Jumat, Agustus 30, 2019

Perumpamaan Gajah dan Orang Buta


PERUMPAMAAN GAJAH DAN ORANG BUTA 
(Perbedaan pandangan dan keyakinan)

Demikianlah yang telah saya dengar: Pada suatu kesempatan Sang Bhagavâ sedang berdiam di dekat Sâvatthî... di taman Anâthapindika.

Pada saat itu sejumlah pertapa dan brâhmana yang terdiri dari pengembara yang berbeda-beda pandangan datang ke Sâvatthî untuk meminta sedekah makanan. Mereka mempunyai pandangan yang berbeda-beda, dengan sifat toleran terhadap hal-hal yang berbeda, menyukai hal-hal yang berbeda, mempunyai berbagai keyakinan. Beberapa orang pertapa dan brâhmana membahas hal ini dan berpandangan: 

- Bahwa dunia adalah abadi, bahwa itulah sesuatu yang mutlak benar, dan bahwa berbagai pandangan yang lain adalah gila-gilaan. 

- Beberapa berpandangan bahwa dunia terbatas...; sementara menurut yang lain tidak terbatas....

- Ada yang berpandangan bahwa unsur hidup utama adalah tubuh;  yang lain percaya bahwa unsur hidup utama adalah satu hal selain tubuh...

-  Sebagian berpendapat bahwa diri adalah kekal; yang lain berpendapat bahwa diri adalah tidak kekal....

Lalu sebagian berpendapat keduanya kekal dan keduanya tidak kekal...; sebaliknya ada yang menyatakan dua-duanya tidak kekal; bahwa inilah yang benar, dan pandangan lain adalah gila-gilaan. 

Akibatnya mereka saling bertengkar, bercekcok, dan berselisih, saling melukai dengan kata-kata; "Dhamma adalah demikian, dhamma bukanlah demikian; Ini benar; itu salah!"

Pada suatu siang serombongan bhikkhu mengenakan jubah mereka dan mengambil mangkuk dan jubah, memasuki Sâvatthî untuk pindapâta, setelah berkeliling dan makan, menemui Sang Bhagavâ.. dan berkata: 

Bhante, sejumlah pertapa dan brâhmana yang merupakan pengembara mempunyai berbagai pandangan dan menimbulkan akibat... (dan mereka menceritakan pandangan-pandangan yang berbeda tersebut) Sang Bhagavâ pun berkata:

"Para bhikkhu, para pengembara yang mempunyai pandangan yang berbeda tersebut buta, tidak melihat dengan baik. Mereka tidak mengetahui kebaikan dan keburukannya. Mereka tidak mengenal dhamma. Mereka 
tidak memahami apa yang bukan dhamma. Akibat ketidaktahuan, mereka bertengkar, cekcok dan berselisih demi mempertahankan pandangan-pandangan tersebut.

Sebelumnya, para bhikkhu, ada seorang Raja di Sâvatthî ini. Kemudian, para Bhikkhu, Raja itu memanggil seorang laki-laki, sambil berkata, "Kemarilah engkau, pelayanku, pergilah dan kumpulkan di suatu tempat semua orang yang terlahir buta di Sâvatthî."

"Baik, Tuanku," jawab laki-laki tersebut dan menuruti perintah Raja untuk mengumpulkan semua laki-laki yang terlahir buta di Sâvatthî. Setelah selesai, ia kembali pada Raja dan berkata, "Tuanku, semua orang yang terlahir buta di Sâvatthî telah terkumpul."

"Pelayanku, tunjukkan kepada orang-orang tersebut sebuah gajah."

"Baik, tuanku" jawab laki-laki itu, dan melakukan sesuai perintah, 
berkata kepada mereka, "O, orang buta, ini adalah seekor gajah," dan ia menunjukan pada orang pertama kepala gajah, yang lain telinganya, lalu yang lain gadingnya, kaki, punggung, ekor dan berkas ekor, lalu mereka 
saling bertukar pikiran mengenai bentuk gajah tersebut.

Sekarang, para bhikkhu, setelah menunjukkan gajah kepada orang 
buta, pengawal tersebut mendatangi Raja dan berkata:
"Tuanku, gajah itu telah dipertunjukkan kepada orang buta sesuai perintah ?"

Lalu, para bhikkhu, Raja menemui orang buta itu dan berkata kepada setiap orang buta itu, "Baiklah, orang buta, apakah engkau pernah melihat gajah ?"

"Ya, Tuan."Tuanku, seekor gajah mirip sebuah pot." Dan yang memegang telinga hanya menjawab, "Seekor gajah seperti keranjang penampi."

Yang ditunjukkan gadingnya berkata bahwa gajah seperti mata bajak.

Yang hanya merasakan belalainya mengatakannya adalah sebuah bajak, mereka mengatakan tubuhnya adalah sebuah lumbung; kakinya, sebuah tiang; punggungnya, sebuah mortir; ekornya, sebuah alu penumbuk; berkas ekor seperti sebuah kebutan.

Kemudian mereka mulai bertengkar, sambil berteriak, "Ya, itu benar!" 

"Tidak, itu tidak benar!" "Seekor gajah tidak seperti itu!" "Ya, ia seperti itu!" dan seterusnya, hingga mereka baku hantam.

Lalu, bhikkhu, Raja gembira dengan pemandangan itu.

Demikian juga dengan para pengembara yang berpandangan berbeda-beda, buta, tanpa melihat, tanpa mengetahui kebaikan, kejelekannya. Mereka tidak memahami dhamma. Mereka tidak memahami apa yang bukan dhamma. Karena ketidaktahuannya mereka bertengkar, cekcok dan 
berselisih mempertahankan pandangan masing-masing.

Menyadari pentingnya hal ini, Sang Bhagavâ mengucapkan sebait 
syair Udâna:

"O, Betapa melekat dan ributnya, mereka yang menamakan diri 
Brâhmana dan pertapa. Berselisih dan bertahan di satu sisi,
memandang masalah hanya dari satu segi."

(Udana VI.4 )

                          -oOo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar