KISAH PERBUATAN LAMPAU
SANG BUDDHA
Dhammapada XXI: 290
Suatu ketika, musibah kelaparan melanda kota Vesali,
diawali dengan musim kering yang lama dan keras. Akibat kekeringan itu hampir
semua panen gagal dan banyak orang meninggal dunia karena kelaparan. Hal ini
diikuti oleh penyebaran wabah penyakit. Karena masyarakat tidak lagi mampu
menangani pembuangan mayat-mayat, maka bau busuk di udara menyebar ke
mana-mana. Bau busuk ini menarik perhatian para raksasa. Penduduk Vesali
menghadapi musibah kehancuran yang ditimbulkan oleh kelaparan, penyakit dan
juga kehadiran para raksasa. Dalam kesedihan dan penderitaannya, mereka mencoba
mencari perlindungan. Mereka berpikir untuk mencari bantuan dari berbagai
sumber, namun akhirnya mereka memutuskan untuk mengundang Sang Buddha.
Serombongan utusan dipimpin oleh Mahali, seorang
pangeran suku Licchavi, dan putra brahmana kepala dikirim ke Raja Bimbisara
untuk memohon Sang Buddha berkenan melakukan kunjungan ke Vesali, dan menolong
mereka yang sedang dalam musibah. Sang Buddha mengetahui bahwa kunjungan ini
akan membawa manfaat bagi banyak orang, maka Beliau menyetujui untuk pergi ke
Vesali.
Mendengar Sang Buddha bersama para pengikut akan
mengadakan muhibah ke negara tetangga, Raja Bimbisara memperbaiki jalan dari
Rajagaha sampai ke tepi Sungai Gangga. Ia juga membuat persiapan-persiapan lain
dan mendirikan tempat-tempat beristirahat khusus pada jarak-jarak tertentu
dalam setiap yojana.
Ketika segala sesuatunya telah siap, Sang Buddha
berangkat menuju Vesali bersama lima ratus bhikkhu. Raja Bimbisara juga
menyertai Sang Buddha. Pada hari ke lima mereka sampai di tepi Sungai Gangga
dan Raja Bimbisara mengirim kabar pada pangeran-pangeran Licchavi.
Di tepi sungai seberang, pangeran-pangeran Licchavi
telah memperbaiki jalan dari tepi sungai itu menuju kota Vesali, dan telah
membangun tempat-tempat beristirahat seperti yang telah dilakukan oleh Raja
Bimbisara di sisi sungai wilayahnya. Sang Buddha pergi menuju Vesali dengan
diiringi pangeran-pangeran Licchavi namun Raja Bimbisara tetap tinggal di tepi
sungai wilayahnya.
Segera setelah
Sang Buddha mencapai tepi seberang sungai, hujan lebat turun dengan deras,
sehingga membersihkan kota Vesali. Sang Buddha dipersilahkan beristirahat dalam
rumah peristirahatan yang khusus dipersiapkan untuk Beliau di pusat kota.
Sakka —Raja para dewa, dengan para pengikutnya datang
menghormat kepada Sang Buddha. Melihat kedatangan para dewa, para raksasa
melarikan diri.
Pada sore hari yang sama, Sang Buddha membabarkan
Khotbah Permata (Ratana Sutta) dan meminta Y.A. Ananda untuk berjalan
mengelilingi dinding kota yang berlapis tiga dengan para pangeran Licchavi
sambil mengulang sutta tersebut.
Y.A. Ananda melakukan apa yang diminta. Ketika
syair-syair perlindungan (Paritta) diucapkan, banyak dari mereka yang sakit
menjadi sembuh dan mengikuti Y.A. Ananda berjalan menuju tempat Sang Buddha
berada.
Sang Buddha membabarkan sutta yang sama dan
mengulanginya selama tujuh hari. Pada akhir hari ketujuh, segala sesuatunya di
kota Vesali menjadi normal kembali. Para pangeran Licchavi dan penduduk Vesali
merasa terbebas dari musibah dan sangat bersuka cita. Mereka juga sangat
berterima kasih kepada Sang Buddha dan melakukan persembahan kepada-Nya dalam
jumlah yang sangat besar dan mewah. Mereka juga mengiringi Sang Buddha dalam
perjalanan pulang sampai di tepi Sungai Gangga di akhir hari ketiga.
Saat tiba di tepi sungai, Raja Bimbisara sedang
menunggu Sang Buddha, demikian pula para dewa, brahma, dan raja para naga
bersama rombongannya masing-masing. Mereka semua menghormat dan melakukan
persembahan kepada Sang Buddha. Para dewa dan brahma datang menghormat dengan
payung, bunga, dan lain-lain dan melagukan syair pujian kepada Sang Buddha.
Para naga datang dengan perahu yang terbuat dari emas, perak, dan rubi mengundang
Sang Buddha ke tempat kediaman para naga. Mereka juga menaburi permukaan air
dengan lima ratus jenis teratai. Inilah satu diantara tiga kesempatan dalam
hidup Sang Buddha, kesempatan manusia, dewa dan brahma datang bersama-sama
untuk melakukan penghormatan kepada Beliau.
Kesempatan pertama, ketika Sang Buddha menunjukkan
kekuatan dan keagungan Beliau dengan keajaiban ganda; memancarkan cahaya api
dan mengeluarkan air dari tubuh Beliau.
Kedua, saat Sang Buddha kembali dari alam dewa
Tavatimsa setelah Beliau membabarkan Abhidhamma di sana.
Sang Buddha ingin menghargai para naga, kemudian
Beliau melakukan kunjungan ke tempat kediaman para naga diiringi oleh para
bhikkhu. Sang Buddha dan rombongan pergi dengan lima ratus perahu yang dibawa
para naga. Setelah berkunjung ke tempat kediaman para naga, Sang Buddha kembali
ke Rajagaha diiringi Raja Bimbisara. Mereka tiba di Rajagaha pada hari kelima.
Dua hari setelah kedatangan mereka di Rajagaha, ketika
para bhikkhu sedang membicarakan tentang kehebatan dan keagungan yang
mengagumkan dari perjalanan dari dan ke Vesali, Sang Buddha menghampiri mereka.
Setelah mengetahui pokok pembicaraan mereka, Sang
Buddha berkata, "Para bhikkhu, bahwa Saya telah dihormati sedemikian
tinggi oleh brahma, dewa dan manusia dan bahwa mereka melakukan persembahan
kepada-Ku dengan jumlah yang sedemikian besar dam mewah pada kesempatan ini
bukanlah disebabkan oleh kekuatan yang sekarang Saya miliki. Itu hanyalah
karena Saya telah melakukan beberapa perbuatan baik yang kecil dalam salah satu
kehidupan yang lampau, sehingga Saya sekarang menikmati manfaat sedemikian
besarnya".
Kemudian Sang Buddha menjelaskan kisah salah satu dari
kehidupan lampau Beliau, ketika Beliau menjadi seorang brahmana bernama Sankha.
Suatu ketika ada seorang brahmana bernama Sankha yang
hidup di Kota Taxila. Ia mempunyai seorang putra bernama Susima. Ketika Susima
berumur enam belas tahun, ia dikirim oleh ayahnya pada brahmana lain untuk
belajar ilmu perbintangan. Gurunya mengajarkan semua yang seharusnya dipelajari,
tetapi Susima tidak sepenuhnya puas. Karena itu gurunya memerintahkan agar ia
mendekati para Paccekabuddha yang sedang berdiam di Isipatana. Susima pergi ke
Isipatana, tetapi para Paccekabuddha mengatakan kepadanya bahwa ia harus
menjadi seorang bhikkhu terlebih dahulu. Karena itu ia menjadi seorang bhikkhu,
dan diberi pelajaran bagaimana bertingkah laku sebagai seorang bhikkhu. Susima
berlatih meditasi dengan rajin, ia segera memahami "Empat Kebenaran
Mulia", mencapai Bodhinana, dan menjadi seorang Paccekabuddha. Tetapi
sebagai akibat perbuatan lampaunya, Susima tidak berumur panjang, ia meninggal,
mencapai parinibbana segera setelah itu.
Sankha —ayah Susima, datang mencari anak laki-lakinya,
tetapi ia hanya menemukan stupa tempat relik anak laki-lakinya disimpan.
Brahmana itu menjadi sangat terpukul karena kehilangan anak laki-lakinya. Ia
menghampiri stupa itu, membersihkan halaman, membersihkan rumput liar, kemudian
ia menutup tanah tersebut dengan pasir dan memercikinya dengan air. Kemudian, ia
pergi ke dalam hutan dekat daerah itu untuk mencari bunga-bunga liar dan
menancapkannya di tanah basah tersebut. Dengan cara tersebut, ia
mempersembahkan pelayanannya dan memberi penghormatan kepada Paccekabuddha yang
dulu adalah putranya. Karena perbuatan baik yang dilakukan pada kehidupan
lampaunya itu maka Sang Buddha mendapat manfaat, bahwa ia dilimpahi dengan
persembahan mewah, ia dihormat demikian tinggi, dan ia memperoleh bakti
demikian besar pada kesempatan khusus itu.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
290 berikut:
Apabila dengan melepaskan kebahagiaan
yang lebih kecil
orang dapat memperoleh kebahagiaan yang
lebih besar,
maka hendaknya orang bijaksana
melepaskan kebahagiaan yang kecil itu,
guna memperoleh kebahagiaan yang lebih
besar.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.