ALASAN
MENGHORMATI SANG BUDDHA
Bhikkhu Uttamo Mahathera
Kurangi Kejahatan,
Perbanyak kebajikan,
Sucikan Pikiran,
Inilah ajaran Para Buddha
Saudara-saudara, bersama-sama pada kesempatan ini kita
menyambut peringatan Magha Puja. Magha Puja adalah merupakan salah satu hari
raya Agama Buddha selain Waisak, Asaddha serta Kathina.
Pada saat Magha Puja, kita memperingati satu peristiwa yang
cukup penting sejak jaman Sang Buddha yaitu berkumpulnya 1250 Bhikkhu, yang
semuanya ditahbiskan Sang Buddha, yang semuanya Arahat, yang datang tanpa
diundang.
Kalau kita berbicara tentang berkumpulnya 1250 Bhikkhu yang
Arahat pada saat Magha Puja, padahal Magha Puja ini terjadi 7 bulan setelah
Sang Buddha mencapai Kesucian, Magha Puja ini kan kira-kira di Indonesia bulan
Februari, Magha adalah nama bulan, kira-kira Februari. Kalau Sang Buddha
mencapai kesucian di bulan Waisak, atau kira-kira di bulan Mei, maka Magha Puja
ini kira-kira 9 bulan setelah Sang Buddha mencapai kesucian. Kalau kita
perhatikan lebih lanjut, setelah Sang Buddha mencapai kesucian, Beliau tidak
langsung mengajar. Beliau berdiam diri dulu selama 7x7 minggu, sampai dengan
pengajaran Dhamma, yaitu di bulan Asadha. Asadha kira-kira di Indonesia bulan
Juli. Jarak bulan Juli sampai Februari adalah 7 bulan jaraknya. Jadi selama 7
bulan ini ada orang yang mendengar Dhamma Sang Buddha dan mencapai kesucian,
paling tidak 1250 orang yang mencapai kesucian, seperti makna yang terkandung
dalam Magha Puja. Berarti kalau 1250 dibagi 7 bulan, berapa orang yang mencapai
kesucian dalam sebulan? Sekitar 178 orang. Berarti dalam 1 bulan ada 178 orang
yang mencapai kesucian. Satu hari kira-kira ada 6 orang yang mencapai kesucian.
Dengan demikian, ketika Sang Buddha mengajar, setiap hari
rata-rata 6 orang yang mencapai kesucian dengan berbagai cara, dengan meditasi,
dengan mendengarkan Dhamma Sang Buddha dan sebagainya. Apakah yang muncul dalam
pikiran kita saudara? Kalau seorang guru mengajar, dan setiap hari bisa lulus
6, apakah tidak luar biasa cara guru itu mengajar? Anda sendiri yang kuliah,
diterangkan oleh sang dosen, berapa persen yang Anda serap di kepala Anda?
Apakah Anda bisa menyerap 100%, apakah hanya 70%, apakah 50%, apakah cuman 30%
ataukah lupa semua? Apalagi kalau dosennya menjengkelkan, Anda masuk hanya
karena absensi, pulang juga tidak mengerti apa-apa. Namun jika dosennya
menyenangkan, Anda akan mendengar dengan baik, dan Anda bisa memahami pelajaran
yang diberikan dengan baik.
Kalau sekarang Sang Buddha mengajarkan Dhamma, 1 hari lulus
6 orang, apakah bukan dosen yang luar biasa baiknya? Rata-rata 1 hari 6 orang
yang mencapai kesucian, sehingga 7 bulan setelah hari Asadha ada 1250 orang
yang mencapai kesucian, paling tidak, sejumlah itulah mereka yang datang tanpa
diundang, mungkin saja lebih dari itu. Namun yang disebutkan dalam Magha Puja
Gatha, 1250 orang mencapai kesucian hadir tanpa diundang.
Kalau kita sudah kagum dengan Sang Buddha, maka di dalam
Magha Puja Gatha juga disebutkan : "Dengan bunga, dupa dan lilin, saya
menghormat Sang Buddha beserta para Arahat". Kenapa menghormat dengan dupa
dan lilin? Kenapa menghormat Sang Buddha dan para Arahat?
Kita menghormat kepada Sang Buddha salah satunya adalah
karena Sang Buddha bisa meluluskan 6 orang dalam 1 hari, yaitu 6 orang mencapai
kesucian dalam 1 hari. 7 bulan 1250 orang. Dan kenapa kita menghormat kepada
para Arahat? karena Arahat inilah yang telah membuktikan kebenaran Ajaran Sang
Buddha. Kalau hanya gurunya yang pintar, muridnya tidak ada yang lulus, maka
guru boleh pintar tapi tidak bisa mengajar. Mungkin dosen Anda yang pintar,
mungkin gelarnya sudah S2 atau S3, tetapi muridnya yang jadi mahasiswanya,
sulit sekali lulus. Apakah hal ini karena sebenarnya dosen yang pintar atau
murid yang kurang pandai? Tetapi Sang Buddha tidak demikian. Sang Buddha
mengajar dan muridNya juga lulus. Ada guru yang mengajar dan muridnya tidak
lulus-lulus, tidak bisa sama seperti gurunya, tetapi Sang Buddha ketika
mengajarkan muridNya mencapai kesucian, dan itu sama pencapaiannya dengan yang
dialami oleh Sang Buddha. Berarti sistimatika pengajaran yang baik sekali.
Murid-murid mencapai kesucian menunjukan bahwa sistimatika pengajaranNya bisa
diikuti oleh siapapun juga. Kalau sudah ada 1250 orang yang mencapai Arahat
dalam 7 bulan, dan setelah itu masih banyak Arahat yang lain, maka tentu kita
semua juga mempunyai kesempatan untuk mencapai kesucian pula.
Tetapi apa gunanya kita menghormat dengan lilin, dupa dan
bunga? Lilin kalau kita pasang, sebetulnya itu adalah sebagai lambang
penerangan. Walaupun siang hari cahaya lilin ini kurang berarti, umat Buddha
tetap memasang lilin. Hal ini karena lilin adalah lambang penerangan. Lilin
yang dipasang ada 2 yaitu di sini kiri dan kanan. Kedua posisi ini melambangkan
pengertian yang benar tentang hal baik dan hal buruk. Di dalam Dhamma ini, kita
harus bisa membedakan dengan jelas antara baik dan buruk. Kalau orang hanya
tahu yang baik saja, nanti begitu ia mengetahui hal yang buruk maka ia akan
bingung. Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan seseorang. Ia adalah
orang yang benar-benar telah berubah cara berpikirnya. Apa yang membuat dia
berubah? Sejak kecil dia diajarkan kebaikan, membaca paritta, menghormat orang
tua, tidak mengeluarkan kata-kata kotor; semua yang baik-baik, yang jelek
dipotong semua. Suatu saat dia lewat di pinggir sebuah vihara. Dia tidak masuk
ke dalam vihara. Kebetulan waktu itu ia hanya lewat dengan mobil. Tiba-tiba
dalam pikiran dia muncul kata makian terhadap Sang Buddha. Kata makian ini
walaupun telah ia dihindari sejak kecil, ia tetap mendapatkannya dari teman
kuliah, televisi, pergaulan dsb. Ia telah mendengarkan sekian banyak kata
makian walaupun dia tidak pernah mengucapkannya sendiri. Anda semua tentunya
jarang atau bahkan tidak pernah memaki, namun beberapa kata makian pasti masih
Anda ingat bukan? Ada 'kamus" maki-maki yang Anda miliki dalam otak
meskipun tidak pernah Anda pergunakan.
Demikian pula dengan anak yang diceritakan ini. Begitu ia
melewati depan sebuah vihara, tiba-tiba terpikirlah kata-kata makian dan ia
memaki Sang Buddha dalam pikirannya. Ia merasa sangat bersalah luar biasa.
"Aku sudah memaki Sang Buddha. Aku bahkan tidak pernah memaki orang biasa.
Kini aku telah memaki Sang Buddha." Pikiran semacam itulah yang menghantui
dirinya.
Satu hari, dua hari, tiga hari, dia makin stress, "Aku
kok sudah memaki Sang Buddha?" Akhirnya ia sulit tidur, tidak mau makan,
dan ia kemudian benar-benar masuk rumah sakit jiwa. Ia masuk rumah sakit jiwa
karena ia lewat vihara dan berpikir telah memaki Sang Buddha. Apa sebab keadaan
ini bisa terjadi? Orang ini bisa demikian karena ia tidak pernah mengerti bahwa
di dalam kehidupan kita, di dalam diri kita ada kebaikan dan tentu ada
keburukan juga. Kita telah menjadi umat Buddha bukan berarti kita tidak boleh
berpikir buruk, tetapi kita berusaha menghindari pikiran buruk.
Dahulu ada seorang bhikkhu yang baru saja ditabhiskan.
Setelah menjadi bhikkhu, ia merasa masih mempunyai pikiran yang buruk. Ia
akhirnya stress."Aku ini sudah menjadi bhikkhu tetapi kenapa saya masih
berpikir yang jelek-jelek". Gurunya mengetahui kebimbangan yang ada dalam
pikiran bhikkhu tersebut. Sang Guru kemudian berkata : "Meskipun engkau
sudah ditabhiskan menjadi bhikkhu, hal itu bukan berarti segala bentuk pikiran
yang dimiliki dapat segera berubah menjadi baik. Tidak demikian memang. Hal
yang terpenting dalam menyikapi adanya pikiran buruk tersebut adalah dengan
tidak melakukannya. Inilah perbedaan penting antara orang yang sudah menjadi
bhikkhu dengan mereka yang belum."
Nasehat inilah yang diberikan kepada umat yang sedang sakit
karena merasa berpikir telah memaki Sang Buddha. Dengan merenungkan nasehat ini
setiap hari maka akhirnya dia pun menyadari bahwa didalam dirinya ia mempunyai
nilai baik dan nilai buruk.
Oleh karena itu ketika kita memasang dupa dan lilin, kita
memasang lilin dua batang atau sepasang, ada kiri ada kanan. Kita hendaknya
mempunyai pengertian yang benar tentang baik dan buruk. Anda berbuat baik,
tetapi di sisi yang lain mungkin anda benci atau mempunyai kebencian dengan
objek kebaikan. Misalnya: Ke vihara, adalah berbuat baik, tetapi di satu sisi
Anda mungkin punya pikiran "Aku ini sebenarnya malas datang ke vihara.
Duduknya harus di lantai. Capai." Anda mungkin senang ke sekolah. Namun
Anda juga punya nilai benci, "Aku sebenarnya senang sekolah atau kuliah.
Tapi kalau sudah waktunya harus menempuh ujian, saya sungguh tidak
menyukainya." Begitulah. Kita selalu mempunyai nilai baik, begitu pula
dengan nilai buruk sebagai pilihan kita. Hal ini sama dengan memasang sepasang
lilin yang bermakna mengetahui nilai baik dan juga nilai buruk.
Oleh sebab itu, pada saat pertemuan di bulan Magha, 1250 itu
diberi nasehat oleh Sang Buddha: kurangi kejahatan, tambah kebajikan. Nasehat
itu juga dapat disebut sebagai kedua sisi tadi. Bahwa kita masih mempunyai
benih kejahatan. Pikiran kita masih bisa muncul pikiran jelek. Itu adalah
normal. Kita mungkin masih ingin memaki orang. Kita mungkin masih ingin
menyakiti orang. Namun, dengan kita mampu menyadari timbulnya pikiran buruk
tersebut, kita dapat berusaha untuk mengurangi, mengurangi, mengurangi,
sehingga akhirnya kita bisa menghentikan sama sekali timbulnya pikiran buruk
itu.
Sebaliknya di sisi yang lain adalah menambah kebajikan.
Sikap baik ini juga harus kita kembangkan. Inilah salah satu sisi kehidupan
kita yang lain, bahwa kita mengetahui perbuatan yang baik. Bagaimana seharusnya
kita melakukan sesuatu bahwa saya harus berbuat baik begini, saya harus berbuat
begitu, saya tahu. Namun, kebanyakan dorongan kebajikan yang dimiliki tersebut
hanya berhenti sampai disitu.
Satu contoh sederhana:
Surabaya banjir. Jakarta banjir, begitu pula dengan beberapa
daerah di pantai Utara pulau Jawa. Namun sebaliknya, di beberapa daerah lain
tidak ada banjir, adanya tanah longsor. Kita mengetahi bahwa para korban
bencana alam itu sangatlah menderita. Kita tahu bahwa di berbagai media massa
menyediakan kesempatan untuk membantu korban musibah ini. Mungkin akan timbul
dalam pikiran kita : "Aduh kasihan orang yang menderita seperti itu"
Namun, pikiran baik kita hanya berhenti sampai di situ saja. Dorongan untuk
merealisasikan rasa kasihan tersebut kebanyakan hilang begitu saja. Kita tidak
mewujudkan rasa kasihan dalam bentuk tindakan untuk segera membantu para korban
dengan tenaga, materi maupun berbagai hal lainnya. Kita tidak melakukan hal
itu.
Kita sudah mengetahui bahwa telah ada "Dompet"
bencana alam berarti ada kesempatan untuk berbuat baik. Kita sudah ingin
menolong, namun tidak segera dilaksanakan. Inilah sisi baik dalam diri kita.
Sudah baik kalau bisa memiliki hal ini. Namun, selama belum dilaksanakan, maka
pikiran baik ini kurang bermanfaat untuk fihak lain. Oleh karena itu pada bulan
Magha Sang Buddha mengajarkan, kejahatan yang kita miliki harus dikurangi,
sedangkan kebaikan yang kita miliki harus dikembangkan. Kita tentu gampang
melihat orang yang menderita di lingkungan kita, mungkin di
perempatan-perempatan jalan kita melihat pengemis. Kita mungkin timbul rasa
kasihan. Kita mempunyai uang untuk diberikan, namun kadang kita sempat
berpikir: "Ah sudahlah, biarkan dulu saja. Besok sajalah baru dibantu.
" Dorongan berbuat baik yang telah timbul segera lenyap begitu saja. Dalam
Dhamma hal inilah yang perlu disikapi secara hati-hati. Jangan sampai dorongan kebaikan
yang telah kita miliki hilang begitu saja. Mari kita kembangkan. Mari kita
lakukan. Kalau kita sudah berfikir hal yang baik, kita harus langsung kerjakan.
Dengan demikian, kita bisa memupuk kebajikan sebanyak-banyaknya di masa
sekarang.
Sebaliknya, kita juga mengetahi timbulnya pikiran buruk.
Kita mengetahui bahwa, misalnya, nyontek adalah tidak baik. Namun, ternyata
kita masih sangat sulit untuk menghentikannya. Dalam ujian, kita masihb
berusaha menoleh kekanan maupun kekiri untuk mendapatkan jawaban ujian yang
kita inginkan. Kadang kita memang mengerti hal-hal yang buruk. Pengertian ini
timbul karena dalam diri kita sesungguhnya telah ada ukuran kejahatan.
Sayangnya kita masih sering melanggar dan melakukan kejahatan itu. Apakah yang
menjadi ukuran? Sederhana sekali. Apabila ketika kita melakukan suatu perbuatan
dibarengi dengan jantung berdebar keras karena takut ketahuan orang lain, maka
hal itu adalah perbuatan buruk atau tidak pantas kita lakukan. Jangan lakukan
tindakan itu.
Kembali pada pesan Sang Buddha kepada 1250 orang bhikkhu di
bulan Magha adalah untuk mengurangi kejahatan, menambah kebaikan serta
menyucikan pikiran. Mengenai menyucikan pikiran semua orang tentunya sudah
mengetahuinya. Para umat Buddha tentu lebih mengetahuinya karena menyucikan
pikiran dapat dilatih dengan meditasi. Akan tetapi, berapa orang diantara kita
yang rutin melakukan meditasi di rumah?
Padahal kita mengetahui bahwa meditasi adalah untuk
mengembangkan pikiran yang positif. Meditasi untuk mengembangkan pengendalian
pikiran. Sayangnya, kita tidak mau berjuang melatih meditasi. Oleh karena itu
tidak salah, kalau pesan yang sudah diberikan Sang Buddha sekian ribu tahun
yang lalu bahwa: kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan serta sucikan pikiran,
kembali harus diulang lagi pada kesempatan ini untuk kita semua. Tidak salah,
karena kita belum melaksanakannya. Kejahatan yang kita miliki masih terus
dikerjakan. Kebaikan yang sudah ada dalam pikiran kita masih belum kita
laksanakan. Meditasi yang telah kita mengerti manfaatnya, bahkan sudah sampai
bosan dinasehati untuk bermeditasi, tetap saja masih belum kita kerjakan. Oleh
karena itu, kita harus terus menerus merenungkan ketiga kalimat : kurangi
kejahatan, perbanyak kebajikan serta sucikan pikiran itu karena ketiga kalimat
tersebut sebenarnya telah dilaksanakan oleh seorang yang telah mencapai
Arahatta.
Kenapa demikian? Karena di dalam Dhamma diceritakan bahwa
para Buddha yang terdahulu sebenarnya jika memberikan peraturan kepada para
bhikkhu hanya 3 hal tersebut yaitu: kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan
serta sucikan pikiran. Mereka semua kemudian mencapai kesucian tertinggi yaitu
Arahatta. Namun, para bhikkhu di zaman Sang Buddha Gotama inilah yang paling
banyak memiliki peraturan. Tampaknya hanya diberi ketiga kalimat : kurangi
kejahatan, perbanyak kebajikan serta sucikan pikiran saja masih kurang. Masih
banyak bhikkhu yang bertindak kurang sesuai. Oleh karena itu, Sang Buddha
kemudian terus menerus memberikan peraturan yang baru sehingga akhirnya
mencapai 227 peraturan banyaknya. Namun, sebenarnya dasar utama yang perlu kita
mengerti dari semua peraturan itu adalah : kurangi kejahatan, perbanyak
kebajikan serta sucikan pikiran yang akan mengantarkan seseorang mencapai
kesucian.
Dengan memasang dua lilin pada saat memulai kebaktian
berarti kita sebenarnya diharapkan untuk mampu membedakan antara hal yang baik
dari hal yang buruk. Pada saat kita memasang dupa sampai habis meninggalkan
sisa lidi adalah melambangkan kehidupan seseorang mulai dilahirkan sampai
meninggal dunia. Semuanya pasti mengalami kematian.
Selama umur masih ada, selama kehidupan masih berlangsung,
dupa memberikan wewangian ke seluruh penjuru ruangan. Demikian pula dengan
kehidupan kita, selama umur masih ada, selama kehidupan masih kita jalani, kita
hendaknya selalu bisa mengembangkan kebaikan, menghindari kejahatan, sehingga
akhirnya muncullah bunga, bunga yang mewangi. Bunga yang mewangi melambangkan
segala sesuatu yang indah, mekar di dalam pikiran kita, yaitu pencapaian
kesucian. Oleh karena itu memuja Sang Buddha dan para Arahatta dengan bunga,
dupa serta lilin, bukanlah sekedar bunga, dupa dan lilin secara fisik saja,
melainkan hendaknya terjadi perubahan dalam perilaku kita. Perilaku kita
hendaknya disesuaikan dengan apa yang kita dapatkan, yaitu kurangi kejahatan,
perbanyak kebajikan, sucikan pikiran.
Lebih hebat lagi, Sang Buddha memberikan kalimat yang terakhir
setelah ketiga baris yang diuraikan di atas yaitu: Inilah ajaran para Buddha.
Kalimat ini perlu disebutkan karena sejak dahulu kala sampai hari ini bahkan di
masa yang akan datang, semua Buddha hanya mengajarkan kurangi kejahatan,
perbanyak kebajikan, sucikan pikiran. Kita sebagai umat Buddha, kemanapun kita
pergi, apabila mengalami kesulitan untuk mendapatkan buku-buku Dhamma, maupun
orang-orang yang dapat diajak berdiskusi Dhamma, maka kita cukup merenungkan
ketiga kalimat : kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan, sucikan pikiran,
karena itulah yang sebenarnya menjadi intisari Dhamma yang diajarkan Sang
Buddha.
Selamat Magha Puja. Semoga pada saat kita melakukan
penghormatan dengan bunga, dupa serta lilin kepada Buddha dan kepada para
Arahat, kita hendaknya telah mampu merenungkan:"Sudahkan saya menjalani
kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan, sucikan pikiran?" Karena dengan
kita merenungkan serta menjalaninya, kita akan dapat menambah deretan orang
yang telah mencapai kesucian.
Kalau Dhamma yang diajarkan Sang Buddha dalam satu hari
terdapat enam orang yang mencapai kesucian sehingga selama tujuh bulan terdapat
1250 orang, maka tentunya kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan serta sucikan
pikiran itu kalau kita laksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari, kita pun
akan menambah jumlah mereka itu semua.
Semoga Anda selalu yakin dan bersemangat didalam Dhamma.
Semoga semua mahkluk, baik yang tampak maupun yang tidak
tampak akan memperoleh kebaikan, kebahagian sesuai dengan kondisi karmanya
masing-masing.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhittata
Transkrip
oleh: Gusti Benawi, Jerman
Editor:
Bhikkhu Uttamo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar