan batin yang melemahkan kebijaksanaan, dia akan tebebas dengan cara mengembangkan batin dalam empat dasar kesadaran, dan dengan mengembangkan tujuh unsur pencerahan.”
(Anguttara Nikaya V : 194).

Setelah Sang Buddha mencapai Nibbana, Beliau “ mengajak” semua umat manusia untuk mengikuti Jalan agar umat manusia juga dapat menikmati kedamaian, kebahagiaan dan kebebasan. “Ajakan” beliau masih berlaku sampai saat ini.

Pintu-pintu keabadian telah terbuka,
Marilah, mereka yang dapat mendengar,
berusaha dengan keyakinan.
(Majjhima Nikaya I:169).



Selanjutnya ----> Jalan Menuju ke Nibbana




Tidak ada komentar:

Posting Komentar