Oleh: Ajahn Chah
Kebanyakan orang masih saja tidak mengetahui inti dari latihan meditasi. Mereka mengira meditasi berjalan, meditasi duduk dan mendengarkan khotbah Dhamma itulah yang disebut berlatih. Itu ada benarnya juga, tetapi hal-hal ini hanyalah penampilan luar saja dari latihan. Latihan yang sebenarnya akan terjadi pada saat pikiran bertemu dengan objek-objek indera. Itulah tempat untuk berlatih, di mana kontak dengan indera terjadi. Bila orang-orang mengatakan hal-hal yang tidak kita sukai, maka akan ada kebencian, jika mereka mengucapkan kata-kata yang kita sukai, maka kita pun senang. Sekarang, di sinilah tempat untuk berlatih. Bagaimana kita akan berlatih dengan hal-hal semacam ini? Ini adalah titik yang sangat penting. Jika kita hanya berlari ke sana ke mari sambil mengejar kebahagiaan dan menghindar dari penderitaan di setiap saat, kita bisa saja berlatih hingga hari kematian kita, namun kita takkan pernah melihat Dhamma. Tidak ada gunanya. Ketika kesenangan dan kesengsaraan muncul, bagaimana kita akan menggunakan Dhamma untuk membebaskan diri dari mereka? Inilah tujuan dari latihan.
Biasanya, ketika orang berhadapan dengan sesuatu yang tidak sejalan dengan mereka, mereka tidak akan membuka diri terhadapnya. Seperti ketika orang dikritik: “Jangan ganggu saya! Mengapa menyalahkan saya?” Ini adalah seseorang yang telah menutup dirinya sendiri. Tepat di sanalah tempat untuk berlatih. Ketika orang mengkritik kita, kita seharusnya mendengarkannya. Apakah mereka berkata benar? Kita seharusnya terbuka dan mempertimbangkan apa yang mereka katakan. Mungkin ada tujuan di balik kata-kata mereka, barangkali memang ada sesuatu yang salah pada diri kita. Mereka mungkin saja benar namun kita dengan cepat menjadi tersinggung. Jika orang menunjukkan kesalahan kita, kita seharusnya berusaha untuk menghilangkan kesalahan tersebut dan memperbaiki diri kita sendiri. Beginilah caranya orang-orang yang cerdas akan berlatih.
Di mana ada kebingungan, maka di sana pula kedamaian bisa muncul. Bila kebingungan ditembus dengan pengertian, yang tersisa adalah kedamaian. Beberapa orang tidak bisa menerima kritik, mereka arogan. Mereka malah berbalik dan berdebat. Hal ini terjadi khususnya ketika orang-orang dewasa berhadapan dengan anak-anak. Sebenarnya, kadangkala anak-anak mungkin mengatakan beberapa hal yang cerdas, tetapi jika, katakanlah, kalian menjadi ibu mereka, kalian tak ingin menyerah begitu saja kepada mereka. Jika kalian adalah seorang guru, kadang-kadang murid-murid kalian mungkin mengatakan sesuatu yang tidak kalian ketahui, tetapi karena kalian adalah sang guru, maka kalian tidak mau mendengar. Ini bukanlah pemikiran yang benar.
Pada zaman Sang Buddha dulu, ada seorang murid yang sangat cerdas. Pada suatu waktu, ketika Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma, beliau berpaling kepada bhikkhu ini dan bertanya, “Sariputta, apakah kamu mempercayai ini?” Yang Mulia Sariputta menjawab, “Belum, saya belum mempercayainya.” Sang Buddha memuji jawabannya. “Bagus sekali, Sariputta, engkau adalah orang yang diberkahi dengan kebijaksanaan. Seseorang yang bijaksana, tidak langsung percaya, dia mendengarkan dengan pikiran yang terbuka dan kemudian mempertimbangkan kebenarannya sebelum mempercayai atau tidak mempercayainya.”
Sekarang, di sini Sang Buddha telah memberikan contoh yang baik sebagai seorang guru. Apa yang dikatakan Yang Mulia Sariputta adalah benar, beliau hanya mengutarakan perasaannya yang sebenarnya. Beberapa orang akan berpikir bahwa untuk mengatakan kalian tidak percaya pada ajaran itu berarti sama seperti tidak menghormati guru tersebut, mereka takut mengatakan hal-hal semacam ini. Mereka hanya setuju dan menerima begitu saja. Beginilah jalan duniawi itu adanya. Tetapi Sang Buddha tidak tersinggung. Beliau mengatakan bahwa kalian tidak perlu merasa malu terhadap hal-hal yang tidak salah atau buruk. Tidak ada salahnya jika kalian berkata bahwa kalian tidak percaya kalau memang kalian tidak mempercayainya. Itulah sebabnya mengapa Yang Mulia Sariputta berkata, “Saya belum mempercayainya.” Sang Buddha memuji beliau. “Bhikkhu ini memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Dia mempertimbangkan dengan teliti sebelum mempercayai apa pun.” Tindakan Sang Buddha di sini merupakan suatu contoh yang baik untuk mereka yang menjadi guru bagi yang lain. Kadangkala kalian bisa belajar sesuatu bahkan dari seorang anak kecil; jangan secara membuta melekat begitu saja pada posisi-posisi dalam hirarki kekuasaan.
Apakah kalian sedang berdiri, duduk, atau berjalan di berbagai tempat, kalian selalu dapat mempelajari hal-hal di sekitar kalian. Kita belajar dengan cara yang alamiah, bersifat terbuka pada segala sesuatunya, apakah mereka berupa penglihatan-penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa kecapan, perasaan ataupun pikiran-pikiran. Orang yang bijaksana mempertimbangkan mereka semua. Di dalam latihan yang sebenarnya, kita menuju pada suatu titik di mana tiada lagi kekhawatiran apa pun di dalam batin.
Jika kita masih tetap tidak mengetahui rasa suka dan tidak suka begitu mereka muncul, itu artinya masih ada kekhawatiran di dalam batin kita. Jika kita tahu kebenaran dari semua ini, kita merenungkan, “Oh, perasaan suka ini tidak ada apa-apanya. Ia hanyalah perasaan yang muncul dan pergi begitu saja. Ketidaksukaan itu tidak lebih dari suatu perasaan yang muncul dan pergi. Mengapa menganggap seolah-olah mereka itu ada?” Jika kita mengira bahwa kesenangan dan kesengsaraan adalah milik pribadi, maka kita akan menghadapi masalah, kita takkan pernah keluar dari titik di mana kita mengalami kekhawatiran atau yang lainnya, di dalam suatu mata rantai yang tidak terputus. Beginilah keadaannya bagi kebanyakan orang.
Tetapi pada zaman sekarang, orang-orang tidak begitu sering membicarakan tentang batin ketika sedang mengajarkan Dhamma, mereka tidak membicarakan tentang kebenaran. Jika kalian berbicara tentang kebenaran, orang bahkan akan menyangkalnya. Mereka mengatakan hal-hal seperti, “Dia tidak tahu waktu dan tempat, dia tidak tahu bagaimana cara berbicara yang sopan.” Tetapi orang-orang seharusnya mendengarkan kebenaran. Guru yang sejati tidak hanya berbicara dari ingatannya saja, tetapi dia juga mengatakan kebenaran. Orang-orang di dalam masyarakat umum biasanya berbicara dari ingatan mereka saja, tetapi sebaliknya guru yang sejati berbicara tentang kebenaran. Orang-orang di dalam masyarakat umum biasanya berbicara dari ingatan mereka, dan yang lebih parah lagi mereka biasanya berbicara untuk memuja-muji diri mereka sendiri. Bhikkhu yang sejati tidaklah berbicara seperti itu, dia mengatakan kebenaran, tentang sifat-sifat sejati dari segala sesuatunya.
Tidak peduli sekeras apa pun usahanya untuk menjelaskan tentang kebenaran, sungguh sulit bagi orang-orang untuk memahaminya. Sungguh sulit untuk memahami Dhamma. Jika kalian memahami Dhamma, kalian seharusnya mempraktekkannya. Mungkin tidak perlu menjadi bhikkhu, walaupun kehidupan seorang bhikkhu adalah bentuk yang ideal untuk berlatih. Untuk benar-benar berlatih, kalian harus meninggalkan segala kebingungan di dunia ini, melepaskan keluarga dan harta milik, dan pergi ke hutan-hutan. Inilah tempat yang ideal untuk berlatih.
Tetapi jika kita masih memiliki keluarga dan tanggung jawab, bagaimana kita bisa berlatih? Beberapa orang bilang tidak mungkin mempraktekkan Dhamma selagi masih menjadi umat awam. Pertimbangkan hal ini, kelompok mana yang lebih besar, bhikkhu atau umat awam? Umat awam jauh lebih banyak. Sekarang, jika hanya bhikkhu-bhikkhu saja yang berlatih dan umat awam tidak, lalu itu artinya akan ada begitu banyak kebingungan. Ini adalah pemahaman yang salah. “Saya tak bisa menjadi bhikkhu…” Menjadi seorang bhikkhu bukanlah tujuan sebenarnya! Menjadi bhikkhu tidak mempunyai arti sama sekali jika kalian tidak berlatih. Jika kalian benar-benar memahami praktek Dhamma, maka tak peduli apa pun jabatan atau pekerjaan kalian sehari-hari, apakah itu guru, dokter, pegawai sipil atau apa pun itu, kalian dapat mempraktekkan Dhamma di setiap saat.
Untuk berpikir bahwa sebagai umat awam, kalian tidak bisa berlatih, itu artinya kalian telah kehilangan arah sama sekali. Mengapa orang-orang bisa punya motivasi untuk melakukan hal-hal yang lain? Jika mereka merasa kekurangan sesuatu, mereka berusaha untuk mendapatkannya. Jika ada keinginan yang cukup, orang dapat melakukan apa pun. Beberapa orang bilang, “Saya belum ada waktu untuk mempraktekkan Dhamma.” Saya katakan, “Lalu bagaimana kalian bisa mempunyai waktu untuk bernafas?” Bernafas itu sangat penting bagi kehidupan manusia. Jika mereka memandang praktek Dhamma sama pentingnya dengan hidup mereka, maka mereka juga akan memandang Dhamma sama pentingnya dengan nafas mereka.
Praktek Dhamma bukanlah sesuatu yang harus kalian kelilingi sambil berlari-lari atau sesuatu yang akan menghabiskan seluruh tenaga kalian. Perhatikan saja perasaan-perasaan yang muncul di dalam pikiran kalian. Bila mata melihat bentuk-bentuk, telinga mendengar suara-suara, hidung mencium aroma-aroma dan seterusnya, mereka semua bergerak menuju pikiran yang menyatu ini, “yang mengetahui.” Sekarang, ketika pikiran mengamati hal-hal ini, apa yang terjadi? Jika kita menyukai objek tersebut, kita akan merasa senang, jika kita tidak menyukainya, kita merasa tidak senang. Itu saja mereka adanya.
Jadi, di manakah kalian akan menemukan kebahagiaan di dunia ini? Apakah kalian mengharapkan agar setiap orang mengucapkan hanya kata-kata yang menyenangkan kalian saja sepanjang hidup kalian? Mungkinkah itu? Tidak, itu tidak mungkin. Jika tidak mungkin, lalu apa yang akan kalian lakukan? Dunia memang seperti ini, kita harus mengetahui dunia – lokavidu – mengetahui kenyataan dari dunia ini. Dunia adalah sesuatu yang seharusnya kita pahami dengan jelas. Sang Buddha hidup di dunia ini, beliau tidak hidup di tempat lain. Beliau menjalani kehidupan berkeluarga, tetapi beliau melihat keterbatasannya dan melepaskan diriNya dari mereka. Sekarang, bagaimana kalian sebagai umat awam, akan berlatih? Jika kalian ingin berlatih, kalian harus berusaha untuk mengikuti sang jalan. Jika kalian berusaha dengan tekun untuk berlatih, kalian juga akan melihat keterbatasan dunia ini dan akan mampu untuk melepaskannya.
Orang yang minum alkohol kadang-kadang berkata, “Saya tidak bisa melepaskannya.” Mengapa mereka tidak bisa melepaskannya? Karena mereka belum melihat kerugian yang ada di dalamnya. Jika mereka melihat dengan jelas kerugiannya, mereka tak akan menunggu hingga disuruh untuk melepaskannya. Jika kalian tidak melihat kerugian dari sesuatu, itu berarti kalian juga tidak dapat melihat manfaat dari melepaskannya. Latihan kalian menjadi sia-sia, kalian hanya bermain-main dengan latihan. Jika kalian melihat dengan jelas kerugian dan manfaat dari sesuatu, kalian tidak perlu lagi menunggu orang lain untuk memberitahukan kalian tentangnya. Coba renungkan cerita mengenai nelayan yang menemukan sesuatu pada jaring penangkap ikannya. Dia tahu ada sesuatu di sana, dia bisa mendengarnya menggelepar di dalam. Menyangka bahwa ia adalah ikan, dia menjulurkan tangannya ke dalam jaring, tetapi hanya menemukan jenis hewan yang lain. Dia belum bisa melihatnya, jadi dia menjadi ragu-ragu. Di tangan yang satu mungkin ikan belut (note: ikan belut dianggap sebagai makanan yang lezat di beberapa daerah di Thailand), tetapi lagi-lagi ia bisa saja seekor ular. Jika dia membuangnya, dia mungkin akan menyesalinya… ia bisa saja seekor ikan belut. Di pihak lain, jika dia terus memegangnya dan jika ternyata ia adalah seekor ular, ia bisa menggigit dirinya. Dia terjebak di dalam keragu-raguan. Nafsu keinginannya begitu kuat sehingga ia terus memegangnya, kalau-kalau saja ia adalah ikan belut, tetapi begitu dia mengangkatnya dan melihat kulit yang bercorak loreng-loreng, dia langsung melemparkannya ke bawah. Dia tidak perlu menunggu seseorang untuk berteriak, “Itu seekor ular, itu seekor ular, lepaskan!” Penglihatan akan ular, memberitahukan apa yang harus dilakukannya secara jauh lebih jelas daripada yang bisa dilakukan dengan kata-kata saja. Mengapa? Karena dia melihat bahaya – ular bisa menggigit! Siapa yang perlu memberitahukannya tentang hal ini? Dengan cara yang sama, jika kita berlatih hingga kita mampu melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, kita tidak akan terlibat dengan hal-hal yang membahayakan.
Orang-orang tidak terbiasa berlatih seperti ini, mereka biasanya berlatih untuk hal-hal lain. Mereka tidak mempertimbangkan segala sesuatunya, mereka tidak merenungkan usia tua, sakit dan kematian. Mereka hanya berbicara tentang hal-hal yang tak berhubungan dengan usia tua dan kematian, jadi mereka tidak pernah mengembangkan perasaan yang benar terhadap praktek Dhamma. Mereka pergi dan mendengarkan khotbah Dhamma, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh menyimaknya. Kadang-kadang saya diundang untuk memberikan ceramah pada acara-acara yang penting, tetapi hal itu hanya akan menjadi gangguan bagi saya saja untuk pergi ke sana. Mengapa demikian? Karena ketika saya memperhatikan orang-orang yang berkumpul di sana, saya bisa melihat bahwa mereka datang bukan untuk mendengarkan Dhamma. Beberapa orang ada yang mulutnya bau alkohol, ada yang merokok, ada yang sedang ngobrol…. mereka sama sekali tidak terlihat seperti orang-orang yang telah meyakini Dhamma. Memberikan ceramah di tempat-tempat seperti itu sungguh kecil manfaatnya. Orang yang tenggelam dalam ketidakpedulian cenderung untuk berpikir hal-hal seperti, “Kapan sih dia akan berhenti berbicara?... Tak bisa melakukan ini, tak bisa melakukan itu…” dan pikiran mereka pun berkeliaran ke mana-mana.
Kadang-kadang, mereka bahkan mengundang saya untuk memberikan ceramah hanya untuk sekedar formalitas belaka: “Tolong berikanlah kami sedikit ceramah Dhamma saja, Yang Mulia.” Mereka tidak ingin saya berbicara terlalu banyak, itu akan mengganggu mereka! Begitu saya mendengar orang-orang berbicara seperti ini, saya sudah tahu apa maksud mereka. Orang-orang ini tidak suka mendengarkan Dhamma. Itu akan mengganggu mereka. Jika saya hanya memberikan ceramah yang sedikit saja, mereka tak akan mengerti. Jika kalian mengambil sedikit saja makanan, apakah cukup? Tentu saja tidak.
Kadang-kadang, ketika saya sedang memberikan ceramah, dan baru saja memulai topik pembicaraan, beberapa orang pemabuk akan berteriak, “Oke, berikan jalan, berikan jalan kepada Yang Mulia, dia akan keluar sekarang!” – mencoba untuk mengalihkan perhatian saya! Jika saya bertemu dengan orang seperti ini, saya mendapat banyak bahan-bahan untuk direnungkan, saya memperoleh suatu pencerahan akan sifat alami manusia. Seperti seseorang yang mendapat sebotol penuh air dan kemudian meminta lebih banyak lagi. Tidak ada tempat lagi untuk menampungnya. Itu semua tidak sepadan dengan waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk mengajari mereka, karena pikiran mereka sudah penuh terlebih dahulu. Tuang lebih banyak lagi dan ia hanya akan meluap dengan sia-sia. Jika botol mereka kosong, akan ada tempat untuk menampung air, dan kedua-duanya, baik yang memberi maupun yang menerima, akan memperoleh manfaatnya.
Dengan cara ini, ketika orang-orang benar-benar tertarik pada Dhamma dan duduk dengan tenang, mendengarkan dengan seksama, saya merasa lebih terinspirasi untuk mengajar. Jika orang tidak memperhatikan, ia sama seperti orang dengan botol yang penuh dengan air… tidak ada ruang kosong lagi untuk menampungnya. Sungguh tidak setimpal dengan waktu yang dihabiskan untuk berbicara dengan mereka. Dalam situasi seperti ini, saya tidak punya tenaga sama sekali untuk mengajar. Kalian tidak bisa berusaha keras untuk memberi, bila tidak ada yang berusaha keras untuk menerima pula.
Pada zaman sekarang, memberikan ceramah cenderung menjadi seperti ini, dan ia menjadi semakin memburuk setiap saat. Orang-orang tidak mencari kebenaran, mereka belajar hanya untuk mendapatkan pengetahuan yang diperlukan untuk meniti karir, membangun keluarga dan menjaga diri mereka sendiri. Mereka belajar untuk sebuah mata pencaharian. Mungkin ada beberapa pelajaran Dhamma, tetapi tidak banyak. Para pelajar di zaman sekarang memiliki pengetahuan yang lebih luas dibandingkan pelajar-pelajar di masa lalu. Semua keperluan mereka dipenuhi, segala sesuatunya menjadi lebih menyenangkan. Tetapi mereka juga menjadi semakin bingung dan menderita dibandingkan sebelumnya. Mengapa demikian? Karena mereka hanya mencari jenis pengetahuan yang dipergunakan untuk meniti karir saja.
Bahkan para bhikkhu juga seperti ini. Kadang-kadang saya mendengar mereka berkata, “Saya menjadi bhikkhu bukan untuk mempraktekkan Dhamma, saya ditahbiskan hanya untuk belajar.” Ini adalah kata-kata dari seseorang yang telah menghentikan latihannya secara total. Tidak ada jalan lagi di depan sana, jalan buntu. Bila bhikkhu-bhikkhu ini mengajar, ia bersumber hanya dari ingatannya saja. Mereka mungkin mengajarkan sesuatu, tetapi pikiran mereka sepenuhnya berada di tempat lain. Cara mengajar seperti ini tidaklah benar.
Beginilah dunia ini. Jika kalian mencoba hidup sederhana, mempraktekkan Dhamma dan hidup dengan damai, mereka bilang kalian itu aneh dan tidak mau bermasyarakat. Mereka bilang kalian menghambat kemajuan di masyarakat. Mereka bahkan menakut-nakuti kalian. Pada akhirnya kalian bahkan mungkin mulai mempercayai mereka dan kembali kepada jalan duniawi, tenggelam lebih dalam dan lebih dalam lagi ke dalam dunia hingga tidak mungkin lagi untuk keluar. Beberapa orang berkata, “Saya tidak bisa keluar sekarang, saya sudah masuk terlalu dalam.” Inilah kecenderungan masyarakat. Mereka tidak menghargai nilai dari Dhamma.
Nilai dari Dhamma tidaklah untuk ditemukan di buku-buku. Itu hanyalah penampilan luar saja dari Dhamma, mereka bukanlah pemahaman Dhamma sebagai suatu pengalaman pribadi. Jika kalian memahami Dhamma, kalian memahami batin kalian sendiri, kalian melihat kebenaran di sana. Ketika kebenaran menjadi semakin jelas, ia akan menghentikan arus khayalan dan kebodohan.
Ajaran Sang Buddha adalah kebenaran yang tidak berubah, apakah di saat ini ataupun di waktu yang lain. Sang Buddha membabarkan kebenaran ini 2.500 tahun yang lalu dan sejak saat itu, ia menjadi kebenaran yang sejati. Ajaran ini seharusnya tidak ditambah atau dikurangi. Sang Buddha berkata, “Apa yang telah Tathagata paparkan seharusnya tidak dibuang, apa yang tidak dipaparkan oleh Tathagata seharusnya tidak ditambahkan ke dalam ajaran-ajaran ini.” Beliau “menutup rapat-rapat” ajaran-ajaran ini. Mengapa Sang Buddha menutup mereka rapat-rapat? Karena ajaran-ajaran ini adalah kata-kata yang berasal dari seseorang yang sudah tidak memiliki kekotoran batin. Tidak peduli bagaimana pun dunia ini berubah, ajaran-ajaran ini tidak akan terpengaruh, mereka tak akan berubah dengannya. Jika ada sesuatu yang salah, meskipun jika orang-orang mengatakan ia benar, tidak membuatnya menjadi berkurang salahnya. Jika sesuatu benar, itu tidak akan berubah hanya karena orang-orang mengatakan yang sebaliknya. Generasi demi generasi akan datang dan pergi, tetapi hal-hal ini tidak akan berubah, karena ajaran-ajaran ini adalah kebenaran.
Sekarang, siapakah yang menciptakan kebenaran ini? Kebenaran sendirilah yang menciptakan kebenaran! Apakah Sang Buddha menciptakannya! Tidak, beliau tidak menciptakannya. Sang Buddha hanya menemukan kebenaran, sifat-sifat sejati dari segala sesuatunya, dan kemudian membabarkannya. Kebenaran ini tetaplah benar, terlepas dari apakah seorang Buddha muncul di dunia atau tidak. Sang Buddha hanya “memiliki” Dhamma di dalam konteks ini, beliau tidak benar-benar menciptakannya. Ia telah ada di sini sepanjang masa, namun sebelumnya tidak ada seorang pun yang mencari dan menemukan Yang Tidak Mati tersebut, dan kemudian mengajarkannya sebagai Dhamma. Beliau tidak menciptakannya, ia telah ada di sana terlebih dahulu.
Pada beberapa masa, kebenaran ini bersinar terang dan praktek Dhamma pun berkembang. Seiring dengan berjalannya waktu dan berakhirnya generasi demi generasi, praktek ini menjadi menurun dan berkurang hingga ajaran tersebut sirna sama sekali. Setelah beberapa waktu, ajaran ini ditemukan kembali dan berkembang lagi. Waktu pun terus berlanjut, pengikut-pengikut Dhamma menjadi berlipat ganda, kesejahteraan pun tiba, dan sekali lagi ajaran ini mulai mengikuti kegelapan dunia. Jadi, untuk kesekian kalinya, ia merosot dan menurun, hingga pada suatu saat ia tidak mampu lagi bertahan. Kebingungan pun berkuasa kembali. Lalu kemudian tiba saatnya untuk membangun kembali sang kebenaran. Sebenarnya, kebenaran ini tidak pergi ke mana-mana. Ketika para Buddha wafat, Dhamma tidak ikut hilang bersama mereka.
Dunia berputar seperti ini. Mirip seperti pohon mangga. Pohonnya tumbuh besar, berbunga, dan buah-buah pun muncul dan berkembang hingga masak. Mereka membusuk dan benihnya kembali ke dalam tanah untuk menjadi pohon mangga yang baru. Perputarannya dimulai lagi. Pada akhirnya, terdapat lebih banyak buah-buah masak yang terus jatuh, busuk, terbenam di dalam tanah sebagai benih-benih dan tumbuh kembali menjadi pohon-pohon. Beginilah dunia. Ia tidak pergi terlalu jauh, ia hanya berputar di sekitar hal-hal yang sama.
Kehidupan kita di saat ini juga sama. Hari ini kita hanya melakukan hal-hal yang sama yang selalu kita lakukan pada hari-hari sebelumnya. Orang-orang berpikir terlalu banyak. Ada begitu banyak hal yang membuat mereka tertarik, tetapi tidak satu pun dari mereka yang menuntun kepada penyelesaian. Ada ilmu pengetahuan seperti matematika, fisika, psikologi dan seterusnya. Kalian bisa menggali mereka secara lebih mendalam, tetapi kalian bisa mengakhiri segala sesuatunya hanya dengan kebenaran.
Anggaplah ada sebuah pedati yang sedang ditarik oleh seekor keledai. Roda-rodanya tidak panjang, tetapi jejak rodanya lah yang panjang. Selama keledai itu menarik pedati tersebut, jejak rodanya akan mengikuti. Roda-rodanya bulat, namun jejaknya panjang; jejak rodanya panjang namun roda-rodanya hanya berupa bulatan saja. Hanya memperhatikan pedati yang tidak bergerak itu saja, kalian takkan dapat melihat apa pun yang panjang darinya, tetapi begitu keledai itu mulai bergerak, kalian melihat jejaknya yang membentang di belakang kalian. Selama keledai itu terus menarik, roda-rodanya pun terus berputar… tetapi akan tiba saatnya ketika keledai itu lelah dan melepaskan tali penariknya. Si keledai angkat kaki dan meninggalkan pedati yang kosong itu di sana. Roda-rodanya tidak lagi berputar. Bila saatnya tiba, pedati tersebut akan tercerai berai, bagian-bagiannya akan terurai kembali menjadi keempat unsur-unsur – tanah, air, angin dan api.
Mencari kedamaian di dunia adalah seperti kalian membentangkan jejak roda pedati secara terus-menerus tanpa akhir di belakang kalian. Selama kalian masih mengikuti dunia, tak akan ada penghentian, takkan ada istirahat. Jika kalian berhenti mengikutinya, pedati akan beristirahat, roda-rodanya tidak lagi berputar. Mengikuti dunia akan memutar roda-roda tersebut tanpa henti. Membuat kamma buruk adalah seperti ini. Selama kalian masih mengikuti cara yang lama, maka tidak akan ada penghentian. Jika kalian berhenti, maka akan ada penghentian. Beginilah cara kita mempraktekkan Dhamma.
* Note: Ceramah tidak resmi ini diberikan setelah memenuhi undangan untuk menerima persembahan makanan di rumah seorang umat awam di Ubon, ibukota distrik, dekat Wat Pah Pong.
* Dikutip dan diterjemahkan dari buku: “The Teachings Of Ajahn Chah”, sub judul: “Living Dhamma – Living In The World With Dhamma”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar