PERAN BHIKKHU SANGHA
Dalam Meningkatkan Keyakinan Umat Buddha
A.
Pendahuluan
Semua umat Buddha yang telah menjalankan hidupnya menjadi
bhikkhu-bhikkhuni, wajib menagggalkan kehidupan duniawi dan bertempat tinggal
dilingkungan tempat ibadah (vihara) yang disebut kuti (tempat tinggal para
anggota Sangha). Selain menjalani kehidupan sebagai Bhikkhu-bhikkhuni, juga
mengabdikan demi kepentingan perkembangan agama Buddha, membabarkan dhamma
ajaran Sang Buddha dengan penuh cinta kasih.
Sangha merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam perkembangan ajaran
Buddha. Dimana sangha adalah bagian dari kesatuan Tri Ratna dari tiga mustika,
“ Jika engkau berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha perasaan takut,
khawatir, cemas, tidak akan muncul” (S. I ; 220). Buddha sebagai kesadaran yang
tertinggi, Dhamma merupakan kebenaran dan Sangha sebagai person yang memiliki
jiwa Kebuddhaan. Sangha terbentuk pada waktu kehidupan Sang Buddha dan beliau
sendiri menjadi ketua sangha pada waktu itu. Sangha pada kehidupan Sang Buddha
sebagai perantara dalam penyebaran ajaran kebenaran tentang Dhamma. Pengikut
Buddha yang semakin banyak bukan lain adalah pengaruh keyakinan yang muncul
melalui ajaran siswa-siswa Buddha yang menyebar ke berbagai daerah untuk
mengajarkan Dhamma.
Ajaran Buddha setelah Mahaparinibbana Sang Buddha, dilanjutkan oleh para
siswa-siswa utama melalui konsili-konsili yang menghasilkan kumpulan ajaran
Buddha berdasarkan khotbah, aturan dan peristiwa yang terjadi pada waktu
kehidupan Sang Buddha. Penyebaran ajaran Buddha memberikan banyak kontribusi
kemakmuran pada berbagai negara. Raja Asoka yang terkenal dengan pedangnya dan
selalu ingin menguasai negara-negara yang sebelahnya, namun setelah
mendengarkan ajaran Sang Buddha, kemudia menjadi pengikut Buddha dan berperang
bukan dengan senjata tajam melainkan dengan kebenaran Dhamma.
Sangha berperan sebagai perubah nilai psikologis pada manusia. Orang
yang melihat kehidupan danperbuatan para Bhikkhu yang terlatih dalam sila,
memberikan kesejukan hati dan rasa damai. Kegembiraan ini muncul dalam diri
manusia yang selalu memberikan penghormatan dan keyakinan terhadap Sangha.
Dimana para bhikkhu-bhikkhuni yang selalu memberikan dampak yang baik dalam
bertindak.
Perlindungan merupakan ciri utama Sangha sebagai kesadaran tinggi dalam
kebuddhaan, memberikan satu perubahan yang besar terhadap perumah tangga untuk
menyelamatkan dari ketakutan dan kekhawatiran menmgenai kehidupan dunia. Sangha
memberikan rasa aman dan sebagai sifat kebijaksanaan pada kesucian yang
dilakukan seseorang dalam sifat perlindungan yang dimiliki berdasarkan pada
Ariya Sangha sebagai pengertian falsafah kesucian. Sebagai tempat menanam
kebajikan yang merupakan ladang subur bagi perumah tangga, sebab sangha
memiliki moralitas yang tinggi dalam sila dan vinaya.
Sangha sebagai guru dalam moralitas dan membimbing perumah tangga dan
sebagai perlindungan dalam Buddha Dhamma. Walaupun setelah Mahaparinnibbana
Sang Buddha, para Bhikkhu Sangha terjadi corak perbedaan dalam berbagai aspek
penerapan vinaya ataupun ajaran Dhamma dari Buddha Gautama. Awalnya bhikkhu
adalah sebagai manusia biasa yang melatih diri dalam moralitas dan kebajikan,
menunjukan eksistensi dalam pengaktualisasian diri dalam latihan untuk mencapai
tingkat kesucian. Disisi yang lain bhikkhu sebagai penganut Buddha yang
memiliki peran untuk menyebarkan Dhamma, menyebarkan kebenaran agar para mahluk
yang lain memperoleh kesempatan dalam menjernihkan kekotoran batin dengan
ajaran Dhamma Sang Buddha. Sehingga prinsip melatih diri sebagai seorang pertapa
tidak ditinggalkan, sembari memberikan ajaran kepada para perumah tangga.
Perbedaan pendapat dari kalangan bhikkhu memberikan dampak yang berbeda
pula, tetapi sebagai tiang perlindungan dan penerus ajaran Buddha. Sangha
merupakan penuntun dan figure untuk keyakinan umat perumah tangga. Berdasarkan
aktualisasi diri bhikkhu, menjadikan pertanyaan bagi diri kita, apakah para
bhikkhu dalam kenyataannya sekarang ini masih bisa memberikan kontribusi
terhadap keyakinan kepada perumah tangga dalam perkembangan agama Buddha.
B.
Sangha dalam agama Buddha
Sangha dalam agama Buddha diibaratkan sebagai sebuah ladang yang subur
dalam menghasilkan panen yang berlimpah. Karena itu benih-benih perbuatan yang
berjasa yang ditanam pada sangha adalah sebuah ladang yang subur, dimana hasil
yang berrlimpah dapat diharapkan. Umat Buddha meyakini bahwa pemberian dana
yang diberikan kepada mereka yang sungguh-sungguh melaksanakan kehidupan suci
akan membawa pahala yang lebih besar tetapi tidak membawa pahala yang besar
bila diberikan kepada orang yang tidak memiliki moralitas yang baik. Buddha
menasehati bahwa bentuk pemberian makanan kepadaseratus Paccekha Buddha,
pahalanya akan lebih besar apabila ia memberikan makanan kepada seorang
Sammasambuddha yang telah mencapai penerangan sempurna. Jika makanan diberikan
kepada para anggota Sangha yang dipimpin oleh sang Buddha, pahalanya akan lebih
besar apabila ia mendirikan sebuah vihara yang dapat digunakan oleh para
bhikkhu sangha.
Sangha memiliki dua makna, yakni secara sammuti adalah sebagai
personalduduk dalam sangha yang bertekan melatih diri dalam moralitas untuk
meraih kebijaksanaan, yang belum mencapai tingkat kesucian sedangkan Sangha
secara paramatta adalah tingkat kesucian pada sottapana, sakadagami, anagami
dan arahat atau Ariya Sangha dalam persaudaraan para bhikkhu-bhikkhuni yang
telah mencapai tingkat kesucian. Keberadaan Sangha selalu memberikan nilai
kebaikan yang tinggi bagi perumah tangga. Penjelasannya Buddha kepada pemuda
bernama Sigala memberikan nasehat fungsi Sangha terhadap umat perumah tangga
yakni sebagai pembimbing dan pengajar dalam kehidupan para perumah tangga.
Sangha adalah sebagai bagian dari tiga mustika yang memiliki tempat
khusus dalam perkembangan agama Buddha. Sangha merupakan bagian perlindungan
agama Buddha dalam kelangsungan penyebaran Dhamma setelah Mahaparinibban Sang
Buddha. “Seseorang yang telah pergi berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha
akan melihat kebenaran yang mulia dengan pengetahuan yang benar” (Dhp. XIV :
190). Secara harfiah Sangha adalah persaudaraan suci para Bhikkhu-bhikkuni.
Persaudaraan suci para bhikkhu-bhikkhuni terbentuk pada kehidupan Buddha.
Persaudaraan para bhikkhu-bhikkhuni dengan Sang Buddha sebagai kepala dalam
persamuan Sangha, memberikan banyak inspirasi tentang kebenaran pada jaman
kehidupan pertapa di India yang tersesat dengan pandangan yang salah.
Praktek pembabaran Dhamma dengan kebijaksanaan memberikan implikasi
terhadap perolehan kebahagiaan bagi para pengikut ajaran Dhamma dan memberikan
petunjuk terhadap jalan kebahagiaan menuju pembebasan. Masuknya lima petapa
pada waktu pertama kali sehingga terbentuklah Sangha pertama, yang menunjukan
bahwa keyakinan terhadap kebenaran Dhamma dengan penembusan sendiri menjadi
aspek tauladan bagi umat perumah tangga dan pertapa, bahwa Buddha memiliki
kekuatan yang sangat besar dalam memberikan inspirasi keyakinan agar manusia
selalu berbuat kebajikan.
Berkembangnya ajaran Buddha keberbagai negara dengan perantara para
Bhikkhu sebagai penyebar ajaran Buddha dan sebagai pewaris pelaksanaan Dhamma
menujukkan adannya keyakinan para umat kepada Dhamma sebagai penerimaan Dhamma,
sebagai model hidup untuk memperoleh kebahagiaan. Sangha pada saat ini telah
menunjukkan eksistensinya yang besar dalam upaya penyadaran umat perumah tangga
kepada ajaran Buddha sebagai kebenaran yangmulia. Di Indonesia telah berdiri
beberapa kelompok Sangha berdasarkan aturan pada vinaya yang berbeda dan ajaran
sumber kitab yang berbeda pula. Keberagaman sangha di Indonesia atau di seluruh
belahan dunia secara esensial memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai kumpulan
orang yang melatih diri dalam vinaya dan upaya untuk pembabaran Dhamma kepada
umat manusia yang masih banyak dicengkram oleh derita karena kekotoran batinya.
Seseorang yang mempunyai kehendak, tekad dan keinginan kuat untuk
memilih hidup menjadi bhikkhu merupakan pilihan yang sangat luhur dan mulia.
Menjadi bhikkhu memerlukan perjuangan yang keras, tekun, ulet dan dengan
sungguh-sungguh melatih hidup suci sehingga apa yang menjadi cita-citanya dapat
tercapai pada kehidupan sekarang. Prosedur untuk menjadi bhikkhu, juga sangat
panjang, mulai dari samanera sampai menjadi bhikkhu. Banyak sekali rintangan
dan godaan dari luar yang selalu diwaspadainya. Karena Sang Buddha berpesan
“berjuanglah dengan sungguh-sungguh, O para bhikkhu, dan waspadalah serta penuh
kebajikan ! dengan sekuat tenaga, jagalah pikiran sendiri ! siapa yang
mengikuti dhamma dan vinaya dengan baik dan tekun akan mampu mengahkiri
penderitaan hidup”.
Kalau seorang bhikkhu memegang terguh pesan Sang Bbuddha, maka para
bhikkhu akan tabah menghadapi semua penderitaan, bahaya dan godaan demi
tercapainya pemadaman keinginan, penyadaran ahkir dari penderitaan dan menuju
pengetahuan yang sempurna. Seperti siswa Sang Buddha Y.A. Sariputra dengan
tegas dan lantang mengatakan tekad yang kuat dalam latihan dan tidak akan
pernah menggunakan cara-cara rendah yang dicela oleh Sang Buddha. Jika para
bhikkhu sekarang ini mempunyai tekad dan kehendak seperti Y.A. Sariputera,
kemungkinan tidak ada seorang bhikkhu yang menanggalkan jubahnya.
Dimasa sekarang seseorang yang telah puluhan tahun menjalani kehidupan
sebagai bhikkhu dan melaksanakan peraturan vinaya dengan baik, ada kemungkinan
untuk melepaskan jubahnya dengan berbagai macam alasan, karena itu adalah hak
setiap diri pribadi manusia dalam latihan. Setelah kembali ditengah-tengah
masyarakat iapun menjalani hidup berumah tangga. Ini sama halnya dengan para
mahasiswa yang mempertahankan diri untuk belajar, para pekerja yang bekerja
keras untuk mencari nafkah secara jujur, tetapi perjuangannya kandas ditengah
jalan dengan berbagai macam hambatan dan rintangan yang tidak mampu untuk
dilewatinya.
Seorang bhikkhu, melepaskan jubah dan kembali dalam kehidupan perumah
tangga adalah sesuatu yang wajar dan diaggap sesuatu yang biasa. Karena menjadi
bhikkhu hanya merupakan suatu latihan biasa. Selain itu tidak ada peraturan
yang sifatnya mengikat yang seharusnya seseorang untuk menjadi bhikkhu selama
hidupnya. Tetapi bagi umat awam, yang mempunyai pengetahuan Dhamma pas-pasan
atau bagi umat yang baru mengerti ajaran Buddha, kemungkinan sulit sekali untuk
menerima kenyataan ini, karena ia begitu hormat, bakti, bermurah hati dan
selalu membantu kegiatan yang berkenaan dengan kepentingan Sangha. Rasa kecewa
akan selalu menyelimutinya, tatkala ia mengetahui bahwa mantan bhikkhu tempat
ia berbakti itu ternyata sudah menikah. Maka ia mulai mereka-reka penaggalan
jubahnya karena tidak kuat menahan godaan wanita. Padahal tidak setiap pribadi
bhikkhu melepaskan jubahnya karena alasan tersebut. Tetapi perlu direnungkan
lebih mendalam, bahwa setiap permasalahan yang muncul selalu ada batas
kemampuan bagi seseorang dalam menyingkapinya, dan mantan bhikkhu pun tidak
serendah yang menjadi bayangan. Sehubungan dengan hal tersebut Y.A. Ananda
menanyakan kepada Sang Buddha, tentang bagaimanakah cara bhikkhu bersikap
terhadap (wanita) permasalahan tersebut ? Sang Buddha menasehatinya “Jangan
lihat mereka, Ananda, tetapi Bhante bagaimana kalau kita melihat mereka ? maka jangan
bicara kepada mereka, Ananda. Namun bhante, bagaimana kalau kita harus
berbicara dengan mereka ? maka dalam hal ini, Ananda, engkau harus selalu
waspada”.
C.
Aspek – aspek Kehidupan Sangha
Banyak orang masih belum menyadari bahwa Dhamma kebenaran yang
dibabarkan Sang Buddha tidak dapat berubah pada situasi apa pun. Aturan vinaya
tertentu juga termasuk dalam kategori yang sama dan tidak dapat berubah pada
kondisi apa pun. Tetapi beberapa aturan vinaya lain dapat berubah untuk
mencegah ketidaknyamanan yang tidak semestinya. Dhamma dan vinaya tidak sama.
Hal ini dari beberapa bhikkhu mengamati tradisi tertentu dengan kaku
seakan-akan hal itu merupakan prinsip yang religius yang penting. Walaupun yang
lainya tidak dapat menemukan kepentingan atau pengertian religius dalam
prakteknya.
Sangha dalam berbagai aspek fisik memiliki kelemahan seperti manusia
biasa. Sehingga menimbulkan perpecahan dalam beberapa kelompok pada waktu
kehidupan setelah Mahaparinibbana Sang Buddha yang merupakan dinamika dalam
kelanjutan dari upaya penyebaran ajaran Buddha Dhamma. Sangha dalam wujudnya
demi perkembangan agama Buddha mampu meningkatkan keyakinan yang memiliki
beberapa aspek kehidupan sangha, yang membawa keberuntungan positif bagi
perumah tangga, diantaranya:
1.
Aspek model.
Sangha merupakan pewaris dan pelaksana ajaran Buddha, melalui sikap
latihan moralitas dan tingkah laku dalam kehidupan. Mampu memunculkan inspirasi
kepada umat perumah tangga dalam menemukan kebenaran berdasarkan aspek model
yang diberikan oleh bhikkhu sangha. Keberhasilan sangha dalam mengemban misi
kelangsungan penyebaran dhamma merupakan peran utama para Bhikkhu-bhikkuni
dalam misinya sebagai pertapa yang menumbuhkan kembali sikap dan pandangan
manusia yang salah menjadi manusia yang memiliki keyakinan kepada Dhamma
sebagai pegangan hidup dalam merealisasi kebahagiaan.
Sangha memberikan efek kedamaian bagi orang yang melihat kualitas
moralnya berkat kekuatan Dhamma dan kebijaksanaan yang dimilikinya bagi setiap
pribadi bhikkhu-bhikkhuni. Pengendalian ini memberikan kekuatan yang luar biasa
terhadap lingkungannya. Bhikkhu Sangha dalam prakteknya mengendalikan idrianya
sebagai acuan utama para bhikkhu sangha dalam berpikir berbuat, maupun
berbicara. Berjalan dalam sila dan vinaya merupakan moralitas yang tinggi yang
dapat memberikan kedamaian dan kekuatan kebijaksanaan.
Beberapa sifat dan sikap bhikkhu sangha sebagai pertapa kepada para
perumah tangga adalah mencegah anggota keluarga untuk berbuat jahat,
menganjurkan untuk selalu berbuat kebaikan, mengajarkan dhamma ajaran kebenaran
Sang Buddha yang baru, yang belum diketahuinya atau didengarnya serta
menjelaskan dengan baik. Bhikkhu sangha sebagai tempat untuk menanam jasa bagi
perumah tangga yang menuju pada kebahagiaan.
2.
Aspek keyakinan
Keyakinan para siswa Buddha tumbuh setelah melihat Bhikkhu sebagai model
utama dalam moralitas memberikan rasa damai dan kesejukan pikiran. “Keyakinan
atau kepercayaan adalah yang terbaik yang dapat dimiliki seseorang”(S. I : 41).
Sangha dalam ini hanya memberikan keyakinan kepada perumah tangga untuk
memperkokoh dan memberikan landasan dalam hal pola prilaku sebagai panutan.
Buddha dan para bhikkhu sangha adalah pembimbing menuju pada realisasi diri
terhadap kebahagiaan.Dengan memiliki keyakinan kepada Sangha, ada yang berhasil
mencapai tujuan, namun tidak sedikit pula yang tidak berubah nasibnya. “Para
bhikkhu sangha sebagai siswa Buddha hanya menunjukan jalan seperti Buddha,
hasilnya jelas tergantung kepada orang yang mendapat petunjuk” (M. III, 4-6).
Aspek keyakinan yang disertai pernyataan berlindung ini mempunyai arti
dalam tiga aspek, (1). Aspek kemauan, yang menghendaki adanya kesadaran dan
tindakan yang aktif, bukan pasif menunggu berkah dari atas; (2) aspek
pengertian, yang menghendaki pemahaman terhadap hakekat perlindungan dan
perlunya perlindungan, yang memberikan harapan dan yang menjadi tujuan; (3)
aspek perasaan, yang mengandung unsure percaya keiklasan, syukur dan cinta
kasih, yang menimbulkan bakti, mendorong pengabdian dan memberikan ketenangan,
kedamaian, semangat, kekuatan dan kegembiraan.
3.
Aspek perlindungan
keyakinan muncul mendalam bagi seseorang yang telah mengerti Dhamma yang
akan memberikan perlindungan yang sejati terhadap kehidupan menuju kebahagiaan.
Keberadaan bhikkhu sangha memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap
kebahagiaan para perumah tangga sebagai kekuatan moralitas. “Setelah melatih
diri dengan baik, ia sangat sulit memperoleh perlindungan, sesungguhnya diri
sendiri yang menjadi pelindung bagi dirinya” (Dhp. XII : 160).
Ungkapan perlindungan terhadap sangha menjadi acuan utama dalam upacara
ritual agama Buddha. peryataan perlindungan bukan berlindung kepada personal
sebagai manusia, tetapi kepada sifat moralitas dan kesucian pada bhikkhu
sangha. Pelindung kepada sifat kebuddhaan yang dimiliki oleh setiap manusia
adalah percaya pada Buddha sebagai sifat kesadaran dan kesempurnaan. Dan aspek
dhamma sebagai bentuk kebenaran pada hukum kesunyataan. Namun yang menjadi
aspek perlindungan sebetulnya adalah perlindungan kepada diri sendiri yang
telah memiliki pemahaman hakekat kebenaran dan kesucian yang ada pada diri
setiap seorang. “Karena itu Ananda, jadikanlah pelita bagi dirimu sendiri.
Jangan menyandarkan dirimu pada perlindungan dari luar. Peganglah dharma
sebagai pelita. Peganglah dengan teguh dhamma sebagai pelindung. Jangan mencari
perlindungan di luar dirimu” (D. II ; 100).
Berkembangnya pengikut Buddha merupakan dasar keyakinan yang muncul
dalam pegalaman Sang Buddha, dalam pembabaran Dhamma kepada Bhikkhu Sangha.
Keyakinan ini berkat keterlibatan Sangha sebagai aspek psikologis dan falsafah
yang berarti kesadaran pada tingkat kesucian, diwujudkan oleh umat perumah
tangga melalui perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Ungkapan
perlindungan kepada sangha sebagai kesadaran jiwa pada realisasi kebenaran.
Keyakinan yang mendalam pada manusia yang menyatakan perlindungan kepada
Sangha. Perlindungan kepada Sangha dalam Tisarana memberikan arti bukan pada
person Bhikkhu melainkan pada ariya Sangha sebagai wujud kesucian.
D.
Karakteristik Bhikkhu Sangha.
Secara moralitas bhikkhu sangha maupun umat perumah tangga terikat
dengan sila dan vinaya dalam aturan kedisiplinan. Suatu latihan kedisiplinan
dan aturan yang ditetapkan dan diberlakukan apabila telah terjadi peritiwa dan
didukung dengan alasan-alasan yang akurat. Dengan demikian orang-orang tidak
akan memprotesnya. Sebab didukung dengan bukti-bukti yang otentik. Sang Buddha
menetapkan peraturan vinaya untuk pertama kalinya di vesali dan diberlakukanya
setelah Bhikkhu Sudinna dari desa Kalandaka, melakukan hubungan seksual dengan
mantan istrinya, untuk memenuhi keiginan orang tuanya yang mengharapkan
keturunan sebagai penerus silsilah keluarganya.
Tanpa kedisiplinan sila dan vinaya, kehidupan manusiaakan menjadi morat-marit,
bagaikan kehidupan binatang liar yang hidup dihutan belantara. Tata tertib
dalam agama Buddha ditetapkan bukan hanya untuk menciptakan kedamaian dalam
masyarakat, ketentraman berbagsa dan bernegara, maupun dalam lingkungan Sangha
tetapi lebih dari pada itu, digunakan sebagai landasan untuk mengembangkan
batin bagi yang melaksanakannya. Namun seringkali orang menganggap peraturan
adalah beban dan ikatan yang membatasi kebebasan. Padahal, “Sila dan Vinaya
sebenarnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Sang Buddha dalam ajarannya,
merupakan alat atau rakit untuk menyeberangi lautan menuju kepantai seberang,
perlu untuk menyelamatkan diri, bukan untuk dijadikan beban” (M, I : 135).
Justru sila dan vinaya dibutuhkan oleh mereka yang ingin mencapai kebebasan.
Dengan mematuhi sila dan vinaya orang akan mampu melepaskan dirinya dari ikatan
belenggu nafsunya sendiri. Sehingga berhasil menyelamatkan dirinya sendiri dan
mencapai kebebasan-Nibbana.
Sila dan Vinaya membawa ketertiban, kerukunan, kedamaian dan kemajuan
social. Ketika Sang Buddha menetapkan vinaya kepada para siswaNya, Buddha
mengemukakan sejumlah fungsi peraturan, yaitu (1) untuk kebaikan Sangha,
menjamin kelangsungan hidup atau eksistensi Sangha, (2) mendatangkan
kesejahteraan bagi Sangha, mengurangi rintangan dalam latihan, dan menciptakan
keharmonisan serta kedamaian, (3) mengendalikan mereka yang berkelakuan buruk,
(4) melindungi mereka yang berprilaku yang baik, (5) melenyapkan kekotoran
batin (killesa) yang telah ada sekarang, (6) mencegah munculnya kekotoran batin
yang baru kemudian dikemudian hari, (7) meyakinkan mereka yang tidak percaya
dan membahagiakan, (8) menigkatkan keyakinan mereka yang telah mendengar
dhamma, (9) untuk menegakkan Dharma, yang bertahan lama bila vinaya
dilaksanakan dengan baik, (10) untuk menegakkan disiplin sehingga memberikan
manfaat bagi semua mahluk (A. V ; 70).
Pelaksanaan sila dan vinaya dengan baik akan memunculkan karakteristik
yang menonjol dari seorang bhikkhu diantaranya kemurnia dalam sila dan vinaya,
kemiskinan dalam suka rela hidup kesederhanaan, kerendahan hati, pelayanan
tanpa mementingkan dirinya sendiri, penuh pengendalian diri, kesabaran, welas
asih dan tidak membahayakan. Bhikkhu diharapkan menjalankan empat jenis
morallitas utama yaitu (1) patimokkha-sila atau kode etika moralitas
fundamental sangha dalam menghindari hal-hal yang dilarang oleh Sang Buddha,
(2) Indriyasamvara-sila moralitas yang berhubungan dengan penahanan-indria, (3)
ajivaparisuddhi-sila yang berhubungan dengan kesucian penghidupan, (4)
paccayannisstia-sila yang berhubungan dengan latihan pengembangan spiritual
dalam menggunakan empat kebutuhan pokok.
Penetapan vinaya tidak untuk kebaikan sangha saja, melainkan juga untuk
kebaikan seluruh umat. Dengan menjalankan vinaya secara baik, para
bhikkhu-bhikkhuniakan memperoleh sokongan perumah tangga. Vinaya akan
memusnahkan para bhikkhu sangha yang beritikat buruk. Dharma akan terpelihara
dengan baik dengan adanya kelestarian Sangha. Sangha ini terpelihara karena
adanya vinaya yang ditaati. Mengajarkan dhamma tanpa vinaya, sama artinya
dengan mengajarkan jalan tanpa menunjukkan bagaimana cara memulai dan
menempuhnya. Sebaliknya vinaya tanpa dharma hanya merupakan suatu peraturan
kosong yang sedikit manfaatnya. “Pelaksanaan sila dan vinaya dengan baik
merupakan tindakan yang bebas dari penyesalan (avippatisaro) sebagai tujuan dan
buahnya” (A. V ; 1). Dengan memiliki sila dengan baik seseorang akan dicintai,
dihormati, dan dihargai oleh orang lain (M. I, 33). Dalam Mahaparinibana-sutta
dihadapan perumah tangga Buddha mengemukakan manfaat dari pelaksanaan sila;
(1)membuat orang bertambah kaya, (2) mendatangkan nama baik, (3) menimbulkan
rasa percaya diri dalam pergaulan dengan berbagai golongan manusia, (4)
memberikan ketenangan disaat menghadapi kematian, (5) setelah meninggal dunia
akan terlahir dialam surga (D. II, 86).
Seseorang yang memasuki persamuan sangha dan menerima pentahbisan
sebagai samanera-bhikkhu pemula, ia mulai terikat untuk mematuhi sepuluh sila
samanera dan 75 sekiya, dengan kode disiplin tertentu untuk menjalani hidup
sampai ia menerima penthabisan yang lebih tinggi-upasampada menjadi seorang
bhikkhu. Bhikkhu pemula wanita disebut samaneri dan yang telah penuh-upasampada
disebut bhikkhuni.
Seorang bhikkhu terikat untuk menjalankan empat jenis moralitas utama
tersebut yang terdiri dari 227 aturan disamping beberapa aturan kecil yang
lainya, untuk bhikkhuni 311 aturan. Peraturan mengenai kehidupan selibat sampai
pencapaian spiritual adalah penting dan harus dipatuhi secara ketat. Jika
melanggar salah satu aturan dalam peraturan sangha, itu diaggap sebagai
“pecundang” dalam komunitas Sangha. Hak-hak religius tertentu dicabut dari
komunitas sangha. Dalam hal ini yang melanggar, tentunya menghadapi banyak
konsekuensi lainya dan memperbaiki sesuai dengan berat ringanya pelanggaran.
Kehidupan bhikkhu sangha tidak ada sumpah bagi seorang bhikkhu. Ia
menjadi bhikkhu berdasarkan kehendaknya sendiri untuk menjalani kehidupan suci
selama ia suka atau sebatas kemampuan yang dimilikinya. Karena itu ia tidak
perlu merasa terjebah oleh sumpah yang pernah ia ucapkan dalam upacara
upasampada-nya, dan menjadi munafikm karena ia sendiri dapat memutuskan apakah
ia ingin mematuhi aturan atau tidak. Ia bebas untuk meninggalkan kehidupan
komunitas Sangha kapan pun dan dapat menjalani cara hidup perumah tangga
sebagai umat Buddha biasa apabila hal itu ia menginginkan. Ia juga dapat
kembali memasuki komunitas sangha lagi kapan pun ia mau, namu ada peraturan
yang perlu ditaati, aturan yang sama pula diterapkan untuk para bhikkhuni dalam
latihan sebagai biara.
E.
Peran dan Nilai Religius Sangha
Munculnya sangha sebagai pewaris Dhamma yang memiliki peranan yang
sangat penting dalam penyebaran Dhamma. Setelah para bhikkhu mencapai 60 orang
arahat, Sang Buddha mengumpulkan para bhikkhu dan mengutusnya untuk menyebarkan
Dhamma kesegala penjuru. O para bhikkhu, pergilah berkelana, demi kebaikan
semua mahluk, demi kesejahteraan, kebahagiaan cinta kasih dan kasih sayang
dunia ini, dan demi kebahagiaan dan kebaikan para dewa dan manusia, janganlah
kalian pergi bersamaan kearah sama. Babarkanlah para bhikkhu, Dhamma yang indah
dan mulia pada awal, pertengahan dan pada akhirnya. Baik yang tersirat maupun
yang tersuart. Ajarkanlah kehidupan luhur. Dimana ada manusia yang matanya
terselimuti oleh sedikit debu-debu, jika tidak mendengarkan Dhamma akan
terjatuh. Mereka itulah yang akan memahami Dhamma. Laksanakan tugas mulia ini,
kibarkanlah bendera kebijaksanaan. Ajarkanlah Dhamma, bekerja demi kebaikan
semua mahluk.
Peran Sangha dalam pembabaran ajaran Buddha mulai dengan penyebarannya
enam puluh para bhikkhu arahat dalam meneruskan ajaran Dhamma pada kehidupan
Sang Buddha. sangha sebagai figure yang melaksanakan Dhamma mendapatkan simpati
para dewa dan manusia yang ingin mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan ini.
Kisah pertapa Kondana setelah Sang Buddha menguraikan khotbah dhamma yang
pertama, langsung memperoleh mata dhamma, karena dapat mengerti dengan jelas
makna khotbah tersebut sehingga beliau mencapai tingkat kesucian sotapanna dan
disebut Anna Kondana artinya bhikkhu yang mengerti. Y.A. Sariputra mendapatkan
keyakinan hanya mendengarkan tentang ajaran Buddha melalui ajaran yang
sederhana bahwa segala sesuatu tiada yang kekal, pasti memiliki sebab dan
akibatnya sehingga Sariputra mengeri Dhamma dan mencapai tingkat kesucian.
Buddha memiliki pengaruh religius yang sangat besar pada waktu
kehidupannya setelah pencapaian penerangan sempurna. Masuknya lima pertapa
teman seperjuangan Sidharta Gautama ahkirnya menjadi pengikut Buddha setelah
mendapatkan ajaran tentang kebenaran mulia bahwa fenomena kehidupan ini telah
tersimbak dan hanya mereka yang masih memiliki banyak kekotoran batin dapat
menikmati dan melaksanakan Dhamma hingga mencapai pembebasan.
Persaudaraan suci para bhikkhu telah terbentuk pada kehidupan Buddha.
persaudaraan para bhikkhu dengan sang Buddha sebagai kepala dalam sangha,
memberikan inspirasi tentang kebenaran. Praktek pembabaran Dhamma dengan
kebijaksanaan memberikan implikasi terhadap pencapaian kebahagiaan bagi para
pengikut ajaran Dhamma dan memberikan petunjuk dalam kehidupan menuju Nibbana.
Moralitas Sangha memberikan peran dalam aspek psikologis bagi orang yang
melihatnya dan dinyatakan mampu dalam pengendalian diri terhadap orang-orang yang
tidak teguh. Bagi para bhikkhu lain dan umat perumah tangga akan dapat
merasakan kebahagiaan dengan para bhikkhu sangha yang melaksanankan sila dan
vinaya dengan baik, melatih diri dalam upaya pembebasan terkesan sangat
simpatik dan memberikan kesejukan jiwa. Nilai religius muncul dalam
keterlibatan Sangha terhadap kebenaran Dhamma, diwujudkan dengan penghargaan
dan perlindungan. Secara fisik, sangha sebagai kumpulan para bhikkhu sangha,
umat perumah tangga memiliki rasa dan sikap ramah tamah, memiliki uacapan yang
baik, pikiran yang terkendali, serta menuntun dalam sikap dan perbuatan kejalan
kebenaran.
Hubungan antara bhikkhu Sangha dengan umat merupakan hubungan yang
bersikap moral religius dan sifatnya timbal balik sebagaimana yang telah
dijelaskan Sang Buddha dalam Sigalovada Sutta; umat perumah tangga (umat
Buddha) hendaknya menghormati bhikkhu sangha dengan cara; (1) membantu dan
memperlakukan mereka dengan perbuatan yang baik, kata-kata yang ramah (2)
pikiran yang penuh kasih saying, (3) selalu membuka pintu untuk mereka masuk
(4) dan memberikan keperluan dalam hidupnya. Sebaliknya para bhikkhu yang
mendapatkan penghormatan demkian akan mencintai umatnya dengan cara; (1)
mencegah mereka berbuat jahat, (2) menganjurkan mereka untuk berbuat baik, (3)
mencintai mereka dengan penuh kasih saying, (4) megajarkan dhamma yang belum
mereka dengar dan menjelaskan dhamma dengan baik, (5) menunjukan jalan menuju
pembebasan.
Para bhikkhu yang sungguh-sungguh menjalankan Dhamma-vinaya merupakan
sahabat yang sangat baik (kalyana mitta) guru dhamma yang melestarikan ajaran
agama Buddha, yang patut mendapatkan pelayanan dan penghormatan. Dimana ia
berada pada orang yang tekun dalam pelaksanaan kebaikan, semangat dan berusaha
untuk melayani semua kebutuhannya. Karena nilai religius sesuatu kebenaran
merupakan suatu kebenaran yang universal. Orang-orang yang dengan sungguh
melaksanakan Dhamma-vinaya akan menjadi orang yang bijaksana, tidak sombong,
sederhana, bebas dari keserakahan, kemarahan, kemelekatan, senantiasa tenang,
penuh tenggang rasa, bersemangat dan tanpa keinginan untuk memperoleh nama dan
kemasyuran diri sendiri. Kesempatan baik bagi perumah tangga dalam menanam
kebajikan dengan menopang kehidupan para bhikkhu sangha.
Sebaliknya umatpun dapat berpaling dari bhikkhu sangha yang melakukan
pelanggaran vinaya, dengan cara tidak melayani, tidak menghormati, dan tidak
memberikan persembahan makanan karena bhikkhu sangha tersebut telah lalai
melakukan kewajibannya. Sehingga membuat nama buruk. Jika seorang bhikkhu masih
menyakiti orang lain dan hidup sama seperti perumah tangga, maka sesungguhnya
ia bukanlah seorang samana.
Mengingat kehidupan bhikkhu sangha tidak meminta kepada umat, maka
sebaliknya umat seyogyanya menanyakan hal-hal yang dibutuhkan oleh bhikkhu
sesuaia dengan keperluan dan tidak bertentangan dengan peraturan kebhikkhuan.
Karena kehidupan bhikkhu tergantung dari pemberian umat, jadi ia harus merasa
puas, tidak memilih atau meminta sesuatu tertentu dari umat kecuali umat
menawarkan kesempatan dalam pengembangan karma baiknya.Melalui perbuatan baik
berdana kepada sangha pada setiap hari kathina. Ada empat kebutuhan pokok bagi
para bhikkhu sangha yaitu; jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan
serta sarana yang lain yang mendukung dalam kehidupan sangha.Peran religius
sangha memberikan perkembangan yang besar dalam sejarah Buddha-Dhammahingga
sekarang ini, menunjukkan adanya keterlibatan bhikkhu Sangha sebagai inspirasi
pada keyakinan terhadap kebenaran Buddha.
F.
Penutup
Sangha memiliki peran yang sangat penting terhadap pelestarian dan
pembabaran Dhamma ajaran Sang Buddha. kebajikan moralitas yang menjadikan acuan
dalam berpikir, bertindak, berucap yang positif sebagai seorang pertapa yang
memberikan rasa damai dan bahagia. Sehingga menimbulkan keyakinan yang mendalam
pada diri orang yang mengenal Dhamma.
Keyakinan dalam agama Buddha bukan keyakinan yang membuta berdasarkan
dogma-dogma. Apabila tidak dilaksanakan membawa manusia pada alam neraka.
“Keyakinan dalam Buddha yang paling utama adalah keyakinan kepada Buddha,
keyakinan pada jalan mulia berunsur delapan, keyakinan kepada ketiadaan hawa
nafsu (Viraga) atau Nibbana yang dinyatakan juga sebagai dhamma dan keyakinan
kepada Ariya-Sangha, persaudaraan orang-orang suci” (A. II : 34). Buddha
memberikan petunjuk terhadap keyakian adalah datang dan buktikan. Perbuatan
yang memberikan dampak kebahagiaan harus tetap dilaksanakan, tetapi perbuatan
yang membawa penderitaan jangan dilakukan. Buddha menolak ajaran pandangan yang
salah berdasarkan keyakianan yang membuta, dilakukan oleh kaum titiya dan
carvaka yang menggangap bahwa kehidupan manusia akan mengalami kebahagiaan dan
hidup hanya sesaat atau tubuh adalah sumber penderitaan dan harus disiksa.
Menurut Asangga keyakinan itu mengandung tiga unsur, yaitu (1) keyakinan
yang kuat akan sesuatu hal, (2) menimbulkan kegembiraan yang mendalam terhadap
sifat-sifat yang baik, (3) harapan untuk memperoleh sesuatu dikemudian hari.
Keyakinan yang kuat bukan berarti sebatas percaya seperti yang lazim dikenal
oleh kebanyakan orang. Keyakinan disini menekankan aspek melihat, memahami dan
mengetahui. Persoalan akan percaya akan timbul apabila kita tidak dapat melihat
sesuatu dengan jelas. Begitu melihat dengan sendiri dengan jelas, pada saat itu
pula tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak. Dalam ajaran yang bersifat
ehipasiko, yang selalu kita temukan adalah melihat atau membuktikan, sehingga
keyakinan memiliki kepastian, bukan percaya kepada sesuatu yang masih belum
jelas.
Kegembiraan terhadap sifat yang baik akan ditemukan pada orang-orang
yang memiliki pengertian dan kebijaksanaan. Tidak mungkin orang percaya karena
takut dapat merasakannya. Dan sesuatu pengharapan dari sikap moral manusia
mencapai kesempurnaan lewat jalan kebijaksanaan dan pemusatan pikiran yang
bersih dari dorongan yang keliru. Sariputra memberikan kesaksian bagaimana
seseorang dapat memiliki keyakinan yang sempurna kepada Tathagatha dan tidak
meragukan ajaran-Nya. Keyakian diuji dengan mengendalikan indria. Dengan
keyakianan ini, semangat kesadaran, konsentrasi, kebijaksanaan yang terus
menerus. “Sebelumnya aku hanya mendengar hal ini, sekarang aku hidup dengan
mengalaminya sendiri, kini dengan pengetahuan yang dalam, aku mampu menembusnya
dan membuktikan secara jelas dan sendiri keindahan itu telah hadir” (S. V :
226).
Refrensi :
-
……., 1980, Kebahagiaan dalam Dhamma, Majelis Buddhayana Indonesia,
Jakarta.
-
Ingersah, 2002, Hubungan antara Bhikkhu dan umat Buddhis, Vihara Dhamma
Metta Arama, Pekan Baru.
-
Krishnanda Wijaya-Mukti, 2003, Wacana Buddha-Dhamma, Ekayanan Buddhis
Centre, Jakarta.
-
Mulyadi Wahyono, SH , 2002, Pokok – Pokok Dasar Agama Buddha, Departemen
Agama Republik Indonesia, Jakarta.
-
Sri Dharmananda, 2002, Keyakinan Umat Buddha, Karaniya, Jakarta
-
Surya Widya pandita Sasanadhaja, 2001, Dhammapada, Abdi Dhamma
Indonesia, Jakarta.
-
Teja S.M. Rashid, 1997, Sila dan Vinaya, Buddhis Bodhi, Jakarta.
-
Woodrvold Translit, 1989, The Book Of The Gradual Saying’s
(Anguttara-Nikaya), Pali Text Society Oxford, London.
-
Ven. Narada Mahathera, 1998, Sang Buddha dan AjaranNya Bagian I dan II,
Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta.
-
Ven, Piyadassi Mahathera,……..,Theravada Buddhism, Present Situation,
W.B.F. Unity Of Diversity, Thailand
-ooOoo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar