6. ADOSA
Tidak
Membenci, Niat Baik
Adosa bisa
diartikan sebagai kelembutan atau tanpa kekejaman. Adosa adalah lawan dari
dosa. Mereka yang memiliki adosa berkelakuan sopan, sedangkan mereka dengan
dosa bersikap agresif. Mereka mampu menenangkan dirinya sendiri walaupun orang
lain berbicara dengan penuh kebencian terhadap mereka, ini karena pikiran
mereka penuh damai. Tidak hanya pikiran mereka yang tenang, pancaran wajah
mereka juga menyenangkan dan menawan bagaikan rembulan; sebaliknya orang yang
selalu diliputi dosa, pembawaannya tegang dan tidak tenang. Lebih jauh,
seseorang dengan adosa tampak anggun, perkataannya menyenangkan, dan tak
seorang pun yang pernah bertemu
dengannya akan membencinya. Jadi sifat bawaan adosa banyak sekali manfaatnya.
Sebenarnya adosa merupakan persamaan dari metta (cinta kasih), yang selalu
disambut hangat di seluruh dunia.
Alobha dan Adosa Bodhisatta
Suatu
ketika, Bodhisatta terlahir sebagai putra Raja Brahmadatta dari Baranasi.
Ketika ratu pertama meninggal, raja mengangkat seorang ratu baru yang muda dan
cantik. Pada saat itu kerajaan sedang menghadapi pemberontakan, tahta kerajaan
diserahkan kepada Pangeran Mahapaduma, Sang Bodhisatta, untuk bertanggung jawab
atas seluruh istana, sementara raja sendiri pergi untuk mengatasi para pemberontak,
Ketika Raja akan segera kembali ke istana, pangeran bertemu dengan ratu untuk
mengumumkan penyerahan tahta kembali kepada ayahnya. Pada saat itu ratu sedang
sendirian, dan karena dikuasai oleh nafsu, dia mencoba merayu pangeran sampai
tiga kali, tetapi penolakan pangeran membuat ratu jadi malu dan menjadi geram.
Berniat untuk balas dendam, ratu mengarang sebuah cerita dan menuduh pangeran
telah berbuat kurang ajar kepadanya. Dia menggunakan segala cara (pariyaya dan
maya) untuk menjatuhkan Pangeran Mahapaduma. Raja percaya begitu saja dengan
tuduhan palsu ini.
Tanpa
berpikir panjang, raja menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Karena
Pangeran sangat akrab dengan rakyat, raja khawatir rakyat akan menyelamatkan
Pangeran dari hukuman mati. Jadi raja sendiri turun tangan memimpin arakan
untuk menghukum mati putranya di sebuah puncak gunung; dari sana raja mendorong
putranya ke jurang. Berkat kekuatan metta yang dimiliki Pangeran, ia
diselamatkan oleh makhluk halus penjaga gunung itu.
Ulasan Jataka
Dalam bagian
pertama Jataka di atas, ketika permaisuri muda bertemu dengan Pangeran Paduma,
dia dikuasai oleh nafsu (tanha), namun pangeran mengembangkan alobha, lawan
dari keserakahan dan nafsu. Selanjutnya untuk menutupi keburukan yang
dilakukannya, ratu mengarang sebuah cerita untuk menjatuhkan pangeran. Ini
adalah maya bersama dengan musavada (kebohongan). Raja sendiri juga dikuasai
oleh kemarahan sejak mendengar cerita buatan sang ratu sampai akhirnya
menghukum mati putranya sendiri. Sifat yang ditunjukkan oleh Pangeran Paduma
adalah contoh dari alobha, tidak dendam, sabar, dan penuh kasih sayang. Dalam
Jataka ini pangeran adalah seorang Bodhisatta, sang ratu kelak terlahir kembali
sebagai Cincamanavika, dan raja Brahmadatta kelak terlahir sebagai Devadatta.
Aksi Dan Reaksi
Setelah
Pangeran didorong oleh raja dari puncak gunung, dia diselamatkan oleh raja naga
dan dibawa ke kerajaan naga untuk tinggal selama setahun disana. Kemudian dia
kembali ke alam manusia dan hidup sebagai petapa. Setelah beberapa tahun,
seorang pemburu melihat pangeran dan melaporkan hal tersebut kepada raja. Raja,
ayahnya, mendatanginya dan memintanya untuk kembali ke istana, namun Pangeran
Paduma menolak dan memilih tinggal sebagai petapa. Sekarang raja belajar dari
kenyataan dan menjatuhkan hukuman kepada ratunya dengan mendorongnya dari atas
gunung. Ratu sangat menderita atas perbuatan jahatnya sebelum dia meninggal.
Sumber :
Abhidhamma sehari-hari Bab III. hal 92-94 _ Oleh : Ashin Janakabhivamsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar