Rabu, Juli 14, 2010

KUMPULAN SABDA SANG BUDDHA (Tindakan Sejati)

1. Tindakan adalah sesuatu yang kita perbuat dengan menggerakkan badan kita. Tindakan salah adalah tindakan yang disertai dorongan negatif dan menghasilkan dampak negatif, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain; sebaliknya Tindakan Sejati (samma kammanta) disertai dorongan positif dan mempunyai dampak positif baik pada diri sendiri maupun diri orang lain. Karena setiap makhluk hidup sangat menghargai hidupnya dan hidup dari yang mereka cintai, maka membunuh mereka atau mengancam kehidupan mereka adalah salah satu dari yang terburuk yang dapat dilakukan seorang padanya. Pembunuhan melibatkan kekerasan, ketakutan dan kesakitan pada diri korban, dan akan memperkuat kecenderungan kekerasan, kebencian dan hati tak berbelaskasih pada pelakunya. Bila kita menjaga perasaan orang lain, kita tidak akan membunuh atau menyebabkan kesakitan pada mereka seperti halnya kita tidak lakukan pada diri sendiri. Sang Buddha bersabda:

Semua gemetar pada kekerasan,
semua takut kematian
Tempatkan dirimu pada tempat orang yang lain
Oleh karenanya jangan membunuh
ataupun menyebabkan mereka terbunuh.

Semua gemetar pada kekerasan,
semua menghargai hidup
Tempatkan dirimu pada tempat orang yang lain
Oleh karenanya jangan membunuh
taupun menyebabkan mereka terbunuh.
[Dhammapada : 129-130]

Dan bila kita ingin lebih nengembangkan kasih-sayang, sedemikian kuat dan luasnya, seperti semestinya, maka adalah masuk akal bahwa kita juga hendaknya menghindari pembunuhan makhluk apa pun, tidak hanya manusia.

2. Berpantang dan menghindari mengambil hidup makhluk lain, adalah suatu aspek teramat penting dari Tindakan Sejati, dengan sendirinya adalah penghargaan pada kehidupan. Usaha-usaha untuk membuat keadaan dan segala benda-benda menjadi aman sedemikian rupa sehingga tidak dapat melukai seseorang, menghilangkan penyakit, memberi pernaungan dan perlindungan pada yang memerlukan, membantu memberi kedamaian dan merujukkan pertikaian-pertikaian adalah tindakan-tindakan positif terbaik yang selalu dapat kita prakarsai. Hal lain, yang oleh Sang Buddha sangat ditekankan, sebagai langkah mempertahankan dan menghargai kehidupan, adalah merawat dan menyembuhkan orang sakit. Sang Buddha menyebut dirinya sendiri "dokter yang baik" (anuttaro bhisako) [Itivuttaka: 101], yang dalam hal ini berarti Beliau dapat menyembuhkan mereka yang rohani-nya sakit oleh karena kekotoran-batin, dengan obat Dhamma.[MilindapaƱha 335] Tapi Beliau memang adalah seorang tabib dan perawat bagi mereka yang sakit badaniah. Kitab Suci Tipitaka mencatat banyak kali, Beliau mengunjungi orang sakit, menasehati dan menghibur mereka, malah merawat mereka.

Pada waktu itu, seorang bhikkhu menderita disentri, dan berbaring lemah ditempat yang telah dihamburi tinjanya sendiri. Sang Buddha dan Ananda yang lagi mengunjungi tempat itu, menjenguk bhikkhu tersebut, seraya bertanya:

"Bhikkhu, apa yang terjadi padamu?"

"Saya menderita disentri."

"Apa tidak ada yang merawatmu?"

"Tidak ada, Tuanku."

"Kenapa para bhikkhu tidak merawatmu?"

"Karena saya tak berguna lagi bagi mereka, Tuanku."

Lalu, Sang Buddha berseru pada Ananda: "Pergi dan ambillah air. Kita akan memandikan bhikkhu ini."

Dengan demikian, Ananda mengambil air; sementara Sang Buddha menuang air, Ananda mencuci seluruh badan bhikkhu itu. Dengan mengangkatnya pada kepala dan kakinya, Sang Buddha dan Ananda membaringkannya kembali ke pembaringannya.

Kemudian, Sang Buddha memanggil seluruh bhikkhu dan bertanya pada mereka:

"Kenapa, wahai para bhikkhu, engkau tidak merawat bhikkhu sakit itu?"

"Sebab sudah tidak berguna bagi kita, Yang Mulia."

"Kamu sekalian tidak mempunyai ayah dan ibu lagi yang akan merawatmu. Bila kamu sekalian tidak saling merawat, siapa yang akan melakukannya?
Siapa yang ingin merawat Daku, hendaknya merawat pula mereka yang sakit."
[Vinaya IV: 301]

3. Bila, seandainya kita hidup di jaman Sang Buddha dan ketika Beliau sakit; bukankah suatu kewajiban, suatu kehormatan, untuk merawat Beliau? Lalu, karena kita hidup di jaman kita sendiri, maka sesuai sabdaNya, merawat orang sakit adalah merawat Sang Buddha sendiri. Dalam merawat orang sakit, Sang Buddha menunjukkan nilai-nilai yang hendaknya dimiliki seorang yang berkeinginan merawat orang sakit:

Dengan lima cara, seorang yang merawat orang sakit adalah tepat merawat si sakit. Apa lima itu? Dia menyiapkan obat; dia mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, yang baik ditawarkannya, dan yang tidak baik tidak ditawarkannya; dia merawat si sakit dengan cinta-kasih, tanpa pamrih; dia tak tergoyah oleh tinja, kencing, muntah dan ludah; dari waktu ke waktu dia mengajarkan, memberi wawasan, menghibur serta memberinya kepuasan batin dengan membicarakan Dhamma.
[Anguttara Nikaya III: 144]

4. Bila kita dapat merawat orang sakit, dengan mengembangkan hal-hal seperti diatas, kita telah dapat menambah nilai rohani mereka seperti yang telah kita lakukan pada jasmani mereka. Subhasitaratnakhosa membuat perumpamaan sederhana tentang mereka yang dapat menyampingkan kepentingan pribadinya, bertindak tak mementingkan diri sendiri, dengan perumpamaan sebuah pohon.

Pohon memberi naungan bagi yang lain,
Sementara dia sendiri ditimpa panas matahari,
Buah yang dihasilkannya diperuntukkan bagi yang lain
Demikianlah orang-baik adalah bagaikan pohon.
[Subhasitaratnakhosa 1229]

5.  Dalam hubungannya dengan yang telah diajarkan tentang pembunuhan; apakah seorang Buddhis hendaknya vegetaris? Pada zaman Sang Buddha, juga pada zaman ini, ada pendapat bahwa makanan tertentu, terutama daging, akan menghilangkan kemurnian dan menodai mereka yang memakannya. Agama Buddha secara jelas mengatakan bukan karena makanan kita menjadi ternoda - hanya pikiran, perbuatan dan perkataan yang jahat, yang mengotori kita.

Apabila seseorang kasar, congkak, menghasut,
menipu, licik dan tidak mau  berbagi pada orang lain.
Inilah yang membuat manusia ternodai,
bukan karena makan daging.
Kemarahan, kesombongan, keras kepala,
keinginan jahat, licik, cemburu, angkuh,
berkelompok dengan mereka yang jahat.
Inilah yang membuat manusia ternodai,
bukan karena makan daging.

Bermoral jelek, tak membayar utang,
bergunjing, menipu, bersaksi-dusta,
berbuat jahat seperti itu kepada yang lainnya.
Inilah yang membuat manusia ternodai,
bukan karena makan daging.
[Sutta Nipata : 244-246]

6. Mencuri adalah suatu tindakan salah sebab memperkuat keserakahan, kelicikan dan kebohongan pada orang yang melakukan pencurian, dan menyebabkan kesusahan dan penyesalan pada mereka yang kecurian. Dalam melaksanakan ajaran Sang Buddha, kita menghindari mengambil barang milik orang lain, malah sebaliknya diajar membagi barang milik kita pada orang lain. Kedermawanan (dana) dan kemurahan-hati (caga), tidak hanya mengurangi rasa-kepemilikan, tapi juga memenangkan rasa hormat, mengikat persahabatan dan memberi kegembiraan pada yang lain. Pesan Sang Buddha:

"Apakah mungkin, Yang Mulia Guru, melihat hasil nyata dari kedermawanan?"

Sang Buddha menjawab: "Ya, kita dapat melihat hasil nyata dari kedermawanan. Pemberi, si dermawan, akan dicintai dan disayangi oleh banyak orang. Inilah hasil yang nyata dari kedermawanan. Mereka yang bijaksana dan baik, meneladaninya. Inilah hasil yang nyata dari kedermawanan. Nama-harumnya akan menyebar kemana-mana. Ini juga adalah hasil yang nyata dari kedermawanan. Juga, kemana pun dia bergabung, akan dihargai; diterima dengan rasa aman dan tanpa kesulitan oleh para Brahmana, para perumah tangga atau pun yang hidup menyepi. Inilah hasil yang nyata dari pemberian. Dan pada akhirnya, si pemberi, si dermawan, setelah kematiannya akan terlahir di alam surga. Inilah hasil nyata yang terlihat kemudian.
[Anguttara Nikaya III: 38]

7. Secara tradisional di dalam agama Buddha dikenal empat macam pemberian. Yang pertama adalah pemberian barang materi (amisa dana). Termasuk disini pemberian makanan, pakaian, uang dan barang-barang lain yang dapat berguna bagi orang lain. Sang Buddha mengajak kita untuk melihat nilai-nilai yang terkandung dalam setiap pemberian dan mempertimbangkan dampak pemberian pada yang menerimanya. Dengan demikian, akan terlihat bahwa pemberian, walau sekadar materi, akan sangat berharga, baik pada pemberi juga pada penerima. Sebagai contoh, bila kita memberi obat pada seorang, maka kita tidak hanya sekadar memberinya kumpulan bahan kimia (yang bernama obat), tapi kita telah pula memberi kesehatan dan kebahagiaan, malah kita mungkin telah pula memberi hidup. Dalam hal pemberian makanan Sang Buddha bersabda:

Sewaktu memberi makanan, si pemberi telah pula memberi lima hal. Apa yang lima itu? Dia memberi hidup, kecantikan, kebahagiaan, kekuatan dan akal-budi. Dalam pemberian itu, si pemberi telah mengambil-bagian pula dalam hidup, kecantikan, kebahagiaan, kekuatan dan akal-budi, saat ini maupun saat akan datang.
[Anguttara Nikaya II: 61]

8. Kita dapat menyampaikan pesan, agar seorang suka berdana dengan berbagai cara dan motivasi, karena tidak semua orang memiliki semangat menolong dan cinta-kasih yang diharapkan mendorongnya berdana. Mengacu pada orang yang mengembangkan kedermawaan, Paramitasamasa menjelaskan, sebagai berikut:

Pemberi; tidak berfoya-foya, yang adalah racun; tidak mencelakakan orang lain; tidak takut dan tidak malu; dan tidak mencari-cari mereka yang dianggapnya pantas untuk menerima.

Dia tidak memberi sesuatu yang perlu bila yang lainnya masih baik, atau dengan memandang rendah berpikir: "Mereka tidak pantas untuk ditawari," dia juga tidak menurunkan nilai pemberiannya dengan mengharapkan balasan, dia juga tidak memberi tanpa ketulusan atau keraguan.

Bila memberi pada orang bijaksana, dia tidak merasa bangga berlebihan; bila memberi pada orang biasa, dia tidak merasa terhina. Dia memberi dengan rela, tidak akan memandang tinggi dirinya juga tidak memandang rendah yang lainnya.

Dia tidak memberi dengan maksud yang tidak baik; dia tidak memberi tanpa cita-cita mulia. Dia tidak memberi dengan kemarahan, juga tidak menyesali apa yang telah dia berikan.

Dia tidak memberi banyak bila dipuji atau sedikit bila tidak dipuji. Dia tidak memberi sesuatu yang merugikan atau menimbulkan perilaku tercela.
[Paramitasamasa I: 36-40]

9. Karena agama Buddha sangat mengutamakan pikiran (dalam hal ini peranannya, latihan-latihannya dan perubahan-perubahannya), maka dengan sendirinya keadaan jasmani jugalah penting, karena dapat mempengaruhi keadaan pikiran/batin kita. Oleh karenanya Sang Buddha mengajarkan agar kita senantiasa menjaga kesehatan badan.[Sn: 707] Olah raga, diet seimbang, sederhana dalam makanan, dan paling penting menghindari minuman-keras dan obat-obatan yang menyebabkan kecanduan; adalah sangat membantu menjaga kesehatan itu. Berpantang minuman-keras adalah mutlak dalam pelaksanaan tata kehidupan seorang Buddhis.

Mereka yang mengikuti jalan Dhamma
Hendaknya tidak minum minuman-keras
Atau menyarankan seseorang untuk meminumnya,
Karena mengetahui akibat dari kemabukan.

Disebabkan mabuk,
Seorang yang bodoh berbuat sesuatu yang tercela
Dan juga menyebabkan orang lainnya tak berhati-hati
Hindarilah akar dari tindakan salah ini,
Kebodohan ini hanya disenangi mereka yang bodoh.
[Sutta Nipata: 398-399]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar