SABDA LUHUR SANG BUDDHA
Suvijano bhavam hoti, Suvijano parabhavo
Dhammakamo bhavam hoti, Dhammadessi parabhavo
Kesejahteraan
dalam kehidupan adalah wajar,
kemerosotan
dalam kehidupan juga adalah wajar.
Seseorang
yang mencintai Dhamma akan sejahtera,
Seseorang
yang membenci Dhamma akan merosot.
(Sutta
Nipâta. 92)
Tragedi Kemanusiaan
Masa keemasan suatu bangsa adalah hal yang sangat
diidam-idamkan oleh setiap anak bangsa, masa yang penuh kegemilangan,
kedamaian, dan juga sejahtera. Namun, tidakkah kita tahu, bahwa semua itu
adalah proses. Masa keemasan ini bisa bersifat historis, bisa juga bersifat
konstruksi romantisme yang berbaur dengan emosi dan keyakinan keagamaan
sehingga selalu dirujuk dan dijadikan model kehidupan masa depan. Seberapa relevan
konstruksi sejarah masa lalu untuk memecahkan kompleksitas problem hari ini?
Harapan masa keemasan memang menjadi idaman, namun terkadang
hanya tinggal harapan saja. Marilah kita lihat kondisi saat sekarang ini!
Tindakan-tindakan kekerasan mewarnai segala aspek kehidupan. Dalam dunia ini
hampir sebagian besar umat beragama dan mereka tak segan-segan menonjolkan
keagamaan mereka dengan identitas-identitas luar, seperti tradisi, budaya,
lambang-lambang agama, dan kekuatan mayoritas.
Memang, agama mempunyai peran yang nyata dalam kehidupan ini,
tetapi kenapa semua ini terjadi? Apakah agamanya yang salah? Terkadang kita
terlalu idealisasi-romantisme terhadap kejayaan agama di masa lalu, sering
dianalogikan seperti orang yang memandang gunung dari kejauhan yang tampak
indah dan nyaman padahal kalau didekati kondisinya sangat jauh berbeda. Maka,
bagi para pendaki gunung atau militer, sadar betul antara perbedaan
"peta" dan "teritorial" Yang pertama berupa gambar di atas
kertas yang begitu sederhana, sedangkan yang kedua adalah realita di lapangan
yang kompleksitasnya tidak terlihat dalam peta. Demikian juga dengan gambaran
masa keemasan sebuah komunitas umat beragama di masa lalu, pada kenyataannya
jika ditelusuri tidak seindah dan sesederhana apa yang ditulis ataupun
diceritakan orang.
Gambaran yang nyata terjadi pada kehidupan sekarang ini,
hanya demi ego, banyak orang yang melakukan tindakan yang tidak
berperikemanusiaan. Penyimpangan moralitas hampir terjadi setiap saat dan
mereka sangat bangga dengan apa yang dilakukan. Tragedi kemanusiaan melanda
dunia ini, perang terjadi di mana-mana, seolah-olah perang adalah solusi
terbaik dalam penyelesaian masalah. Tragedi kemanusiaan di Afrika, Timur
Tengah, Asia, dan khususnya di Indonesia
sendiri telah menelan banyak korban.
Kenapa manusia mudah untuk menyakiti, menyiksa, membunuh,
menjarah, memperkosa dan melakukan tindakan-tindakan amoral lainnya? Semua
orang tidak menginginkan penderitaan tetapi kenapa mereka membuat orang lain
menderita? Padahal mereka semua beragama, tentunya kita harus berpikir objektif
untuk melihat realita kehidupan ini. Para
penegak kemanusiaan juga selalu mendengung-dengungkan Hak Asasi Manusia tetapi
kenyataannya sama sekali belum terwujud. Tragedi kemanusiaan seperti tak pernah
pudar bahkan semakin menjadi-jadi. Kapan tragedi ini akan berakhir? Tentunya
hal ini menjadi bahan perenungan setiap insan manusia.
Beragama Yang Tidak Anarkis
Tragedi kemanusiaan telah terjadi, memang kita tidak
mengharapkan semua itu terjadi. Hanya saja peristiwa-peristiwa tragis tersebut
menimbulkan pertanyaan bagi kita. Kenapa mereka mengatasnamakan kebenaran dalam
melakukan sesuatu yang dapat dikatakan anarkis dan sangat merugikan orang lain?
Apakah agama memang melegalkan cara-cara yang anarkis? Tentunya agama mengajak
untuk menciptakan cinta, kedamaian, dan kesejahteraan, hanya saja manusianya
yang tidak bisa merealisasikan agama itu dalam kehidupan sehari-hari.
Kebanyakan orang beragama hanya sekadar beragama, sehingga mereka tidak mau
tahu. Terkadang agama hanya dijadikan alat untuk memuaskan keakuannya sehingga
mereka melakukan tindakan yang menyimpang dan menghina agama yang lain.
Semasih manusia beragama hanya sebatas tradisi, budaya,
ritual dan hanya berhenti pada kepuasan intelektual semata, maka tidak akan ada
perubahan. Agama mengajak kita untuk merubah pola pikir yang menuju ke arah
kebaikan. Agama yang direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari akan membawa
kepada tingkat kualitas batin yang sempurna, tentunya perjuangan ke arah itu
tidak sekonyong-konyong tetapi secara bertahap.
Agama yang sesungguhnya mempunyai arti sangat ideal sebagai
perekat, tali persaudaraan, faktor ketentraman kehidupan, tenyata berbalik
menjadi alat legitimasi perilaku yang menakutkan, mencemaskan (anarkis). Agama
dalam tataran realitas justru sering kali dieksploitasi umatnya untuk
kepentingan sesaat, baik pribadi maupun kelompok. Hal-hal seperti inilah yang
membuat terpuruknya kondisi dan situasi sekarang ini.
Dapatkah kita beragama tanpa harus merugikan kepentingan
pihak lain? Kita kembalikan ke tujuan agama yang sebenarnya, agama tidak
mengajak kita untuk menyakiti, menyiksa, membunuh, menjarah, memperkosa,
menipu, perang, tetapi agama mengajak kita untuk menjadi orang yang
berkualitas. Kualitas keagamaan yang baik akan membawa kebahagiaan semua orang.
Tetapi kenyataannya sekarang ini sangat lain dari harapan-harapan yang positif
itu.
Beragamalah yang benar dengan memahami agama secara benar dan
merealisasikan agama itu dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai mengatakan
agama saya yang benar sedangkan yang lain salah, hal ini akan merusak suasana
kedamaian dan ketentraman. Hilangkan motivasi-motivasi yang tidak baik dalam
beragama sehingga nantinya kita sampai pada pemahaman agama yang benar.
Seorang raja besar di India patut dijadikan contoh untuk
perealisasian agama di tengah-tengah masyarakat yang beragam tanpa harus
merugikan yang lain. Raja Asoka mampu mensosialisasikan Buddha Dhamma tanpa
merugikan pihak lain, dalam prasasti di atas batu cadas terdapat tulisan yang
indah yang berbunyi:
“ ......janganlah kita
menghormat agama sendiri dengan mencela agama
lain tanpa suatu dasar yang
kuat
Sebaliknya, agama orang lain
pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian,
kita telah membantu agama kita sendiri untuk berkembang, di samping pula
menguntungkan agama lain.
Dengan berbuat sebaliknya, maka
kita akan merugikan agama kita sendiri di samping merugikan agama lain. Oleh
karena itu, barang siapa menghormat agamanya sendiri dengan mencela agama orang
lain semata-mata karena dorongan rasa bakti kepada agamanya sendiri dengan
berpikir, `bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri', malah akan
merugikan agamanya sendiri.
Oleh karena itu, kerukunanlah
yang dianjurkan, dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya juga bersedia
mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain ... ."
Kata-kata yang sangat indah, betapa damainya kehidupan ini
jika hal ini dilakukan oleh setiap orang yang beragama. Tidak ada lagi
tindakan-tindakan kekerasan, tindakan anarkis yang membawa kecemasan dan
ketakutan.
Cinta, damai, dan sejahtera bukan milik kelompok tertentu
tetapi milik semua orang, oleh karena itu, kita harus menjaganya dengan baik,
realisasikan agama dalam kehidupan kita, baik di lingkungan keluarga,
organisasi, dan masyarakat. Agama adalah perekat kemanusiaan, karena dalam
agama terkandung nilai-nilai kemanusiaan.
Persoalan setiap orang sebenarnya sama walaupun berbeda agama
sekalipun. Persoalannya adalah tiga akar kejahatan yang bersarang dalam diri
kita. Keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin adalah akar kejahatan yang
menghinggapi kita dan jika dibiarkan akan menjadi bibit penyakit yang nantinya
menimbulkan penyakit mental.
Penyakit mental inilah yang bisa menyebabkan terjadinya
tindakan yang anarkis dalam menghadapi kondisi kehidupan ini. Dalam diri kita
akan muncul perasaan tidak senang dengan pihak lain yang tidak sependapat.
Terjadinya pembelaan terhadap agamanya sendiri dan mengesampingkan agama lain
karena tidak adanya realisasi agama dalam kehidupan sehari-hari.
Sang Buddha bersabda,
"Walaupun
ia banyak membaca kitab-kitab suci tetapi tidak berbuat sesuai ajaran; maka
orang yang tidak peduli ini bagaikan seorang penggembala sapi yang menghitung
sapi orang lain; ia tidak akan memperoleh manfaat kehidupan suci".
(Dhammapada I.19)
Dari sabda Sang Buddha tersebut dengan jelas diterangkan akan
perlunya realisasi Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari. Bentuk realisasi
dalam kehidupan ini salah satunya adalah mengembangkan cinta, kedamaian, dan
kesejahteraan di manapun kita berada. Dengan adanya aspek positif ini kita bisa
hidup berdampingan dengan orang lain atau kelompok lain walaupun banyak
perbedaan dan yang berkembang adalah suasana keharmonisan dalam kehidupan.
Pola beragama kita masih cenderung sepotong-sepotong dan
tidak utuh. Sehingga tampilan perilaku umat beragama terkesan hanya menonjolkan
aspek tertentu dan mengabaikan aspek yang lain. Hakekat agama tidak hanya
diamalkan secara ritual formal, yang lebih penting adalah penerapan agama dalam
kehidupan sehari-hari.
Bentuk-bentuk perilaku yang tidak
santun (anarkisme) di kalangan pemeluk agama ternyata disebabkan oleh
pengamalan agama (keberagamaan) yang hanya sebatas aspek ritual formal
keagamaan. Tidak heran jika ada orang yang mengaku beragama tetapi tindakannya
tidak mencerminkan orang yang beragama.
Mengatasi Kemerosotan Beragama
Jika pada masa lalu hubungan antara identitas agama dan budaya sedemikian menyatu di bawah kepemimpinan figur karismatis, kini wilayah budaya di luar agama berkembang melesat dan menghasilkan jaringan peradaban yang menyeluruh sehingga posisi agama merupakan salah satu variabel saja. Menghadapi kenyataan ini, sikap umat beragama beraneka-ragam.
Sikap yang beraneka-ragam ini dikarenakan pemahaman terhadap
agama itu sendiri berbeda. Tentunya di samping kualitas manusianya yang berbeda
juga karena masing-masing orang mempunyai motivasi yang tidak sama. Hal ini
dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kemajuan jaman yang tidak
diimbangi dengan sumber daya manusia, baik mental maupun spiritual akan
membahayakan kehidupan ini. Ambisi inilah yang mewarnai kehidupan dewasa ini.
Orang berlomba-lomba mendapatkan materi, jabatan, kedudukan, dan warna-warna
duniawi lainnya.
Bukan berarti agama mengajak kita semua untuk tidak maju
dalam duniawi, hanya saja kita harus menggunakan cara-cara yang baik untuk
mendapatkan semua itu. Yang lebih tragis lagi terkadang agama dijadikan alat
untuk memuaskan ambisi.
Marilah kita kembali kepada agama dan benar-benar memahami
agama itu dengan baik. Apa yang akan kita dapatkan jika kita memahami agama dan
merealisasikan dalam kehidupan kita? Tentu ukurannya bukanlah duniawi, seperti:
materi, jabatan, dan kedudukan tetapi perubahan pola pikir, pola ucap, dan pola
tingkah laku jasmani. Tentunya perubahan yang diharapkan adalah mengarah kepada
peningkatan kualitas batin.
Namun, ada hal yang patut dipertanyakan, kalau memang agama
tumpuan harapan yang baik bagi kehidupan, kenapa mental mereka yang beragama
melakukan tindakan penyimpangan? Tindakan korupsi, kolusi, kekerasan dan
gerakan aksi teroris yang menggegerkan dunia internasional. Kondisi seperti
inilah yang membuat kesan citra agama menjadi jatuh. Mitos agama sebagai pusat
peradaban dan misi keselamatan telah redup, diganti mitos baru “agama adalah problem dan sumber
kerusuhan”.
Sebenarnya kalau kita kaji lebih lanjut agama mempunyai
peranan yang sangat penting dalam kehidupan ini, hanya saja karena manusianya
yang tidak memahami secara benar maka terkadang tindakan-tindakannya
menyimpang. Realisasikan agama dalam kehidupan, baik di tengah-tengah keluarga,
organisasi, tempat kerja, masyarakat, dan lingkungan pergaulan lainnya.
Hidupkan suasana persahabatan, persaudaraan, dan kekeluargaan
(wujud dari cinta kasih). Sikap seperti ini tidak akan menghasilkan warna
kekerasan dalam menghadapi problema hidup. Setiap orang tidak ingin hidupnya
disakiti, dianiaya, dan ditelantarkan demikian pula sebaliknya dengan kita.
Oleh karena itu, jangan membuat orang lain celaka dan menyebabkan orang lain
celaka.
Damai dan sejahtera akan berkembang dengan sikap cinta kasih.
Ada hal yang
patut direnungkan yang tertuang dalam Theragâthâ
979,
“Kembangkanlah
pikiran yang penuh cinta kasih;
bersikaplah
welas asih dan terlatih di dalam sila.
Bangkitkan
semangatmu,
bersikaplah
teguh,
senantiasa
mantap dalam membuat kemajuan.”
Suasana kehidupan yang penuh cinta kasih, damai, dan
sejahtera adalah dambaan setiap orang. Ini sesuai misi Dhamma yang disampaikan
kepada para Arahat sewaktu Sang Buddha mengutus mereka untuk menyebarkan
Dhamma. Sang Buddha berkata, “Ajarkanlah
Dhamma ini untuk kebahagiaan dan kesejahteraan semua makhluk.” Jadi tujuan
Dhamma adalah membawa semua makhluk keluar dari penderitaan menuju kebahagiaan.
Kemerosotan beragama terjadi karena banyak orang yang tidak
kembali kepada tujuan sebenarnya dari agama itu sendiri. Kepentingan di luar
agama dicampur-adukan untuk memenuhi ambisi pribadi maupun kelompoknya. Untuk
mengembalikan ke tujuan awal, maka motivasi beragama harus diluruskan kembali.
Kemerosotan dapat diketahui dengan pasti ketika kondisi suatu
masyarakat mengalami penurunan kualitas moral dan tentunya hal ini terjadi
karena mereka tidak lagi mencintai kebenaran. Mereka yang mencintai
kebenaranlah yang akan memperoleh cinta, kedamaian, dan kesejahteraan. Untuk
dapat mencintai kebenaran diperlukan pemahaman agama secara benar dan juga
diperlukan motivasi yang benar.
Motivasi yang benar dalam beragama setidak-tidaknya akan
mendorong diri kita untuk memahami agama secara benar dan utuh, yang terpenting
adalah menindaklanjutinya dalam kehidupan sehari-hari. Jika setiap orang
mempunyai motivasi seperti ini, maka kehidupan yang damai dan sejahtera akan
terwujud. Tindakan amoral dan anarkis tidak akan terjadi lagi dan
keharmonisanlah yang akan berkembang.
Agama Buddha Tanpa Kejahatan
Agama Buddha mengajak kita untuk menjadi orang yang mempunyai
kualitas batin yang baik yang nantinya akan tercermin dalam kehidupan nyata.
Sikap yang membawa berkah cinta, kedamaian, dan kesejahteraan. Kita selalu
dianjurkan untuk berbuat baik kepada semua makhluk. Tidak dianjurkan untuk
melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Perbedaan adalah yang wajar dalam
kehidupan ini, tetapi soal cita-cita untuk dicintai, hidup damai, dan sejahtera
adalah harapan semua orang bahkan semua makhluk. Kalau sudah tahu semua makhluk
mendambakan cinta, kedamaian, dan kesejahteraan, janganlah sampai kita
menyakiti yang lain.
Sebagai contoh yang nyata adalah kepribadian Sang Buddha
sendiri. Kebaikan Beliau yang tak terbatas, tidak hanya ditujukan kepada semua
manusia, tetapi juga pada binatang-binatang. Sang Buddha-lah yang melarang
pengorbanan binatang dan mengingatkan pada pengiku-tNya untuk memancarkan cinta
kasih (mettâ) mereka pada semua makhluk tanpa kecuali. Beliau mengajarkan bahwa
tidak seorangpun mempunyai hak untuk menghancurkan kehidupan lainnya; karena
hidup itu berharga bagi semua orang.
Hendaknya kita mengembangkan cinta kasih kita tanpa
membeda-bedakan. Dengan adanya getaran cinta kasih ini akan muncul suasana
persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan, dan keharmonisan. Hal-hal seperti
inilah yang akan mewujudkan kehidupan ini menjadi aman, damai, dan sejahtera.
Tidak ada permusuhan, peperangan, tindakan anarkis, dan bentuk-bentuk kekerasan
yang lainnya.
Kalau kita lihat sejarah penyebaran agama Buddha, dari awal
sampai saat sekarang ini tidak pernah ada cerita sampai ada darah yang menetes.
Agama Buddha menyebar ke segala penjuru dengan membawa cinta, kedamaian,
kesejahteraan, dan kebahagiaan, hal ini tentunya sesuai dengan Dhamma yang
diajarkan oeh Sang Buddha. Dhamma mengajak kita untuk tidak menyakiti atau
membuat celaka orang lain dan bahkan semua makhluk karena hal ini tidak patut
dilakukan. Seperti halnya sabda Sang
Buddha dalam Sutta Nipâta 705 dapat dijadikan bahan renungan;
“Begini
aku, begitu pula orang lain; begini orang lain, begitu pula aku. Setelah
memiliki penyamaan diri sendiri dengan orang lain seperti itu, hendaklah ia
tidak mencelakai siapapun atau menyebabkan orang lain celaka.”
Asoka, raja terbesar yang beragama Buddha, menulis di atas
karang monolit,
“Makhluk hidup tidak harus diberi makanan dengan
makhluk hidup. Bahkan sekam yang berisi serangga tidak boleh dibakar.” Raja Asoka bukan
hanya menulis tetapi juga menindaklanjuti apa yang ditulis. Pada jaman Raja
Asoka tindakan anti kekerasan betul-betul digalakkan bukan hanya kepada manusia
tetapi juga pada binatang. Dhamma benar-benar merasuk di dalam batin sang raja,
hal ini dapat dilihat dari pola pikir beliau dan juga tindakan-tindakannya.
Seorang umat Buddha sejati harus mempraktikkan mettâ ini
terhadap semua makhuk hidup dan merasakan kesamaan dengan semuanya, tidak
mempunyai perbedaan apapun. Inilah mettâ umat Buddha, salah satu sifat yang
sangat menonjol dari agama Buddha yang mencoba untuk mengatasi semua rintangan
'varna atau kasta', warna kulit dan kepercayaan yang memisahkan seseorang
dengan yang lainnya. Jika penganut dari kepercayaan-kepercayaan yang berbeda
tidak bisa bergaul seperti saudara laki-laki dan saudara perempuan, karena
mereka penganut agama yang berbeda, maka para guru agama telah gagal dalam
tugas mulia mereka.
Di dalam Maklumat Toleransi Raja Asoka mengatakan,
“Kumpulan orang adalah paling baik, maka semua orang diharuskan mendengarkan
dengan kemauan sendiri ajaran yang dinyatakan oleh orang-orang lain”. Dalam hal ini,
perbedaan adalah sesuatu yang alami dan wajar, oleh karena itu kita harus
memahami perbedaan itu dan kita juga seharusnya menyadari bahwa setiap orang
juga mendambakan cinta, damai, dan hidup sejahtera.
Ajaran agama Buddha tidak terbatas pada hubungan bangsa atau
negara tertentu dan pertimbangannya bersifat universal. Bagi umat Buddha tidak
ada jauh atau dekat, tidak ada musuh atau orang asing, tidak ada pengkhianat
atau orang hina-dina, karena cinta universal disadari melalui pengertian telah
membentuk persaudaraan bagi semua makhluk.
Beberapa sifat penting dalam agama Buddha adalah
rasionalitas, kepraktisan, kemanjuran sikap tidak agresif, tidak menyakiti,
toleransi dan berlaku universal. Agama Buddha adalah yang paling mulia dari
semua pengaruh yang mempersatukan dan meningkatkan pikiran yang telah
beroperasi lebih dari dua ribu lima
ratus tahun.
Bangsa-bangsa telah timbul tenggelam. Kerajaan-kerajaan yang
telah berdiri di atas tenaga dan kekuatan telah timbul dengan subur dan
mengalami kehancuran. Sebaliknya Dhamma berdiri di atas cinta dan akal sehat,
masih tumbuh subur dan akan terus tumbuh dengan subur selama
pengikut-pengikutnya berpegang pada dasar-dasar yang mulia.
Dhamma, sumber kedamaian bagi siapa saja, namun untuk
mendapatkannya kita harus berusaha dengan sekuat tenaga dan disertai
pengorbanan yang tinggi. Dhamma yang terealisasi dengan baik akan membawa kita
kepada kehidupan yang penuh dengan cinta, damai, dan sejahtera.
Referensi :
- Sang
Buddha dan Ajaran-Nya, Ven. Narada Mahâthera
-
Dhammasari, MP. Sumedha Widyadharma
-
Permata Dhamma Yang Indah, Ven. S
Dhammika.