1. Apa itu Nibbana? Ada pendapat yang menganggap bahwa Nibbana identik dengan kemusnahan dari pribadi (Inggeris: annihilation). Sang Buddha menegaskan bahwa pandangan ini salah.
Apabila seorang telah membebaskan batinnya, para dewa sekalipun tak dapat menjejakinya, walau mereka berpikir: "Ini adalah kesadaran Tathagata." Mengapa? Disebabkan karena Buddha tak terjejaki. Walau Saya berkata demikian, beberapa pertapa dan Brahmin, salah menafsirkan, bertentangan dengan kenyataan, mereka berkata: "Pertapa Gotama adalah berpandangan nihilis, sebab dia mengajarkan pemotongan, penghancuran, hilangnya keberadaan secara menyeluruh," tapi Saya tidak mengatakan demikian. Dari dulu sampai sekarang, Saya hanya mengajarkan tentang Penderitaan dan penghentian Penderitaan. (Majjhima Nikaya I: 140)
2. Banyak kesempatan bagi Sang Buddha untuk dapat menyatakan bahwa mereka yang mencapai Nibbana telah hilang keberadaannya, tapi Beliau tidak pernah mengatakan demikian. Sekali waktu, Upasiva bertanya kepada Sang Buddha:
Mereka yang telah pergi (ke Nibbana),
Apakah mereka musnah keberadaannya,
Atau mereka tetap tak lekang selamanya?
Jelaskan pada saya, Oh, Guru Bijaksana
Sebab Kaulah yang mengetahui sejelasnya.
Lalu, Sang Buddha menjawab:
Tak dapat dinilai mereka yang telah pergi.
Yang oleh seseorang mungkin dikatakan sebagai
Tidak ada lagi.
Ketika semua fenomena telah tiada,
Semua cara untuk menggambarkannya juga tiada.
(Sutta Nipata: 1075-1076)
3. Sekali waktu, seorang pengembara bernama Vacchagota bertanya pada Sang Buddha, tentang keberadaan mereka yang telah mencapai Nibbana, mereka timbul (dengan kata lain, tetap keberadaannya) atau tidak timbul (dengan kata lain, hilang keberadaannya). Sang Buddha menolak untuk memberi jawaban, dan menerangkan pada kita bahwa Beliau menolak, karena Nibbana adalah keadaan yang tak dapat diterangkan dengan kata-kata.
"Tapi, Gotama yang bijaksana, dimana timbulnya para siswa yang batinnya telah terbebaskan itu?"
"Istilah 'Timbul' tidak dapat terpakai"
"Bila demikian, bagaimana kalau dikatakan 'Tidak timbul'"
"Tidak timbul" juga tidak terpakai.
"Bila demikian, apakah mereka 'timbul dan juga tidak timbul'?"
"'Timbul dan juga tidak timbul' juga tidak terpakai."
"Bila demikian mereka 'tidak timbul dan juga tidak tidak timbul'?"
"'Tidak timbul dan juga tidak tidak timbul', juga tidak terpakai".
"Dengan demikian, saya kehilangan jejak dalam hal ini, Gotama yang baik, saya bingung, dan kepuasan yang saya dapati pada pembahasan kita yang lalu, sekarang telah tiada lagi...."
"Kesadaran Tathagata terbebas dari pengungkapan-pengungkapan; dia begitu dalam, tak terukur, tak diketahui dalamnya seperti lautan. 'Timbul' tak terpakai, 'tidak-timbul' tak terpakai, 'Timbul dan juga tidak timbul' tak terpakai, 'tidak timbul dan juga tidak tidak timbul' juga tidak terpakai."
(Majjhima Nikaya I: 140)
4. Walau sulit digambarkan, namun Sang Buddha memberi pada kita gambaran umum tentang keberadaan Nibbana. Dengan menggambarkan batin manusia, Sang Buddha berkata:
Batin adalah putih suci, namun dia ternodai oleh kekotoran batin yang sebelumnya tidak ada. Orang awam tidak menyadarinya, oleh karenanya mereka tidak menjaga batinnya. Batin adalah putih suci, dan dapat dimurnikan dari kekotoran batin yang sebelumnya memang tidak ada. Siswa yang agung mengerti hal itu, makanya mereka menjaga batin mereka. (Anguttara Nikaya I: 10)
5. Batin adalah suci pada awalnya (pabhassaram idam citam), kemudian dinodai kotoran batin yang sebenarnya adalah sesuatu yang asing bagi batin. Bila kotoran batin dibersihkan, maka batin kembali suci lagi. Sang Buddha bersabda:
Dimana tanah, air, api dan udara tak berpijak? Dimanakah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa, akhirnya musnah? Jawabnya adalah: Itu adalah kesadaran dari seorang Yang Agung - tak tertandai, tak terikat, dan bercahaya. Disana tak ada tempat tanah, air, api dan udara itu berpijak. Disana yang panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa akhirnya musnah. Bila kesadaran telah musnah, maka demikian pula semuanya itu' .
(Digha Nikaya I: 223)
6. Walau kita hanya dapat mengerti sepenuhnya keadaan Nibbana setelah kita mengalaminya sendiri, namun kita tetap dapat mengetahui keberadaan keadaan itu. Pertama, kita dapat menyimpulkan keberadaannya. Apabila ada dimensi disertai kelahiran, kematian, kekotoran batin dan kejadian, maka dapat disimpulkan bahwa ada dimensi tanpa itu. Naskah Buddhis kuno menyebutkan:
Dimana ada panas,
Disitu pasti pula ada dingin.
Demikian pula,
Dimana ada tiga api,
Disitu pasti pula ada Nibbana.
Dimana ada kejahatan,
Disitu pasti pula ada kebajikan.
Demikian pula,
Dimana ada kelahiran,
Keadaan "tak-terlahir", dengan demikian, juga ada.
(Jataka Nidanakatha 22-23)
7. Kedua, kita dapat mengetahui adanya keadaan seperti Nibbana, karena Sang Buddha mencapainya, dan Beliau dengan tegas menjelaskan keberadaannya. Beliau bersabda:
Ada sesuatu Yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung. Bila tidak ada yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung, maka tidak akan ada jalan untuk bebas dari Terlahir, Terjadi, Terbuat dan Tergabung. Tetapi karena adanya Yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung, maka ada jalan untuk terbebas dari Terlahir, Terjadi, Terbuat dan Tergabung. (Udana: 80)
8. Sekali lagi Beliau menegaskan keberadaan-Nya, sebagai berikut:
Ada suatu keadaan, dimana tidak ada tanah, air, api dan udara, dimana tidak ada Lingkup Ruang Tak-terbatas, Kesadaran Tak-terbatas, Kehampaan, juga Lingkup bukan-Kesadaran bukan pula Tanpa-kesadaran, tidak di bumi ini, di bumi seberang ataupun keduanya, tidak ada matahari, tidak ada bulan, dimana tidak ada yang datang untuk dilahirkan, tidak ada yang pergi ke kematian, tidak ada kurun waktu, tidak ada yang terjatuh dan timbul. Bukan sesuatu yang terpaku, tidak pula bergerak, dia berasaskan kehampaan. Inilah sebenarnya akhir penderitaan. (Udana: 80)
9. Dapatkah setiap orang mencapai kebahagiaan dan kebebasan Nibbana? Bila dapat, apakah setiap orang pada akhirnya akan mencapainya? Jawaban untuk hal yang pertama adalah jelas, yakni bahwa setiap orang dapat mencapai Nibbana, dan justru Sang Buddha senantiasa mendorong setiap orang untuk menjadikan Nibbana tujuan hidupnya serta agar berupaya sekuatnya untuk mencapainya. Senandung para wanita yang telah mencapai Nibbana, terdengar lantang dan jelas, dalam menjawab pertanyaan ini.
Keadaan Abadi ini telah banyak yang mencapainya,
Dan tetap dapat dicapai saat inipun,
Bagi siapa yang menjalankannya sendiri,
Tapi tidak bagi yang tidak berusaha sekuatnya.
(Therigatha: 513)
10. Apakah setiap orang dapat mencapai Nibbana atau tidak? Jawaban dari pertanyaan ini tak dapat diramalkan, karena setiap orang mempunyai minat dan cita-cita masing-masing. Sang Buddha telah mengajarkan Dhamma dan dengan segala macam cara, menganjurkan orang untuk melaksanakannya; namun tentu saja pelaksananya tergantung pada orang itu sendiri-sendiri.
"Gotama Yang Baik, setelah diajar dan diarahkan oleh-Mu, apakah semua siswa-Mu akan mencapai cita-cita murni itu, atau sebagian tidak akan berhasil?"
"Sebagian akan mencapainya dan sebagian tidak."
"Apa alasannya, Gotama Yang Baik? Apa penyebabnya?"
"Saya akan bertanya padamu, Brahmin; jawablah bila berkenan. Bagaimana pikiranmu? Apakah engkau mengetahui jalan ke Rajagaha?"
"Ya, Gotama Yang Baik, saya mengetahuinya."
"Baik, andaikan seorang datang padamu, dan berkata bahwa dia ingin ke Rajagaha dan bertanya arahnya. Lalu, engkau berkata: 'Jalan ini menuju ke Rajagaha; berjalanlah terus sampai ke suatu desa, berjalanlah terus sampai engkau sampai di pasar, lalu bila engkau berjalan terus engkau akan sampai di Rajagaha dengan kebun-kebunnya yang indah, hutan-hutan yang indah, lapangan-lapangan yang indah dan kolam-kolam yang indah. Namun, walau telah ditunjukkan dan diarahkan olehmu jalan itu, tapi orang tadi mengambil jalan lain yang menuju ke Barat. Dan, oleh karenanya dia tidak sampai ke Rajagaha.
Lalu, andaikan seorang lagi datang padamu, dan dia juga berkeinginan ke Rajagaha, lalu karena dia mengikuti petunjukmu, maka akhirnya dia tiba dengan selamat.
Jadi oleh karena ada Rajagaha, oleh karena ada jalan menuju kesana, dan juga ada engkau sebagai penunjuk jalan, mengapa orang yang pertama tidak sampai sedangkan orang yang satunya lagi sampai ke Rajagaha?"
"Gotama Yang Baik, apa yang harus saya kerjakan dalam hal ini? Saya tiada lain hanyalah seorang penunjuk jalan."
"Demikian pula, Brahmin; ada Nibbana, ada jalan menuju ke Nibbana, dan ada Saya sebagai penunjuk jalan menuju ke Nibbana. Tapi hanya sebagian Siswa yang diajar dan diarahkan oleh-Ku yang mencapai Nibbana, sebagian lainnya tidak. Apa yang dapat Saya perbuat dalam hal ini? Sang Tathagata adalah penunjuk Jalan.
(Majjhima Nikaya II: 5)
11. Tapi satu hal yang pasti - siapapun yang mencapai Nibbana adalah sebagai hasil menjalankan ajaran Sang Buddha.
"Bila, dengan pengertian penuh Gotama Yang Baik telah mengajarkan Dhamma pada siswa-Nya untuk pemurnian makhluk hidup, untuk mengatasi penyesalan dan keputus-asaan, untuk mengakhiri kesedihan dan kemurungan, untuk mencapai tatacara-nya, untuk mencapai nibbana; lalu apakah seluruh dunia akan mencapainya, atau seperduanya, atau sepertiganya?"
Sampai disitu, Sang Buddha berdiam diri. Lalu Ananda berpikir: "Orang ini hendaknya jangan sampai berpikir bahwa Sang Buddha tidak dapat menjawab pertanyaan yang penting ini." Jadi Ananda berkata: "Saya akan memberi suatu perumpamaan." Bayangkan ada suatu kota dikelilingi oleh tembok dengan dasar pondasi yang sangat kuat, bermenara dan berpintu gerbang hanya satu, pintu gerbang dijaga ketat, hanya orang yang dikenal diperbolehkan melewatinya, dan orang asing tak diperbolehkan melewatinya. Lalu, ketika seseorang berjaga di sekeliling tembok, dia tidak menemukan satupun lobang yang dapat dilewati walau oleh seekor kucing pun. Dengan demikian dia tahu, bahwa semua makhluk, besar ataupun kecil, hanya dapat masuk ke kota atau keluar dari kota dengan melewati gerbang tersebut. Sama halnya dengan pertanyaanmu, tidaklah penting bagi Sang Buddha. Apa yang disabdakan Beliau adalah, bahwa "Siapapun yang telah terbebas, sedang terbebas ataupun akan terbebas dari dunia ini, dia akan terbebas dengan cara melepaskan ke-lima rintangan, melepaskan kesesatan-batin yang melemahkan kebijaksanaan, dia akan terbebas dengan cara mengembangkan batin dalam empat dasar kesadaran, dan dengan mengembangkan tujuh unsur pencerahan." (Anguttara Nikaya V: 194)
12. Setelah Sang Buddha mencapai Nibbana, Beliau "mengajak" semua umat manusia untuk mengikuti Jalan agar umat manusia juga dapat menikmati kedamaian, kebahagiaan dan kebebasan. "Ajakan" Beliau masih berlaku sampai saat ini.
Pintu-pintu ke ke Abadi-n telah terbuka,
Marilah, mereka yang dapat mendengar,
berusaha dengan keyakinan.
(Majjhima Nikaya I: 169)
13. Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah satu-satunya praktek keagamaan yang menuju kebebasan Nibbana. Sang Buddha bersabda:
Dari semua jalan, Yang Berunsur Delapan yang terbaik
Dari semua kebenaran, Yang Empat yang terbaik
Dari semua keadaan, bebas dari murka yang terbaik
Dari semua manusia, yang sadar yang terbaik
Inilah Jalan satu-satunya;
Tak ada lain yang bisa menjadikan murni dan sadar.
Jalani Jalan itu,
Dan engkau akan mengatasi Mara.
Jalani Jalan ini,
Dan engkau akan mengakhiri penderitaan.
Saya memaklumatkan Jalan ini,
Ditemukan oleh Saya sendiri.
(Dhammapada: 273-275)
14. Ciri ke tiga dari Jalan Berunsur Delapan adalah bahwa Jalan itu berlaku selamanya. Selama ribuan tahun Jalan itu mungkin tertutup oleh ketidaktahuan atau ketakhyulan, tetapi karena berlaku selamanya, maka niscaya akan ada seseorang yang menemukannya kembali, berubah pandangan karenanya, dan mengajarkannya kembali demi kebaikan umat manusia. Demikian pula, berabad-abad sebelum ini, Jalan itu telah pernah diketahui tapi lalu terlupakan, lalu diketemukan kembali dan diajarkan oleh Buddha Gotama. Inilah, seperti yang dikatakan Sang Buddha "Jalan lama yang masih tetap berlaku dan akan senantiasa demikian."
Sama halnya, andaikata ada seorang mengembara didalam hutan, lalu menemukan suatu jalan tua, jalan-setapak tua, dilewati oleh orang-orang di masa-masa sebelumnya, yang bila diikuti terus, akan sampai ke suatu kota kuno, suatu benteng agung kuno yang dihuni oleh orang masa lampau, dengan taman-taman dan hutan-hutannya, dengan penampungan air dan tembok-temboknya suatu tempat yang sangat indah. Lalu, seandainya pengembara itu menyampaikan penemuannya pada raja atau menteri, dengan berkata: "Tuan, ketahuilah, saya telah menemukan suatu kota kuno. Pugarlah tempat itu." Lalu, seandainya kota kuno itu dipugar, menjadi cerah, berkembang, dihuni, terisi oleh wangsa-wangsa, dan bertumbuh serta bertambah luas. Demikian pula, saya telah melihat Jalan tua itu, Jalan yang telah dilewati para Buddha Tercerahi di masa-masa sebelumnya. Dan Jalan yang manakah itu? Itulah Jalan Berunsur Delapan. (Samyutta Nikaya II: 105)
15. Dengan melaksanakan langkah-langkah Jalan Berunsur Delapan dalam kehidupan, maka seseorang menjadi Buddhis, dan dengan menghayati kebenarannya dalam batin, yang dengan sendirinya akan timbul setelah melaksanakannya, seseorang akan dapat mencapai Pencerahan.
Pengembara Nandiya bertanya kepada Sang Buddha: "Keadaan apakah, yang bila dikembangkan dan dilaksanakan akan menuntun ke Nibbana, sasarannya adalah Nibbana, bertitik-puncak di Nibbana?"
"Nandiya, ada Delapan Hal, yang bila dikembangkan dan dilaksanakan, menuntun ke Nibbana, sasarannya adalah Nibbana, bertitik-puncak di Nibbana."
"Apa yang Delapan itu?"
"Pengertian Sejati, Pikiran Sejati, Pembicaraan Sejati, Tindakan Sejati, Penghidupan Sejati, Daya-upaya Sejati, Kesadaran Sejati dan Pemusatan-pikiran Sejati."
[Samyutta Nikaya V: 10 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar