Kamis, Desember 18, 2014
Dhamma dan Vinaya adalah Guru Kita
DHAMMA DAN VINAYA ADALAH GURU KITA
Bila kita perhatikan lebih jauh di forum-forum diskusi
ajaran Buddha yang bertebaran di internet, ternyata masih sangat banyak orang
yang mengaku sebagai umat Buddhis tapi sangat minim pengetahuannya tentang
ajaran Buddha (Dhamma dan Vinaya). Ini adalah fakta yang menyedihkan.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa ‘membaca/mempelajari Sutta-sutta itu tidak penting, itu
hanya teori, hanya sebuah konsep, yang penting adalah praktiknya…, lagipula
belum tentu ajaran yang di sutta itu adalah benar-benar ucapan dari Buddha
sendiri.’, dsb….
Orang-orang yang berpikiran sempit seperti itulah yang
pada perjalanan diskusinya cenderung menggunakan penafsiran-penafsiran pribadi
dan melenceng dari ajaran Buddha (adhamma), berbelit-belit dan penuh dengan
pandangan salah.
Bagaimanapun juga, sebagai umat Buddhis, kita seharusnya mengenali
Sutta-Sutta dan mempelajarinya dengan sebaik-baiknya. Untuk hal
tersebut mari kita ingat kembali nasihat-nasihat Sang Buddha tersebut dibawah
ini :
Di dalam Maha
Parinibbana Sutta (Digha Nikaya Sutta 16), Sang Buddha
menasehati para bhikkhu: “Dhamma-Vinaya apapun yang
telah Aku tunjukkan dan rumuskan untuk kalian, itulah yang akan menjadi Guru
kalian ketika Aku tiada.”
Ini adalah pernyataan yang sangat penting yang
maknanya telah diabaikan oleh banyak umat Buddhis. Karena banyak umat Buddhis
tidak pernah mendengar nasihat ini atau mengerti maknanya, maka mereka lebih banyak
menyenangi untuk mempelajari buku-buku belakangan ini yang berisi banyak Dhamma
dan beberapa adhamma
(yakni yang bertentangan dengan Dhamma) ditambahkan di sana-sini.
Dan untuk mengetahui adanya perubahan-perubahan yang
tersebar di sana-sini di sepanjang teks hanya bisa diketahui jika seseorang
cukup jeli dan benar-benar mengenal kumpulan Sutta tertua. Jika tidak,
seseorang akan merasa sangat sulit untuk membedakan buku-buku belakangan dari
yang lebih awal.
Demikian pula,
di dalam Samyutta Nikaya, sutta 20.7, Sang Buddha
telah pula memperingatkan bahwa di masa depan (yakni sekarang ini), orang-orang
akan menolak untuk mendengarkan khotbahNya (Sutta). Tentu saja hal itu akan
berdampak merusak pada dua hal, yaitu :
- Sutta
- Sutta akan hilang, dan
- Orang-orang
akan memperoleh pemahaman yang salah tentang Dhamma.
Jika
kita tidak mengenal Sutta, atas dasar apa dan bagaimana kita bisa mempraktikkan
Ajaran Buddha dengan ‘Pandangan yang benar?’
Oleh karena itulah, kita sebagai umat Buddhis harus
mengenal Sutta, jadi kita bisa menilai apakah buku-buku Dhamma atau instruksi
para bhikkhu atau beberapa guru lainnya adalah sesuai dengan ajaran Sang
Buddha. Inilah sebabnya mengapa kita sebagai umat Buddhis harus selalu
mengingat Dhamma-Vinaya sebagai Guru kita yang Utama; khususnya bagi kita adalah
kumpulan Sutta tertua di dalam Nikaya.(Th)
Semoga bermanfaat.
10 Desember 2014
Mettacittena,
Tanhadi
Kemelekatan
KEMELEKATAN
Sehubungan
dengan Ajaran Buddha
tentang "Ketidak-melekatan", ternyata masih ada dikalangan umat
Buddhis sendiri yang menyatakan bahwa kita seharusnya tidak melekat pada APAPUN
juga!
Ada juga umat
Buddha KTP yang berpandangan salah mengatakan
bahwa mereka yang menjalankan kehidupan bermoral- sebagai 'kemelekatan' terhadap
Sila-sila.
Di kalangan
Buddhis tradisional malah menciptakan ketakutan terhadap meditasi mendalam,
dengan menyatakan bahwa Anda hanya akan 'melekat' terhadap Jhana.
Tentu saja
hal-hal itu sudah terlalu jauh menyimpang dan berpandangan salah terhadap
Ajaran Buddha.
Memang ada
banyak hal yang
membuat kita 'melekati atau menggenggam sesuatu’ sehubungan dengan adanya nafsu
keinginan yang
ada pada diri kita. Namun Sang Buddha
hanya memerincikan 'Empat kelompok Kemelekatan'
yang harus kita hindari, karena empat kelompok kemelekatan inilah yang
menyebabkan Kelahiran kembali., yaitu : 'Kemelekatan' pada :
1). Panca indra.
2). Pandangan
salah,
3). Gagasan
bahwa Pembebasan dapat dicapai hanya melalui ritual dan inisiasi.
4). Pandangan
mengenai adanya 'diri'.
Keempat
kelompok itulah yang menjadi 'Bahan bakar' bagi keberadaan kita dikehidupan
mendatang serta penderitaan lebih lanjut.
Oleh karena
itu, melatih belas kasih,
mengambil latihan lima sila ataupun sila kebhikkhuan yang lebih banyak, dan
melatih praktik meditasi
bukanlah hal-hal diluar ajaran Buddha,
dan adalah suatu tindakan yang salah bila menghentikan praktik-praktik tersebut
dengan menyebutnya sebagai 'Kemelekatan'. (Th)
Selamat
beraktifitas,
Semoga
bermanfaat.
Waru, 18 Desember 2014
Mettacittena,
Tanhadi
Dhamma adalah untuk Dipraktikkan
DHAMMA ADALAH UNTUK DIPRAKTIKKAN
Ketika kita belum mengenal Dhamma, kita dengan
semangat dan rajin mempelajari buku-buku Dhamma dan Sutta-sutta. Tetapi tidak
sedikit orang yang terlalu asyik mempelajari buku-buku Dhamma dan Sutta-sutta
tersebut, sehingga tanpa disadarinya ia menjadi melekat pada konsep-konsep tanpa
mempraktikkannya. Ini adalah kesalahan.
Demikian pula, kebanyakan orang terjebak dan terikat pada
sosok guru yang ideal atau tradisi tertentu, dan bukannya pada KEBENARAN, sehingga
ia menolak untuk belajar dari yang lainnya. Ini juga suatu kesalahan.
Tujuan kita mempelajari Dhamma adalah untuk DIPRAKTIKKAN,
yaitu berlatih secara terus-menerus untuk melakukan apa yang benar melalui
tubuh, ucapan dan pikiran. Dengan demikian Dhamma akan bermanfaat bagi diri
sendiri maupun untuk makhluk lainnya.(Th)
Semoga bermanfaat.
Waru, 18 Desember 2014
Mettacittena,
Tanhadi
Senin, Desember 15, 2014
Sabtu, Desember 06, 2014
Bagai Daun-Daun di Musim Gugur
BAGAI DAUN-DAUN DI MUSIM GUGUR
Seperti
halnya daun-daun di musim semi yang akan mengering dan berjatuhan di musim
gugur. Demikian pula sungguh singkat rentang kehidupan kita dan kehidupan
inipun akan segera berlalu.
Tak
ada jaminan perlindungan bagi yang tua maupun yang berusia muda, setiap saat
kematian akan datang menjemput. Dengan memahami bahaya yang muncul dalam
kematian, seyogianya kita senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan baik yang
dapat membawa kebahagiaan bagi semua makhluk dan diri kita sendiri.
Jika
kita terkendali dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh tubuh, ucapan dan
pikiran, niscaya perbuatan-perbuatan berjasa yang kita lakukan selagi masih
hidup akan membawa kebahagiaan ketika kita pergi meninggalkan dunia ini.
** (Inspirasi dari Anguttara
Nikaya.3.51)
Mettacittena,
Tanhadi
-oOo-
Hindarilah Menyakiti dan Membunuh Makhluk Hidup
HINDARILAH
MENYAKITI DAN MEMBUNUH MAKHLUK HIDUP
Oleh : Upa. Amaro
Tanhadi
Siapapun
yang senang menyakiti dan membunuh makhluk hidup, cenderung merasa bahwa apa
yang dilakukannya itu tidak salah. Padahal membunuh makhluk hidup jenis apapun
juga tetap tergolong perbuatan jahat.
Apakah
dengan membunuh boleh dikatakan menjadi sumber kegembiraan?
Tentu
saja TIDAK!, adalah suatu kebodohan jika kita melakukan kejahatan semacam itu,
terlebih lagi hanya untuk sebuah kepuasan diri dan bergembira diatas
penderitaan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, sebagai umat Buddhis yang
benar-benar bertekad untuk hidup di dalam Dhamma, hindarilah hobby memancing,
berburu dan memesan daging atau makanan yang secara langsung kita peroleh dari
‘memerintah’ si koki untuk membunuh hewan tersebut.
Sang
Buddha tidak pernah menganjurkan atau membenarkan siapapun untuk menganiaya
makhluk hidup, apalagi membunuhnya dengan alasan apapun. Karena mereka juga
memiliki harapan dan hak yang sama dengan kita untuk hidup bebas dari
penderitaan.
Metta
(cinta kasih) yang di ajarkan oleh Sang Buddha bukanlah hanya terbatas pada
sesama manusia saja, namun juga bagi hewan yang besar maupun yang kecil, dan
semua makhluk hidup yang tampak maupun yang tak tampak.
Semoga
kita semuanya senantiasa sadar dalam menjalankan SILA Buddhis dan tetap
berlatih untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup dengan cara kita
masing-masing.
Semoga
kita semuanya dalam keadaan sehat, jauh dari segala rintangan dan kesulitan
hidup. Semoga kita semuanya bebas dari penderitaan batin dan jasmani. Semoga
semua makhluk hidup bahagia.
Waru,
6 Desember 2014
Mettacittena,
Tanhadi
-oOo-
Rabu, Oktober 22, 2014
Dhammapada XXVI: 385- Kisah Mara
KISAH MARA
Dhammapada XXVI: 385
Pada suatu
kesempatan, Mara datang menemui Sang Buddha, menampakkan diri berujud manusia
dan bertanya kepada Beliau, "Bhante! Anda sering mengucapkan kata 'param'.
Apakah arti dari kata tersebut?"
Sang Buddha, yang
mengetahui bahwa Mara-lah yang bertanya tersebut, lalu menegurnya, "O,
Mara yang jahat! Kata 'param' dan 'aparam' tidak berarti apapun bagimu. 'Param'
berarti 'pantai seberang' yang hanya dapat dicapai oleh para arahat yang telah
terbebas dari kekotoran batin".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
385 berikut:
Seseorang yang tidak lagi memiliki
pantai sini
(enam landasan indria dalam)
atau pantai sana
(enam obyek indria luar),
ataupun kedua-duanya
(pantai sini dan pantai sana),
tidak lagi bersedih dan tanpa ikatan,
maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Dhammapada XXVI: 384- Kisah Tiga Puluh Bhikkhu
KISAH KISAH
TIGA PULUH BHIKKHU
Dhammapada XXVI: 384
Pada suatu
kesempatan, tiga puluh bhikkhu datang memberi penghormatan kepada Sang Buddha.
Y.A. Sariputta, yang mengetahui bahwa waktu itu adalah saat yang matang dan
sesuai bagi para bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat,
mendekati Sang Buddha dan bertanya, semata-mata hanya untuk kepentingan para
bhikkhu tersebut.
Pertanyaannya
berbunyi demikian, "Apakah yang dimaksud dengan dua Dhamma?"
Terhadap pertanyaan
demikian, Sang Buddha menjawab, "Sariputta! 'Meditasi Ketenangan dan
Meditasi Pandangan Terang' adalah dua Dhamma tersebut".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
384 berikut:
Bila seorang brahmana
telah mencapai akhir daripada dua jalan
semadi
(pelaksanaan Meditasi Ketenangan dan
Pandangan Terang),
maka semua belenggu akan terlepas dari
dirinya.
Karena mengerti dan telah memiliki
pengetahuan,
ia bebas dari semua ikatan.
Tiga puluh bhikkhu
mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Dhammapada XXVI: 383- Kisah Brahmana Yang Memiliki Keyakinan Kuat
KISAH BRAHMANA
YANG MEMILIKI KEYAKINAN KUAT
Dhammapada XXVI: 383
Suatu ketika, di
Savatthi, hidup seorang brahmana yang sangat setia kepada Sang Buddha dan
Ajaran-Nya. Setelah mendengar khotbah yang diberikan Sang Buddha, setiap hari,
ia mengundang para bhikkhu datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan.
Ketika para bhikkhu telah sampai di rumahnya, ia memperlakukan mereka seperti
arahat dan dengan hormat mempersilakan mereka untuk memasuki rumahnya.
Mendapat perlakuan
demikian, bhikkhu-bhikkhu yang masih belum mencapai tingkat kesucian
(puthujjana) maupun bhikkhu-bhikkhu arahat merasa enggan hati dan memutuskan
untuk tidak pergi ke rumah brahmana tersebut keesokan harinya.
Ketika brahmana
tersebut mengetahui bahwa para bhikkhu tidak lagi datang ke rumahnya, ia merasa
tidak bahagia. Ia pergi menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau tentang para
bhikkhu yang tidak lagi datang ke rumahnya. Sang Buddha memanggil para bhikkhu
tersebut dan meminta penjelasan. Para bhikkhu mengatakan kepada Sang Buddha
bahwa brahmana tersebut memperlakukan mereka semua seperti arahat.
Sang Buddha
kemudian bertanya kepada mereka, apakah mereka merasa bangga dan senang ketika
mereka diperlakukan seperti itu. Para bhikkhu menjawab tidak.
Kepada mereka, Sang
Buddha berkata, "O, para bhikkhu, jika engkau tidak merasa bangga dan
senang ketika diperlakukan seperti arahat, maka engkau tidak bersalah melanggar
peraturan disiplin para bhikkhu yang manapun. Kenyataan brahmana tersebut memperlakukan
engkau demikian karena ia sangat setia kepada para arahat. Jadi, murid-Ku,
engkau harus berjuang keras mengurangi nafsu keinginan dan mencapai tingkat
kesucian arahat".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
383 berikut:
O, brahmana, berusahalah dengan tekun
memotong arus keinginan
dan singkirkanlah nafsu-nafsu indria.
Setelah mengetahui penghancuran segala
sesuatu yang berkondisi,
O brahmana, engkau akan merealisasi
nibbana,
'Yang Tidak Terciptakan'.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Dhammapada XXV: 382- Kisah Samanera Sumana
KISAH SAMANERA
SUMANA
Dhammapada XXV: 382
Samanera Sumana
adalah murid dari Anuruddha Thera. Meskipun ia baru berusia tujuh tahun, tetapi
ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, dan memiliki kemampuan batin luar
biasa. Suatu saat, ketika gurunya Anuruddha Thera, jatuh sakit di vihara yang
berada di lereng pegunungan Himalaya, ia mengambil air dari Danau Anotatta yang
jauhnya lima ratus yojana dari vihara. Perjalanan itu tidak dilakukan dengan
jalan darat, tetapi melalui jalan udara (terbang) berkat kemampuan batin luar
biasanya.
Suatu hari,
Anuruddha Thera membawa Samanera Sumana menghadap Sang Buddha, yang saat itu
sedang berdiam di Vihara Pubbarama, sebuah vihara persembahan Visakha.
Di sana, para
bhikkhu muda dan samanera mengganggu Samanera Sumana, dengan menepuk kepalanya,
memegang telinganya, hidungnya, tangannya, dan bersenda gurau menanyakan apakah
ia tidak merasa bosan. Sang Buddha melihat mereka, dan berpikir bahwa akan
menunjukkan kepada para bhikkhu suatu kualitas luar biasa dari Samanera Sumana
yang masih muda.
Sudah direncanakan
oleh Sang Buddha bahwa Beliau berharap beberapa samanera mengambil air satu
guci dari Danau Anotatta. Y.A. Ananda mencari di antara para bhikkhu dan
samanera yang berdiam di Vihara Pubbarama yang dapat melakukan pekerjaan itu,
tetapi tidak ada satupun yang dapat melaksanakan tugas itu. Akhirnya, Y.A.
Ananda meminta Samanera Sumana yang telah siap untuk mengambil air dari Danau
Anotatta.
Ia mengambil sebuah
guci emas besar milik vihara dan segera membawa air dari Danau Anotatta untuk
Sang Buddha. Seperti hal sebelumnya, ia pergi ke Danau Anotatta dan kembali ke
vihara melalui jalan udara berkat kemampuan batin luar biasanya.
Pada saat pertemuan
para bhikkhu sore hari, para bhikkhu bercerita kepada Sang Buddha perihal
perjalanan luar biasa yang telah dilakukan oleh Samanera Sumana.
Kepada mereka Sang
Buddha berkata, "Para bhikkhu, seseorang yang melaksanakan Dhamma dengan
tekun dan bersemangat, akan dapat memiliki kemampuan batin luar biasa meskipun
usianya masih muda".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
382 berikut:
Walaupun seorang bhikkhu masih berusia
muda,
namun bila ia tekun menghayati ajaran
Sang Buddha,
maka ia akan menerangi dunia ini,
bagaikan bulan yang terbebas dari awan.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Dhammapada XXV: 381- Kisah Vakkali Thera
KISAH VAKKALI
THERA
Dhammapada XXV: 381
Vakkali adalah
seorang brahmana yang tinggal di Savatthi. Suatu hari ia melihat Sang Buddha
berpindapatta di dalam kota. Ia sangat terkesan dengan kemuliaan Sang Buddha.
Pada saat itu ia menjadi sangat tertarik dan hormat kepada Sang Buddha. Ia
memohon izin untuk diterima dalam Pasamuan Bhikkhu sehingga ia dapat selalu
dekat dengan Sang Buddha.
Sebagai seorang
bhikkhu, Vakkali selalu dekat dengan Sang Buddha, ia tidak memperhatikan tugas
kewajibannya sebagai bhikkhu lagi, dan tidak berlatih meditasi.
Karena itu Sang
Buddha berkata kepadanya, "Vakkali, tidak akan bermanfaat bagimu yang
selalu dekat dengan-Ku, memperhatikan wajah-Ku. Kamu harus berlatih meditasi,
sebab hanya ia yang melihat Dhamma akan melihat Saya. Ia yang tidak melihat
Dhamma tidak akan melihat Saya".
Ketika mendengar
kata-kata itu Vakkali sangat tertekan.
Ia meninggalkan
Sang Buddha dan memanjat Bukit Gijjhakuta untuk melakukan bunuh diri dengan
cara melompat dari puncak bukit.
Sang Buddha
mengetahui kesedihan dan keputusasaan Vakkali. Karena sedih dan putus asa itu
Vakkali akan melepaskan kesempatan memperoleh tingkat kesucian. Oleh karena
itu, Sang Buddha mengirimkan bayangan Beliau kepada Vakkali, membuat
seolah-olah Beliau berada di hadapannya. Ketika Sang Buddha berada dekat
dengannya, segera Vakkali melupakan segala kesedihannya, ia menjadi sangat
gembira, dan yakin.
Kepadanya Sang Buddha membabarkan syair
381 berikut:
Dengan penuh kegembiraan dan penuh
keyakinan
terhadap ajaran Sang Buddha,
seorang bhikkhu akan sampai pada keadaan
damai (nibbana)
disebabkan oleh berakhirnya semua
ikatan.
Vakkali mencapai
tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Dhammapada XXV: 379-380- Kisah Nangalakula Thera
KISAH NANGAKULA
THERA
Dhammapada XXV: 379-380
Nangala adalah
seorang buruh tani yang bekerja da seorang petani. Suatu hari seorang bhikkhu
melihatnya sedang bekerja di sawah dengan pakaian tuanya yang koyak-koyak. Sang
bhikkhu bertanya kepadanya apakah ia berminat menjadi seorang bhikkhu. Ketika
ia menyetujui, sang bhikkhu membawanya ke vihara, dan mentahbiskannya menjadi
bhikkhu. Setelah diterima dalam Pasamuan Bhikkhu seperti yang telah
dinasihatkan oleh gurunya, ia meninggalkan bajak dan pakaian tuanya pada sebuah
pohon tidak jauh dari vihara. Karena orang miskin itu meninggalkan bajaknya
untuk memasuki pasamuan, maka ia dikenal dengan nama Nangala Thera (nangala
artinya bajak).
Kehidupan di vihara
lebih baik, maka Nangala Thera menjadi lebih sehat, dan berat badannya
bertambah. Setelah beberapa saat, ia merasa bosan dengan kehidupannya sebagai
bhikkhu dan sering memikirkan untuk kembali menjadi perumah tangga.
Jika pikiran itu
muncul, ia akan pergi ke pohon dekat vihara, di mana bajak dan pakaian tuanya
ditaruh.
Di sana ia menegur
dirinya sendiri, "O, orang tak tahu malu! Apakah kamu masih menginginkan
kembali menggunakan pakaian tua ini dan bekerja keras, hidup rendah sebagai
buruh kasar?"
Setelah berpikir
seperti itu, ketidak-puasan terhadap kehidupan bhikkhunya menjadi sirna, dan ia
kembali ke vihara. Ia pergi ke pohon itu setiap tiga atau empat hari, untuk
merenungkan kembali tentang masa lalunya yang tidak menyenangkan.
Jika para bhikkhu
bertanya kepadanya tentang seringnya ia berkunjung ke pohon itu, ia menjawab,
"Saya pergi ke tempat guru saya".
Waktu berlalu,
karena ketekunannya, akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia
berhenti pergi ke pohon lagi.
Para bhikkhu lain
memperhatikan hal itu, bertanya kepadanya, "Mengapa engkau sekarang tidak
lagi berkunjung kepada gurumu?"
Kepada mereka, ia
menjawab, "Saya pergi kepada guru saya karena saya memerlukannya, tetapi
sekarang saya tidak memerlukan pergi kepadanya".
Para bhikkhu
mengerti apa maksud jawabannya itu, mereka pergi menghadap Sang Buddha dan
memberitahu, "Bhante, Nangala Thera menyatakan diri telah mencapai tingkat
kesucian arahat. Itu barangkali tidak benar; ia membual, ia berkata
bohong".
Kepada mereka, Sang
Buddha berkata, "Para bhikkhu, jangan berkata seperti itu perihal Nangala,
ia tidak berkata bohong. Anak-Ku Nangala, dengan introspeksi diri dan
memperbaiki diri sendiri telah berhasil mencapai tingkat kesucian arahat".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
379 dan 380 berikut ini:
Engkaulah yang harus mengingatkan
dan memeriksa dirimu sendiri. O bhikkhu,
bila engkau dapat menjaga dirimu sendiri
dan selalu sadar,
maka engkau akan hidup dalam
kebahagiaan.
(379)
Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan
bagi diri sendiri.
Diri sendiri adalah pelindung bagi diri
sendiri.
Oleh karena itu kendalikan dirimu
sendiri,
seperti pedagang kuda menguasai kuda
yang baik.
(380)
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Langganan:
Postingan (Atom)