Aspek-Aspek Mitologi Dalam Suatu Agama
Oleh:
Bhikkhu Indaratano
Para sarjana masih mengalami kesulitan
untuk mendefinisi-kan/membatasi apa yang dimaksud dengan mitologi itu. Ada yang
mengatakan bahwa mitologi adalah sesuatu yang abstrak, tidak nyata, dan bukan
sesuatu yang sesuai dengan kenyataan.
Tetapi kita akan coba mengutip
definisi mitologi menurut kamus besar Bahasa Indonesia edisi ke-3 terbitan
Departemen Pendidikan Nasional. Menurut kamus (meskipun tidak 100% benar
kebenarannya tetapi kita bisa menjadikannya sebagai bahan acuan), mitologi
adalah ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci
mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus dalam suatu kebudayaan.
Mitos adalah cerita suatu bangsa
tentang dewa dan pahlawan jaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal
usul alam semesta, manusia, dan bangsa tersebut, yang mengandung arti mendalam
yang diungkapkan dengan cara "gaib".
Sedangkan mitos menurut Mircea Eliade
dalam bukunya "Myth and Reality" mempunyai karakteristik sebagai
berikut: Mitos sebagaimana yang dialami oleh masyarakat kuno/primitif berisi
sejarah (riwayat dan peristiwa yang terjadi pada waktu lampau) tentang
perbuatan atau pun aktifitas para makhluk supranatural. Bahwasanya sejarah ini
dianggap sebagai benar (karena ini berhubungan dengan kenyataan-kenyataan) dan
sakral (sebab ini adalah hasil kerja para makhluk supranatural). Bahwa-sanya
sebuah mitos selalu berhubungan dengan sebuah "penciptaan", yang
mengatakan bagaimana sesuatu yang terjadi itu ada, atau bagaimana cara
berkelakuan tertentu sebuah lembaga dengan cara bertindaknya menjadi ada; oleh
sebab itu mitos me-ngandung paradigma-paradigma untuk segala
perbuatan-perbuatan manusia yang penting. Bahwasanya dengan mengetahui mitos
itu seseorang mengetahui asal usul segala sesuatu dan di sini dia bisa
mengontrol dan memanipulasinya sesuai dengan kehendak-nya. Ini bukan
pengetahuan eksternal dan abstrak tetapi pengetahuan yang dialami secara
ritual, entah dengan upacara menceritakan mitos itu ataupun dengan melakukan
ritual yang mana ini ada-lah sesuatu alasan yang bisa diterima untuk melakukan
sesuatu.
Bahwasanya dalam satu cara ataupun
cara lainnya, seseorang hidup (dalam) mitos itu, dalam pengertian bahwa
seseorang dikuasai/dipengaruhi oleh sesuatu yang sakral, di mana kekuatan yang
luar biasa dari even-even yang diingat kembali atau dipertunjukkan (secara
diritualkan).
Maksud uraian di atas bahwa mitos itu
adalah sesuatu yang benar secara logika karena itu sesuatu yang berhubungan
dengan kenyataan yang sekarang ini ada. Seperti penciptaan bumi ini dianggap
suci sebab hasil kerja makhluk supra-natural. Dan bumi ini dianggap sesuatu
yang sakral karena dianggap sebagai ciptaan-Nya. Bagaimana bumi ini terjadi,
timbul bintang, manusia, binatang-binatang, dan lain sebagainya, yaitu selalu
berhubungan dengan konsep penciptaan; anggapan bahwa bumi ini benar-benar
diciptakan Tuhan, itu adalah suatu alasan agar kita mempunyai paradigma
tertentu atau pola berpikir tertentu yaitu kita harus berbuat sesuai dengan kehendak-Nya.
Demikian juga misalnya orang-orang
yang tinggal di Gunung Bromo, mereka akan mempunyai suatu pola pikir bahwa tiap
bulan tertentu mereka akan melaksanakan ritual tertentu. Kalau tidak dilakukan,
mereka akan merasa khawatir dan dapat menim-bulkan suatu penyesalan. Makanya
mitos itu biasanya akan menentukan bagaimana seseorang itu berbuat dalam
kehidupan sehari-hari. Pada waktu mengetahui tentang mitos itu, kita bisa
mengontrol dan memanipulasi sesuai dengan kehendak kita.
Dalam konteks Buddhis, kita mempunyai
mitos tentang munculnya paritta yang biasa dibacakan kepada seorang ibu yang
akan melahirkan. Paritta ini timbul karena memang ada kisah yang benar-benar
terjadi yaitu cerita tentang Bhikkhu Angulimala yang mendapat nasehat Sang
Buddha untuk membuat semacam tekad yang berisi tentang kebenaran. Kemudian
nasehat Sang Buddha ini dilaksanakan, dan pada waktu Bhikkhu Angulimala bertemu
kembali dengan ibu yang akan melahirkan, Bhikkhu Angulimala kemudian
mengucapkan tekad kebenaran dan ibu tersebut dapat dengan mudah melahirkan.
Sampai sekarang kita bisa menggunakan paritta tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
Umumnya mitos selalu berhubungan
dengan ritual, upacara-upacara keagamaan, dan memang biasanya bersifat abstrak,
dan kita tidak bisa secara ilmu pengetahuan menyelidiki bagaimana hal tersebut
membuahkan hasil. Seseorang yang mempercayai mitos dan kemudian dia melakukan
suatu upacara tertentu, ia akan hidup dalam mitos itu. Misalnya dalam konteks
agama tertentu, kalau seseorang mempercayai tentang kewajiban yang harus
dijalankan menurut agamanya, bila dia tidak melaksanakan atau lupa, ia merasa
berdosa, tetapi bila ia telah melakukan kegiatan keagamaan, ia akan merasa puas
secara psikologis.
Di Buddhis juga ada hal demikian.
Kadang-kadang dalam perayaan keagamaan umat merasa puas jika mendapat blessing.
Bila sudah kena percikan air mereka merasa lega/puas. Apakah benar air paritta
itu membawa berkah? Kita tidak tahu tetapi kita hidup dalam mitos itu dan puas
secara psikologis, tidak khawatir lagi. Demikian pula saat umat sedang sakit
minta dibacakan paritta, atau umat agama lain minta dibacakan doa, mereka
merasa puas jika sudah dibacakan.
Di masyarakat, tingkatan kemampuan
intelektual seseorang berbeda-beda. Makanya para penyusun kitab itu termasuk
Sang Buddha berusaha dengan menggunakan metode tertentu supaya ajaran Beliau
bisa diterima dan dimengerti kemudian bisa dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Oleh sebab itu, mitos sulit sekali
untuk bisa dihindari meskipun sebenarnya bisa. Yang menjadi harapan adalah kita
jangan langsung terjebak/terjerumus bahwa sesuatu yang kadang-kadang mitos itu
disebut sesuai fakta sejarah dan benar-benar terjadi. Mitos bisa berasal dari
sesuatu yang benar terjadi seperti Paritta Angulimala tetapi tidak semuanya
dari fakta nyata seperti yang dikisahkan dalam Jataka. Namun semua-nya bisa
dimanfaatkan atau kita praktikkan meskipun sesuatu itu tidak harus berdasarkan
fakta. Kita bisa mengambil dari makna yang tersirat bukan dari sekedar makna
yang tersurat. [MR]
Hak
Cipta © 1997-2003 Vihara Jakarta Dhammacakka jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar