KISAH SEORANG BRAHMANA
TUA
Dhammapada XXIII: 324
Suatu ketika hiduplah di Savatthi seorang brahmana tua
yang memiliki uang delapan laksa. Ia memiliki empat putra. Waktu setiap
putranya menikah ia memberi satu laksa kepadanya. Jadi ia telah memberikan
empat laksa. Kemudian istri brahmana tua meninggal dunia. Putra-putranya datang
kepadanya dan merawatnya dengan baik. Kenyataannya mereka sangat mencintainya
dan menyayanginya. Dengan berlalunya waktu, entah bagaimana, mereka membujuknya
untuk memberikan empat laksa yang tersisa. Sehingga akhirnya brahmana tua tidak
mempunyai uang sama sekali.
Beberapa waktu kemudian, brahmana tua pergi tinggal
bersama putra tertuanya
Setelah beberapa hari, menantu perempuannya berkata
kepadanya, "Apakah engkau memberi tambahan uang beberapa ratus atau ribu
pada putramu yang tertua? Tidakkah engkau mengetahui jalan menuju rumah putra-putramu
yang lain?"
Mendengar hal itu, brahmana tua menjadi sangat marah
dan ia meninggalkan rumah putra tertuanya dan menuju rumah putra keduanya.
Kata-kata yang sama dibuat oleh istri putra keduanya
dan orang tua tersebut pergi menuju ke rumah putra ketiganya dan akhirnya ke
rumah putra keempat atau putra termuda. Hal yang sama terjadi di rumah semua
putranya. Sehingga orang tua tersebut menjadi tak berdaya; kemudian, dengan
membawa tongkat dan mangkuk ia pergi kepada Sang Buddha memohon perlindungan
dan nasehat.
Di vihara, brahmana tua tersebut menceritakan pada
Sang Buddha bagaimana putra-putranya telah memperlakukannya dan meminta
pertolongan dari Beliau. Kemudian Sang Buddha memberinya beberapa syair untuk
diingat dan menyuruh untuk mengucapkannya di tempat dimana ada banyak orang
berkumpul.
Inti dari syair tersebut adalah: "Empat putraku
yang bodoh bagaikan raksasa. Mereka memanggilku: Ayah! Ayah! Tetapi, kata-kata
itu hanya keluar begitu saja dari mulutnya dan bukan dari hatinya. Mereka
pembohong dan penuh tipu daya. Mengikuti nasehat istrinya, mereka mengusirku
dari rumah mereka. Sehingga, sekarang saya harus mengemis. Putra-putraku itu
bahkan tidak melayaniku dengan lebih baik dibandingkan tongkatku ini".
Ketika brahmana tua itu mengucapkan syair-syair itu,
banyak orang di keramaian tersebut mendengarnya, pergi dengan gusar menuju
putra-putranya dan bahkan beberapa di antara orang-orang itu mengancam akan
membunuh mereka.
Putra-putra brahmana tersebut menjadi ketakutan dan
berlutut di kaki ayah mereka untuk meminta maaf. Mereka juga berjanji bahwa
mulai hari itu mereka akan merawat ayah mereka dengan layak dan akan
menghormati, mencintai dan menghargainya. Kemudian mereka membawa ayah mereka
ke rumah mereka; mereka juga memperingatkan istri-istri mereka untuk merawat
sang ayah dengan baik. Bila para istri tidak merawatnya maka mereka akan
dipukul sampai mati. Setiap putra memberi sepotong kain dan mengirim satu
nampan makanan setiap hari.
Brahmana tersebut menjadi makin sehat daripada
sebelumnya dan berat badannya segera kembali ke berat semula. Ia menyadari
bahwa ia mendapat siraman manfaat seperti itu atas jasa Sang Buddha. Maka ia
pergi menghadap Sang Buddha. Dengan rendah hati memohon Beliau untuk menerima
dua nampan makanan dari empat nampan yang biasa ia terima setiap hari dari
putra-putranya. Kemudian ia menyuruh putra-putranya untuk mengirimkan dua
nampan makanan kepada Sang Buddha.
Suatu hari, putra tertua brahmana itu mengundang Sang
Buddha ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, Sang Buddha
memberi khotbah tentang manfaat yang diperoleh dengan merawat orang tua.
Kemudian, Beliau bercerita kepada mereka tentang kisah seekor gajah bernama
Dhanapala yang merawat orang tuanya. Dhanapala ketika ditangkap merindukan orang
tuanya yang ditinggal di hutan.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
324 berikut:
Pada musim kawin,
gajah ganas bernama Dhanapalaka sukar
dikendalikan;
walaupun diikat kuat ia tetap tidak mau
makan
karena merindukan gajah-gajah lain di
hutan.
Brahmana tua beserta empat putra dan
istri-istrinya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu
berakhir.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar