SILA
ITU LOGIKA
Oleh: YM. Bhikkhu Uttamo Mahathera
"Daripada Hidup 100 Tahun Tetapi Malas,
Lebih Baik Hidup Sehari Tetapi Giat Dan Penuh
Semangat"
Telah menjadi satu anggapan umum bahwa kualitas lebih penting
daripada kuantitas, mutu lebih diutamakan daripada jumlah. Ungkapan ini
sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Antara mutu dan jumlah mempunyai satu
keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri.
Mengapa demikian? Meskipun jumlah umat Buddha banyak tetapi tidak bermutu, ini
tidak akan membawa banyak manfaat dan kemajuan bagi agama Buddha. Begitu juga
sebaliknya, walaupun bermutu tetapi orangnya sedikit juga percuma saja. Jadi
yang paling baik adalah kuantitas bertambah seiring dengan meningkatnya
kualitas.
Di tengah-tengah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, agama Buddha mulai menampakkan dirinya. Orang mulai menaruh
perhatian kepada agama Buddha baik secara diam-diam maupun secara terbuka. Di
beberapa negara Eropa, orang mulai tertarik untuk mempelajari agama Buddha.
Kalau kita bertanya: "Kenapa Anda tertarik pada agama Buddha?"
Biasanya mereka akan menjawab: "Agama Buddha ini masuk akal, tidak memaksa
dan tidak selalu harus percaya terhadap segala sesuatu tetapi harus dibuktikan
terlebih dahulu." Semangat pembuktian, semangat untuk memikirkan dan
merenungkan akan keterkaitan satu dengan yang lain bahwa segala sesuatu itu
pasti ada sebabnya, sesungguhnya adalah sama dengan cara berpikir ilmiah dan
cara kita berpikir dalam kehidupan sehari-hari. Agama Buddha menggunakan jalur
ini dalam membuktikan satu asumsi/argumentasi sehingga agama Buddha sering
dikatakan sebagai agama yang mirip dengan ilmu pengetahuan. Anggapan ini memang
tidak bisa disalahkan karena cara berpikir dan cara pembuktian di dalam agama
Buddha memang persis seperti kalau kita membuktikan ilmu pasti. Dalam agama
Buddha tidak ada ajaran yang harus langsung diterima begitu saja tanpa boleh
dipertanyakan. Misalnya: kenapa kalau sembahyang menggunakan hio, lilin dan
bunga, atau kenapa duduknya di lantai? Ini bukan berarti umat Buddha tidak
mampu membeli kursi tetapi semua itu ada alasannya, ada aturan mainnya.
Lalu bagaimana cara kita sebagai umat Buddha membedakan
antara agama Buddha dengan ilmu pengetahuan? Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa cara berpikir agama Buddha yang sama dengan ilmu pengetahuan itu sering
menimbulkan satu anggapan bahwa "Ilmu pengetahuan sama dengan agama
Buddha". Sebagai contoh:
Menurut ilmu pengetahuan ( matematika )
Jika : A=B
B=C
Maka : A=C
*Kalau:
Pernyataan A :
Ilmu pengetahuan perlu dibuktikan
Pernyataan B :
Agama Buddha perlu dibuktikan ("ehipasiko")
Berarti kesimpulannya :
"Ilmu Pengetahuan Sama Dengan Agama Buddha."
Ini adalah satu kesimpulan yang tidak tepat! Bahkan akan
menimbulkan kesulitan di kemudian hari. Misalnya kita ditanya: bagaimana
terjadinya bumi, itu masih bisa kita jawab; bagaimana terjadinya menanam padi
tumbuh padi, itu pun masih bisa diterangkan. Tetapi kalau kita ditanya
misalnya: bagaimana rumus matematika yang "ini" bisa betul, kita
tidak bisa menjawabnya. Mengapa? Karena memang agama Buddha bukan persis dengan
ilmu pengetahuan. Hanya cara pendekatannya saja yang sama. Jadi antara ilmu pengetahuan
dan agama Buddha itu mempunyai kapling atau bidang sendiri-sendiri.
Kapling ilmu pengetahuan adalah urusan material, urusan otak,
urusan pengetahuan kita. Yang diselidiki oleh ilmu pengetahuan misalnya
bagaimana cara membuat hidup manusia lebih bahagia atau lebih mudah. Umpamanya
bagaimana cara membuat rumah yang bagus dan indah dengan biaya yang murah. Atau
bagaimana cara me-manajemen perusahaan supaya bisa efisien. Bahkan kalau perlu
dilakukan PHK. PHK akan dijalankan walaupun akan muncul korban karenanya. Itu
adalah ilmu pengetahuan.
Lain halnya dengan Buddhisme. Buddhisme justru tidak begitu
menekankan pada unsur material/duniawi tetapi lebih cenderung pada unsur batin.
Umpamanya: karena cuaca panas maka orang menemukan kipas angin, ini adalah
bagian dari ilmu pengetahuan. Tetapi bagaimana supaya batin kita tidak stress
menghadapi hawa panas yang luar biasa ini, bagaimana menumbuhkan kebahagiaan
itu sendiri; ini adalah kapling agama. Jadi ada perbedaan antara ilmu
pengetahuan dan agama Buddha. Kasusnya memang sama yaitu kepanasan tetapi kalau
kita lihat dari unsur duniawi, itu adalah ilmu pengetahuan; sedangkan kalau
dilihat dari unsur batin kita, bagaimana supaya bisa tenang, ini adalah agama.
Contoh yang paling dekat adalah para bhikkhu. Di negara
Buddhis yaitu Thailand, pada saat musim dingin akan berganti musim panas; suhu
udara sangat dingin pada malam hari hingga 10 derajat Celsius. Sebaliknya pada
siang harinya, suhu udara berkisar sekitar 35 derajat Celsius. Padahal atap kuti-kuti
para bhikkhu terbuat dari seng. Tentu Saudara bisa membayangkan bagaimana
panasnya suhu pada siang hari. Tetapi mengapa di kuti-kuti tidak ada kipas
angin dan mengapa para bhikkhu tidak mengalami stress pada waktu itu? Karena
sesungguhnya dengan pelajaran agama Buddha ini, kita berusaha untuk menyadari
bahwa memang demikianlah kenyataan hidup ini. Kita bisa saja berkata:
"Wah... panas, ya?" Tetapi kalau kita renungkan baik-baik,
sesungguhnya hal tersebut tidak ada manfaatnya. Panas yang kita rasakan tidak
akan hilang dengan kita berkata seperti itu ataupun dengan kita
mengomel-ngomel. Akhirnya kita terbiasa untuk menerima kenyataan hidup ini,
tidak gampang stress.
Sering ada orang yang bertanya: "Mengapa para bhikkhu
bisa tahan untuk tidak memakai kipas angin?" Karena panas dan tidak itu
sebetulnya tergantung di dalam diri kita, muncul dari dalam diri kita. Kalau
kita sedang gelisah maka suhu badan akan naik. Buktinya apa? Misalnya kalau mau
ujian, pukul 07:00 pagi, badan Saudara berkeringat semua. Padahal udara pada
pagi hari masih sejuk, kenapa bisa berkeringat? Karena Saudara mengalami stress
otak, stress mental! Tetapi kalau ujiannya berjalan dengan lancar meskipun
pukul 14:00 siang dan udara sangat panas, semua orang kipas-kipas; Saudara lupa
dengan badan Saudara, asyik mengerjakan ujian, tidak berkeringat sedikit pun.
Ini karena batin Saudara mengalami ketenangan. Ini adalah suatu bukti!
Disinilah sebetulnya Buddhisme, cara mengendalikan dan mengolah batin kita
supaya terbebas dari stress.
Lalu bagaimana cara mengatasi stress? Bagaimana cara
mengendalikan pikiran? Caranya sederhana. Saudara bisa menjalankannya dengan
melaksanakan "sila". Sila merupakan langkah awal yang paling
sederhana karena hanya terdiri dari 5 (lima) sila yaitu: melatih diri untuk
tidak membunuh dan menganiaya, tidak mencuri, tidak melanggar kesusilaan, tidak
berbohong dan tidak mabuk-mabukkan. Kalau kita ingin mengembangkan latihan yang
lebih dalam lagi, maka kita bisa melaksanakan 8 (delapan) sila atau athasila.
Tentu kita akan bertanya: "Bagaimanakah hubungan sila dan logika
itu?" Untuk itu mari kita tinjau beberapa diantaranya:
Sila yang pertama adalah tidak melakukan pembunuhan dan
penganiayaan. Misalnya Saudara digigit nyamuk.
* Secara ilmu pengetahuan, Saudara akan
berpikir bahwa gigitan nyamuk itu akan menimbulkan penyakit. Darah Saudara
diisap, ditukar dengan bibit penyakit si nyamuk sehingga bisa mendatangkan
penyakit bahkan mungkin kematian. Karena itu adalah kesimpulan pendek, akhirnya
Saudara membunuh nyamuk itu. Itu adalah ilmu pengetahuan.
* Berbeda halnya dengan Dhamma. Ajaran Sang
Buddha berbeda dengan ilmu pengetahuan karena berdasarkan pada moral/batin
kita. Perhitungannya tidak sama dengan ilmu pengetahuan walaupun keduanya
memerlukan pembuktian. Kalau ilmu pengetahuan membuktikan bahwa masuknya
penusuk sang nyamuk ke dalam tubuh kita akan menularkan penyakit sehingga kita
bisa sakit maka pembuktian Buddhisme adalah: "Nyamuk menggigit... mengapa
nyamuk menggigit saya?" Ini adalah satu pertanyaan yang cukup penting.
"O... karena nyamuk membutuhkan makanan. Mengapa membutuhkan makanan harus
menggigit saya?" Ini direnungkan terus. "O... karena nyamuk tidak
bisa jajan, tidak bisa pergi ke warung sendiri untuk membeli makanan walaupun
diberi uang. Kasihan! Kalau saya membutuhkan makanan masih bisa memilih; hari
ini nasi goreng, besok saya ingin makan pecel. Tetapi nyamuk tidak bisa. Hari
ini makan darah, besok dan seterusnya tetap makan darah. Kalau begitu,,, saya
masih lebih bahagia daripada nyamuk." Akhirnya apa? "Ah... biarlah,
saya berdana saja." Ini urusannya sudah lain. Disini Dhamma sudah
berbicara. Tetapi kadang-kadang bisa muncul pemikiran: "Wah... kalau saya
digigit terus oleh nyamuk, saya akan terserang penyakit. Saya tidak mau
ekstrim!" Akhirnya bagaimana? "Kalau saya membunuh nyamuk itu,
berarti saya melanggar sila tetapi kalau tidak dibunuh, ilmu pengetahuan saya
tidak bermanfaat." Bagaimana caranya? Kita menggunakan jalan tengah; ilmu
pengetahuan kita jalankan, Dhamma pun kita praktekkan; yaitu dengan cara
mengusir nyamuk itu. Tidak dibunuh tetapi juga tidak dibiarkan. Ini adalah
jalan tengah dan tidak ekstrim.
Sila kedua adalah tidak mengambil barang yang tidak diberikan dengan
sah. Misalnya
Saudara melihat sebuah pulpen.
* Secara ilmu pengetahuan. Saudara akan berpikir:
"Wah... pulpen saya ketinggalan. Di atas meja ada sebuah pulpen, kebetulan
saya juga membutuhkannya." Lalu Saudara mengulurkan tangan untuk mengambil
pulpen itu, tetapi Saudara kemudian terpikir: "Menurut hukum, kalau
perbuatan saya ini diketahui oleh orang lain, saya mungkin akan dipentungi
orang. Alangkah ruginya kalau saya sampai dipentungi gara-gara pulpen seharga
Rp 250,-. Wah... ini tidak baik!" Akhirnya Saudara tidak jadi mengambil
pulpen itu, untung-ruginya keluar. Ini adalah ilmu pengetahuan.
* Sedangkan perenungan secara Dhamma adalah: "Saya ingin
mengambil pulpen yang bukan milik saya. Seandainya ini adalah pulpen saya lalu
diambil orang, apa yang terjadi? Saya pasti jengkel. Kalau demikian, pemilik
pulpen ini mungkin akan jengkel juga apabila pulpennya hilang." Akhirnya
Saudara tidak jadi mengambilnya. Jadi perenungan Buddhisme tidak sama dengan
perenungan ilmu pengetahuan. Kalau kita tidak mau milik kita diambil oleh orang
lain, hendaknya kita juga jangan mengambil milik orang lain.
Begitu juga dengan sila kelima, yaitu tidak
mabuk-mabukkan.
* Menurut ilmu pengetahuan, mabuk-mabukkan
itu dapat merusak otak dan ginjal karena alkohol dalam kadar yang tinggi tidak
dapat dicerna/diterima oleh alat pencernaan sehingga lambat laun dapat
mengakibatkan kematian. Ini adalah perenungan ilmu pengetahuan.
* Sedangkan perenungan Buddhisme: "Kalau Saya
minum-minuman keras berarti kesadaran saya akan hilang. Dengan kehilangan
kesadaran berarti konsentrasi pun ikut terganggu, sehingga bisa muncul
tindakan-tindakan yang dapat melanggar sila-sila yang lain. Saya akan mudah
marah bahkan mungkin berkelahi. Kalau begitu... saya tidak mau minum-minuman
keras." Ini adalah perenungan Buddhisme.
Sila keenam adalah tidak makan setelah pukul 12:00 siang.
* Secara ilmu pengetahuan. Saudara akan
berpikir: "Kalau Saya hanya makan sekali sehari berarti Saya menjalankan
sila plus penghematan. Biaya makan dapat Saya gunakan untuk keperluan-keperluan
yang lain, misalnya untuk nonton, jalan-jalan dan lain-lain." Ini menurut
ilmu pengetahuan.
* Berbeda halnya dengan Dhamma. Sebagai umat
Buddha yang meyakini Hukum Kelahiran Kembali, sebetulnya kita sudah mengalami
kelahiran berjuta-juta kali. Begitu pula halnya dengan kelaparan. Dengan
mengendalikan keinginan makan yang telah muncul sejak berjuta-juta tahun yang
telah lampau; secara tidak langsung hal tersebut merupakan latihan untuk
mengendalikan emosi, melatih kesabaran dan mempertajam perenungan. Kalau kita
mampu mengendalikan keinginan (nafsu) makan yang telah muncul sejak
berjuta-juta tahun yang lampau, kita bisa menahan diri untuk tidak marah.
Dengan cara itu kita bisa menghadapi segala sesuatunya dengan tenang dan tidak
emosi. Walaupun cara menahan makan ini merupakan suatu cara sederhana, tetapi
cara ini ada kaitannya dengan kesabaran. Ini adalah perenungan Buddhisme.
Demikian pula halnya dengan sila ketujuh. Misalnya: tidak menggunakan wangi-wangian.
* Secara ilmu pengetahuan, tidak menggunakan
wangi-wangian itu mungkin hanya karena kita belajar hidup sederhana/belajar
"ngirit".
* Tetapi secara Dhamma, sesungguhnya hal
tersebut melatih kita untuk berusaha melihat kenyataan bagaimana keadaan kita
seandainya tanpa itu semua? Karena latihan sila itu berarti kita belajar
seandainya barangnya ada (seperti wangi-wangian, perhiasan, dll.) tetapi kita
tidak menggunakan, bagaimana perasaan kita? Sehingga apabila pada suatu ketika
betul-betul tidak ada, kita tetap bisa tenang. Misalnya suatu ketika Saudara
sedang ujian. Kalau Saudara biasa memuaskan nafsu, apa saja yang diinginkan
selalu Saudara turuti maka apabila saat ujian, isi pulpen Saudara habis, apa
yang terjadi? Saudara bisa ngomel-ngomel dan pulpennya dibanting sehingga semua
peserta yang ada di ruang ujian bisa geger semua. Tetapi kalau Saudara sudah
biasa mengendalikan diri; pulpen Saudara habis isinya, mungkin cuma Saudara
pandang sebentar lalu dengan tenang Saudara bisa meminjam pada teman Saudara.
Seandainya teman Saudara itu tidak mau meminjamkan pulpennya, Saudara juga
tidak akan ngomel-ngomel. Mungkin Saudara akan meminjam lagi dari teman yang
lain. Tetap tenang dan tidak marah-marah.
Dengan melaksanakan sila akhirnya kita bisa menerima
kenyataan bahwa apa yang kita siapkan dan rencanakan itu tidak selalu berhasil,
kadang-kadang kita bisa mengalami kegagalan. Disini ilmu pengetahuan tidak bisa
menjawab yang demikian ilmu pengetahuan tidak bisa memberikan ketenangan batin.
Ilmu pengetahuan tidak bisa memberikan kebahagiaan sejati. Ilmu pengetahuan
hanya bisa memberikan kebahagiaan semu/pembantu kebahagiaan saja. Seperti kasus
kipas angin tersebut di atas; walaupun ada kipas angin tetap tidak akan
mengatasi kepanasan itu sendiri, hanya memindahkan sementara saja. Kalau kipas
anginnya dihentikan, kita akan kepanasan lagi. Lain halnya dengan Dhamma yang
memberikan rasa tenang dari dalam batin kita. Secara Dhamma kita akan berpikir:
"kenapa harus mengeluh kepanasan? Kenapa kita harus menambah penderitaan
dengan "stress"? Kalau kita sudah bisa merenungkan demikian maka
ketenangan yang muncul dari dalam batin kita akan mampu mengatasi rasa panas
itu.
Inilah latihan-latihan yang perlu kita jalankan setiap hari sebagai umat
Buddha. Kita harus berusaha untuk melatih sila; 5 (lima) sila setiap hari dan 8
(delapan) sila setiap hari uposatha, dengan tujuan supaya kita bisa memperoleh
kebahagiaan di dalam diri kita. Karena ajaran Sang Buddha itu adalah untuk
memberikan kebahagiaan di dalam batin. Sedangkan dari ilmu pengetahuan, Saudara
hanya memperoleh kebahagiaan yang bersifat badaniah. Dengan ilmu pengetahuan
yang Saudara miliki dan dengan agama yang Saudara hayati, Saudara akan
memperoleh jalan tengah. Contohnya seperti yang digigit nyamuk tersebut di
atas. Saudara akan bisa melihat jalan tengah, tidak dibunuh tetapi juga tidak
dibiarkan, melainkan dengan cara diusir.
Kalau Saudara melatih sila setiap saat, maka batin Saudara
akan semakin maju dan berkembang dalam ajaran Sang Buddha. Akhirnya seperti
yang dikatakan oleh Sang Buddha di dalam salah satu syairnya bahwa hidup 1000
tahun itu tidak ada manfaatnya kalau kita hanya bermalas-malasan saja, kalau
kita tidak mau belajar Dhamma dan hanya mengembangkan keserakahan, kebencian
dan kegelapan batin. Akan lebih bermanfaat kalau kita hidup walaupun sehari
tetapi dengan giat mengembangkan batin, melatih sila dan bermeditasi hingga
tercapai kebijaksanaan. Itulah yang akan membuahkan kebahagiaan. Oleh karena
itu, marilah kita belajar mengenal batin kita dengan melaksanakan sila;
Pancasila sebagai dasar dan 8 (delapan) sila untuk pengembangan yang lebih
lanjut sehingga akhirnya kita akan memperoleh kebahagiaan lahir dan batin.
[ Dimuat
atas izin dari penulis. Dikutip dari Website Samaggi-Phala
WWW.samaggi-phala.or.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar