Oleh: Bhikkhu Dhammiko
Dalam kehidupan kita sebagai manusia, umumnya kita mendambakan hidup yang baik atau mulia. Tidak ada seorang pun yang ingin hidupnya hina atau tercela. Berbagai macam cara dan usaha dilakukan untuk mencapai cita-cita hidup yang mulia tersebut, dan terkadang cara dan usaha yang kita lakukan itu tidak baik, tidak terpuji dan tidak mulia, merugikan orang lain atau makhluk lain. Sebagai contoh, ada orang yang ingin kaya, untuk mencapai keinginan itu, ia kemudian pergi ke tempat-tempat yang dianggap keramat, ingin jadi penguasa, caranya menindas orang lain, memaksakan kehendak dan sebagainya.
Terhadap cara dan usaha yang salah dalam mendapatkan kemuliaan hidup ini, Sang Buddha menyatakan dalam Jataka I, Khuddaka Nikaya:
Dhiratthu tam yasalabham,
Dhanalabhanca brahmanam,
Ya vutti vinipatena, Adhammacaranena va.
"Sungguh menjijikkan,
jika kemasyuran, kekayaan, pangkat dan berbagai macam kemuliaan
didapat dengan cara yang menyimpang dari Dhamma"
Sistem Sosial Masyarakat India Zaman Dahulu
Di zaman sebelum munculnya agama Buddha di India (bahkan masih berlaku sampai sekarang), kemuliaan seseorang ditentukan oleh garis keturunannya atau berdasarkan faktor biologis. Kita mengetahui bahwa dalam masyarakat India ada sistem perbedaan golongan dalam masyarakat, yang dikenal dengan sebutan Varna Dharma atau Kasta. Jika seseorang lahir dalam kasta yang tinggi, brahmana atau ksatria, maka orang tersebut dianggap sebagai orang mulia, dipuji dan disanjung, walaupun kelakuannya jahat, tercela, tidak sesuai dengan tata susila atau dengan kata lain kelakuan orang tersebut tidak mulia. Tetapi, jika seseorang lahir dalam kasta yang rendah, sudra, maka ia akan dianggap tidak mulia, tercela dan hina, walaupun orang tersebut kelakuannya baik, terpuji, sesuai dengan tata susila, dan mulia.
Sang Buddha menolak sistem kasta, Beliau juga menolak jika status kemuliaan seseorang ditentukan berdasarkan garis keturunan atau faktor biologis. Sebagai bukti nyata, Sang Buddha menerima Upali si tukang cukur masuk ke dalam Sangha. Dan lebih lanjut dalam Vasala Sutta dari Sutta Nipata, Beliau menyatakan:
Na jacca vasalo hoti, na jacca hoti brahmano,
Kammana vasalo hoti, kammana hoti brahmano.
"Bukan karena kelahiran seseorang menjadi tidak mulia atau hina,
Bukan karena kelahiran seseorang menjadi mulia,
Tetapi perbuatan atau tingkah lakulah
yang menentukan seseorang hina atau mulia."
(Vasala Sutta, Sutta Nipata 136)
"Jika seseorang menjadi sombong karena keturunan,
kekayaan atau lingkungannya,
serta memandang rendah sanak keluarga dan kerabatnya,
maka ini merupakan sebab penderitaan baginya."
(Parabhava Sutta, SN 104)
Asal-mula Munculnya Sistem Kasta
Pada awalnya, dalam kebudayan asli bangsa India (bangsa Dravida) belumlah terdapat sistem kasta. Tetapi, setelah datangnya bangsa luar, yaitu bangsa Arya yang masuk ke India lewat celah Khaibar di kaki pegunungan Himalaya, maka mulailah muncul sistem penggolongan berdasarkan keturunan ini.
Kemungkinan awal munculnya kasta karena terdapat perbedaan fisik antara suku bangsa asli dengan kaum pendatang. Orang-orang Dravida sebagai suku bangsa asli memiliki kulit yang hitam, hidung pesek, rambut keriting, dan postur tubuh yang pendek. Sedangkan orang-orang Arya sebaliknya, memiliki kulit yang putih, hidung mancung, rambut pirang, dan postur tubuh yang tinggi. Karena perbedaan bentuk fisik inilah, maka orang Arya menganggap diri mereka lebih tinggi daripada orang Dravida.
Lebih lanjut, dalam Puruksa Sutra dari Weda diceritakan bahwa sistem kasta awal munculnya karena para dewa pada saat itu melakukan upacara kurban Makhluk raksasa bernama Puruksa ke dalam api suci. Pada saat Puruksa dikurbankan, raksasa itu dari mulutnya terciptalah kasta brahmana, dari bahu muncul kasta ksatria, dari paha muncul kasta vaisya, dan dari kaki muncul kasta sudra yang merupakan kasta terendah. Di samping empat kasta di atas terdapat juga kaum rendah, kaum yang di luar kasta yang disebut Candala atau Puruksa.
Dalam Agganna Sutta, Digha Nikaya, terdapat penjelasan Sang Buddha yang ditujukan kepada Vasettha dan Bharadvaja tentang asal-mula munculnya `istilah' brahmana, ksatria, vaisya dan sudra. Dalam Sutta ini, Sang Buddha menjelaskan bahwa istilah ksatria diberikan kepada orang yang mampu menjadi pemimpin, yang bermoral, adil dan bijaksana. Istilah brahmana diberikan kepada mereka yang mampu memimpin upacara-upacara keagamaan, vaisya kepada mereka yang memiliki keahlian dalam berdagang, bertani, dan beternak. Sedangkan istilah sudra diberikan kepada mereka yang gemar menyakiti makhluk hidup dan memiliki moral yang rendah.
Ciri Orang Mulia
Jadi, dalam Dhamma status kemuliaan seseorang itu dilihat dari perbuatan atau tingkah lakunya dan bukan dilihat dari garis kelahiran atau keturunannya. Tentu saja, jika seseorang ingin menjadi orang yang mulia menurut Dhamma, maka perbuatan orang tersebut harus baik, terpuji sesuai dengan tata susila.
Orang mulia harus melaksanakan Sila. Sila yang oleh Bhikkhu Buddhaghosa dalam bukunya, Visudhi Magga, dikelompokkan memiliki dua aspek, yaitu Varita Sila dan Carita Sila. Varita Sila adalah sila yang bersifat pasif atau lebih bersifat kepada pengendalian diri, contohnya adalah Pancasila, Atthasila dan Dasasila. Sedangkan Carita Sila adalah sila yang bersifat aktif atau lebih bersifat pengembangan diri, yaitu Panca Dhamma, lima sifat mulia, atau Kalyana Dhamma.
Lima Sifat Mulia
Adapun lima sifat mulia (Panca Dhamma) yang harus kita kembangkan dalam diri kita adalah:
1. Metta-Karuna
Metta berarti cinta kasih universal yang dipancarkan dengan tanpa batas dan tanpa pamrih apapun. Karuna adalah rasa kasihan melihat penderitaan yang dialami orang atau makhluk lain. Metta dan Karuna adalah dua sifat pertama dari empat kediaman luhur (Brahma Vihara) atau empat keadaan yang tak terbatas (Apamanna). Metta dan Karuna memiliki tujuan yang sama, yaitu mengharapkan orang lain atau makhluk lain berbahagia.
Cinta kasih dan belas kasih dalam Dhamma tidak hanya kita pancarkan kepada sesama manusia saja, tetapi juga Metta-Karuna kita pancarkan kepada semua makhluk. Kepada makhluk yang besar atau kecil, panjang atau pendek, gemuk atau kurus, terlihat atau tidak terlihat, yang telah lahir ataupun yang akan lahir. Demikianlah cara pengembangan Metta-Karuna yang dijelaskan dalam Sutta Nipata 146-147. Inilah salah satu keistimewaan yang dimiliki agama Buddha. Jika dalam keyakinan lain ada ajaran yang mengajarkan kepada umatnya untuk membunuh atau menganiaya makhluk hidup pada hari atau waktu tertentu, tetapi sebaliknya, Buddha-Dhamma justru mengajarkan agar umatnya berbuat sesuatu untuk memberikan kebebasan (mengembangkan Metta-Karuna) kepada makhluk hidup. Salah satunya adalah dengan melepaskan mereka ke alam bebas (Abhaya dana) dan bukan membunuh atau menganiaya mereka. Inilah pengembangan cinta kasih dan belas kasih yang semestinya kita praktikkan.
2. Samma Ajiva
Samma Ajiva artinya mata pencaharian yang benar. Sebagai umat Buddha, Upasaka dan upasika dalam mencari penghidupan sehari-hari, hendaknya menghindari pencurian, korupsi, pemerasan, cara-cara yang rendah seperti meramal, dan menghindari perjudian.
Pencurian atau istilah `ngetrend'nya sekarang adalah korupsi, begitu merajalela di negara kita. Sampai-sampai sebuah lembaga riset internasional (TI: Transparancy International) menempatkan Indonesia di urutan ke-6 negara terkorup di dunia dan nomor satu negara terkorup di Asia. Sungguh memperihatinkan, Indonesia negeri yang terkenal memiliki kekayaan alam yang melimpah, kini juga dikenal dengan negeri yang memiliki hutang yang besar.
Mata pencaharian salah yang saat ini menjangkiti masyarakat kita adalah perjudian. Di mana-mana, di kota atau di desa, masyarakat kita begitu keranjingan judi. Umumnya, ketika kita berjudi kita berharap mendapat kemenangan, tak ada yang mengharap kalah. Kadang uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, uang untuk bayar SPP diselewengkan untuk berjudi dengan harapan akan mendapat hadiah yang besar dan berlipat. Tetapi, harapan tak selamanya sesuai kenyataan, kemenangan hanya menjadi impian, uang dan semua harta benda ludes karena di meja judi, kalah bertaruh atau kalah pasang nomor (togel). Kalau sudah begitu, maka kemiskinan semakin menghimpit, tak ada beras, tak ada uang SPP untuk anaknya dan tak ada sepeserpun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Dalam Anguttara Nikaya (V,177) Sang Buddha juga menjelaskan bahwa sebagai seorang umat Buddha (upasaka-upasika), hendaknya menghindari lima macam perdagangan salah (miccha vanija), yaitu:
· Berdagang makhluk hidup
· Berdagang daging
· Berdagang senjata
· Berdagang racun, dan
· Berdagang minuman keras
Korupsi, meramal, berjudi dan cara-cara lain yang bertentangan dengan Dhamma dalam mencari penghidupan bukanlah mata pencaharian yang benar. Tinggalkanlah semua itu dan tempuhlah penghidupan yang benar yang sesuai dengan Dhamma.
3. Kama Samvara
Kama artinya hawa nafsu indera atau birahi, Samvara adalah pengendalian diri, jadi sifat mulia yang ketiga adalah mengembangkan diri dalam pengendalian hawa nafsu birahi. Sebagai seorang suami, puaslah dengan satu isteri, dan sebagai seorang isteri, setialah dengan satu suami. Suami yang puas dengan satu isteri dalam Dhamma dikatakan sebagai suami yang Saddarasantutthi. Dan, isteri yang setia kepada satu suami dinyatakan sebagai isteri yang Pativati.
Tahun lalu, seorang pengusaha rumah makan, pelaku poligami dan juga mengakui dirinya sebagai Presiden Poligami, mengadakan sebuah ajang penghargaan bagi suami-suami yang mejalankan praktik poligami (Poligami Award). Sungguh memprihatinkan! Ajang ini sempat menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Banyak yang menolak dan tak sedikit pula yang mendukung. Penolakan terutama datang dari kaum perempuan yang jelas-jelas merasa dirugikan jika suami-suami mereka melakukan praktik poligami ini. Lalu, bagaimana pandangan agama Buddha terhadap hal ini?
Menurut Dhamma, mereka yang tidak memiliki rasa puas dengan apa yang sudah didapatnya, masih menginginkan apa yang belum menjadi miliknya atau menginginkan milik orang lain, maka orang tersebut akan menderita karena ketamakan, keserakahan dan kerakusannya sendiri. Mereka yang melakukan
praktik poligami adalah orang yang tamak, rakus, serakah, yang tidak memiliki rasa puas. Sifat-sifat jahat ini akan menyeretnya ke dalam penderitaan. Dalam Parabhava Sutta, Sutta Nipata, Sang Buddha menyatakan:
"Orang yang tidak puas dengan isterinya sendiri,
berhubungan dengan wanita-wanita penghibur,
serta terlihat dengan isteri orang lain,
inilah sebab penderitaan baginya
(SN 108).
Orang yang telah berusia lanjut,
tetapi memperisteri seorang wanita muda,
dan tidak dapat tidur karena dibakar cemburu,
inilah sebab penderitaan."
(SN 110)
Dalam Anguttara Nikaya VI,52, Brahmana Janusoni bertanya kepada Sang Buddha tentang tujuan-tujuan manusia. Yang pertama, ia bertanya tentang tujuan seorang satria, lalu brahmana, perumah-tangga, wanita, pencuri dan petapa. Sang Buddha menjelaskan hal-hal tersebut, dan Beliau menjawab tentang tujuan seorang wanita adalah:
"Seorang pria, O, brahmana, adalah tujuan seorang wanita,
yang dicari adalah perhiasan,
penopangnya adalah anak-anaknya,
keinginannya adalah tidak dimadu dan
cita-citanya adalah mendominasi."
Jadi, jelaslah bahwa sesungguhnya poligami atau suami yang memiliki isteri lebih dari satu, dalam Dhamma tidaklah mendapat tempat yang terpuji, sebaliknya, Dhamma mengajarkan kita agar menjauhi sifat-sifat jahat, tamak, rakus dan serakah. Jagalah keharmonisan dalam berumahtangga dengan kesetiaan dari pihak suami dan pihak isteri, agar dapat mewujudkan kehidupan perkawinan yang bahagia.
4. Sacca
Sifat mulia keempat adalah Sacca atau kejujuran, cinta akan kebenaran. Kita menjaga agar ucapan selalu baik, benar dan selalu jujur, tidak bohong atau dusta.
Memang, di zaman sekarang ini kita sulit sekali untuk mencari orang-orang yang jujur, sekarang kita cenderung menggunakan kata-kata bohong dalam meraih sesuatu yang kita inginkan, terlebih-lebih jika peluang untuk itu ada. Dahulu, orang mengatakan `orang jujur akan mujur', tetapi di zaman sekarang pepatah bijak ini telah diplesetkan menjadi orang jujur akan hancur'. Marilah kita renungkan. Sesungguhnya menurut Dhamma, kalau orang jujur, itu berarti dia telah melakukan perbuatan baik, dan buah dari kebaikan adalah kebahagiaan. Tetapi, sebaliknya orang yang berdusta berarti ia telah berbuat jahat, dan akibat perbuatan jahat adalah penderitaan.
"Seseorang yang suka berdusta,
mengabaikan kebenaran Dhamma,
melakukan semua perbuatan jahat,
pasti akan menderita pada kehidupan yang akan datang."
(Dhammapada XIII:10)
Saccam ve amata vaca, `kejujuran adalah ucapan yang membawa kebahagiaan', demikian yang dinyatakan oleh Guru Agung kita, Sang Buddha dalam Samyutta Nikaya. Di samping tidak berbohong, sebagai umat Buddha kita juga menghindari kata-kata kasar, cacian atau makian, omong kosong, fitnah dan sebagainya.
5. Sati-Sampajanna
Sati-Sampajanna adalah kesadaran atau kewaspadaan, penuh perhatian dalam mengamati aktivitas batin dan jasmani, tidak mabuk, lalai, lengah ataupun ceroboh.
Menjaga kesadaran atau kewaspadaan sangatlah penting. Kesadaran yang terjaga dengan baik akan membuat kita bahagia dan sebaliknya kelengahan/mabuk akan menyeret pada penderitaan. Sebagaimana yang dinyatakan Sang Buddha dalam Dhammapada II:1, sebagai berikut:
"Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan,
kelengahan adalah jalan menuju kematian,
mereka yang sadar tidak akan mati,
mereka yang tidak sadar seperti orang mati."
Tetapi sayangnya, ada orang yang senang dengan mabuk-mabukan, lengah, tidak sadar atau tidak waspada dengan mengkonsumsi obat-obat terlarang/narkoba. Di zaman Sang Buddha sarana yang membuat orang mabuk pada saat itu hanyalah berupa arak (sura, cairan yang disuling). Di zaman sekarang lebih banyak macamnya, tidak hanya sura, tetapi ada yang serbuk, pil/kapsul/tablet, suntikan, dihisap atau disedot dan berbagai macam lainnya. Hati-hati, penggunaan narkoba tidak hanya membuat kita mabuk, tetapi juga mendatangkan berbagai macam penyakit seperti HIV/AIDS. Virus HIV / AIDS, di samping menular lewat hubungan seksual yang salah (berganti-ganti pasangan), juga dapat menular lewat penyalahgunaan narkoba.
Di Jakarta Pusat, ada sebuah kawasan tempat para penderita HIV / AIDS menjalani pengobatan. Seorang pendamping penderita HIV/AIDS, menyatakan, "Para penderita di sini berusia sekitar 17 sampai 25 tahun. Sembilan puluh lima persen terinfeksi HIV karena pemakaian narkoba jenis suntik yang tidak steril (IDU: Injection Drugs Users). Beberapa waktu lalu dari 198 orang yang menjalani pemeriksaan sukarela, 92 persen dari mereka terinfeksi virus HIV. Kadang satu jarum suntik digunakan oleh lebih dari tiga puluh orang secara bergantian (Suara Pembaharuan, Jumat, 2 April 2004, hal 2).
Ingat! Narkotika dan obat-obat terlarang tidak hanya membawa penderitaan sampai di situ saja, tetapi mabuk-mabukan juga akan membuat kita melakukan pelanggaran sila-sila yang lain dari Pancasila Buddhis. Pelanggaran Sila akan menyeret pelakunya jatuh ke alam-alam rendah (Apayaloka). Jagalah kesadaran sebagai harta yang paling berharga, jangan lalai! Jangan lengah!
Inilah lima sifat mulia atau Panca Dhamma (Carita Sila) yang harus kita tanamkan, pupuk dan kembangkan, agar akar sifat mulia dapat tumbuh dengan kokoh dalam diri kita.
Marilah kita praktikkan cara-cara hidup yang mulia, agar buah kehidupan mulia dapat menjadi milik kita, mulia secara duniawi dan mulia secara batin. Kemuliaan hidup yang didapat sesuai dengan Dhamma.
Penutup.
Jika sekarang, secara biologis kita terlahir dalam keturunan yang mulia, dalam arti memiliki pangkat dan kekayaan, maka kita harus menggunakan apa yang kita miliki itu untuk meraih status kemuliaan dalam Dhamma dengan melaksanakan dua aspek sila, yaitu Varita Sila dan Carita Sila. Gunakan kemakmuran yang kita miliki ini untuk menambah kemajuan jasmani dan batin kita. Dan, jika secara biologis hidup kita sederhana, janganlah berkecil hati, karena kemuliaan dalam Dhamma bukan ditentukan oleh adanya pangkat dan kekayaan, tetapi status kemuliaan dalam Dhamma adalah dengan melaksanakan perbuatan baik, memiliki dan mempraktikkan sila dalam kehidupan sehari-hari.
Referensi
* Diterjemahkan oleh: Yayasan Dhammadipa Arama, Kitab Suci Dhammapada, Cetakan ketigabelas/Magha Puja 2544 / 2001.
* Diterjemahkan oleh: Dra. Lanny Anggawati dan Dra. Wena Cintiawati, Sutta Nipata Kitab Suci Agama Buddha, Cetakan Pertama 1999, Vihara Bodhivamsa - Klaten.
* Alih bahasa Jan SaƱjivaputta, Pepatah Buddhis, LPD Publisher, Bangkok - Thailand.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar