(2) Kebenaran Mulia tentang Asal-mula timbulnya penderitaan
(dukkha samudaya ariya sacca)
“ Apakah kebenaran mulia tentang asalnya penderitaan ?
yaitu nafsu keinginan (tanha) yang menyebabkan tumimbal lahir,
yang disertai oleh nafsu keinginan menjadi ini dan itu.
Dengan kata lain ; Nafsu Keinginan akan kesenangan inderawi,
keinginan akan penjelmaan, keinginan untuk memusnahkan diri.
Tetapi kapankah keinginan ini timbul dan berkembang ?
Dimana ada hal-hal yang nampak menyenangkan dan memuaskan,
disitulah ia timbul dan berkembang.”
( Digha Nikaya 22 ).
“ Adalah dengan kebodohan(*) sebagai syarat,
maka bentuk-bentuk pikiran itu timbul ;
dengan bentuk-bentuk pikiran sebagai syarat ,
maka timbullah kesadaran;
dengan kesadaran sebagai syarat,
maka timbullah nama dan rupa;
dengan nama dan rupa sebagai syarat,
maka timbullah enam landasan kontak;
dengan enam landasan kontak sebagai syarat,
maka timbullah perasaan;
dengan perasaan sebagai syarat, maka timbullah keinginan;
dengan keinginan sebagai syarat, maka timbullah kemelekatan;
dengan kemelekatan sebagai syarat, maka timbullah arus perwujudan;
dengan arus perwujudan sebagai syarat, maka timbullah kelahiran;
dengan kelahiran sebagai syarat,
maka timbullah usia tua dan kematian,
juga kesedihan dan ratap tangis, sakit, kesusahan dan putus asa;
begitulah terjadinya rentetan asal mulanya dukkha itu.
Inilah yang disebut Kebenaran Mulia tentang asal mulanya dukkha.”
( Digha Nikaya 22)
133. (*) Kebodohan, yang dimaksudkan disini adalah Moha yang berarti Kebodohan atau ketidak-tahuan untuk membedakan apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah.
134. Secara umum Moha mempunyai arti yang sama dengan Avijja yaitu Kebodohan atau ketidak-tahuan, tapi Avijja adalah sehubungan dengan kebodohan atau ketidak-tahuan tentang kebenaran sejati dari Empat Kebenaran Mulia, Tiga corak umum, Hukum Sebab-akibat yang saling bergantungan, Hukum karma dan hukum Tumimbal lahir.
135. Pada khotbah tentang Empat Kebenaran Mulia yang kedua ini, Sang Buddha mengidentifikasikan "asal" (samudaya), atau sebab dari dukkha sebagai berikut: "Nafsu keinginan inilah (tanha), yang mengakibatkan kelahiran kembali, disertai dengan kesenangan dan kemelekatan, mencari kesenangan pada saat ini, baik di tempat ini maupun tempat lainnya ..."
136. Tanha secara harafiah berarti "kehausan", dan secara jelas mengacu pada nafsu keinginan yang kuat serta terus-menerus untuk mendapatkan sesuatu, kenikmatan, kesenangan, nafsu-birahi, gila hormat, harta dan kekuasaan ataupun keinginan yang kuat untuk melenyapkan semua keadaan yang kita benci adalah hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan Kemelekatan duniawi dan kegelapan batin. Hal inilah yang merupakan sumber dari berbagai macam penderitaan. Pertama-tama, hal itu akan mendatangkan penderitaan, kekecewaan, serta frustrasi oleh karena nafsu keinginan tersebut harus selalu berhadapan dengan dunia yang selalu berubah serta tidak sesuai dengan harapan. Sebagai contoh, kita selalu ingin makan enak, tetapi uang kita tidak selalu mencukupi untuk hal itu. Kedua, nafsu keinginan itu mendorong seseorang untuk melakukan berbagai perbuatan, yang buah kammanya menyebabkan kelahiran kembali berulang-ulang yang terikat oleh hawa nafsu (nandiragasahagata), dan yang memperoleh kenikmatan baru disana sini (tatratatrabhinandini). Ketiga, nafsu keinginan atau tanha itu mendorong timbulnya pertengkaran, permusuhan, dan konflik antar individu dan kelompok.
Disebutkan sebagai kemelekatan duniawi karena, kesenangan-kesenangan semacam itu seperti halnya orang meminum air asin untuk menghilangkan rasa hausnya ataupun orang yang kecanduan akan obat-obatan terlarang (Narkoba), yang dapat mengakibatkan ketergantungan atau keterikatan / kemelekatan.
Ada tiga bentuk tanha, yaitu :
1. Kamatanha :
Adalah ketagihan akan kesenangan indera dan kenikmatan hawa nafsu (kamatanha) terhadap :
a. Bentuk-bentuk (indah)
b. Suara-suara (merdu)
c. Wangi-wangian
d. Rasa-rasa (nikmat)
e. Sentuhan-sentuhan (lembut)
f. Bentuk-bentuk pikiran
2. Bhavatanha :
Adalah ketagihan untuk lahir kembali sebagai manusia yang berdasarkan pada kepercayaan yang mengatakan tentang adanya "atta (roh) yang kekal dan terpisah ( attavada )”.
Nafsu keinginan jenis kedua, yakni Bhavatanha, mengacu pada dorongan untuk proteksi-diri, meninggikan-diri, dan untuk kehidupan kekal setelah kematian. Yang ketiga adalah dorongan untuk melenyapkan situasi-situasi, benda-benda, dan orang-orang yang tidak menyenangkan. Dalam bentuk ekstrim, ini mungkin bisa menyebabkan impuls untuk melakukan perbuatan bunuh-diri, penolakan terhadap situasi kehidupan sekarang secara total. Nafsu keinginan yang demikian, secara ironis justru mendorong timbulnya kelahiran kembali lebih lanjut, yang masalahnya akan lama buruknya atau bahkan lebih buruk daripada keadaan saat ini. Dalam usaha untuk mengatasi dukkha, ajaran Buddhis tidak hanya ditujukan untuk membatasi nafsu keinginan. Namun iujuan akhirnya adalah menggunakan ketenangan batiniah dan kearifan untuk mencabut sepenuhnya akar dari nafsu keinginan tersebut.
3. Vibhavatanha :
Adalah ketagihan untuk memusnahkan diri, yang berdasarkan kepercayaan yang mengatakan bahwa setelah manusia meninggal maka berakhirlah segala riwayat tiap-tiap manusia (ucchedavada).
137. Pada kebanyakan orang, setelah ia berhasil mendapatkan sesuatu yang di-inginkannya..... ,biasanya timbul keinginan baru , bila keinginan baru itu telah terpenuhi juga, selanjutnya keinginan lain muncul lagi.... begitulah nafsu keinginan itu bermunculan tiada hentinya.
138. Disebutkan sebagai kegelapan batin, karena pandangan yang salah bahwa kesenangan-kesenangan itulah yang dapat membuat hidup ini lebih berarti dan dapat memberikan kebahagiaan selamanya. Padahal pada kenyataannya, semuanya itu hanyalah bersifat sementara ( tidak kekal ) dan Sebaliknya bila keinginan itu tidak terpenuhi , timbullah rasa frustrasi dan kekecewaan....., inilah asal-mula penderitaan itu terjadi.
139. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa Nafsu keinginan rendah tidak hanya merupakan Keinginan yang terikat oleh Hawa nafsu, harta-benda dan kekuasaan saja, tetapi juga merupakan suatu keinginan yang terikat kepada ide-ide,cita-cita, pandangan hidup, teori-teori, konsepsi - konsepsi dan kepercayaan-kepercayaan. Karena hal-hal itulah yang memicu pola pikir kita untuk berkehendak, dan bertindak sesuai dengan kehendak tersebut, yang menyebabkan kita tidak akan pernah terbebas dari daur Tumimbal lahir yang berulang-ulang ini.
140. Pada khotbah tentang Kebenaran Mulia yang ke dua inilah Sang Buddha juga membabarkan pengetahuan tentang Kamma dan Tumimbal lahir (Punabhava) serta Hukum sebab-musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppada). Sumber utama mengenai doktrin ini dapat dijumpai dalam Sutta Nidana Samyutta (Samyutta-Nikaya) dan Sutta MahaNidana (Digha-Nikaya).
141. Kehausan ini, nafsu keinginan yang tak habis-habisnya, yang memperlihatkan diri dalam berbagai cara, merupakan sumber dari beraneka ragam penderitaan dan kelangsungan hidup makhluk-makhluk. Tetapi, hendaknya hal ini jangan dianggap sebagai sebab yang pertama karena menurut paham Buddhis tak mungkin ada sebab yang pertama; segala sesuatu itu relatif dan saling bergantungan dan saling berkaitan. Sampaipun kehausan (tanha) ini yang dianggap sebagai sebab atau sumber dari dukkha, pada hakekatnya, untuk dapat timbul (samudaya), tergantung pada sesuatu yang lain, yaitu perasaan (vedana), dan perasaan ini tergantung pada kontak (phassa) dst. dan terciptalah satu lingkaran Hukum Pokok Yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada).
Dengan demikian kita lihat, kehausan atau tanha itu bukanlah satu-satunya sebab timbulnya dukkha; meskipun tidak dapat disangkal merupakan sebab yang nyata, yang terdekat dan yang terpenting.
142. Dalam beberapa kitab teks Pali yang asli dapat ditemukan definisi dari samudaya sebagai sumber dukkha yang di dalamnya, termasuk juga noda-noda dan kekotoran batin (kilesa, sasava-dhamma) disamping tanha sebagai sebab utama. Dalam pembahasan kita yang serba terbatas dalam halaman buku ini, maka cukup kiranya kalau kita senantiasa ingat bahwa tanha sebenarnya berpokok pangkal kepada anggapan keliru tentang adanya "aku" yang timbul dari avijja (ketidak tahuan).
Di sini istilah tanha bukan saja berarti keinginan akan dan terikat kepada hawa nafsu, harta benda dan kekuasaan, tetapi berarti juga keinginan akan dan terikat kepada ide-ide dan cita-cita, pandangan hidup, opini-opini, teori-teori, konsepsi-konsepsi dan kepercayaan-kepercayaan (dhamma-tanha). Menurut analisa dalam agama Buddha, semua kesulitan dan perselisihan di dunia ini, dari perselisihan kecil dalam keluarga sampai dengan peperangan besar antara negara dengan negara, timbul dari tanha ini yang mementingkan diri sendiri saja (Majjhima Nikaya 13, Maha Dukkhanda Sutta).
143. Di samping nafsu keinginan, dua musabab penting dukkha lainnya adalah "pandangan" (ditthi) dan "keangkuhan" (mana). Yang pertama mengacu pada sudut pandang spekulatif, teori-teori atau pendapat-pendapat, terutama ketika hal itu telah menjadi dogmatis dan membatasi wawasan ieseorang. Pandangan¬pandangan yang demikian dipandang sebagai bentuk-bentuk terpendam dari pengakuan-diri, yang mendatangkan konflik dengan orang-orang yang berpendapat lain, seperti misalnya dalam bentuk perang mulut, atau perang ideologi dan revolusi berdarah.
Dalam konteks ini, patut diperhatikan bahwa kekejaman terhadap orang yang dilakukan oleh Hitler, Stalin, dan Khmer Merah (Khmer Rouge) diprakarsai oleh orang-orang yang yakin terhadap sebuah teori, dimana teori itu memandang perlu dan membenarkan tindakan keji mereka.
144. Buddha memusatkan perhatian dengan sangat kritis terhadap pandangan-pandangan mengenai "aku", yang beliau pandang sebagai mendatangkan kemelekatan dan pada gilirannya menyebabkan timbulnya penderitaan. Pandangan-pandangan semacam itu memang beragam bentuknya, tetapi seluruhnya menempatkan sebagian besar "aku"nya di sekitar kelima khandha itu, sehingga setiap khandha juga dikenal dengan istilah "pandangan atas keberadaan kelompok" (sakkaya-ditthi). Bahkan ketika pandangan- pandangan spesifik semacam itu telah dilampaui sekalipun, "keangkuhan" masih tetap tersisa sebagai sebuah perasaan "ke-aku-an" yang samar-samar dan non-spesifik berkenaan dengan khandha (Samyutta-Nikaya). Ini adalah sikap dasar dari "aku adalah": pengakuan-diri yang telah berurat-akar atau egoisme, yang membandingkan antara sang "aku" dengan "orang lain". Misalnya dengan mengatakan, "Aku lebih pandai dan bijaksana dibandingkan dengan orang lain."
145. Dari sudut pandangan ini, semua persoalan ekonomi, politik dan sosial bersumber pada tanha yang egoistis ini. Para negarawan terkenal yang mencoba menyelesaikan persoalan internasional dan berbicara perihal perang dan damai,ekonomi dan politik hanya membicarakan kulit persoalan dan tidak pernah menyentuh akarnya yang lebih dalam. Sang Buddha pernah bersabda kepada Ratthapala :
"Dunia ini membutuhkan, menginginkan dengan sangat dan kemudian terikat kepada tanha."
(Majjhima Nikaya 82, Ratthapalasutta).
Setiap orang harus mengakui bahwa semua kejahatan dan perselisihan dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Ini tidak susah untuk dimengerti. Tetapi, bagaimana keinginan yang egoistis ini dapat mengakibatkan kelangsungan kembali dan kelahiran kembali (Ponobhavika) mungkin tidaklah mudah untuk dipahami.
Selanjutnya ---> (3) Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar