KISAH TISSA THERA
Dhammapada IX: 126
Ada seorang penggosok permata dan istrinya tinggal di
Savatthi. Di sana juga berdiam seorang Thera yang telah mencapai tingkat
kesucian arahat. Setiap hari pasangan ini memberi dana makanan kepada thera
itu.
Suatu hari ketika penggosok permata itu sedang
memegang daging, utusan Raja Pasenadi dari Kosala tiba dengan membawa sebutir
ruby, yang meminta untuk dipotong, dan diasah sampai mengkilap. Si penggosok
permata tersebut mengambil ruby dengan tangannya yang telah terkena darah, dan
meletakkannya di atas meja serta pergi ke dalam rumah untuk mencuci tangannya.
Burung peliharaan keluarga ini melihat darah melumuri
ruby dan mengira barang itu adalah sepotong daging, lalu mematuk serta
menelannya di hadapan sang thera.
Ketika penggosok permata selesai mencuci tangannya dia
menemukan bahwa ruby tersebut telah hilang. Dia bertanya kepada istri dan
anaknya, dan mereka menjawab bahwa mereka tidak mengambilnya. Kemudian dia
bertanya kepada sang thera dan mendapat jawaban bahwa sang thera tidak
mengambilnya, tetapi dia merasa tidak puas. Karena tidak ada orang lain kecuali
sang thera di dalam rumah itu. Penggosok permata berkesimpulan pastilah sang
thera yang telah mengambil ruby yang berharga tersebut. Lalu dia memberi tahu
istrinya bahwa dia harus menyiksa sang thera agar mengakui sebagai pencurinya.
Tetapi istrinya menjawab: "Thera ini telah
menjadi pembimbing dan guru kita selama dua belas tahun, dan kita tidak pernah
melihat thera itu melakukan perbuatan jahat apapun, janganlah menuduh thera
itu. Lebih baik kita menerima hukuman dari raja daripada menuduh orang
suci".
Tetapi si suami tidak mendengarkan kata-kata istrinya.
Dia mengambil tali dan mengikat thera itu serta memukulnya berkali-kali dengan
sebuah tongkat, sehingga sangat banyak darah mengalir dari kepala, telinga, dan
hidung. Darah itu berceceran jatuh ke lantai.
Burung penggosok permata melihat darah, lalu berharap
untuk mematuknya, burung itu datang mendekat sang thera. Si penggosok permata
yang pada saat itu sangat marah, menyepak burung dengan seluruh kekuatannya,
sehingga burung itu mati seketika.
Kemudian thera itu berkata, "Lihatlah, apakah
burung itu mati atau tidak?"
Penggosok permata menjawab: "Kamu juga seharusnya
mati seperti burung itu".
Ketika sang thera yakin bahwa burung itu telah mati,
dia menjawab dengan pelan: "Muridku, burung itulah yang menelan ruby
tersebut".
Mendengar itu, penggosok permata membelah badan burung
tersebut, dan menemukan ruby di dalam perutnya. Kemudian penggosok permata
menyadari bahwa dia telah bersalah dan menggigil ketakutan. Dia memohon kepada
sang thera untuk mengampuninya dan terus menerima dana makanan di muka pintu
rumahnya.
Thera itu menjawab, "Muridku, ini bukanlah
kesalahanmu dan juga kesalahanku. Ini terjadi disebabkan oleh apa yang telah
kita perbuat dalam kehidupan lampau. Ini hanyalah hutang kita dalam proses
kehidupan (samsara). Saya tidak sakit hati terhadapmu, fakta ini terjadi karena
saya memasuki rumah. Mulai hari ini, saya tidak akan memasuki rumah manapun,
saya hanya akan berdiri di muka pintu".
Segera setelah mengatakan hal ini, sang thera meninggal
dunia akibat luka-lukanya.
Mendengar kejadian itu, bhikkhu-bhikkhu bertanya
kepada Sang Buddha dimana pelaku kisah di atas akan terlahir kembali?
Sang Buddha menjawab, "Burung itu terlahir
kembali sebagai putra penggosok permata; penggosok permata terlahir kembali di
alam neraka (Niraya); istri penggosok permata terlahir kembali di salah satu
alam dewa; dan sang thera, yang telah mencapai tingkat kesucian arahat pada
kehidupannya saat ini, merealisasi 'Kebebasan Akhir' (parinibbana)".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
126 berikut:
Sebagian orang terlahir melalui
kandungan;
pelaku kejahatan terlahir di alam
neraka;
orang yang berkelakuan baik pergi ke
surga;
dan orang yang bebas dari kekotoran
batin mencapai nibbana.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar