Disusun oleh : Tanhadi
1. Beliau menjelaskan, ketika alam-semesta mulai mengembang, alam yang telah ada barulah alam surga (alam-dewa).
Dan demikian mereka hidup, terdiri dari batin saja, senantiasa berbahagia, badannya mengeluarkan cahaya, bergerak di angkasa dengan jayanya, dan bertahan begitu sampai masa yang sangat lama sekali.
Pada waktu itu bumi hanya terdiri dari massa air semata dan semuanya gelap kelam.
Tidak ada bulan atau matahari, belum ada tata-surya, bintang belum terlihat, belum ada perhitungan waktu bulan, pertengahan-bulan, tahun atau musim, belum ada laki-laki dan wanita, hanya makhluk itu saja yang ada.
Lalu setelah jarak waktu yang sangat lama, buih-buih yang menggiurkan terbentuk diatas permukaan massa air dimana makhluk-makhluk itu berada.
Bentuknya seperti lapisan yang terbentuk diatas susu panas yang mendingin. Warnanya seperti dadih-susu (susu yang mengental) atau mentega, dan rasanya seperti madu murni.
Lalu, beberapa makhluk yang bersifat rakus berkata: "Saya berkata, apa yang seperti ini !, lalu mencoba buih itu dengan jarinya. Ketika ia melakukannya, dia menyukainya, dan keinginan timbul diantara mereka. Jadi mereka mulai berpencar memakannya. Setelah itu, cahaya badannya menghilang; lalu bulan dan matahari, siang dan malam, bulan dan pertengahan bulan, tahun dan musim, terjadi.
(Digha Nikaya III: 85)
2. Bila "maha-dewa" adalah pencipta dan pengendali segalanya, maka tiada gunanya manusia berbuat apapun, sebab manusia bagaikan wayang-kulit dari kehendak "maha-dewa" sebagai dalangnya, dan dengan sendirinya "maha-dewa" itulah penanggung jawab dari semua tindakan manusia yang tidak terpuji. Sang Buddha menyatakan argumentasi-nya sebagai berikut:
Ada beberapa pertapa dan kaum Brahmana yang percaya dan mengajarkan, bahwa apapun yang dialami manusia, menyenangkan, menyakitkan atau netral, semuanya disebabkan oleh keinginan "maha-dewa". Saya menemui dan bertanya pada mereka, apakah benar mereka mengajarkan demikian, mereka ternyata mengiyakan, lalu saya berkata: "Apabila demikian, tuan yang terhormat, mereka yang membunuh, mencuri dan berzina pula atas kehendak "maha-dewa" tersebut. Mereka harus berbohong, berfitnah dan berkata kasar serta bergunjing, disebabkan karena kemauan-nya. Mereka harus menjadi serakah, pembenci dan berpandangan salah karena kemauan "maha-dewa" tersebut". Mereka menyandarkan semuanya sebagai keputusan "sang maha-dewa" akan kehilangan gairah keinginan dan daya-upaya untuk berbuat ini atau tidak berbuat itu.
(Anguttara Nikaya I: 173)
3. Satu lagi, juga ada pendapat bahwa kejahatan dan penderitaan disebabkan oleh para iblis. Tetap, tak dapat diterangkan mengapa "maha-dewa pengasih" tidak dapat menyelamatkan orang-orang tak berdosa. Mengapa "maha-dewa pengasih" membiarkan penderitaan terjadi? Oleh karenanya, adanya penderitaan yang mengerikan dan tanpa tujuan itu merupakan bukti tidak adanya "maha-dewa maha-pengasih" tersebut. Sang Buddha bersabda:
Dengan mata, seseorang dapat melihat pandangan memilukan;
Mengapa "maha-dewa" itu tidak menciptakan secara baik?
Bila kekuatannya demikian tak terbatas,
Mengapa tangannya begitu jarang memberkati,
Mengapa dia tidak memberi kebahagiaan semata?
Mengapa kejahatan,
kebohongan dan ketidak-tahuan merajalela.
Mengapa memenangkan kepalsuan,
sedangkan kebenaran dan keadilan gagal?.
Saya menganggap, "maha-dewa" adalah ketak-adilan.
Yang membuat dunia yang diatur keliru.
Mengapa "maha-dewa" itu tidak menciptakan secara baik?
Bila kekuatannya demikian tak terbatas,
Mengapa tangannya begitu jarang memberkati,
Mengapa dia tidak memberi kebahagiaan semata?
Mengapa kejahatan,
kebohongan dan ketidak-tahuan merajalela.
Mengapa memenangkan kepalsuan,
sedangkan kebenaran dan keadilan gagal?.
Saya menganggap, "maha-dewa" adalah ketak-adilan.
Yang membuat dunia yang diatur keliru.
(Jataka VI: 208)
4. Dibalik kenyataan bahwa alam manusia adalah yang terbaik dari segala alam, namun terlahir sebagai manusia adalah kesempatan yang sangat jarang, oleh karena kita seharusnya menggunakan sebaik mungkin kesempatan tersebut. Sang Buddha bertanya:
"Yang mana lebih banyak - pasir diujung kuku saya, atau pasir seluruh bumi?"
"Guru, jauh lebih banyak pasir di bumi ini. Sangat sedikit pasir di ujung kuku Guru. Satu sama lain tidak dapat dibandingkan."
"Demikian pula, makhluk yang dilahirkan sebagai manusia adalah sangat sedikit. Jauh lebih banyak yang terlahir dalam alam-alam lainnya. Oleh karenanya engkau hendaknya melatih dirimu, dengan senantiasa berpikir: "Kita akan hidup sebaik mungkin".
(Samyutta Nikaya II: 262)
5. Puluhan khotbah Beliau menampilkan alasan untuk meruntuhkan sistim kasta dan menegakkan persamaan martabat dan harkat manusia.(Lihat, sebagai contoh, Assalayana Sutta - M, II: 147; Ambattha Sutta - D, I: 88; Vasala Sutta - Sn: 116) Beliau bersabda:
Apabila engkau memperhatikan pepohonan atau rumput,
Tanpa mengetahuinya,
Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
Ada bermacam jenisnya
Lalu perhatikan ngengat dan kumbang,
Atau serangga kecil seperti semut;
Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
Ada bermacam jenisnya
Dan pada makhluk ber-kaki empat,
Yang besar dan kecil,
Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
Ada bermacam jenisnya
Perhatikan makhluk yang merayap pada perutnya,
Ular dan hewan melata lainnya.
Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
Ada bermacam jenisnya.
Perhatikan ikan
Dan semua yang hidup di air
Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
Ada bermacam jenisnya
Perhatikan burung yang beterbangan
Mereka yang bepergian melalui angkasa;
Mereka juga tampak beraneka macam dan ragam,
Ada bermacam jenisnya
Pada semua makhluk-makhluk itu,
Macam dan ragamnya dapat terlihat;
Pada manusia tidak ada perbedaan diantaranya.
Tidak dirambut atau kepala, ditelinga atau mata,
Tidak di mulut atau hidung, bibir atau alis,
Adanya perbedaan yang mencolok.
Tidak di leher atau bahu,
Tidak di perut atau dada,
Tidak pula pada kelamin
Adanya perbedaan mencolok.
Tidak pada tangan atau kaki, pada jari atau kuku,
Tidak pada betis, paha atau bentuk penampilan,
Adanya perbedaan ragam dan macamnya,
Seperti pada makhluk lainnya.
Ragam manusia tidak berbeda banyak,
Seperti makhluk lainnya.
Yang berbeda antara umat manusia,
Hanyalah perbedaan tak bermakna.
(Sutta Nipata: 601-602)
6. Pencerahan dicapai mengembangkan kebijaksanaan dan welas-asih, dan siapa saja, tidak tergantung dari jenis kelaminnya dapat mencapainya. Sang Buddha bersabda:
Wanita, dari perumah-tangga biasa sampai yang telah meninggalkan keduniawian,
dapat mencapai tingkat Pemenang-Arus,
tingkat Yang-Kembali-Sekali,
tingkat Yang-Tak-Kembali,
tingkat Arahat .
(Vinaya V: 254).
7. Oleh karenanya wanita seharusnya diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama dengan kaum lelaki. Pandangan Sang Buddha pada kemampuan pencapaian Pencerahan oleh wanita dirangkum dengan baik oleh seorang murid Beliau bernama Soma.
Kodrat sebagai wanita tidaklah berperan
Tatkala batin tenang dan kokoh,
Tatkala pengetahuan berkembang hari ke hari,
Dan ketika dia merenungkan Dhamma.
Seseorang yang berpikir seperti ini:
Oleh karena "Saya wanita" atau "Saya pria"
Ataupun setiap pikiran "Saya adalah ......"
Mara akan dapat menyapanya.
Tatkala batin tenang dan kokoh,
Tatkala pengetahuan berkembang hari ke hari,
Dan ketika dia merenungkan Dhamma.
Seseorang yang berpikir seperti ini:
Oleh karena "Saya wanita" atau "Saya pria"
Ataupun setiap pikiran "Saya adalah ......"
Mara akan dapat menyapanya.
(Samyutta Nikaya I: 129)
8. Karena mengetahui bahwa setiap insan dapat mencapai Pencerahan, Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada semua orang, dengan harapan semuanya mempelajarinya, melaksanakannya dan saling mengajarkannya. Ketika Mara membujuknya agar mati lebih dini, Sang Buddha menjawab:
Saya tidak akan mati sebelum para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria serta wanita telah mempelajari mendalami, kebijaksanaan dan terlatih, dapat mengingat ajaran, menguasai ajaran utama dan tambahan serta bermoral; sampai mereka dapat menguasai, dapat menyampaikan pada lainnya, mengajarkannya, memaklumkannya, memperdalam, menghayati, menerangkan serta membabarkannya; sampai mereka mampu membedakannya dari ajaran salah yang diajarkan oleh yang lainnya dan dapat menyebarkan kebenaran yang meyakinkan serta dapat membebaskan ini, ke segala penjuru. Saya tidak akan mati sampai tata kehidupan yang suci telah dicapai, dihargai dan dihormati; sampai ajaran kebenaran ini dikenal luas diantara dewa dan manusia.
(Digha Nikaya II: 104)
9. Alam Binatang (tiracchana yoni) termasuk semua hewan menyusui, burung-burung, ikan, binatang melata dan serangga. Pada Alam Binatang; perasaan setia, mengasihi, berkorban dan sebagainya hampir tidak ada lagi, unsur pendorong utama dalam kehidupan mereka adalah sekadar naluri makan, seks dan mempertahankan hidup. Karenanya binatang saling memangsa tanpa cinta-kasih atau welas-asih, tanpa mengharapkan bantuan atau simpati dari yang lainnya. Sang Buddha bersabda tentang Alam Binatang:
Disana tidak ada kehidupan sesuai Dhamma,
tidak ada keseimbangan hidup,
tidak dilakukan yang baik dan terlatih;
hanya saling memangsa dan memakan yang lebih lemah.
tidak ada keseimbangan hidup,
tidak dilakukan yang baik dan terlatih;
hanya saling memangsa dan memakan yang lebih lemah.
(Majjhima Nikaya III: 250)
10. Walau alam kehidupan adalah tempat, namun sebenarnya lebih dari demikian; alam-alam tersebut terutama adalah keadaan batin. Seseorang yang anggun, berdaya dan bahagia dapat dikatakan berada di alam dewa seperti kebahagiaan dewa sebenarnya. Pula, manusia yang mengalami banyak penderitaan batin dapat dikatakan berada di alam neraka seperti penderitaan batin dapat dikatakan berada di alam neraka seperti penderitaan di alam neraka sebenarnya. Sang Buddha menegaskan, dengan bersabda:
Apabila seorang dungu berkata bahwa
neraka ada dibawah laut,
maka mereka sebenarnya berkata palsu tak berdasar.
Istilah "neraka" adalah menunjukkan perasaan-perasaan
yang menyakitkan.
neraka ada dibawah laut,
maka mereka sebenarnya berkata palsu tak berdasar.
Istilah "neraka" adalah menunjukkan perasaan-perasaan
yang menyakitkan.
(Samyutta Nikaya IV: 206)
11. Tujuan hidup tak lain adalah melepaskan diri dari samsara dan membebaskan batin kita untuk mencapai kedamaian Nibbana. Sang Buddha bersabda:
Kehidupan suci bukanlah demi keberuntungan karena mendapat kekayaan,
kehormatan dan kemasyuran, dan kehidupan bermoral;
bukan pula demi keberuntungan yang dikarenakan dapat memusatkan pikiran,
pula bukan untuk keberuntungan yang dikarenakan oleh pengetahuan dan kewaskitaan.
Tapi adalah sesuatu "kebebasan batin yang tak tergoyahkan"
itulah yang menjadi tujuan dari kehidupan yang suci,
itulah sasaran-nya, itulah titik puncaknya
(Majjhima Nikaya I: 197)
Sumber : Dasar Pandangan Agama Buddha - Ven. S. Dhammika