Cuplikan
buku : Buddha dan DhammaNya
Oleh : Bhikku Bodhi
Pertanyaan
mengapa ajaran Buddha terbukti sangat atraktif dan mendapatkan pengikut yang
sedemikian besar di antara semua sektor masyarakat India timur laut ialah pertanyaan
yang juga relevan bagi kita sekarang. Bagi kita yang hidup di satu zaman ketika
Buddhisme sedang menunjukkan daya pikat kuat dengan meningkatnya sejumlah
orang, khususnya di antara orang-orang yang tingkat pendidikan dan kemampuannya
untuk merenung telah membuat mereka tidak berbeda dengan tuntutan-tuntutan dari
agama wahyu.
Saya
mempercayai sukses Buddhisme yang luar biasa, juga daya pikatnya pada zaman sekarang,
pada hakikatnya dapat dimengerti dalam hubungan dengan dua faktor. Pertama, tujuan
ajaran. Kedua, ciri-cirinya yang metodologis.
1. Tujuan Ajaran
Berbeda
dari yang disebut agama-agama wahyu, yang menitikberatkan pada keyakinan pada
doktrin-doktrin yang tidak dapat dibantah, Buddha merumuskan ajarannya dengan
satu cara yang secara langsung mengarah pada masalah-masalah yang kritis di
jantung kehidupan manusia – masalah penderitaan - dan beliau menjamin
bahwa orang-orang yang mengikuti ajarannya hingga akhirnya akan merealisasi
kebahagiaan dan kedamaian tertinggi di sini dan saat ini.
Semua
persoalan lain yang diluar ini, seperti dogmadogma teologis,
keruwetan-keruwetan metafisik, ritual-ritual dan peraturan-peraturan
penyembahan, Buddha mengesampingkannya diluar karena tidak relevan dengan tugas
utamanya, yaitu menyelesaikan masalah penderitaan.
Kebenaran
Dhamma yang pragmatik (bersifat
praktis) secara jelas digambarkan di dalam berbagai teks dengan sebuah insiden
yang berhubungan.
Suatu
ketika seorang bhikkhu bernama Malunkyaputta mengajukan pertanyaan pertanyaan
metafisik yang besar –apakah dunia ini abadi atau tidak abadi, terbatas atau
tidak terbatas, dan lain-lain- dan dia merasa kecewa karena Buddha menolak
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Maka suatu hari Malunkyaputta pergi
kepada Guru dan berkata kepadanya, “Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan itu
untukku atau aku meninggalkan Sangha.”
Buddha
kemudian berkata kepada Malunkyaputta bahwa kehidupan spiritual tidak
bergantung pada jawaban-jawaban atas pertanyaan itu, yang hanya merupakan
selingan-selingan dari tantangan yang nyata untuk mengikuti sang jalan.
Beliau kemudian membandingkan orang metafisik dengan orang yang
terpanah oleh anak panah beracun. Ketika para kerabatnya membawa obat penawar,
orang itu berkata kepadanya, “Aku tidak membiarkan kamu mencabut anak panah ini
sebelum kamu membolehkan aku mengetahui nama orang yang memanahku, jenis busur
yang digunakan, dari bahan apa anak panah ini dibuat, dan jenis racun apa yang
digunakan.”
Kata Buddha, orang itu akan mati sebelum anak panah tercabut;
demikian pula dengan orang metafisik itu, yang tertancap oleh anak panah
penderitaan, akan mati tanpa pernah menemukan jalan untuk mencapai kebebasan.
Buddha
bukan hanya menjadikan penderitaan dan kebebasan dari penderitaan sebagai fokus
ajarannya, tetapi beliau mencermati problem penderitaan dengan satu cara yang
menunjukkan tingkat pengetahuan psikologis yang luar biasa.
Seperti
seorang psikoanalis, Buddha meruntut (menelusuri) penderitaan hingga akarnya di
dalam pikiran kita, hingga nafsu keinginan dan keterikatan kita, dan beliau
mengatakan bahwa cara pengobatan, solusi untuk problem penderitaan, juga harus
diperoleh di dalam pikiran kita.
Untuk
mendapatkan kebebasan dari penderitaan dengan berdoa kepada suatu makhluk
tingkat tinggi, menyembah bendabenda suci (keramat), mengikatkan diri kita pada
ritual dan upacara merupakan hal yang sia-sia. Karena penderitaan muncul dari
kotoran-kotoran batin kita sendiri, kita harus menyucikan batin kita dari
kotoran-kotoran tersebut, dari keserakahan, kebencian, dan ketidaktahuan, dan
hal ini menuntut kejujuran batin yang sedalam-dalamnya.
Sementara
agama-agama lain membimbing kita keluar -kearah gagasan-gagasan tentang satu
makhluk tingkat tinggi yang menentukan nasib kita, atau ke abstraksi-abstraksi
filosofis yang melangit seperti gagasan tentang satu diri universal atau
realitas yang tidak mendua dimana semua perlawanan dipisahkan- Buddha membimbing
kita kembali ke diri kita sendiri, selalu menjaga ajarannya selaras dengan
faktafakta yang sulit dari pengalaman. Beliau menempatkan pikiran di muka
analisisnya dan mengatakan bahwa pikiranlah yang mempolakan tindakan-tindakan
kita, pikiranlah yang membentuk nasib kita, pikiranlah yang membimbing kita
menuju kesengsaraan atau kebahagiaan. Titik awal dari ajarannya ialah pikiran
yang umum, yang berada dalam keterikatan dan subjek bagi penderitaan; titik
akhirnya adalah pikiran yang tercerahkan, yang tersucikan sepenuhnya dan
terbebaskan dari penderitaan. Seluruh ajarannya terbentang diantara kedua titik
tersebut, mengambil rute yang paling langsung.
2. Ciri-ciri Khas Ajaran
a.
Ketergantungan pada diri sendiri.
Diskusi
tentang tujuan dari ajaran Buddha ini membimbing kita pada ciri-ciri khas
ajaran. Salah satu dari ciri-cirinya yang menarik, yang sangat berhubungan
dengan orientasi psikologisnya, ialah penekanannya pada ketergantungan pada
diri sendiri. Bagi Buddha, kunci untuk kebebasan ialah kesucian batin dan
pengertian yang benar, dan karena alasan ini beliau menolak gagasan bahwa kita
dapat memperoleh keselamatan dengan bergantung pada kekuasaan eksternal (di
luar diri). Beliau bersabda,
“Oleh
diri sendiri kejahatan dilakukan,
Oleh
diri sendiri seseorang menjadi tercemar.
Oleh
diri sendiri kejahatan tidak dilakukan,
Oleh
diri sendiri seseorang tersucikan.
Kesucian
dan kecemaran tergantung pada diri sendiri;
tak
satu pun orang yang dapat menyucikan orang lain.”
(Dhammapada,
v. 165).
Tekanan
pada usaha manusia ini, pada kemampuan kita untuk membebaskan diri sendiri,
adalah satu ciri yang berbeda pada Buddhisme awal dan memberikan satu penegasan
yang menakjubkan tentang potensi manusia. Buddha tidak mengklaim suatu status
keilahian bagi diri sendiri, maupun menyatakan bahwa dirinya adalah seorang
pengantar bagi keselamatan manusia. Beliau mengklaim sebagai, bukan seorang
juru selamat, tetapi seorang pembimbing dan guru,
“Kamu
sendiri yang harus berjuang,
Buddha
hanya sebagai penunjuk jalan.
Mereka-mereka
yang bermeditasi dan mempraktikkan sang jalan
akan
terbebaskan dari belenggu kematian”
(Dhammapada,
v. 276).
Sepanjang
pelayanannya beliau mendorong muridmuridnya
“Jadilah
pulau bagi dirimu sendiri,
berlindunglah
pada dirimu sendiri,
tanpa
melihat pada satu perlindungan eksternal.”
Bahkan
di ranjang kematiannya beliau memberikan kepada para pengikutnya sepotong
nasihat terakhir:
“Segala
sesuatu yang berkondisi merupakan subjek bagi kelapukan.
Capailah
sasaran dengan ketekunan.”
b.
Penekanan pada pengalaman.
Karena
kebijaksanaan atau pandangan terang adalah alat utama untuk pencerahan, Buddha
selalu meminta kepada para siswanya untuk mengikuti beliau berdasarkan
pengertian mereka sendiri, bukan karena ketaatan atau percaya begitu saja.
Beliau menyebut Dhammanya “ehipassiko”,
yang berarti “datang
dan lihat untuk dirimu sendiri”. Beliau mengundang para penanya
untuk menginvestigasi ajarannya, mengujinya dalam cahaya pertimbangan dan
intelegensia mereka, dan untuk memperoleh konfirmasi tentang ajarannya bagi
diri mereka sendiri. Dhamma dikatakan sebagai paccatam veditabbo vinnuhiti (dimengerti oleh orang bijaksana secara pribadi)
dan ini membutuhkan intelegensia dan penyelidikan yang berkesinambungan.
Suatu
kali Buddha tiba di kota orang-orang Kalama, yang telah dikunjungi oleh banyak
petapa yang lain. Setiap guru yang berkunjung akan memuji ajaran mereka sendiri
hingga setinggi langit dan menjatuhkan pandanganpandangan para rival (saingan)
mereka, dan hal ini membuat orang-orang Kalama sangat bingung. Maka tatkala
Buddha tiba mereka mendatangi beliau, menerangkan dilemma mereka, dan memohon
agar beliau dapat memberikan suatu bimbingan.
Buddha
tidak memuji ajarannya sendiri dan menyerang para rivalnya. Sebaliknya beliau
berkata kepada mereka, “Adalah wajar bagi kalian
untuk menjadi ragu; keraguan telah muncul di dalam diri kalian tentang berbagai
hal yang meragukan. Wahai orang-orang Kalama, janganlah bergantung pada tradisi
lisan, atau pada silsilah para guru, atau pada kitab-kitab suci, atau pada
logika abstrak. Janganlah menempatkan kepercayaan yang buta pada
pribadi-pribadi yang mengesankan atau pada guru-guru yang terhormat, tetapi ujilah pokok bahasan tersebut bagi
dirimu sendiri. Jika kalian tahu bagi diri kalian sendiri bahwa sesuatu itu tidak
berguna dan membahayakan (merugikan), maka kalian harus menolaknya. Dan jika
kalian tahu bagi diri kalian sendiri bahwa sesuatu itu baik dan berguna, maka
kalian harus menerimanya dan mempraktikkannya.”
3.
Universalitas.
Karena
ajaran Buddha berhubungan dengan yang paling universal dari semua problem
manusia, yakni problem penderitaan, beliau membuat ajarannya sebagai satu pesan
universal, pesan yang dialamatkan kepada semua insan semata-mata dengan
pertimbangan kemanusiaan. Pada waktu itu Buddha yang muncul di India menyajikan
ajaran-ajaran religius yang lebih tinggi, yang tercatat di dalam kitab-kitab
Veda, yang dipelihara untuk para brahmana, golongan elit yang berkuasa yang
melakukan pengorbanan-pengorbanan dan ritual-ritual untuk orang lain. Orang-orang
awam diceritakan melakukan tugas-tugas mereka dengan satu semangat kemanusiaan
dengan harapan agar mereka dapat memenangkan kelahiran kembali yang lebih
menguntungkan dan dengan demikian dapat mengakses ajaranajaran keramat. Akan
tetapi Buddha tidak menempatkan restriksi
(batasan) pada orangorang yang kepadanya beliau mengajarkan Dhamma. Beliau
mengatakan bahwa apa yang membuat seseorang itu mulia adalah karakter dan
perbuatannya pribadi, bukan keluarganya atau status kastanya. Dengan demikian
beliau membuka pintu kebebasan bagi orang-orang dari semua kelas sosial. Kaum
brahmana, rajaraja dan para pangeran, para pedagang, petani, pekerja (buruh),
bahkan kaum candala (paria, kelompok
diluar kasta yang dipandang oleh masyarakat Hindu sebagai yang berderajat
paling rendah) – semuanya dipersilakan untuk mendengar Dhamma tanpa perbedaan,
dan banyak dari kelas yang lebih rendah mencapai tingkat pencerahan yang
tertinggi.
Di
dalam masyarakat India yang lebih luas, Buddha tidak mencoba mengabolisi sistem
kasta, yang mana, ia tampaknya, belum dikembangkan menjadi sistem yang kompleks
dan opresif seperti beberapa abad kemudian.
Namun,
beliau secara tegas menolak pandangan brahmana yang ortodoks bahwa status kelas
seseorang menunjukkan nilainya yang hakiki.
Di
dalam Sangha, Ordo monastik, beliau menolak sama sekali semua perbedaan kelas
sosial, dengan menyatakan,
“ Bagaikan
air dari empat sungai besar yang mengalir ke samudra raya
dan
menjadi dikenal sebagai air samudra saja,
demikian
pula orang-orang dari semua kelas sosial,
menjadi
para bhikkhu dalam ajaranku,
mereka
melepaskan status sosial mereka
dan
selanjutnya hanya dikenal sebagai siswa-siswa Buddha.”
(Udana
5-5).
Sebagai
bagian dari proyek universalisnya, Buddha juga membuka pintu ajarannya bagi
kaum hawa. Di antara para pengikut brahmanisme, ajaran-ajaran keramat merupakan
dominasi kaum laki-laki. Kaum hawa untuk melakukan tugas-tugas rumah
sepenuhnya, mengurusi suami dan ipar mereka, dan melahirkan anak-anak,
terutama anak laki-laki. Mereka diluar
dari melakukan ritual-ritual vedik dan bahkan ajaran-ajaran Upanishad, dengan
perkecualian-perkecualian yang jarang, yang merupakan hak prerogatif laki-laki.
Sebaliknya
Buddha mengajarkan Dhamma secara bebas kepada kaum adam maupun kaum hawa.
Semula beliau meragukan untuk membangun ordo bhikkhuni, karena ini akan menjadi
satu langkah radikal dalam zamannya, tetapi begitu beliau setuju untuk
membangun sangha bhikkhuni, para perempuan dari semua status –para putri raja,
ibu rumah tangga, dara-dara dari keluarga yang baik, pelayan-pelayan perempuan,
bahkan yang semula pelacur- pergi bergabung dan mencapai tujuan tertinggi.
4. Satu
Kode Etik.
Satu
aspek dari universalisme Buddha berhak mendapat sebutan khusus: ini adalah
konsepsinya tentang satu kode etik universal. Adalah sangat ekstrim untuk
mengatakan bahwa Buddha adalah guru agama pertama yang merumuskan kode moral,
karena kode-kode moral dari jenisjenis yang berbeda telah diletakkan sejak awal
peradaban. Namun mungkin tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Buddha adalah salah
satu dari guru-guru paling awal yang memisahkan prinsip-prinsip moral dari
pabrik norma-norma sosial dan peradaban-peradaban komunal yang kompleks dengan
mana mereka biasanya berhubungan.
Dengan
kematangan pikiran yang tajam, Buddha menyediakan bagi kita satu prinsip abstrak
untuk digunakan sebagai bimbingan dalam menentukan peraturan dasar moralitas.
Ini
adalah peraturan tentang “memperlakukan diri sendiri sebagai satu standar”
untuk menentukan bagaimana memperlakukan orang lain. Dari prinsip yang abstrak
ini, beliau mendasarkan empat peraturan utama dari kode moralnya: abstain dari membunuh, mencuri, pelanggaran
seksual, dan berbohong. Untuk kepentingan kesejahteraan perorangan dan harmoni
di masyarakat, Buddha menambahkan yang kelima: abstain dari minuman keras.
Secara bersama-sama, semuanya itu memberikan kepada kita Lima Peraturan (Pancasila) kode moral yang mendasar dari Buddhisme.
Akan
tetapi, Buddha tidak hanya memandang moralitas sebagai satu perangkat peraturan
yang didasarkan pada pertimbangan yang sehat. Beliau mengajarkan bahwa ada hukum
universal yang menghubungkan perbuatan kita dengan “nasib” kita, yang menjamin
bahwa penegakan moral akhirnya tersedia di dunia ini. Ini adalah hukum karma dan buahnya, yang menyatakan bahwa tindakan-tindakan
intensional kita (yang disengaja) menentukan jenis kelahiran kembali yang kita
ambil dan berbagai pengalaman yang kita alami dalam perjalanan hidup kita.
Hukum ini benar-benar tak pandang bulu dalam operasinya. Ia tidak memberikan
satu perlakuan yang istimewa; ia tidak mengenal VIP atau favorit-favorit,
tetapi bekerja dengan uniformitas (keseragaman)
mutlak terhadap semuanya. Mereka-mereka yang melanggar hukum moralitas –tidak
peduli dari kelas tinggi atau kelas rendah, kaya atau miskin memperoleh karma
buruk dan pasti menderita sebagai akibatnya: kelahiran kembali yang buruk dan
kesengsaraan di masa depan.
Mereka-mereka
yang taat pada peraturan moral, yang melakukan perbuatan bajik, memperoleh karma
baik yang mengakibatkan keberuntungan di masa depan: kelahiran kembali yang
baik, kehidupan yang bahagia, dan kemajuan di jalan menuju kebebasan akhir.
Untuk
menyesuaikan orientasi psikologis dari ajarannya, Buddha memberikan perhatian khusus
pada pertumbuhan moralitas yang subjektif. Beliau menelusuri tingkahlaku amoral
hingga tiga faktor mental yang disebut “tiga akar negatif”, yakni: keserakahan, kebencian,
dan delusi (pandangan sesat, ketidaktahuan); dan beliau menelusuri tingkahlaku
yang baik hingga perlawanan mereka, tiga akar positif: tanpa keserakahan atau kemurahan hati,
tanpa kebencian atau kebaikan hati, dan tanpa delusi atau kebijaksanaan. Beliau
juga mengarahkan kita ke level interior yang lebih baik atau kesucian etis yang
dapat dicapai dengan mengembangkan -dalam meditasi- empat sikap mulia yang disebut
“kediaman
brahma” (Brahma-vihara).
Keempatnya
adalah cinta kasih (metta), menginginkan orang
lain bahagia dan sejahtera; belas kasih (karuna),
menginginkan agar semua makhluk yang terjangkit penderitaan terbebaskan dari
penderitaan; sukacita
altruistik (mudita),
bersukacita dalam kebahagiaan dan sukses orang lain; dan keseimbangan batin (upekkha), pikiran yang tidak memihak.
Keempat
sikap mulia itu harus dikembangkan secara universal kepada semua makhluk tanpa
perbedaan atau diskriminasi.
Sebelum
saya menutup ada satu lagi ciri dari metode Buddha yang ingin saya sebutkan.
Ini
adalah apa yang dapat dinamakan “ketrampilan dalam pelbagai cara”. Melalui pencapaian
meditatifnya yang dalam dan kebijaksanaannya yang cemerlang, Buddha memiliki
kemampuan khusus untuk menemukan cara yang cocok (pas) untuk mengajar
orang-orang yang datang kepadanya untuk meminta bimbingan. Beliau dapat membaca
apa yang tersembunyi di dalam lubuk hati seseorang, mencerap bakat dan minat
orang itu, dan menentukan ajarannya dengan cara yang tepat yang dibutuhkan
untuk mengubah orang itu dan membimbing dia di jalan kebebasan.
Teks-teks
menyuguhkan banyak contoh tentang ketrampilan pedagogik (bersifat mendidik) tertinggi dari Buddha. Di sini saya
hanya akan menyajikan dua contoh yang terkenal. Per tama adalah kasus
Angulimala, seorang pembunuh berantai yang hidup di hutan Kosala di luar
ibukota Savatthi.
Angulimala berulangkali
menyerang orang-orang yang melakukan perjalanan, membunuh mereka, dan memotong
jari-jari mereka, yang ia untai menjadi sebuah kalung yang melingkari lehernya.
Dia telah membunuh ratusan orang dan menimbulkan rasa takut di seluruh kerajaan.
Dia “ingin mati atau hidup”, tetapi tak seorang pun yang memiliki keberanian
untuk mendekati dia. Namun Buddha melihat dengan pandangan supra naturalnya
bahwa Angulimala memiliki sisi lain dalam karakternya: betapa pun ganasnya dia,
dia memiliki potensi yang tersimpan untuk menjadi seorang Arahat, seorang suci.
Demikianlah, suatu hari, seorang diri, beliau berangkat ke hutan dimana
Angulimala berdiam.
Tatkala
Angulimala melihat Buddha, dia berpikir, “Ah, sekarang aku akan membunuh petapa
ini dan memotong jarinya untuk kalungku.” Dia mulai mengejar beliau dengan pisaunya
yang diangkat di udara. Karena Buddha, sementara berjalan dengan pelahan, telah
melakukan satu perbuatan besar dengan kekuatan batinnya yang sedemikian rupa sehingga
Angulimala, yang mengejar dengan segenap kemampuannya, tidak dapat mendekati
beliau. Angulimala mengejar dan mengejar tetapi tidak dapat memperpendek jarak
sedikit pun. Kemudian dia berteriak, “Berhenti, petapa, berhenti!” Buddha
menjawab, “Aku telah berhenti, Angulimala, kamu juga harus berhenti.”
Pernyataan
ini memiliki dampak kuat pada sang kriminal, dampak kuat yang menembus hingga
ke dasar hatinya yang terdalam. Dia menyadari bahwa petapa di hadapannya adalah
guru kondang, Yang Tercerahkan, dan dia tahu bahwa Buddha telah datang kepada dirinya
karena belas kasih, untuk menyelamatkan dirinya dari perbuatannya yang
mengerikan. Dia melemparkan pisaunya, menyembah di kaki sang Guru, dan mohon untuk
diterima sebagai seorang bhikkhu. Buddha menerima dia ke dalam Sangha dan setelah
melalui satu periode waktu yang pendek Angulimala menjadi seorang Arahat, yang benar-benar
bijaksana dan penuh belas kasih.
Kisah kedua berkenaan dengan
perempuan bernama Kisagotami. Dia adalah seorang perempuan yang miskin yang
telah menikah dengan satu keluarga yang kaya, tetapi dia tidak memiliki anak
dan kemudian dihina oleh para iparnya. Hal ini membuat dirinya sangat menderita.
Namun beberapa waktu kemudian dia hamil dan melahirkan seorang anak lakilaki, yang
menjadikan sumber sukacita luar biasa bagi dirinya. Bahwa sekarang dia telah membawa
satu ahli waris untuk kekayaan mereka, setiap orang lain dalam keluarga suaminya
juga menerima dia. Namun beberapa bulan setelah kelahirannya anak itu mati, dan
Kisagotami menjadi putus asa. Dia menolak untuk mempercayai bahwa bayinya telah
mati, tetapi meyakinkan diri sendiri bahwa anaknya hanya sakit. Maka dia pergi
ke mana-mana meminta kepada orang-orang untuk memberi dirinya obat untuk
anaknya.
Masyarakat
kota menertawakan dia dan menghina dia, menyebutnya perempuan gila, hingga
akhirnya dia tiba di hadapan Buddha. Ketika dia meminta Buddha untuk memberi obat,
beliau tidak memberi dia satu khotbah indah tentang ketidakabadian. Buddha
berkata kepadanya bahwa beliau sesungguhnya dapat membuat suatu obat untuk
anaknya, tetapi lebih dahulu dia harus membawa kepadanya satu ramuan: biji-biji
lada dari satu rumah yang belum pernah mengalami kematian satu pun dari anggota
keluarnya. Cukup optimistik, dia pergi dari rumah ke rumah, meminta bijibiji lada.
Di setiap pintu orang-orang siap memberi dia biji-biji lada, tetapi ketika dia bertanya
kepada si pemberi apakah pernah terjadi kematian atas seseorang di dalam rumah
itu, dia diberitahu, “Di sini seorang ayah telah mati, di sini seorang ibu
telah mati, di sini seorang istri telah mati, di sini seorang suami telah mati,
seorang saudara laki-laki, seorang saudara perempuan telah mati,” dan sebagainya.
Dia
kemudian dapat mengetahui bahwa kematian merupakan “nasib” universal semua makhluk
hidup, bukan sebuah bencana unik yang menimpa anaknya. Maka dia kembali kepada
Buddha, sekarang menyadari tentang hukum ketidakabadian yang universal. Ketika Guru
melihat dia kembali, beliau bertanya kepadanya, “Apakah kamu membawa biji-biji lada,
Gotami?” Dan dia menjawab, “Melakukan kesibukan ini untuk biji-biji lada, guru.
Berilah aku tempat perlindungan.” Buddha menahbiskan dia sebagai seorang
bhikkhuni, dan tak lama kemudian dia merealisasi tujuan tertinggi dan menjadi
salah satu bhikkhuni yang paling eminen (unggul)
di dalam Sangha atau Ordo Bhikkhuni.
Secara
singkat, misi
Buddha adalah membangun satu jalan menuju kesempurnaan spiritual, menuju
pencerahan penuh dan Nibbana, kebebasan dari penderitaan. Beliau melakukan
hal itu dengan mendalami satu ajaran yang memperkenalkan kapasitas kita untuk
mencapai kesempurnaan spiritual yang juga masih tetap menghargai sepenuhnya intelegensia
dan otonomi umat manusia.
Pendekatannya
bersifat psikologis dalam orientasi, tidak dogmatik, pragmatik, dan terbuka
terhadap investigasi. Beliau menekankan usaha sendiri, penegakan moral, dan
tanggungjawab pribadi, dan beliau mengumumkan pesannya secara universal, menyatakan
bahwa potensi untuk perkembangan spiritual dan bahkan untuk pencerahan
tertinggi dapat dicapai oleh siapa saja yang melakukan usaha yang tepat.
Faktorfaktor inilah yang memberikan kepada ajaran Buddha yang “kuno” kesan
modern yang sedemikian jelas, yang membuatnya begitu relevan bagi kita pada
berbagai zaman dengan gagasan-gagasan yang berubah dan nilai-nilai yang
berganti.
-oOo-