1. Sang Buddha telah menyadari akan timbulnya legenda mengenai diri-Nya, Beliau telah memperingatkan Siswa-siswa-Nya agar membedakan kenyataan dan legenda; dan dengan demikian, menurut Beliau, akan menuntun ke pengertian sebenarnya dari ke dua nilai itu.
Ada dua macam orang yang salah menanggapi Tathagata. Apa dua itu? Dia yang menanggapi khotbah dari makna yang tidak langsung sebagai khotbah dari makna yang langsung, dan dia yang menanggapi khotbah dari makna langsung sebagai khotbah dari makna yang tidak langsung.
(Anguttara Nikaya I :59)
2. Tujuh langkah dan pernyataan keberadaan-spiritualnya adalah perlambang bahwa anak ini telah siap untuk melaksanakan Tujuh Faktor Pencerahan (satta bojjhanga) yakni kesadaran/kemawasan, penyelidikan fenomena, keteguhan, kegembiraan, ketenangan, konsentrasi dan keseimbangan - dan olehnya akan mencapai kebahagiaan Nibbana. Teratai, tentunya, melambangkan Nibbana. Sutta yang sama disebutkan pada kelahiran Sang Buddha:
Ketika Sang Bodhisatta muncul dari rahim ibunya, cahaya yang sangat terang melebihi cahaya para dewa bersinar ke bumi. Dan pada daerah kegelapan yang hitam, kelam diantara bimasakti-bimasakti, dimana cahaya bulan dan matahari sekalipun, walau demikian perkasa dan anggunnya, tak dapat mencapainya, namun disitu cahaya itu bersinar dengan terangnya. Para makhluk-makhluk yang tinggal menetap di daerah itu, terhentak satu sama lain karena cahaya itu, dan mereka berkata: "Lihatlah, tampaknya ada makhluk lain yang juga tinggal disini."
(Majjhima Nikaya III:123)
3. Sering agama Buddha dipandang oleh berbagai pihak sebagai jalan yang harus ditemukan sendiri, tanpa memandang segi kemanusiaan seutuhnya. Namun melalui kiasan seperti diatas, kita peringatkan bahwa cahaya kebijaksanaan Sang Buddha hendaknya tidak menjadikan kita memakluminya sendiri tapi juga menyadari kehadiran orang lain, segi manusiawi yang kita sama-sama miliki.
Salah satu kejadian yang juga termahsyur adalah apa yang disebut sebagai Godaan Mara. Kejadian ini banyak diabadikan dalam batu prasasti dan dilukiskan dalam prosa dan syair. Khotbah Perjuangan (Padhana Sutta) menceritakan kejadian seperti ini:
Saya sedang tinggal di tepi Sungai NeraƱjra, berusaha sekuat mungkin, melaksanakan tapa meditasi dengan seluruh tenaga Saya, berusaha mencapai kebebasan dari perhambaan.
Lalu Mara mendekati Saya, dan dengan berpura-pura mengasihani, berkata: "Engkau demikian kurus dan pucat. Tampaknya kamu sudah dekat pada kematian."
"Seribu banding satu, Engkau akan mati; kematian akan tiba. Hiduplah, Tuan yang baik, hiduplah! Engkau akan dapat mengumpulkan jasa bila tetap hidup."
"Engkau dapat tetap memimpin kehidupan agamis, memuja dewa api, apa yang akan memberi-Mu jasa. Oleh karenanya buat apa bersusah payah?"
"Jalan yang susah dan menantang adalah berat, menjemukan dan penuh kesulitan." Demikian dikatakan Mara, yang berdiri disamping Sang Tuan.
Lalu Sang Tuan menjawab Mara: "Mengapa engkau datang kesini, oh, si-jahat, benih kemalasan?"
"Saya tidak memerlukan jasa, oh Mara. Jadi, bicaralah tentang jasa hanya pada yang membutuhkannya.
"Saya punya keyakinan, kemauan dan kebijaksanaan, dan oleh karenanya Saya menerapkannya sendiri. Jadi, mengapa mempertanyakan kehidupan-Ku?
"Yang pertama dari bala tentaramu adalah nafsu, ke dua adalah keenggangan. Ke tiga adalah lapar dan haus, dan ke empat adalah kemelekatan.
"Ke lima adalah kelambanan dan kemalasan, dan keenam adalah ketakutan. Ke tujuh adalah keraguan dan ke delapan adalah ketidakjujuran pada diri sendiri serta keras-kepala.
"Juga hadir keinginan pada keuntungan-keuntungan, penghormatan dan kemahsyuran yang diperoleh dengan cara yang salah, bersama pengagungan diri-sendiri dan pengremehan orang-lain.
"Semua ini, oh Mara, adalah kekuatanmu, bala tentara dari kejahatan. Seorang yang bukan pahlawan, tidak akan memerangi mereka untuk mencapai kebahagiaan.
"Saya bisa melihat pasukan-pasukan disekeliling Saya, dipimpin Mara diatas gajahnya, dan Saya akan memeranginya.
"Walau seluruh dunia termasuk para dewa tidak dapat mengalahkan pasukanmu, Saya akan menghancurkannya dengan kebijaksanaan, bagaikan batu yang dilempar pada kendi tanah-liat yang belum dibakar.
"Dengan pikiran terlatih dan kemawasan yang berpijak kokoh, Saya akan berjalan dari kerajaan ke kerajaan, melatih banyak murid-murid.
"Mereka berwaspada dan bergairah dalam melaksanakan ajaran-ajaran-Ku dan bertentangan dengan kehendakmu; mereka akan mencapai yang mesti tercapai, mereka akan bebas dari penyesalan.
Dan Mara berkata: "Saya telah mengikuti Tuan selama tujuh tahun. Saya mengamati setiap langkah-Nya, dan tidak sekalipun saya berhasil mempengaruhi-Nya, Dia yang Tercerahi sempurna dan penuh kesadaran."
(Majjhima Nikaya III: 123)
4. Setelah mempertimbangkan Himbauan Brahma Sahampati, Sang Buddha meneliti keseluruhan dunia.
Seperti yang telah Saya teliti di dunia ini dengan mata Buddha, Saya melihat makhluk-makhluk yang sedikit debu di matanya, yang banyak debu dimatanya, yang indranya tajam, yang indranya tumpul, berwatak baik, berwatak buruk, bersifat pasif, bersifat aktif. Ibarat kolam berisi teratai biru, merah atau putih, dengan teratai yang masih bertunas dalam air, sedang tumbuh dalam air, masih belum muncul di permukaan air.
(Majjhima Nikaya I :168)
5. Setelah menilai kembali daya-pikir manusia untuk mengerti Dhamma, dan melihat bahwa sebagian dari manusia akan dapat memahaminya, Sang Buddha memutuskan untuk mengajarkannya. Dia mempermaklumkan pada Brahma Sahampati dan dunia:
Pintu-pintu keabadian sekarang terbuka
Hendaknya mereka yang dapat mendengar,
Memanfaatkan dengan keyakinan.
(Majjhima Nikaya I :169)
6. Sang Buddha pergi ke sungai Gangga yang pada waktu itu sedang meluap sehingga burung gagak dapat minum darinya. Beberapa orang sedang mencari perahu, beberapa lainnya mencari rakit, beberapa lainnya mengikat bambu untuk membuat rakit; agar dapat menyeberangi sungai itu. Tetapi semudah seorang yang kuat meluruskan lengannya dan membengkokkannya lagi, Sang Buddha menghilang di tepi sini dan muncul diseberang sana. Seraya memandang mereka yang sedang mencari bambu dan rakit, Sang Buddha mengucapkan syair ini:
Bila ingin menyeberangi laut, sungai atau danau,
Orang-orang membuat jembatan atau rakit,
Tetapi Yang Bijaksana telah berhasil menyeberang.
(Majjhima Nikaya I :169)
7. Legenda yang ke dua sangat istimewa karena indah dan sangat bermakna. Terjadi ketika Sang Buddha berbaring di antara dua pohon sal, sesaat sebelum Nibbana-akhir-Nya.
Dan Sang Tuan berkata: "Ananda, siapkan pembaringan menghadap ke arah ini di antara dua pohon sal, saya merasa kurang nyaman dan ingin berbaring." Ananda lalu melakukannya, Sang Buddha kemudian berbaring diatas sisi kanan-Nya, satu kaki bersandar diatas lainnya, seperti posisi singa, sambil tetap mawas diri dan sadar. Lalu, tiba-tiba kedua pohon sal itu berbunga, walau bukan musimnya dan bunga-bunga berjatuhan sebagai penghormatan pada Tathagata, disertai terdengarnya nyanyian dan musik surgawi, semuanya untuk menghormati Tathagata. Lalu Sang Buddha menoleh kepada Ananda dan berkata: "Lihatlah berkembangnya pohon sal dan bunga-bunga surgawi, bubuk cendana, nyanyian dan musik. Tapi, ini bukanlah cara untuk menghormati, menjunjung, menyembah, mengagungkan, dan menghargai dengan penghormatan tertinggi. Tapi, para bhikkhu, bhikkhuni, serta umat awam yang tenang dalam Dhamma, merekalah yang menghormati, menjunjung, menyembah, mengagungkan, dan menghargai dengan penghormatan tertinggi. Oleh karenanya, laksanakanlah Dhamma. Inilah hendaknya cara engkau melatih dirimu sendiri."
(Digha Nikaya II:89)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar