KISAH PARA PERTAPA BUKAN
PENGIKUT SANG BUDDHA
Dhammapada XIX: 268-269
Terhadap orang yang mempersembahkan makanan atau
benda-benda lain kepada para pertapa itu, mereka akan mengucapkan kata-kata
pemberkahan.
Mereka akan berkata, "Semoga engkau bebas dari
bahaya, semoga engkau menjadi makmur dan kaya, semoga engkau panjang
umur", dan sebagainya. Pada waktu itu, para bhikkhu murid Sang Buddha
tidak mengucapkan apa pun setelah menerima sesuatu persembahan dari murid awam
mereka.
Hal ini karena selama masa dua puluh tahun pertama
setelah Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna, para bhikkhu tetap berdiam
diri pada saat menerima persembahan. Karena para pengikut Sang Buddha tetap
berdiam sedangkan para pertapa bukan pengikut Sang Buddha mengucapkan hal-hal
yang menyenangkan bagi murid-murid mereka, orang-orang mulai membandingkan
kedua kelompok tersebut.
Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau
mengizinkan para bhikkhu mengucapkan kata-kata pemberkahan kepada murid-murid
mereka setelah menerima persembahan. Akibatnya, semakin banyak orang yang
mengundang para pengikut Sang Buddha untuk menerima dana makanan.
Kemudian para pertapa dari ajaran lain berkata dengan
menghina, "Kami taat pada praktek pertapaan dan berdiam diri, tetapi
pengikut Samana Gotama berbicara banyak sekali di tempat makan".
Mendengar kata-kata yang merendahkan itu, Sang Buddha
berkata, "Para bhikkhu! Ada orang yang tetap berdiam karena mereka bodoh
dan takut, dan ada yang tetap berdiam karena mereka tidak mau membagi pengetahuan
mereka yang mendalam kepada orang lain. Jadi, orang tidak menjadi seorang
pertapa hanya dengan tetap berdiam. Hanya orang yang telah mengatasi kejahatan
yang dapat disebut seorang pertapa".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
268 dan 269 berikut ini:
Tidak hanya karena berdiam diri
seseorang menjadi orang suci (muni),
apabila ia dungu dan bodoh.
Bagaikan memegang sepasang neraca, orang
bijaksana melaksanakan sesuatu yang baik dan menghindari yang jahat.
(268)
Karena seseorang dapat memilih apa yang
baik dan menghindari apa yang buruk, maka ia disebut orang suci. Demikianlah,
ia yang telah mengerti kedua kelompok (batin maupun jasmani), patut disebut
orang suci.
(269)
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar