Senin, Juli 28, 2014
Melihat Segala Sesuatu Sebagaimana Adanya
MELIHAT SEGALA
SESUATU SEBAGAIMANA ADANYA
Oleh
: Upa. Amaro Tanhadi
Kita mungkin memiliki
sebuah cincin emas bertabur intan permata. Kita merasa bahwa itu adalah sesuatu
yang indah dan sangat berharga. Dari sisi cincin itu sendiri, ia eksis dengan
cueknya. Cincin itu tidak punya apapun untuk dikatakannya, hanya kitalah yang
punya perasaan mengenainya.
Jika kita tidak
menyukai cincin itu, ia tidak akan terpengaruh. Itu urusan kita. Ketika kita
menyukai cincin itu, ia juga tidak akan terpengaruh. Cincin itu tidak peduli,
ia tetap sebagaimana adanya. Hanya diri kitalah
yang memiliki perasaan suka dan tidak suka ini dan lalu melekat pada perasaaan
itu. Kita hanya membuat diri kita sendiri menjadi sinting, itu saja.
Kita tidak perlu
melarikan diri ke tempat manapun, kita hanya perlu melihat dan menyelidiki hal
ini. Tak peduli betapa pun batin tertarik atau tergila-gila oleh cincin itu, ia
hanyalah sebuah benda yang dapat mengalami kerusakan, karena sifat dari segala sesuatu (fenomena) adalah senantiasa
tiada henti berubah dan memiliki ciri ketidaktetapan (Anicca), tidak memuaskan
(dukkha), dan ketiadadirian (Anatta). Mereka tak lain dan tak bukan hanyalah itu,
namun kita memberi segala sesuatu lebih banyak makna ketimbang yang sebenarnya
mereka miliki.
Keindahan,
kenikmatan, kebahagiaan, ketidakbahagiaan, kesukaan, keheningan, keresahan dan
semua pengalaman tanpa kecuali adalah mutlak semuanya tidak pasti, karena
ketidaktetapan adalah sifat alami mereka. inilah yang seharusnya kita ketahui
dan kita renungi sepanjang waktu, dimanapun kita berada.
Sang
Buddha mengajarkan kepada kita untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya,
bagaimana segala sesuatu berkontak dengan batin dan bagaimana batin bereaksi. Fenomena apa pun yang muncul tidaklah tetap,
setelah muncul, mereka akan berlangsung dan lenyap. Setelah lenyap, mereka akan
muncul lagi, berlangsung dan lenyap kembali.
Namun kebanyakan dari
kita menjadi bingung, kita tidak menginginkan sesuatu yang baik, menyenangkan
dan membuat kita bahagia itu mengalami perubahan dan lenyap, namun tentu saja
hal itu tidak realistik.
Sang
Buddha menginginkan kita untuk pertama-tama melihat realita dan mengetahui
hal-hal ini bersifat semu, tidak tetap dan mengelabui; Jika kita tidak
mengetahui mereka sebagaimana adanya, maka kita akan menjadi pemilik mereka,
dan perangkap pandangan tentang adanya diri pun muncul. Sehingga kita selamanya
akan terjerat dalam lingkaran dukkha yang tiada berakhir.
Hanya ketika kita
telah memahami dan mengalami kebenaran segala sesuatu sebagaimana adanya,
barulah kita bisa berada dalam keheningan dan kedamaian. Jadi apa pun yang
terjadi, kita memahami hal ini, dan kita tidak akan terjerat dalam apa pun.
Inilah Jalan Batin
itu, inilah Jalan Dhamma dan inilah Jalan yang telah ditunjukkan oleh Sang
Penunjuk Jalan, Sang Buddha.
Sumber : (Terinspirasi oleh Ceramah Dhamma Ven. Ajahn Chah- dalam bukunya
: Ini Pun Akan Berlalu).
Yaṁ kiñci samudaya dhammaṁ
sabbaṁ taṁ nirodha dhammaṁ
Apa pun yang muncul
Semua itu pasti berlalu
(Samyutta Nikaya 56.11)
-oOo-
Jumat, Juli 25, 2014
Agama Manakah yang Paling Benar dan Menganggap Agama Lainnya adalah Salah?
AGAMA MANAKAH YANG PALING BENAR
DAN MENGANGGAP AGAMA LAINNYA ADALAH
SALAH?
Upa. AmaroTanhadi
Seorang
umat Buddha yang memahami Ajaran Sang Buddha tidak pernah menilai agama lain
adalah salah!
Semua agama mengajarkan suatu norma atau nilai cinta kasih,
kebajikan, kesabaran, kemurahhatian, dan tanggung jawab sosial. Dan semuanya
menerima keberadaan “SESUATU YANG BERSIFAT MUTLAK”.
Mereka memakai bahasa yang berbeda-beda, istilah yang
berbeda, dan simbol yang berbeda untuk menggambarkan dan menjelaskan hal itu.
Sebagai ilustrasi, ada empat orang sahabat, Inggris,
Perancis, Cina dan Indonesia. Mereka sedang membicarakan sebuah cangkir.
Si orang Inggris berkata, “Benda ini adalah CUP.”
Si orang Perancis menimpali, “ Bukan, ini adalah TASSE.”
Si orang Cina tak mau kalah, “ Kalian salah, ini adalah PEI.”
Si orang Indonesia menertawakan ketiganya, “ Sungguh tolol
kalian, ini adalah CANGKIR.”
Karena tidak puas, mereka pun mengambil kamusnya
masing-masing, dan bersitegang saling menyalahkan kamus sahabat lainnya.
Sementara mereka saling berselisih dan berdebat, seorang umat
Buddha datang, menuang air ke dalam cangkir tersebut, dan minum darinya.
Kemudian dia berkata, “ Apapun yang kalian namakan, cup,
tasse, pei atau cangkir, BENDA ini dibuat untuk DIGUNAKAN. Berhentilah berdebat, pakailah benda ini, jangan berselisih
terus, hilangkan dahagamu dengan menggunakan benda ini.”
Inilah sikap umat Buddha terhadap agama lain.
Sumber : Good Questions, Good Answers – Ven.S.Dhammika
-oOo-
Langganan:
Postingan (Atom)