KISAH UGGASENA
Dhammapada XXIV: 348
Suatu saat rombongan pemain drama keliling yang
terdiri atas lima ratus penari dan beberapa pemain akrobat datang ke Rajagaha.
Mereka mengadakan pertunjukan di dalam lingkungan istana Raja Bimbisara selama
tujuh hari. Di sana seorang penari muda yang merupakan putri seorang pemain
akrobat bernyanyi dan menari di atas sebuah galah bambu yang panjang.
Uggasena, putra yang masih muda dari seorang hartawan,
jatuh cinta dengan penari itu. Orang tuanya tidak dapat mencegah keinginan
putranya untuk menikah dengan gadis tersebut. Ia menikahi penari muda itu dan
mengikuti rombongan tersebut. Karena Uggasena bukan seorang penari juga bukan
pemain akrobat maka ia benar-benar tidak berguna bagi rombongan tersebut.
Sehingga saat rombongan itu pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia hanya
membantu mengangkut kotak-kotak, mengemudikan kereta, dan lain-lainnya.
Pada suatu saat seorang anak laki-laki lahir dari
pasangan Uggasena dan istrinya, sang penari. Kepada anak laki-lakinya, penari
tersebut sering menyanyikan sebuah lagu seperti ini: "O kamu, putera
seorang lelaki yang menjaga kereta-kereta; lelaki yang mengangkut kotak-kotak
dan buntelan-buntelan! O kamu, putera seorang yang bodoh, yang tidak dapat
melakukan apapun!"
Uggasena mendengar lagu itu. Ia mengetahui bahwa istrinya
menujukan hal itu kepadanya dan hal ini membuat ia sangat terluka dan tertekan.
Maka ia pergi menemui ayah mertuanya, seorang pemain akrobat, dan meminta agar
diajari bermain akrobat. Setelah setahun berlatih, Uggasena menjadi pemain
akrobat yang trampil.
Suatu ketika, Uggasena kembali ke Rajagaha, dan
diumumkan bahwa Uggasena akan memperlihatkan ketrampilannya di muka umum selama
tujuh hari. Pada hari ke tujuh, sebatang galah yang panjang digunakan dan
Uggasena berdiri di atasnya. Dengan tanda-tanda yang diberikan dari bawah, ia
berjungkir balik tujuh kali di atas galah itu. Saat itu Sang Buddha melihat
Uggasena dalam batin Beliau dan mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi
Uggasena untuk mencapai tingkat kesucian arahat.
Kemudian Sang Buddha memasuki Kota Rajagaha, berusaha
agar orang-orang (penonton) mengalihkan perhatiannya kepada Beliau, dan bukan
bertepuk tangan untuk Uggasena atas prestasi akrobatiknya. Ketika Uggasena
melihat bahwa ia sedang diabaikan dan tidak diacuhkan, ia hanya duduk di atas
galah, merasa sangat tidak puas dan tertekan.
Sang Buddha menyapa Uggasena, "Uggasena, orang
bijaksana seharusnya melepaskan semua kemelekatan pada kelompok-kelompok
kehidupan (khandha), dan berjuang untuk mencapai kebebasan dari lingkaran
tumimbal lahir".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
348 berikut:
Tinggalkan apa yang telah lalu, yang
akan datang,
maupun yang sekarang
(kemelekatan terhadap lima kelompok
kehidupan)
dan capailah 'Pantai Seberang'
(nibbana).
Dengan pikiran yang telah bebas dari
segala sesuatu,
maka engkau tak akan mengalami kelahiran
dan kelapukan lagi.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Uggasena yang
masih berada di atas galah, mencapai tingkat kesucian arahat. Ia turun dan
segera diterima dalam pasamuan bhikkhu oleh Sang Buddha.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar