KONSEP MASYARAKAT BUDDHIS, HUKUM
DAN HAK – HAK ASASI MANUSIA MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA
Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo
A. Konsep Masyarakat Buddhis
Kehidupan
manusia selalu berupaya untuk memperhatikan nilai-nilai, kemampuan, martabat,
kebebasan dan kesejahteraan. Sebagai petunjuk atas sikap Buddha terhadap
kepentingan dalam masyarakat Buddhis selalu mengedepankan kebenaran, keadilan
dan kejujuran serta belas kasih sebagai ciri dalam konsep masyarakat Buddhis.
Menuju pada kedisiplinan, yang menyangkut segi duniawi dan spiritual untuk
dapat dipraktekan dengan suatu usaha. “Demi untuk kesejahteraan, kebahagiaan
dan kebahagiaan banyak orang, demi kasih sayang bagi dunia, demi kebaikan dan
kedamaian serta kebahagiaan para dewa dan manusia” (D. iii.127) sebagai dasar
merupakan sikap kedisiplinan moralitas dan etika dalam masyarakat.
Sebagai
umat Buddha yang berada di tengah-tengah masyarakat yang luas, sangat erat
hubungannya dengan segala bentuk kehidupan sosial. Suatu pandangan yang berat
sebelah apabila mengatakan Agama Buddha hanya bersangkut-paut dengan pembebasan
diri sendiri, terhadap kehidupan spiritual. Kemudian mendorong orang untuk
melepaskan diri sama sekali dari keterlibatan kehidupan vihara atau
mengasingkan diri, tanpa memperdulikan orang lain dan tanpa berbuat sesuatu
yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat.
Sang
Buddha dan Bhikkhu meninggalkan keramaian masyarakat dengan tujuan untuk
memperoleh pengertian yang baru mengenai kehidupan. Untuk mendapatkan kedudukan
mereka yang menguntungkan di luar masyarakat diharapkan akan dapat mempengaruhi
masyarakat yang ditinggalkan, sehingga untuk bersama-sama merenungkan keadaan
atau permasalahan masyarakat yang dihadapinya, mengembangkan dan mengendalikan
pikiran menuju cita-cita dalam kehidupan ini yang lebih baik.
Kehidupan
masyarakat Buddhis, interaksi pribadi dan masyarakat adalah sangat berkaitan
dan saling mendukung, karena kemajuan pribadi tidak bisa terlepas dengan
keadaan orang lain. Hal ini ditekankan oleh Buddha dalam pembinaan terhadap
para pengikutnya, maka seorang sarjana Buddha, Gokhale, menerangkan bahwa perkembangan
masyarakat Buddhis berlangsung dalam tiga tahapan yaitu :
1.Tahap Isolasi dimana seseorang meninggalkan
kehidupan berumah tangga, mengasingkan diri dengan tujuan untuk melatih diri
dalam kehidupan pengembangan spritual menuju pembebasan “selagi kehidupan rumah
tangga merupakan tekanan, kehidupan bertapa bagaikan menghirup udara yang segar
dan bebas” (A. II.208; M.I.344).
2.Tahap Bergaul dengan terbentuknya Sangha, yang
berhubungan dengan umat perumah tangga merupakan kehidupan yang harmonis yang
saling mendukung menuju cita-cita pembebasan ahkir kehidupan “Perumah-tangga
maupun mereka tak perumah-tangga, pada dasarnya saling bergantung satu sama
lain, bersama-sama mencapai pemahaman Dhamma yang sejati, keadaan batin yang
tentram, damai,…….dan bahagia yang diharapkan” (It. II.112).
3.Tahap Transformasi, dimana Agama Buddha sebagai kekuatan
spiritual dan sosial yang menggariskan pada etika, aturan dan hukum tingkah
laku kehidupan sosial, hal ini tentunya disesuaikan dengan etika sosial
masyarakat yang ada (Wowor Cornelis. 1997 : 11).
Buddha
Dhamma tidak mengajarkan manusia untuk melarikan diri dari bentuk kenyataan
hidup yang wajar, melainkan mendorong untuk menghadapi dan menyelesai
permasalahan hidup dengan baik serta bijaksana. Dalam konteks komunitas
masyarakat Buddhis selalu berhubungan bersama dan bersosial, dimana kehidupan
bermasyarakat setiap orang secara langsung maupun tidak langsung saling
berhubungan satu dengan yang lainya yang sangat erat sekali.
Berdasarkan
pada bentuk pandangan diatas, sang Buddha dalam pembinaan kehidupan masyarakat
Buddhis, baik perumah tangga maupun kehidupan tanpa perumah tangga selalu
menggariskan etika sosial atas dasar persaudaraan dan kasih sayang yang timbal
balik antar sesama mereka dalam hubungan sosial, serta terus menerus mendorong
mereka mengembangkan tenggang rasa, agar dapat hidup berdampingan secara damai
dan bahagia. Dengan demikian kesejahteraan perumah tangga diperhatikan oleh
Sang Buddha. Itulah sebabnya banyak ajaran Buddha selalu berhubungan dengan
para umat perumah-tangga sebagai pengikut yang setia dalam memenuhi kebutuhan
hidup demi kesejahteraan itu melaksanakan dan hidup sesuai dengan ajaran
Buddha.
B. Hukum Sebagai Aturan
Hukum
merupakan landasan atau aturan dalam kehidupan manusia sehingga dapat hidup
saling berdampingan satu sama lain dengan penuh kedamaian dan ketentraman.
Hukum menurut W. Luypen, yang sering kali dikemukakan adalah sedikit-dikitnya
sebagai kasih sayang, sedikit-dikitnya merupakan etika dalam mengayomi
kehidupan ini, hukum sebagai kasih sayang berkaitan erat tentang
hubungan-hubungan pribadi, dari seseorang dengan orang-orang lain yang pada
dasarnya sangat terbatas jumlahnya namun pada kekhususannya perorangan. Bahkan
secara makro hubungan orang-orang yang hidup bersama dan tak dapat dikenal
bersama-sama dapat berhubungan dengan baik, dalam suatu ikatan hukum. Di sini
sesungghunnya hukum juga merupakan etika yang bergerak dalam suasana rasa
saling menghormati sesama manusia pada umumnya. Namun hukum bukan kasih sayang.
Namun hukum adalah suatu lembaga sosial yang menentang segala bentuk penindasan
dan yang mengembangkan suatu hubungan pegakuan akan kebebasan setiap orang.
Tujuan itu tiada berbatas, walaupun dalam pelaksanaanya yang sesungguhnya dia
memang selalu tetap terbatas (Scheltens 1984 : 69).
Hukum
dalam kenyataanya merupakan pelaksanaan keadilan yang minimal, namun hukum juga
ditujukan pada kadar maksimum keadilan, tetapi karena faktor-faktor lain yang
harus dihadapi oleh hukum pada dasarnya, yaitu kemungkinan teknis, persetujuan
dan juga struktur peristiwa yang terjadi dan yang dihadapi oleh setiap
individu. Pada saat ini dunia dalam keadaan kacau, nilai etika diputarbalikan.
Kekuasaan skeptisisme materialistis telah mengubah pisau bedahnya pada konsep
tradisional yang dianggap sebagai kualitas manusia. Karena etika berhubungan
dengan tindakan manusia yang berkaitan dengan dirinya dan sesamanya.
Ajaran
Buddha mengenai hukum berkaitan erat dengan hukum perbuatan yang tidak bisa
terlepas dari ajaran mengenai hukum ketergantungan (paticca-samuppada). Hukum
tersebut dalam bentuk aslinya menerangkan kondisi sebab-akibat yang menyebabkan
penderitaan manusia, juga kondisi-kondisi yang menghasilkan lenyapnya
penderitaan. Secara ringkas ajaran Buddha dalam dari segala hal yang mempunyai
sebab, Sang Tathagata menerangkan sebabnya, dan juga lenyapnya sebab itu.
Itulah ajaran seorang manusia pertapa yang Agung. Dalam sisi lain Buddhisme
menekankan pada prinsip kehidupan yang sosial dalam etika.
Etika
umat Buddha bukanlah patokan asal-asalan yang ditemukan orang untuk tujuan
manfaat sendiri, namun etika umat Buddha juga tidak berlandaskan pada adat
sosial yang berubah tetapi pada hukum alam yang tidak berubah. Nilai-nilai
etika umat Buddha pada hakekatnya adalah bagian dari alam dan hukum tetap sebab
dan akibat (karma). Fakta sederhana bahwa etika umat Buddha berakar hukum alam
membuat prinsip-prinsip berguna dan tetap diterima oleh dunia modern.
Etika
umat Buddha bertujuan praktis menuntun orang menuju ahkir kebahagiaan yang
tertinggi. Dalam umat Buddha menuju pembebasan yang dilakukan dengan realisasi,
setiap individu dianggap bertanggung jawab untuk keberuntungan dan kerugian
sendiri dalam pemahaman dan usahanya. Keselamatan umat Buddha merupakan hasil
pengembangan moralitas setiap individu sebagai usaha pembebasan. Secara
konsekwen etika umat Buddha bukan merupakan perintah apa pun yang memaksa
manusia untuk mengikutinya. Buddha telah menasehati manusia mengenai kondisi
yang paling bermanfaat maupun yang tidak bermanfaat dalam jangka panjang
(Dhammananda Sri 2002 : 182).
Perbedaan
antara yang baik dan buruk di dalam Buddhisme sangat sederhana, semua tindakan
yang memiliki akar dalam ketamakan, kebencian, dan keserakahan yang timbul dari
keegoisan. Tindakan ini tercela atau buruk (akusala karma). Semua tindakan yang
berakar dalam kemurahan hati, kasih sayang dan kebijaksanaan itu mulia (kusala
karma) kriteria baik dan buruk berlaku pada aksi pikiran, ucapan dan perbuatan
yang dilakukannya.
C. Pengertian Hak – Hak Asasi Manusia
Hak
asasi manusia berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kondratnya,
jadi hak-hak yang dimiliki sebagai manusia. Maka kita tidak boleh mengecualikan
kelompok-kelompok manusia tertentu. Sudah melekat pada pengertian hak-hak sasai
manusia itu sendiri, bahwa hak-hak asasi manusia harus dipahami dan di mengerti
secara universal. Memerangi atau menentang universalitas hak-hak asasi manusia
berarti memerangi dan menentang hak-hak asasi manusia. Hak-Hak Asasi Manusia
merupakan kewenangan yang melekat pada manusia sebagai manusia, yang harus
diakui dan dihormati oleh sesama manusia maupun pemerintah dimana ia tinggal.
Manusia
mempunyai derajat yang luhur sebagai manusia. Manusia mempunyai budi pekerti
dan karsa yang merdeka. Manusia sebagai manusia memiliki martabat dan derajat
yang sama dan dengan demikian memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
sama. Jadi Hak-Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak fundamental yang melekat
pada kodrat manusia sendiri dalam kemanusiaanya. Kemanusiaan setiap manusia
bernilai sangat tinggi dan unik. Kemanusiaan setiap manusia merupakan suatu ide
yang luhur dan menghendaki supaya manusia dapat mengembangkan dirinya.
Pengembangan diri ini sebagai manusia adalah tujuan hidup manusia. Hak-hak ini
ditegaskan adalah universal, dimana ada manusia disitu pasti ada hak-hak asasi
manusia dan harus dihargai dan dijunjung tinggi (Setiardja Gunawan 11993 : 25).
Sikap
tersebut merupakan langkah pendekatan dalam kehidupan pengembaraan sebagai
manusia untuk saling hidup bertoleransi. Nasehat Sang Buddha adalah mari kita
hidup dengan bahagia, tidak membenci mereka yang membenci kita. Di antara
mereka yang membenci kita, mari kita hidup bebas dari membeci. Mari kita hidup
dengan bahagia dan bebas dari penyakit. Mari kita hidup dengan bahagia dan
bebas dari ketamakan, di antara mereka yang tamak.
Buddhisme
memandang Hak-hak asasi manusia tidak hanya menyangkut interaksi-aksi antar
umat manusia, tetapi berhubungan dengan alam sekitar. Apabila alam sekitarnya
rusak maka umat manusia akan menghadapi malapetaka. Tidakkah alam juga memasuki
hak asasi sendiri ? Agama Buddha sangat menaruh perhatian terhadap hak asasi
setiap bentuk kehidupan hingga mahluk sekecil apa pun. Agar persoalan Hak asasi
manusia dapat didudukkan pada tempatnya secara benar. Manusia harus memiliki
internal yang bersifat spiritual, bebas dari keserakahan, kebencian dan
kebodohan atau pandangan yang keliru. Tentunya mereka selalu berjuang untuk
menegakkanya dan tidak boleh dipengaruhi oleh perasaan benci dan permusuhan.
D. Prinsip Hak Asasi Manusia
Setiap
pernyataan hak-hak asasi manusia sesungguhnya martabat yang terkandung
didalamnya yang dikemukakan sebagai bentuk prinsip dasar hukum. Martabat
manusia ini diperoleh manusia dari kebebasan maupun kemandiriaanya. Karena manusia
dapat memiliki hidupnya, maka pemiliki itu pun harus dipercayakan kepadanya.
Landasan hak-hak asasi manusia merupakan tolak ukur setiap penindasan
horizontal diantara manusia, tapi juga melarang campur tangan pemerintah yang
terlalu banyak dalam kehidupan pribadi.
Prinsip
hak-hak asasi manusia mengukuhkan pada tiap hak manusia. Seperti diakui R.
Marcic dengan mengikuti G. del Cecchio, hak setiap manusia. Sama sucinya dengan
hak jutaan manusia. Prinsip hak tersebut memberikan kepada hukum dasar kemanusiaan
murni, landasan etika manusiawi yang umum. Berdasarkan hal ini sebenarnya
setiap landasan hukum yang teokratis ditolak. Apa yang dinyatakan sebagai
hukum, tidak boleh diambil dari wahyu, kepercayaan atau teologi. Hukum harus
menciptakan suatu masyarakat antara sesama manusia, apa pun juga keyakinannya,
dia merupakan razim tenggang rasa sepenuhnya. Hanya yang tak dapat dibiarkan
ialah penindasan, sikap tak tenggang rasa, sikap tak menghargai manusia
(Scheltens 1984 : 69).
Hak
asasi manusia bukan hanya memiliki pengertian yang anivokal (bermakna satu)
yang harus diartikan analoga dimana ada kesamaan dan titik perbedaan serta
memiliki kategori dimana hak-hak yang dimiliki setiap warga negara dari negara
yang bersangkutan (hak-hak warga negara) dan hak-hak yang pada dasarnya
dimiliki semua yang berdomisili di negara yang bersangkutan (Krisnanda 2003 :
466).
Kenyataanya,
menurut Grotius, semua bagsa menerima prinsip-prinsip yang sama, harus ada
sesuatu sebab yang umum. Sebab umum itu adalah sensus communis, akal sehat.
Secara rasional pula prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam hukum ialah setiap
orang memiliki kecenderungan untuk hidup bersama orang lain dengan damai.
Kecenderungan ini lepas dari karsanya, sebagai landasan obyek seluruh hukum.
Secara deduktif dapat disimpulkan empat prinsip dasar dari prinsip pokok yang
menjadi pilar seluruh sistem hukum alam, yaitu :
1.Prinsip
“milikku” dan “milikmu”. Milik orang lain harus dihormati dan dihargai.
2.Prinsip
kesetiaan pada janji.
3.Prinsip
ganti rugi, kalau kerugian itu karena kesalahan orang lain.
4.Prinsip
perlunya hukum karena pelanggaran atas hukum alam dan hukum-hukum lainya (Setiardja Gunawan 1993 : 82).
Berdasarkan
hukum alam yang telah terdapat dalam bentuk prinsip obyektif, memunculkan juga
dalam hak secara subyektif manusia. Menurut Grotius hak-hak subyektif itu
mencakup tentang (1) hak untuk menguasai dirinya sendiri, yaitu hak
kemerdekaan, (2) hak untuk menguasai orang lain, seperti kekuasaan orang tua
terhadap anak mereka, (3) hak untuk menguasai harta miliknya (Setiardja Gunawan
1993 : 83).
Teori
etika umat Buddha terungkap secara praktis dalam berbagai prinsip atau disiplin
yang merupakan panduan umum untuk menuju arah kemana untuk melangkah menuju
keselamatan ahkir. Walaupun banyak dari prinsip ini dinyatakan dalam bentuk
yang negatif, kita tidak boleh berpikir bahwa moralitas umat Buddha terdiri
dari penahanan diri dari kejahatan saja tanpa diimbangi dengan perbuatan yang
baik. Moralitas yang ditemukan dalam prinsip itu dapat dirangkum dalam tiga
prinsip yang sangat sederhana, “Hindarilah kejahatan, berbuatlah kebajikan,
sucikan pikiran inilah nasehat yang telah diberikan oleh semua Buddha” (Dh.
XIV, 183).
E. Pendekatan Agama Buddha Terhadap Hukum
Walaupun
peranan mereka sangat penting, namun peraturan, hukum dan rumusan hak hasil
konvensi masyarakat sama sekali bukanlah jaminan mutlak terhadap kualitas
kehidupan manusia dan perkembangan kebijaksanaan umat manusia serta masyarkat
yang adil. Kecuali kalau peraturan-peraturan ini secara hakiki bersesuaian
dengan hukum alam, diterapkan dengan niat yang baik serta dengan pemahaman
tentang tatanan masyarkat, demi pembelajaran dan pengembangan anggota
masyarakat jika jika tidak, maka mereka takkan mampu menjadi sarana yang dapat
menuntun anggota masyarkat menuju sasaran ahkir yang damai.
Buddhisme
mengakui bahwa hukum dan rumusan hak masyarkat sebelumnya telah menciptakan
ketertiban dalam masyarakat yang mungkin sebelumnya kacau balau. Di dalam
peraturan-peraturan tersebut membantu meningkatkan kesejahteraan baik individu
mupun kolektif. Namun betapapun bermanfatnya ini, bahwa Buddhisme mempunyai
pandangan tentang peraturan, hukum, pegangan hukum dan rumusan hak yang dibuat
manusia hanylah berupa kebenaran (realitas) sekunder. Kecuali kalau mereka
berlandaskan prinsip-prinsip “Dhamma” (hukum, realitas yang sesungguhnya, sebab
akibat yang benar), serta telah diselami oleh orang-orang yang memiliki
pemahaman mendalam atas prinsip-prinsip demikian. Bila tidak, pengembangan
kualitas manusia yang bermakna serta ihwal hidup berdampingan secara damai di antara
sesama manusia baik secara local maupun lingkungan dimana demokrasi telah
menciptakan ketegangan diantara beragam unsure yang bersifat multi dimensi dan
oleh karena itu sangat memerlukan persatuan masyarakat.
Hukum
realitas menurut Buddhisme ada dua tingkat realitas, yaitu sosial dan hakiki,
dimana keduannya memiliki hubungan kausal dan hukum tersendiri. Realitas hakiki
berlaku dimana saja, keberadaannya tidak tergantung pada umat manusia, tetapi
dapat diselami melalui kebijaksanaan manusia (panna). Realitas sosial, di pihak
lain, merupakan kontruksi manusia dimana pegertian dan pelaksaannya bergantung
pada kesepakatan di antara orang-orang yang menciptakannya. Karena umat manusia
baik secara individu maupun secara kelompok tidak dapat hidup terpisah dari
alam, oleh karena itu salah satu persyaratan untuk memperoleh tatanan sosial
yang efektif adalah mempelajarai hukum-hukum di alam serta bijaksana
menerapkannya dalam penciptaan atau perancangan peraturan, hukum dan rumusan
hukum hak masyarakat. Kalau kontruksi sosial ini tidak ini berlandaskan
hukum-hukum alam, maka tatanan sosial bukan hanya memiliki cacat tetapi juga
menjadi dangkal dan tidak berati (Scheltens 1984 : 71).
Hidup
didalam lingkungan demikian, orang-orang pasti akan merasa terasingkan, terkucilkan,
putus asa atau tertekan, sehingga mungkin mereka akan kehilangan vitalitas dan
kesnggupan untuk mengambil tindakan bagi perbaikan hidup maupun lingkungan
mereka. Oleh karena itu esensi peraturan, hukum dan rumusan sosial harus secara
terus menerus dinilai dan selalu diawasi kembali. Tolak ukurnya adalah
hukum-hukum alam.
Buddhisme
memandang terhadap hukum, peraturan dan pegangan hukum maupunrumusan hak
masyarakat yang bermakna bukan hanya harus mencakup kebenaran hukum alam,
tetapi juga mampu mendorong orang meningkatkan kualitas diri. Sebagaimana dalam
Sangha komunikasi para bhikkhu, terhadap peraturan, hukum dan rumusan hak
ditetapkan secara seksama agar para bhikkhu memiliki kesempatan
sebesar-besarnya untuk mencapai kondisi batin yang lebih baik. Pemahaman yang
lebih dalam lagi melalui meditasi, realisasi serta usaha belajar yang giat
(Dhammananda Sri 2002 : 185).
Dalam
komunitas demikian, peraturan, hukum dan rumusan hak walaupun oleh kalangan
luar tampak seperti sangat mengekang, namun oleh anggota komunitas Sangha
dipandang sebagai pelajaran atau latihan bagi penyempurnaan diri. Walaupun
Buddhisme mengakui bahwa komunitas demikian mungkin mendekati ideal kalau tidak
mau mengatakan ideal, namun tetap diusahakan adanya hukum, peraturan, pegangan
hukum dan rumusan hak yang positif, yang dapat membantu orang-orang
mengembangkan jasmani dan batin yang sehat serta bijaksana, daripada hanya
menjalankan hukum, peraturan, legalitas dan rumusan hak yang negatif, yang
hanya berkisar pada pengukuhan dan penyingkiran serta mengesampingkan belaka.
F.Hak – Hak Asasi Manusia Dalam Kesejahteraan Manusia
Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia adalah ihwal dimana umat manusia datang berkumpul
bersama dan bersepakat bahwa setiap individu harus diperlakukan secara
terhormat, dengan penuh pertimbangan dan perlindungan serta diperbolehkan untuk
mendapatkan kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya atau dengan kata lain
setiap individuharus diperlakukan dengan “cara yang terbaik”. Umat manusia di
sini meliputi orang-orang di segenap tataran dunia yaitu yang bergabung dalam
perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1945, yang berasal
dari beraneka ragam negara di dunia ini, yang bersepakat dan menetapkan
perundang-undangan di mana setiap individu dapat mengajukan tuntutan secara sah
dan memiliki hak dan perlindungan yang baik. Dimana peraturan
perundang-undangan tersebut dapat menjamin dan berfungsi sebagai standar
kesejahteraan seseorang karena memungkinkannya untuk menjangkau kebaikan dan
semua yang patut untuk di dapatkannya (Payuttho 2000 : 66).
Dari
hasil penjelasan yang tampak dalamDeklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
merupakan peroduk umat manusia beradab dan berbudaya yang peduli terhadap
kehidupan sesamannya, yang peduli terhadap suka duka sesamannya. Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia mencerminkan suatu kesadaran akan pentingnya
peraturan dan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai landasan hidup
bersama yang harmonis dimana merupakan lambang kemajuan peradaban manusia.
Walaupun
boleh dikatakan Perserikatan Bangsa Bangsa adalah sebagai perakarsa dalam
lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dimana sejarahnya tersebutpenuh
dengan pelanggaran dan penindasan hebat yang terorganesir dan sistematis yang
juga merupakan pelopor moral dalam meletakkan dasar-dasar peraturan dan
perundang-undangan Hak Asasi Mnusia (HAM) seperti tampak dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang telah disepakati bersama (Payuttho 2000 : 71).
Untuk
pelanggaran yang terjadi di antara sesama umat manusia antara masyarakat yang
berbeda, dapat dilihat dengan jelas pada sejarah penjajahan Barat di masa
lampau. Warga negara yang daerahnya dijajah mengalami penindasan dan kekerasan
(hak asasi mereka telah dirampasnya). Dengan melihat pelanggaran yang terjadi
maka muncullah bentuk perjuangan umat manusia untuk berkumpul bersama-sama
dalam merumuskan perundang-undangan mengenai Hak Asai Manusia. Sehingga orang
barat memiliki keahlihan dalam merancang peraturan dan perundang-undangan untuk
melindungi hak mereka sendiri serta mencegah hak mereka dilanggar oleh pihak
lainya.
Faktor
utama penyebab lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah untuk
mencegah pelanggaran hak asasi, sehingga dapat diharapkan dan berfungsi sebagai
alat untuk mencegah orang lain saling menggangu, menjamin seseorang untuk tidak
sesuka hati mencabut kesempatanan orang lain dalam bertahan hidup atau memiliki
kesempatan terbaik untuk eksis dan dapat menjangkau keuntungan dan semua
kebaikan yang ada di dalam masyarakat atau di dunia. Sehingga masalah Hak Asasi
Manusia akan terjaga dan tidak berahkir cukup di sini saja.
Permasalahan
Hak Asasi Manusia bukan saja berhubungan dengan manusia akan tetapi dekat
sekali dengan alam sekitar. Sesungguhnya dengan memperhatikan lebih dekat
terhadap alamsekitar bertujuan untuk membuat kehidupan manusia menjadi lebih
bahagia. Umat manusia lebih peduli terhadap lingkungan menjadi lebih bahagia.
Umat manusia peduli terhadap lingkungan hidup dan alam karena mereka peduli
terhadap diri mereka. Melindungi lingkungan hidup adalah juga melindungi diri
mereka, memungkinkan manusia bertahan hidup dan hidup bahagia. Apabila alam
sekitar dirusak, maka umat manusia akan menghadapi malapetaka. Walaupun manusia
pada dasarnya menduduki dan menjadikan tanah sebagai sumber kekayaan atas milik
hak mereka. Namun permasalahannnya adalah bagaimana manusia memperlakukan hak
milik mereka dan apakah hal tersebut menimbulkan kerusakan pada tanah airnya
atau dunia.
Sebagai
contoh dalam membesarkan anak, orang tua tidak hanya bertindak berdasarkan hak
asasi anak. Tetapi bahkan memberi lebih banyak daripada standar minimum yang
menjadi hak anak tersebut. Orang tua menjaga anak mereka penuh cinta kasih dan
kasih sayang bukan hanya secara khusus memikirkan sekedar hak asasi anak.
Dengan alam pikiran seperti “orang tua yang memperlakukan anaknya” maka umat
manusia akan mampu untuk hidup secara harmonis.
Bentuk
permasalahan yang muncul dalam hak asasi manusia khususnya hubungan anak dan
orang tua, sebagai contoh di Amerika Serikat bahwa apabila orang tua salah
dalam memperlakukan anak mereka, maka anak-anak dapat memanggil polisi atau
memberitahu seorang guru untuk memanggilkan polisi dan menahan orang tua
mereka. Konsep hak asasi manusia merupakan satu sisi dari sebuah mata uang atau
hanya mengukur tingkat kemajuan tertentu dari umat manusia dan pada kenyataanya
terjadi sekenario ekstrim dimana sejumlah masyarakat tidak saling menghormati
kehidupan, keselamatan dan kebebasan, pelanggaran terhadap kehidupan, hak milik
dan kebebasan serta kemerdekaan pribadi senantiasa terjadi. Sebaliknya dibagian
masyarakat lainnya, hak-hak selalu dituntut, hidup semata-mata menuntut hak
asasi.
Kedua
ekstrim tersebut sama-sama menimbulkan masalah. Bagi mereka yang tidak
mempedulikan hak orang lain, jelas sekali akan menimbulkan persoalan dan akan
sangat merugikan masyarakat umat manusia. Bagi umat Buddha, tentu saja bisa
mengambil manfaat dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang di
dalamnya mengandung prinsip dasar serta butiran-butiran praktek yang baik.
Dengan meperbandingkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dengan Pancasila
(Buddhis). Dapat dilihat bahwa Pancasila berfungsi sebagai tonggak utama
masyarakat. Apabila umat manusia bertindak sesuai dengan kelima sila tersebut
maka tidak perlu lagi akan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Bila diamati
lebih mendalam sejumlah ketentuan yang dinyatakan dalam pengejawantahan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dari Pancasila ini terhadap Sigalovada
Sutta, disamping mencerminkan enam arah yang berhubungan pada arah timur atau
arah depan (melambangkan ibu dan ayah), arah selatan atau arah kanan
(melambangkan hubungan guru dan murid), arah barat atau arah belakang
(melambangkan hubungan orang tua dan anak), arah utara atau arah kiri
(melambangkan hubungan dengan sahabat-sahabat), arah bawah melambangkan
hubungan pelayan dan pekerja dan arah atas melambangkan hubungan pertapa dan
guru-guru spiritual (Payuttho 2000 : 78).
Dalam
bentuk pendekatan Buddhisme, ketentuan yang terdapat dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi hakikatnya memiliki prinsip yang sama dengan Pancasila Buddhis dan
enam arah. Namun dalam masyarakat hal ini belum cukup, yang merupakan standar
sosial minimum setidak-tidaknya dapat melindungi dunia agar tidak terbakar
dengan kobaran api. Memungkinkan manusia untuk tinggal bersama. Mengembangkan
kehidupan manusia menuju taraf yang tinggi melalui sila, samadhi dan panna. Hak
asasi manusia itu ibaratnya masih dalam taraf pada sila.
Harus
di ingat bahwa Pancasila atau sila ada dalam tataran etika, konsep Hak Asasi
Manusia ini merupakan tinjauan dari sudut perlindungan orang lain. Dengan
bentuk penekanannya pada perlindungan dan penuntutan hak asasi. Dengan melihat
cara pandang demikian saja akan menghadirkan etika negatif Hak Asasi Manusia.
Karena itulah perlu mengembangkannya dengan etika yang positif, yang
konstruktif. Jadi Hak Asasi Manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asai Manusia
merupakan dasar, landasan yang memungkinkan umat manusia menjalani kehidupan
yang bajik serta hidup dalam kedamaian dan keharmonisan.
G. Simpulan
Setiap
kehidupan manusia dapat timbul rasa takut, merasa bersalah, takut disalahkan
oleh orang lain, takut terhadap hukum, dan juga takut menghadapi akibat-akibat
yang tidak diinginkan dalam kehidupan yang akan datang (A.II, 121). Perasaan
ini merupakan langkah pengontrol kehidupan sosial yang bersumber dari hati
nurani. Prinsip moral yang menyangkut kehidupan manusia berkaitan dengan hai
nurani adalah tahu malu (hiri) dan takut akan akibat perbuatan yang salah
(ottappa) yang merupakan cahaya dalam menerangi dan melindungi dunia ini (A.I,
51).
Kebenaran
Dharma merupakan pertentangan nilai dari kebaikan dan kejahatan atau cinta
kasih dan kebencian, sebagai tema yang mendasar. Orang melakukan kebaikan dan
menyingkirkan kejahatan dengan penuh cinta kasih berdasarkan kehendak yang
membawa akibat sebagai hasil dari sebab yang telah terjadi yaitu karma. Karma
bukanlah hukum pembalasan, tetapi hukum alam.
Pemahaman
demikian bagi umat Buddha dalam perkembangan dan kemajuan diri, memiliki batin
yang luhur (Brahma-vihara), yang melaksanakan pancasila. Pelaksanaan pancasila
berarti menghargai dan melindungi hak-hak asai manusia (HAM).lebih dari pada
itu hak manusia tentunya memiliki kewajiban. Apa yang dimaksud dengan kewajiban
seorang anggota masyarakat buddhis, yang dikemukakan oleh Buddha dalam
Sigalovada-sutta sebagai pemujaan dan melindungi keenam arah. Walaupun hak
asasi manusia diakui tanpa keharusan tentunya berhubungan dengan kewajiban
orang yang bersangkutan, sebagai hubungan atau konsep kehidupan masyarakat
buddhis.
Pengalaman
mengajarkan bahwa orang yang melaksanakan kewajibannya terhadap pihak lain akan
mendapatkan dirinya terlindungi dan hidup dengan aman di dalam kehidupann
masyarakat.
Dalam
menciptakan hidup seseorang lebih baik, sekaligus dunia penuh kedamaian,
sebagaimana yang dikemukakan kepada Kutadhanta, Buddha mengajarkan bentuk
pengorbanan sosial demi kesejahteraan banyak orang. Ia menukar kurban bagi para
dewa menjadi kurban rakyat kecil yang membutuhkan pertolongan.
Reffrensi
:
-
Cornelis
Wowor, 1997, Pandangan Social Agama Buddha, Arya Surya Candra, Jakarta.
-
Krisnanda
Wijaya-Mukti, 2003, Wacana Buddha-Dhamma, Yayasan Sharma Pembangunan, Jakarta.
-
Gunawan
Setiardja, 1993, Hak-Hak Asasi Manusia Ideology Pancasila, Kanisius, Semarang
-
Phra
Dhammapitaka (Payutto), 2000, Hak Asasi Keharmonisan Atau Disintegrasi Social,
Asosiasi Rajamuni Samiromo, Medan.
-
Sri
Dharmananda,2002, Keyakinan Umat Buddha, Karaniya, Jakarta.
-
Scheltens,
1984, Pengantar Filsafat Hukum, Erlangga, Jakarta.
-oOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar