Sabtu, Juli 10, 2010

KUMPULAN SABDA SANG BUDDHA (Kelahiran Kembali)


1. Sang Buddha menegaskan bahwa bila kita gagal memurnikan diri kita pada kehidupan ini, kita masih dapat melakukannya pada kehidupan akan datang atau yang berikutnya lagi. Kelahiran kembali juga memungkinkan kita untuk senantiasa menyempurnakan keahlian dan minat kita yang telah kita kembangkan pada kehidupan kini, pada kehidupan akan datang. Sang Buddha, malah mengatakan kita dapat saja bertemu, dengan orang yang kita cintai dan sayangi pada kehidupan mendatang, bila kita mempunyai keterikatan yang kuat dengannya.

Perumah tangga Nakulapita dan isterinya Nakulamata mendatangi Sang Buddha; setelah bersimpuh, Nakulapita berkata: "Guru, sejak isteri saya dibawa ke rumah pada saya, ketika itu saya masih seorang anak perjaka, dia masih seorang anak gadis, saya tidak pernah secara sadar menyakitinya baik rohaniah, apalagi jasmaniah. Guru, kami bertekad untuk saling menyayangi, tidak saja pada kehidupan ini, namun juga pada kehidupan mendatang."

Nakulamata kemudian berkata: "Guru, sejak saya dibawa kerumah suamiku, ketika itu saya masih seorang anak gadis, dia masih seorang anak perjaka, saya tidak pernah secara sadar menyakitinya baik rohaniah, apalagi jasmaniah. Guru, kami bertekad untuk saling menyayangi, tidak saja pada kehidupan ini, namun juga pada kehidupan mendatang."

Sang Buddha kemudian bersabda: "Apabila suami dan isteri bertekad untuk saling menyayangi pada kehidupan ini dan pada kehidupan mendatang, dan keduanya sepadan dalam keyakinan, sepadan dalam moral, sepadan dalam kemurahan hati dan sepadan dalam kebijaksanaan, maka mereka akan saling menyayangi dalam kehidupan ini, pula pada kehidupan mendatang. (Anguttara Nikaya II: 59)


2. Menurut ilmu biologi modern, kehidupan manusia baru dimulai pada saat menakjubkan ketika sel sperma dari ayah bersatu dengan sel telur atau ovum dalam tubuh ibu. Ini merupakan momen kelahiran. Ilmu pengetahuan hanya membicarakan dua faktor fisik yang umum ini saja. Akan tetapi, agama Buddha membicarakan pula faktor ketiga yang bersifat rohani. Didalam Mahatanhasamkhaya Sutta, Majjhima Nikaya 38, Sang Buddha mengatakan:

" Dengan bertemunya ketiga faktor ini maka pembuahan terjadi. Jika calon ibu dan ayah bersatu, tetapi bukan pada masa subur si calon ibu, dan makhluk hidup yang akan dilahirkan ( gandhabba ) tidak ada, maka benih kehidupan tidak tertanam.

Jika kedua calon orang tua bersatu dan pada masa subur si calon ibu, tetapi gandhabba atau makhluk hidup yang akan dilahirkan tidak ada, maka tidak terjadi pembuahan.

Jika calon ibu dan ayah bersatu, dan pada masa subur si calon ibu, serta makhluk hidup yang akan dilahirkan, gandhabba, juga ada, maka benih kehidupan tertanam di sana. "

3. Faktor ketiga, gandhabba, hanyalah istilah untuk kesadaran lahir kembali ( patisandhi vinnana ). Dapat pula disebut kekuatan energi yang dilepaskan dari orang yang meninggal dunia. Tetapi kesadaran yang lahir kembali bukanlah diri yang kekal, roh ataupun satuan hidup yang merasakan buah dari perbuatan baik dan jahat.
Kesadaran juga disebabkan oleh kondisi. Terpisah dari kondisi, maka tidak akan timbul kesadaran. Lebih lanjut Sang Buddha berkata:

“ Untuk dapat terlahir kembali, 
Tiga syarat harus dipenuhi :
Sepasang( Calon ) Orang tua yang subur,
hubungan seksual dan
adanya gandhabba”
(Majjhima Nikaya I : 265 ).


4. Sang Buddha adalah ahli terbesar dalam hal kelahiran kembali (Tumimbal lahir/Rebirth), Pada malam agung Pencerahannya, dalam pengamatan pertama Sang Buddha mengembangkan pengetahuan menyadari masa lampau yang memungkinkan mengingat berbagai kehidupan lampaunya;

“ Aku mengingat kembali kehidupan-kehidupanku yang lampau, yaitu satu kelahiran, dua, tiga, empat, lima, sepuluh, dua puluh, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran…..demikianlah aku mengingat kembali kehidupan-kehidupanku yang lampau, terperinci berserta ciri -cirinya. Inilah pengetahuan sejati pertama yang kucapai pada malam jaga pertama…..”.

“ Aku melihat makhluk-makhluk mati dan lahir kembali, yang hina dan yang mulia, yang cantik dan yang buruk, yang bahagia dan yang malang. Aku melihat bagaimana makhluk-makhluk itu melanjutkan kehidupannya sesuai dengan perbuatan-perbuatannya. Inilah pengetahuan sejati kedua yang kucapai pada malam jaga kedua…”.
(Mahasaccaka Sutta , Majjhima Nikaya 36 ).


5. Ini adalah ungkapan paling awal dari Sang Buddha sehubungan dengan pertanyaan tentang Kelahiran kembali. Hal ini secara meyakinkan membuktikan bahwa Sang Buddha tidak meminjam kebenaran Kelahiran kembali dari sumber-sumber lain yang telah ada, tetapi Beliau berbicara berdasarkan pengetahuan pribadi, pengetahuan yang dikembangkan oleh diri sendiri dan yang juga dapat dikembangkan oleh orang lain. Dalam Dhammapada XI ; 153, Sang Buddha bersabda :

“Dengan melalui banyak kelahiran,
aku telah mengembara dalam samsara (siklus kehidupan).
Terus mencari, 
namun tak kutemukan pembuat rumah (Tubuh) ini,
Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang -ulang ini ”.


6. Banyak ahli spiritual Barat yang telah menerima Doktrin Kelahiran kembali sebagai suatu fakta, karena merupakan satu-satunya penjelasan yang masuk akal terhadap hal -hal tertentu yang ternyata tidak sesuai dengan konsep ahli spiritual yang lain. Sekedar contoh, diketahui bahwa dengan perantaraan ahli spiritual dimungkinkan untuk berhubungan dengan orang -orang tertentu yang telah mati, sementara dengan orang lain ternyata tidak dapat. Hal ini selalu menjadi kesulitan besar bagi para ahli spiritual. Namun ajaran Sang Buddha dapat menjawab dengan sederhana, Sang Buddha bersabda :

“ Dan apa beragam kamma itu ?
Adalah kamma yang akan berbuah di alam neraka,
di alam binatang, di alam asura, di alam peta, 
di alam manusia,
pula ada kamma yang berbuah di alam dewa .”
( Angutta Nikaya III : 414 ).


7. Salah satu siswa Sang Buddha pernah penasaran dan menanyakan tentang darimana asal-mula terjadinya tumimbal lahir para makhluk di alam semesta ini ; Sang Buddha memberikan jawaban cukup singkat kepada bhikkhu tersebut, karena Sang Buddha telah mengetahui bahwa walaupun beliau menjelaskannya secara terperinci, para siswanya tidak akan dapat memahaminya sebelum mereka sendiri mencapai Pencerahan Sempurna seperti diriNYA :

“ Oh, para Bhikkhu, daur tumimbal lahir adalah tak berawal.
Terhadap makhluk yang berjalan tertatih-tatih dalam daur ini,
yang terkurung oleh kebodohan dan terikat oleh keinginan,
tak ada awal yang bisa disebutkan .”
( Samyutta Nikaya 15 : 1 )

7 komentar:

  1. Anumodana Pak Tanhadi _/\_

    ijin share ya :)

    BalasHapus
  2. Silahkan rekan Anonim, dengan senang hati...:)
    dan terima kasih atas kunjungannya.

    Salam persahabatan selalu,

    tanhadi

    BalasHapus
  3. “Dengan melalui banyak kelahiran,
    aku telah mengembara dalam samsara (siklus kehidupan).
    Terus mencari,
    namun tak kutemukan pembuat rumah (Tubuh) ini,
    Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang -ulang ini ”.

    maaf bapak, saya tertarik dengan Sabda Buddha ini, bisa dijelaskan,,,
    Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. @ Sahabat Erwin Yolanda,

      “Dengan melalui banyak kelahiran, aku telah mengembara dalam samsara (siklus kehidupan). Terus mencari, namun tak kutemukan pembuat rumah (Tubuh) ini, Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang -ulang ini ”.

      Pada bait syair tersebut, Sang Buddha ‘melihat’ bahwa sejak kehidupannya yang lampau, Beliau telah banyak mengalami kematian dan kelahiran kembali berulang-kali , dan sebagai akibatnya Beliau pun mengalami banyak penderitaan-penderitaan yang seolah-olah tiada habisnya.

      Kemudian, dengan menyadari bahwa penderitaan akibat dari kematian dan kelahiran yang berulang-kali tersebut ‘seharusnya’ bisa diakhiri, maka Beliau bertekad kuat serta berjuang keras untuk mencari ‘Penyebabnya’, sampai pada akhirnya Beliau mencapai Penerangan Sempurna, dan terkuaklah misteri samsara dan dukkha tsb. Ternyata penyebab utamanya adalah NAFSU KEINGINAN (Tanha) yang melekat begitu kuatnya di dalam lubuk hati semua makhluk.

      Selanjutnya Sang Buddha melanjutkan dengan syair ini (Dhammapada XI. 154):

      ”O pembuat rumah, engkau telah kulihat, engkau tak dapat membangun rumah lagi. Seluruh atapmu telah runtuh dan tiang belandarmu telah patah. Sekarang batinku telah mencapai Keadaan Tak Berkondisi . Pencapaian ini merupakan akhir daripada nafsu keinginan.”

      Penjelasan :

      ‘SI PEMBUAT RUMAH’ adalah nafsu keinginan (tanha),

      sedangkan ‘ATAP RUMAH ‘ adalah kegemaran (kilesa) a.l : Kemelekatan/keserakahan, kebencian, kebodohan batin/khayalan, kesombongan, pandangan-pandangan salah, keragu-raguan, kemalasan, kegelisahan, moral tidak takut malu untuk melakukan kejahatan, moral yang tidak takut akan akibat dari tindakan jahat.

      ‘TIANG BELANDAR’ yang menunjang atap melambangkan kebodohan, akar penyebab semua nafsu keinginan.

      Dengan runtuhnya atap (kilesa) karena tiang belandarnya telah hancur dari kebodohan, maka hancur total-lah rumah itu. Ibarat seorang arsitek yang hendak membangun rumah tapi bahan pokok yang diperlukan oleh arsitek yaitu tiang belandar dan atapnya rusak / hancur, maka arsitek tsb. tidak dapat lagi melanjutkan pekerjaannya untuk membangun sebuah rumah.

      Artinya : Sang Buddha telah menemukan si arsitek (pembuat rumah) itu dengan kebijaksanaan intuisinya sendiri berdasarkan prinsip bahwa apa yang diciptakan oleh diri sendiri dapat dihancurkan oleh dirinya sendiri.

      Dengan penghancuran rumah tersebut, Batin /pikiran Sang Buddha saat itu mencapai keadaan tanpa kondisi, yaitu Nibbana. Apapun yang bersifat keduniawian telah ditinggalkannya.

      Demikian uraian singkat ini, semoga dapat memberikan kejelasannya.

      Sadhu…sadhu…sadhu.

      Mettacittena,
      Tanhadi

      Hapus
    2. Anumodana Pak Tanhadi _/\_
      sungguh indah, terimakasih telah menyempatkan diri untuk membalas pertanyaan saya..
      bahagia memiliki sahabat yg berjuang dalam Dhamma

      Hapus
  4. Semoga batin kita semuanya maju dalam dhamma.
    Semoga Anda, saya, dan semua makhluk terbebas dari penderitaan batin dan jasmani.
    Semoga kita semuanya hidup dalam damai dan sejahtera sesuai dengan kondisi karmanya masing-masing.

    Semoga semua makhluk hidup berbahagia.

    Sadhu...sadhu...sadhu...

    BalasHapus