KAPAN TERAKHIR ANDA BERBICARA
DENGAN ORANG TUA ANDA?
by: NN
Suatu hari seorang
teman saya pergi ke rumah orang-jompo atau lebih terkenal dengan sebutan
panti-werdha bersama dengan teman-temannya.
Kebiasaan ini mereka
lakukan untuk lebih banyak mengenal bahwa akan lebih membahagiakan kalau kita
bisa berbagi pada orang-orang yang kesepian dalam hidupnya.
Ketika teman saya
sedang berbicara dengan beberapa ibu-ibu tua, tiba-tiba
mata teman saya tertumpu pada seorang opa tua yang duduk menyendiri sambil
menatap kedepan dengan tatapan kosong.
Lalu sang teman
mencoba mendekati opa itu dan mencoba mengajaknya berbicara.
Perlahan tapi pasti
sang opa akhirnya mau mengobrol dengannya sampai akhirnya si opa menceritakan
kisah hidupnya.
Si opa memulai cerita
tentang hidupnya sambil menghela napas panjang….
“ Sejak
masa muda saya menghabiskan waktu saya untuk terus mencari usaha yang baik
untuk keluarga saya, khususnya untuk anak-anak yang sangat saya cintai.
Sampai akhirnya saya
mencapai puncaknya dimana kami bisa tinggal dirumah yang sangat besar dengan
segala fasilitas yang bagus.
Demikian pula dengan
anak-anak saya, mereka semua berhasil sekolah sampai keluar negeri dengan biaya
yang tidak pernah saya batasi.
Akhirnya mereka semua
berhasil dalam sekolah, juga dalam usahanya dan juga dalam berkeluarga.
Tibalah dimana kami
sebagai orangtua merasa sudah saatnya pensiun dan menuai hasil panen kami.
Tiba-tiba
istri tercinta saya yang selalu setia menemani saya dari sejak saya memulai
kehidupan ini meninggal dunia karena sakit yang sangat mendadak.
Lalu sejak kematian
istri saya tinggallah saya hanya dengan para pembantu kami karena anak-anak
kami semua tidak ada yang mau menemani saya, karena mereka sudah
mempunyai rumah yang juga besar.
Hidup saya rasanya
hilang, tiada lagi orang yang mau menemani saya setiap saat saya memerlukannya.
Tidak sebulan sekali
anak-anak mau menjenguk saya ataupun memberi kabar melalui telepon.
Lalu tiba-tiba anak
sulung saya datang dan mengatakan, kalau dia akan menjual rumah karena selain tidak
effisien juga toh saya dapat ikut tinggal dengannya.
Dengan hati yang
berbunga saya menyetujuinya karena toh saya juga tidak memerlukan rumah besar
lagi yang tanpa ada orang-orang yang saya kasihi di dalamnya.
Setelah itu saya ikut
dengan anak saya yang sulung.
Tapi apa yang saya
dapatkan?
Setiap hari mereka
sibuk sendiri-sendiri dan kalaupun mereka ada dirumah tak pernah
sekalipun mereka mau menyapa saya.
Semua keperluan saya
pembantu yang memberi.
Untunglah saya selalu
hidup teratur dari muda maka meskipun sudah tua saya tidak pernah
sakit-sakitan.
Lalu saya tinggal
dirumah anak saya yang lain.
Saya berharap kalau
saya akan mendapatkan sukacita dalamnya, tapi rupanya tidak. Yang lebih
menyakitkan semua alat-alat untuk saya pakai mereka ganti, mereka
menyediakan semua peralatan dari plastik dengan alasan untuk keselamatan saya
tapi sebetulnya mereka sayang dan takut kalau saya memecahkan alat-alat mereka
yang mahal-mahal itu.
Setiap hari saya
makan dan minum dari alat-alat plastik yang sama dengan yang mereka sediakan
untuk para pembantu dan anjing mereka.
Setiap hari saya
makan dan minum sambil mengucurkan airmata dan bertanya dimanakah hati nurani
mereka?
Akhirnya saya tinggal
dengan anak saya yang terkecil, anak yang dulu sangat saya kasihi melebihi yang
lain karena dia dulu adalah seorang anak yang sangat memberikan kesukacitaan
pada kami semua.
Tapi apa yang saya
dapatkan?
Setelah beberapa lama
saya tinggal disana, akhirnya anak saya dan istrinya mendatangi saya, lalu
mengatakan bahwa mereka akan mengirim saya untuk tinggal di panti-jompo dengan
alasan supaya saya punya teman untuk berkumpul, dan juga mereka berjanji akan
selalu mengunjungi saya.
Sekarang sudah dua
tahun saya disini, tapi tidak sekalipun dari mereka yang datang untuk mengunjungi
saya, apalagi membawakan makanan kesukaan saya.
Hilanglah semua
harapan saya tentang anak-anak yang saya besarkan
dengan segala kasih sayang dan kucuran keringat.
Saya bertanya-tanya
mengapa kehidupan hari tua saya demikian menyedihkan, padahal saya bukan
orangtua yang menyusahkan, semua harta saya mereka ambil.
Saya hanya minta
sedikit perhatian dari mereka tapi mereka sibuk dengan diri sendiri.
Kadang saya menyesali
diri mengapa saya bisa mendapatkan anak-anak yang demikian
buruk. Masih untung disini saya punya teman-teman dan juga kunjungan dari
sahabat-sahabat yang mengasihi saya, tapi tetap saya
merindukan anak-anak saya….”
Sejak itu teman saya
selalu menyempatkan diri untuk datang kesana dan berbicara dengan sang opa.
Lambat laun tapi pasti, kesepian
di mata sang opa berganti dengan keceriaan, apalagi kalau sekali-sekali teman
saya membawa serta anak-anaknya untuk berkunjung.
-----------------------
Sampai hatikah
kita membiarkan para orangtua kesepian dan menyesali hidupnya hanya karena
semua kesibukan hidup kita? Bukankah suatu haripun kita akan sama
dengan mereka, tua dan kesepian?
-oOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar