DHAMMA FIGHTING
Oleh: Ven. Ajahn
Chah
Kalahkan ketamakan, kalahkan kebencian, kalahkan
kebodohan... mereka ini merupakan musuh-musuh. Dalam praktik Buddha Dhamma,
jalan Sang Buddha, kita berjuang menggunakan Dhamma, menggunakan ketahanan
kesabaran. Kita berjuang dengan melawan suasana hati kita yang tak terhitung
banyaknya.
Dhamma dan dunia ini saling berhubungan. Di mana ada Dhamma
di sana ada dunia, di mana ada dunia di sana ada Dhamma. Di mana ada
kekotoran-batin di sana ada orang-orang yang menaklukkan kekotoran-batin, yang
berjuang melawan kekotoran-kekotoran batin. Inilah yang disebut berjuang di
dalam batin. Kalau berjuang secara fisik, orang-orang menggunakan bom dan
senapan untuk melempar dan menembak; mereka menaklukkan dan ditaklukkan.
Menaklukkan pihak lain adalah jalan duniawi. Di dalam pelaksanaan Dhamma, kita tidak
perlu menaklukkan pihak lain, tapi sebaliknya menaklukkan pikiran kita sendiri,
dengan sabar menahan serta melawan semua suasana-hati kita.
Ketika mempraktikkan Dhamma kita tidak menyimpan kemarahan
dan kebencian, tetapi sebaliknya melepaskan semua bentuk itikad-jahat di dalam
perbuatan dan pikiran kita, membebaskan diri kita dari keirihatian,
ketidaksukaan dan kemarahan. Kebencian hanya dapat diatasi dengan tidak
menyimpan kemarahan dan dendam.
Perbuatan-perbuatan yang menyakitkan dan pembalasan dendam
adalah berbeda tetapi sangat berkaitan. Sekali perbuatan telah dilakukan,
tidaklah perlu dibalas dengan dendam dan permusuhan. Itulah yang disebut
'perbuatan' (kamma). 'Pembalasan' (vera) berarti melanjutkan perbuatan itu
dengan pikiran 'kamu melakukan hal ini terhadapku maka aku akan membalasnya
padamu'. Jika begini tidak akan ada akhirnya. Ini menimbulkan pencarian
kesempatan untuk selalu membalas dendam, sehingga kebencian tidak pernah
dihapuskan. Selama kita bertindak rantai tetap tidak akan putus, tidak akan ada
akhirnya. Ke manapun kita pergi, permusuhan tetap berlanjut.
Guru yang Maha Sempurna (Yaitu Sang Buddha) mengajar kepada
dunia, beliau mengasihi semua makhluk. Meskipun demikian dunia tetap berjalan
seperti itu. Yang bijaksana harus mempertimbangkan dan memilih hal-hal yang
memiliki nilai yang benar. Sewaktu Sang Buddha sebagai pangeran, Beliau telah
terlatih dalam berbagai seni berperang, tetapi Beliau menyadari bahwa hal-hal
tersebut tidak benar-benar berguna, mereka terbatas hanya dunia dengan
peperangan dan agresinya.
Oleh karena itu, dalam melatih diri seperti orang-orang yang
telah meninggalkan kehidupan duniawi, kita harus belajar melepaskan semua
bentuk kejahatan, melepaskan semua hal yang menyebabkan timbulnya permusuhan.
Kita menaklukkan diri kita sendiri, kita tidak mencoba untuk menaklukkan pihak
lain. Kita berperang, tetapi kita hanya memerangi kekotoran-batin: jika ada
ketamakan, kita perangi dia; jika ada kebencian, kita perangi dia; jika ada
kebodohan/khayalan, kita berjuang untuk melepaskannya. Inilah yang disebut
'Perjuangan Dhamma'. Peperangan batin ini sangatlah sulit, pada kenyataannya
inilah yang tersulit di antara semuanya. Kita menjadi bhikkhu adalah untuk
merenungkan hal ini, untuk mempelajari seni menaklukkan ketamakan, kebencian,
dan kebodohan/khayalan. Inilah tanggung jawab utama kita.
Ini adalah peperangan di dalam diri, berperang dengan
kekotoran-kekotoran batin. Tetapi sangat sedikit orang yang berperang seperti
itu. Kebanyakan orang berperang dengan hal-hal lain, mereka jarang memerangi
kekotoran-kekotoran-batin. Mereka bahkan jarang melihatnya.
Sang Buddha mengajarkan kita agar melepaskan semua bentuk
kejahatan dan mengembangkan kebajikan. Inilah jalan yang benar. Mengajar dengan
cara ini adalah bagaikan Sang Buddha mengambil kita dan meletakkan kita pada
awal dari sang jalan. Setelah sampai pada sang jalan, terserah pada kita untuk
menjalaninya atau tidak. Tugas Sang Buddha sudah berakhir di situ. Beliau
menunjukkan sang Jalan, mana yang benar dan mana yang salah. Itu sudahlah
cukup, selebihnya terserah pada kita.
Sekarang, setelah Menemui sang jalan, kita masih belum
mengetahui apapun, kita masih belum melihat apapun, jadi kita harus belajar.
Untuk belajar kita harus bersiap-siap mengalami berbagai kesulitan, sama
seperti murid sekolah. Cukup susah untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang
diperlukan untuk membangun karir mereka. Mereka harus bertahan. Jika mereka
berpikir salah atau merasa enggan atau malas, mereka harus memaksa diri mereka
sendiri agar bisa lulus dan mendapat pekerjaan. Begitu pula praktik bagi seorang
bhikkhu. Jika kita memutuskan untuk praktik dan merenungkan, pastilah kita akan
menemukan sang jalan.
Ditthimana merupakan hal yang membahayakan, Ditthi berarti
'pandangan' atau 'pendapat'. Semua bentuk pandangan disebut ditthi: melihat
kebaikan sebagai kejahatan, melihat kejahatan sebagai kebaikan... bagaimanapun
cara kita memandang sesuatu. Ini bukan persoalannya. Persoalannya adalah
terletak pada kemelekatan terhadap pandangan-pandangan tersebut, yang disebut
mana; berpegang pada pandangan-pandangan tersebut seolah-olah mereka merupakan
kebenaran. Inilah yang menyebabkan kita berputar dari kelahiran menuju
kematian, tidak pernah mencapai penyelesaian, hanya karena kemelekatan itu.
Itulah sebabnya Sang Buddha mendorong kita untuk melepaskan berbagai pandangan.
Jika banyak orang hidup bersama, seperti kita di sini,
mereka tetap dapat praktik dengan nyaman jika pandangan mereka selaras/harmoni.
Tetapi walaupun hanya dua atau tiga orang bhikkhu, akan menghadapi kesulitan
jika pandangan mereka tidak baik atau selaras. Bila kita merendah-hati dan
melepaskan berbagai pandangan kita, biarpun kita berbanyak, kita datang bersama
ke hadapan Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha (Tiga Permata: Sang Buddha, Dhamma,
Ajaran Beliau, serta Sangha, Golongan Viharawan, atau mereka yang telah
memahami Dhamma.)
Adalah tidak tepat mengatakan bahwa akan ada perselisihan
hanya karena ada banyak orang di antara kita. Lihatlah si kaki-seribu. Ia
mempunyai banyak kaki, bukan? Dengan melihat padanya, kalian mungkin berpikir
ia akan sulit berjalan, tetapi sesungguhnya tidak. Ia memiliki aturan dan
iramanya sendiri. Begitu pula dalam praktik kita. Jika kita praktik sesuai
dengan yang dipraktikkan oleh Sangha Mulia dari Sang Buddha, maka semuanya akan
mudah. Mereka adalah, supatipanno —mereka yang praktik dengan baik;
ujupatipanno —mereka yang praktik dengan lurus; ñayapatipanno —mereka yang
praktik untuk mengatasi penderitaan, dan samicipatipanno —mereka yang praktik
dengan semestinya. Empat sifat ini jika dikembangkan dalam diri kita akan
menjadikan kita anggota Sangha yang sejati. Meskipun jumlah kita ratusan atau
ribuan, tidak peduli berapapun jumlah kita, kita semua menempuh jalan yang
sama. Kita berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, tetapi kita adalah
sama. Meskipun pandangan kita mungkin berbeda-beda, jika kita praktik dengan
benar maka tak akan terjadi perselisihan. Sama seperti semua sungai besar dan
kecil yang mengalir ke laut... begitu mereka sampai ke laut, mereka akan
mempunyai rasa dan warna yang sama. Begitu pula halnya dengan orang-orang.
Bilamana mereka masuk ke dalam arus Dhamma, hanya ada satu Dhamma. Walaupun
mereka berasal dari tempat yang berbeda, mereka selaras dan menyatu.
Tetapi pemikiran yang menyebabkan semua perselisihan dan
pertentangan disebut ditthi-mana. Oleh karena itulah Sang Buddha mengajarkan
kita supaya melepaskan berbagai bentuk pandangan. Jangan biarkan mana melekat
pada berbagai pandangan yang berbeda di luar relevansinya.
Sang Buddha mengajarkan manfaat dari adanya sati —ingatan
(Sati: Biasanya diterjemahkan penuh perhatian, tetapi ingatan merupakan
terjemahan yang lebih tepat untuk kata-kata 'ra-leuk dai' dalam bahasa Thai)
yang terus-menerus. Apakah kita sedang berdiri, berjalan, duduk, atau
berbaring, di manapun kita berada, kita harus memiliki kekuatan ingatan ini.
Jika kita mempunyai sati kita bisa melihat diri kita sendiri, kita melihat
batin kita sendiri. Kita melihat 'tubuh yang ada di dalam tubuh', 'batin yang
ada di dalam batin'. Jika kita tidak mempunyai sati kita tidak mengetahui
apapun, kita tidak menyadari apa yang sedang terjadi.
Jati sati sangatlah penting. Dengan adanya sati yang
terus-menerus kita akan mendengarkan Dhamma Sang Buddha pada setiap saat. Ini
adalah karena 'mata melihat bentuk-bentuk' adalah Dhamma; 'telinga mendengar
suara' adalah Dhamma; 'hidung mencium aroma' adalah Dhamma; 'lidah mencicipi
rasa' adalah Dhamma; 'tubuh merasakan sentuhan' adalah Dhamma; ketika kesan
muncul dalam batin, itupun Dhamma. Oleh karena itu orang yang memiliki sati
yang terus-menerus selalu mendengar ajaran Sang Buddha. Dhamma selalu ada di
sana. Mengapa? Karena adanya sati, karena kita selalu sadar.
Sati adalah ingatan, sampajañña adalah kesadaran-diri.
Kesadaran inilah Buddho yang sesungguhnya, Sang Buddha. Jika ada
sati-sampajañña maka pemahaman akan mengikutinya. Kita tahu apa yang sedang
terjadi. Ketika mata melihat bentuk-bentuk: apakah ini pantas atau tidak
pantas? Ketika telinga mendengar suara: apakah ini tepat atau tidak tepat?
Apakah membahayakan? Apakah salah, apakah benar? Begitulah seterusnya terhadap
segala sesuatu. Jika kita mengerti maka kita mendengar Dhamma setiap saat.
Oleh karena itu marilah kita memahami bahwa saat ini juga
kita sedang belajar di tengah-tengah Dhamma. Apakah kita berjalan maju ataupun
mundur, kita bertemu dengan Dhamma —semuanya merupakan Dhamma jika kita
mempunyai sati. Bahkan ketika melihat hewan-hewan yang berlarian di hutan, kita
dapat merenungkan, melihat bahwa semua hewan sama seperti kita. Mereka menjauh
dari penderitaan dan mengejar kebahagiaan, sama seperti yang dilakukan orang.
Apapun yang tidak mereka sukai mereka hindari; mereka takut mati, sama juga
seperti orang. Jika kita merenungkan hal ini, kita melihat bahwa semua makhluk
di dunia, begitu pula manusia, memiliki kesamaan dalam berbagai naluri mereka.
Berpikir seperti ini disebut 'bhavana' (Bhavana berarti 'pertumbuhan' atau
'perkembangan'; tetapi biasanya digunakan untuk menunjuk cittabhavana,
pertumbuhan-batin, atau panna-bhavana, pertumbuhan kebijaksanaan atau
perenungan.), melihat sesuai dengan kebenaran, bahwa semua makhluk adalah teman
dalam kelahiran, usia-tua, sakit, dan kematian. Hewan sama dengan manusia dan
manusia sama dengan hewan. Jika kita benar-benar melihat segala sesuatu
sebagaimana mereka adanya, batin kita akan melepaskan kemelekatan pada segala
sesuatunya.
Itulah sebabnya kita harus memiliki sati. Jika kita memiliki
sati kita akan melihat keadaan batin kita. Apapun yang kita pikirkan atau
rasakan kita pasti mengetahuinya. Penguasaan ini disebut Buddho, Sang Buddha,
ia yang mengetahui... yang mengetahui secara menyeluruh, yang mengerti dengan
jelas dan lengkap. Ketika batin mengetahui secara lengkap, kita mendapati
praktik yang benar.
Jadi cara langsung untuk melakukan praktik adalah memiliki
kesadaran, sati. Jika kalian tidak memiliki sati selama lima menit, kalian gila
selama lima menit, lengah selama lima menit. Kapan saja kalian kekurangan sati,
kalian menjadi gila. Sati sangat diperlukan. Memiliki sati berarti mengetahui
diri sendiri, mengetahui kondisi batin dan kehidupan sendiri. Ini adalah
memiliki pengertian dan ketajaman, untuk mendengarkan Dhamma pada setiap saat.
Setelah meninggalkan ceramah sang guru, kalian tetap mendengar Dhamma, karena
Dhamma berada di mana-mana.
Oleh karena itu, kalian semua, pastikan untuk praktik setiap
hari. Apakah sedang malas ataupun rajin, praktiklah yang sama. Praktik Dhamma
tidak dikerjakan dengan mengikuti selera atau suasana-hati kalian. Jika kalian
praktik mengikuti selera, maka itu bukanlah Dhamma. Jangan bedakan antara siang
dan malam, batin sedang tenang atau tidak... tapi praktiklah.
Semuanya seperti seorang anak yang sedang belajar menulis.
Pertama tulisannya tidak bagus —besar, panjang dan bengkok-bengkok —ia menulis
seperti layaknya anak-anak. Tak lama kemudian dengan latihan yang
terus-menerus, tulisannya menjadi lebih baik. Praktik Dhamma juga seperti itu.
Pada awalnya kalian canggung... kadang tenang, kadang tidak, kalian tidak
mengerti apanya apa. Sebagian orang menjadi kecil hati. Jangan patah semangat!
Kalian harus tetap praktik. Hiduplah dengan usaha, seperti anak sekolah: dengan
bertambahnya usia ia menulis lebih baik. Dari menulis jelek ia belajar menulis
rapi, semuanya karena latihan sejak masa kanak-kanak.
Praktik kita pun seperti ini. Usahakan untuk memiliki
kesadaran setiap saat: saat berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring. Jika kita
melakukan semua kewajiban kita dengan lancar dan baik, kita merasa damai. Jika
ada kedamaian dalam pekerjaan kita, kita akan mudah untuk mendapatkan kedamaian
dalam meditasi, karena mereka berjalan beriringan. Karena itu kerahkanlah
usaha. Anda semua harus berjuang untuk mengikuti praktik. Inilah yang disebut
dengan latihan.
-oOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar