BUKU PINTAR AGAMA BUDDHA
Oleh : Tanhadi
KELOMPOK : (T2)
2. Bhavatanhã
Setelah membahas panjang lebar tentang kama tanha sekarang waktunya membahas bhavatanha. Ada dua pandangan salah tentang kehidupan manusia. Yang pertama disebut sassata ditthi, cara pandang kekekalan. Sementara yang satunya lagi dinamakan uccheda ditthi, cara pandang nihilisme.
Bhavatanha, kemelekatan atau kemelekatan untuk menjadi, tumbuh dan bergabung dengan cara pandang adanya kekekalan yang beranggapan bahwa kesenangan tidak bisa dihancurkan karena substansi hidup yang ada di dalam diri bersifat kekal. Dalam pandangan ini, badan jasmani bisa saja lapuk atau hancur. Tapi, “jiwa” di dalamnya tetap hidup dan akan berpindah dari satu tubuh ke tubuh lain. Setelah kematian “jiwa” akan berpindah dan bersemayam di tubuh yang baru. Begitulah proses keberadaan yang akan berlangsung terus-menerus.
Alam raya bisa saja hancur tapi “jiwa-jiwa” dari mahkluk hidup tetap hidup. Jiwa tetap ada selamanya. Jiwa bersifat kekal dan tak terhancurkan. Ajaran ini yang paling populer di dunia. Orang-orang yang berpegang pada pandangan ini beranggapan jika seseorang meninggal dunia ia akan terlahir di alam surga. Ia akan hidup kekal di tempat ini. Disisi lain ada kemungkinan juga ia akan jatuh di alam neraka dan hidup kekal pula di tempat ini sesuai dengan kehendak tuhan.
Kelompok yang lain lebih suka percaya bahwa “jiwa” seseorang berpindah dari satu tubuh ke tubuh yang lain dan memperbaharui “diri” menurut bekerjanya kamma mereka. Sementara kelompok yang lainnya lagi percaya bahwa hidup telah dikodratkan dan tak bisa diubah. Suatu waktu ia akan pergi menuju ke kekekalan sesuai kodratnya. Secara jelas disebutkan oleh cara pandang ini bahwa “substansi” yang bersemayam di dalam diri bersifat kekal. Inilah bentuk-bentuk pemikiran sassata ditthi. Dibawah anggapan kelompok ini hidup layaknya seperti seekor burung yang hinggap dari satu pohon ke pohon lain.
Sebagaimana sebuah pohon tua yang menunggu keluruhannya sambil menanti anak pohonnya tumbuh. Jadi, saat meninggal jasmani akan hancur, sementara “zat hidup” bergerak keluar dan menuju ke jasmani barunya. Di bawah pengaruh bhavatanha yang didukung oleh konsep kekekalan seseorang terpuaskan dengan beranggapan bahwa atta, “diri”, berada di dalam dirinya secara tetap. Ia begitu percaya diri dan merasa bahwa yang ada di dalam dirinya adalah “dirinya” sendiri. Hal-hal yang ia nikmati sekarang bisa juga dinikmatinya di masa yang akan datang. Disini, kemelekatan kepada semua yang dilihat, didengar, dibaui, dicicip, disentuh dan dipikirkan tumbuh lebih kuat dan semakin kuat dari satu keberadaan ke keberadaan yang lain. Ia tak hanya bisa menikmati obyek-obyek indra yang dinikmatinya saat ini.
Tapi, ia pun berharap bisa menikmati hal yang sama di masa yang akan datang. Biasanya, setelah memiliki kehidupan yang bahagia sebagai manusia ia memimpikan lebih dari itu. Ia berharap bisa hidup lagi dan terlahir sebagai dewa yang berbahagia. Itulah proses berkembangnya keinginan. Sementara kelompok lain ingin terlahir sebagai pria di seluruh kelahirannya. Dan kelompok lainnya lagi ingin terlahir sebagai perempuan. Semua keinginan-keinginan ini ada akibat bekerjanya bhavatanha. Lebih jauh, bhavatanha rindu akan kenikmatan indrawi yang berakar dari konsep adanya kekekalan jiwa.
3. Vibhavatanhã
Secara jelas telah diterangkan di atas bahwa uccheda ditthi adalah suatu pandangan yang menyakini tidak adanya kehidupan apapun setelah kematian. Segala sesuatu berakhir setelah kematian. Inilah pandangan salah yang dibabarkan oleh pertapa Ajita, seorang pertapa yang sangat terkenal dimasa kehidupan Sang Buddha.
Inti cara pandang ini adalah; individu terbuat dari unsur-unsur atau elemen-elemen utama yakni tanah, air, api dan udara. Setelah meninggal elemen air mengalir ke dalam massa air. Elemen api berubah menjadi panas. Elemen udara mengalir bersama massa udara. Semua organ indra seperti penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau, peraba dan indra pemikir lenyap ke angkasa. Saat individu, apakah ia orang bijaksana atau orang bodoh meninggal, maka tubuhnya akan hancur dan lenyap. Tak ada yang tersisa setelah kematian.
Sewaktu berada di dalam jasad hidup, elemen tanah merubah diri ke dalam bentuk keras dan lunak. Tapi, ketika tubuh mati maka elemen tanah akan pergi dan menyatukan dirinya dengan tanah kembali. Diluar tubuh elemen tanah menjadi materi tanah, pathavi rupa, dimana pohon-pohon dan tanaman lain tumbuh di atasnya. Di sisi lain, elemen air pada tubuh yang telah mati diasumsikan menjadi basah dan mencair ke dalam materi air.
Konsep nihilisme dari cara pandang Ajita tak mengenal adanya kesadaran. Semua kemampuan melihat, mendengar, dan lain-lain terkondisi oleh keadaan. Ketika menunjuk kepada kemampuan ini mereka menggunakan istilah organ-organ indra. Lebih jauh, saat seseorang meninggal, seluruh materinya lenyap. Sementara itu, kemampuan indranya menguap ke angkasa. Tak perduli siapapun yang mati, apakah orang bijaksana atau orang bodoh, keberadaannya akan “terputus” atau “habis”.
Sewaktu orang bodoh meninggal dunia, tak akan ada kelahiran kembali sehingga ia tak perlu bertanggungjawab terhadap akusala kamma-nya atau perbuatan buruknya. Begitu juga dengan orang bijaksana yang meninggal dunia, tak ada kamma baik yang berhubungan lagi dengan dirinya.
Inilah cara pandang pertapa Ajita yang terlihat menarik bagi mereka yang suka melakukan perbuatan buruk. Orang-orang ini menemukan landasan yang kuat untuk tak melakukan perbuatan baik. Sebab mereka beranggapan tak ada kehidupan setelah kematian. Argumentasi mereka adalah bahwa hanya ada hidup sebelum kematian. Bila memang demikian, pertanyaan lebih lanjut adalah: “Apa itu hidup sebelum kematian?”
Jawabnya, menurut kepercayaan Ajita dan pengikutnya, adanya atta (diri) yang hidup atau satta (keberadaan). Walau pandangan ini mempercayai adanya empat elemen utama, atta atau satta tetap ada. Inilah kemelekatan terhadap adanya sesuatu yang suci di dalam diri. Bagi kelompok orang yang percaya akan pandangan ini beranggapan bahwa tak perlu membuang-buang waktu untuk melakukan perbuatan baik sebagai bekal dalam hidup mendatang. Karena keberadaan yang akan datang itu tidak ada. Sehingga mereka umumnya memenuhi hari-harinya dengan menikmati kesenangan sebanyak-banyaknya dalam satu kehidupan ini. Karena hanya kehidupan satu-satunya inilah yang mereka miliki.
Kemelekatan yang muncul dari cara pandang ketidakberadaan semacam ini dinamakan vibhavatanha. Kelompok ini memperkenalkan gaya hidup penuh kenikmatan dan kesenangan karena semuanya akan lenyap setelah kematian. Secara alami kelompok ini memiliki banyak pengikut terdiri dari orang-orang yang suka melakukan perbuatan buruk, tak memiliki moral dan enggan mengumpulkan kebajikan. Karena tak ada apapun lagi setelah kematian, maka tak ada kebutuhan untuk mengumpulkan kebajikan. Mereka yang bersandar pada cara pandang ini tak suka dengan gagasan bahwa hidup akan secara konstan terbaharui. Dan ada akibat dari kamma baik dan kamma buruk yang mengikuti mereka seperti bayangan.
Jika tak ada kehidupan baru setelah kematian semua perbuatan buruk mereka akan berakhir dengan berakhirnya keberadaan. Orang-orang ini tak perlu bertanggungjawab terhadap semua perbuatannya, baik atau buruk. Karena perbuatan buruk yang mereka lakukan akan terhapus ketika mereka meninggal. Demikian juga semua perbuatan baik akan terhapus setelah meninggal dunia. Penganut vibhavatanha menemukan kepuasan pada pandangan tentang kehancuran total.
Seseorang yang terikat dengan gagasan ini selalu tergerak untuk menikmati semua kesenangan hidup tanpa adanya pengekangan terhadap semua hal-hal buruk. Melakukan semua kenikmatan hidup saat ini serupa dengan menerima khandha-khandha yang akan muncul dalam kehidupan mendatang. Perbuatan buruk yang terkumpul pada kehidupan ini adalah akusala kamma. Saat kematian mereka akan berhadapan dengan perbuatan buruknya dan dilekati olehnya. Digambarkan, mereka akan diterangi oleh kamma-kamma-nya sehingga akan muncul khandha yang baru.
Kemelekatan semacam ini berlangsung terus-menerus dan dalam waktu yang tak terhitung sehingga keberadaan yang baru tak bisa dihindarkan. Di sisi lain cara pandang nihilisme ini tak bisa dipertahankan. Ada ilustrasi yang bisa diberikan di sini. Biasanya seorang dokter menganjurkan agar pasiennya yang sedang sakit tak diberikan makanan yang akan menganggu kesehatannya. Tapi, pasien bersangkutan justru tak bisa menahan diri. Ia tetap mengkonsumsi makanan-makanan pantangan itu. Akibatnya, kondisi kesehatannya semakin buruk. Mungkin saja ia akan menghadapi kematian.
Orang yang melekat dengan cara pandang uccheda ditthi seperti pasien bandel di atas. Meski ia percaya tak ada keberadaan apapun setelah kematian, kemelekatannya akan obyek-obyek yang menyenangkan begitu kuat. Sehingga sekali lagi ia akan “menjadi”, apapun cara pandangnya. Setelah itu keberadaannya yang baru akan sangat sulit dan keras karena ia tak pernah melakukan perbuatan baik sebelumnya. Perlu diingat, setiap perbuatan buruk akan menghasilkan akibat buruk. Atau dengan kata lain, dari setiap perbuatan buruk akan muncul suatu reaksi yang buruk pula.
Cara pandang ini menjadi fondasi bagi tumbuhnya rasa mementingkan diri sendiri. Dalam hal ini tak ada tempat untuk menghormati keberadaan pihak lain. Biarkan yang lain meninggal dan ia tetap hidup. Dengan cara pandang ini ia tak punya rasa cemas atau penyesalan terhadap perbuatannya yang menyakiti pihak lain. Yang dikembangkan hanya perbuatan-perbuatan buruk. Dengan cara hidup demikian ia tak akan memiliki harapan apapun kecuali akan terlahir dalam bentuk keberadaan yang rendah dan buruk pada kehidupan mendatang.
Sekali lagi, vibhavatanha adalah kemelekatan atas obyek-obyek indra dalam satu kehidupan dimana ia percaya tak akan ada hari esok. Seseorang yang dilekati oleh jenis kemelekatan semacam ini akan menggali kenikmatan tanpa adanya pengekangan di dalamnya. Apa yang ia percayai adalah keyakinan yang membahagiakan bahwa semua mahkluk akan lenyap atau habis setelah kematian. Sehingga seseorang tak perlu sibuk melakukan perbuatan baik dan buruk selama hidupnya.
Sekarang izinkan saya mengatakan sekali lagi tentang segala sesuatu yang telah dijelaskan sebelumnya:
· Apakah beban yang berat itu? Khandha-khandha adalah beban yang berat.
· Siapa si pembawa beban yang berat itu? Individu yang terdiri dari khandha-khandha adalah si pemanggul beban yang berat itu.
· Siapa yang menerima beban yang berat untuk dipanggul? Tanha adalah si penerima beban yang berat untuk dipanggul.
Tanhãkkhaya : Terhentinya “kehausan”, sinonim dari Nibbana, padamnya nafsu keinginan.
Tapa : 1). Latihan moral, 2). sangat sederhana,kesederhanaan.
Tathatta : Keadaan yang demikian, kebenaran mutlak, Nibbãna.
Tathãgata : Sinonim untuk Sang Buddha.
Tatha = kesunyataan; Agata = yang datang dan yang pergi, Ia yang telah datang, Ia yang telah pergi.
Tatratatrãbhinandini : Kenikmatan baru disana-sini.
Tãvatimsa : Alam surga dari tiga puluh tiga Dewa ( lihat huruf “T” : Tiloka /Triloka ).
Dewa di alam Tavatimsa memiliki usia rata-rata 1.000 TS. Sehari semalam di alam Tavatimsa sama dengan 100 tahun di alam manusia.
Tejo-dhãtu : Unsur api atau panas.
Tevijja : Yang memiliki Tida pengetahuan.
Tihetuka : Tiga akar.
Thera/(skt.Sthavira) : Seorang Bhikkhu yang mempunyai sepuluh vassa ( sepuluh tahun menjadi Bhikkhu).
Theri : Bhikkhuni Senior.
Theravada : Agama Buddha yang dianut di Srilanka, Burma, Thailand, laos, Kamboja; yang mempelajari agama Buddha dari kitab Tipitaka, ajaran para sesepuh
Thina/(skt.styãna) : Kemalasan.
Thina-middha : Kemalasan dan kelambanan/kelesuan.
Tipitaka /(skt.Tripitaka) : Kitab suci agama Buddha
Apa arti Tipitaka ?
Tipitaka secara harafiah berarti Tiga Keranjang, yaitu kumpulan ajaran Sang Buddha yang terdiri atas Vinaya Pitaka yang berisikan peraturan kebhikkhuan, Sutta Pitaka yang berisikan khotbah-khotbah Sang Buddha dan Abhidhamma Pitaka yang berisikan ajaran Sang Buddha yang disusun secara sistematis. Tipitaka disusun oleh siswa-siswa Sang Buddha setelah wafatnya Sang Buddha.
Tipitaka terdiri dari :
I. Vinaya, berisi tata-tertib dan aturan-aturan.
II. Sutta, berisi khotbah dan pembahasan-pembahasan
III. Abhidhamma, berisi hal-hal yang berhubungan dengan metafisika.
Struktur Kitab Suci Tipitaka
( Tiga kelompok Ajaran Buddha )
I. VINAYA PITAKA ( Peraturan/ Disiplin Bhikkhu/ Bhikkhuni )
Vinaya Pitaka ini terdiri dari 5 Buku ; yaitu :
1. Parajika : Peraturan / disiplin berat.
2. Pacittiya : Peraturan / disiplin ringan.
3. Mahavagga : Bagian yang lebih besar.
4. Cullavagga : Bagian yang lebih kecil.
5. Parivara : Formasi peraturan / disiplin .
II. SUTTA PITAKA ( Kumpulan kotbah Sang Buddha )
Sutta Pitaka ini terdiri dari 5 Kumpulan Buku/koleksi ; yaitu :
1. Digha Nikaya : Kumpulan kotbah Panjang.
2. Majjhima Nikaya : Kumpulan kotbah menengah.
3. Samyutta Nikaya : Kumpulan kotbah yang saling berhubungan.
4. Anguttara Nikaya : Kumpulan kotbah yang bertahap-tahap.
5. Khuddaka Nikaya : Kumpulan kotbah yang pendek, berisi 15 Kitab, yaitu :
1. Khuddakapatha : Kumpulan dari naskah yang pendek.
2. Dhammapada : Prinsip Ajaran Buddha dalam bentuk syair.
3. Udana : Ungkapan kebahagiaan.
4. Itivuttaka : Kotbah yang dimulai dengan “ Demikianlah dikatakan “.
5. Suttanipata : Kumpulan kotbah praktek mulia dalam kehidupan sehari- hari.
6. Vimanavatthu : Kotbah tentang kehidupan di alam surga/ bahagia.
7. Petavatthu : Kotbah tentang kehidupan di alam duka / menderita.
8. Theragatha : Sajak dari para Bhikkhu.
9. Therigatha : Sajak dari para Bhikkhuni.
10. Jataka : Kisah-kisah kelahiran calon Buddha/Bodhisatta.
11. Niddesa : Kitab tentang uraian Dhamma.
12. Patisambhida Magga : Analisa ajaran pokok Buddha.
13. Apadana : Kisah kehidupan para Arahat.
14. Buddhavamsa : Sejarah kehidupan para Buddha.
15. Cariyapitaka: Kisah penyempurnaan kebajikan Bodhisatta Siddatha Gotama.
III. ABHIDHAMMA PITAKA
(Uraian Metafisik, Filsafat/Ilmu Jiwa, Kebenaran Mutlak)
Abhidhamma Pitaka ini terdiri dari 7 Buku, yaitu :
1. Dhammasangani : Klasifikasi Dhamma .
2. Vibhanga : Analisis kebenaran tertinggi .
3. Dhatukatha : Kotbah tentang unsur-unsur.
4. Puggala Pannati : Kitab tentang individual.
5. Kathavatthu : Pemurnian doktrin Buddha Dhamma.
6. Yamaka : Kitab tentang hal-hal yang berpasangan.
7. Patthana : Kitab tentang sebab yang berhubungan.
Tilakkhaņa : Tiga corak umum
Apa arti Tilakkhana ?
Tilakkhana berarti Tiga Corak Alam, yaitu bahwa segala sesuatu yang tercipta adalah tidak kekal (anicca), bahwa segala sesuatu yang tercipta adalah penderitaan (dukkha) dan bahwa segala sesuatu yang tercipta ataupun tidak tercipta adalah tanpa aku yang kekal (anatta).
Hukum Tiga Corak Kehidupan ( Tilakkhana )
Hukum mengenai tiga Corak kehidupan ini terdiri dari 3 (tiga) rumusan, yaitu :
1. Sabbe Sankhara Anicca
Segala sesuatu yang terkondisi selalu berubah
2. Sabbe Sankhara Dukkha
Segala sesuatu yang terkondisi tidak memuaskan
3. Sabbe Dhamma Anatta
Segala sesuatu yang terkondisi maupun yang tidak terkondisi adalah tiada inti diri
Tiracchãna : Binatang.
Tiracchãna-yoni : Kelahiran sebagai binatang, Alam Binatang ( lihat huruf “T” : Tiloka / Triloka ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar