UPPALA- BHIKKHUNI YANG MENGANDUNG
Salah satu peristiwa yang terjadi di Savatthi adalah penahbisan
seorang wanita bernama Uppala. Konsekuensi dari penabhisannya sangat terkenal,
sehingga saya akan menceritakan hal ini kepada anda. Ia adalah wanita muda yang
pada dasarnya sangat saleh, dan saat masih kecil ia bertanya kepada orang
tuanya bagaimana bila ia menjadi seorang bhikkhuni pada umur tujuh belas tahun,
dan mereka berkata: “Tidak, Kita berasal dari keluarga yang berkecukupan, kamu
harus menikah dan mempunyai anak, dan seterusnya dan seterusnya.
Dan ia berkata “Saya tidak ingin melakukannya saya ingin
menjadi bhikkhuni.”
Mereka menjadi berlaku sedikit keras kepadanya dan berkata :
“Tidak, kamu harus menikah dan mempunyai anak,” dan seterusnya.
Maka ia berpikir, “Saya akan menikah dan kemudian saya akan
bertanya kepada suami saya apakah saya dapat menjadi seorang bhikkhuni.”
Kemudian ia mematuhi orang tuanya dan menikah. Sekitar tiga
bukan setelah menikah, suaminya yang sangat gembira dengan perkawinannya
berkata kepadanya, “Mengapa kita tidak pergi ke festival , mereka mengadakan
festival di Savatthi. Lalu mengapa kita tidak mengenakan pakaian yang bagus dan
perhiasan saat menikmati festival ini?”
Dan ia berkata ‘Apa gunanya memakai pakaian pada tubuh yang
penuh dengan...../ dan kemudian ia menyebutkan tiga puluh jenis ciri-ciri dari
tubuh yang tidak menyenangkan. Dan lelaki muda yang malan tersebut merasa
hancur, anda tahu, - semua ini mengenai lemak, air ludah, darah, nanah, dan
segala jenis yang menjijikkan- dan akhirnya lelaki muda yang malang tersebut
berkata, “Yah, jika kau merasa demikian terhadap tubuhmu, kau sebaiknya menjadi
seorang bhikkhuni!”
“Ah, itu dia” katanya. “Apakah kami mengizinkan saya?”
“Ya, jika kamu merasa ......
“Ya, saya merasa demikian, Itu benar-benar apa yang saya
rasakan mengenai tubuh saya. Saya benar-benar ingin menjadi seorang bhikkhuni”
“Yah, jika kau memang merasa seperti itu, saya akan
membawamu kepada Sang Buddha dan meminta-Nya untuk menabhiskanmu menjadi
seorang bhikkhuni.”
Ia sangat berterima kasih kepada suaminya. Suaminya lalu
membawa Uppala ke Jetavana dan membuat permintaan kepada Sang Buddha dan
Sangha, dan berkata “Maukah anda menabhiskan wanita ini menjadi seorang
bhikkhuni?” Saya dapat menyediakan jubah dan mangkuk....” dan seterusnya.
Kemudian Sang Buddha berkata “Ya, biarlah ia ditahbiskan”.
Akhirnya ia ditahbiskan, tetapi ia ditempatkan dalam biara
di bawah pimpinan Devadatta. Devadatta sudah menjadi bhikkhu selama
bertahun-tahun – ia termasuk bhikkhu senior. Ia adalah sepupu Sang Buddha dan
ia sangat iri hati. Ia selalu lekas tersinggung dan menjadi yogi yang sangat
berkuasa dan mempunyai kekuatan batin yang hebat sekali, tetapi tidak mempunyai
hati yang bersih. Tidak juga mempunyai perasaan. Beberapa waktu setelah wanita
ini, Uppala, ditahbiskan dan diterima ke dalam biara tempat yang menjadi
kekuasaan Devadatta, ia terlihat sedang mengandung. Beberapa bhikkhuni berkata
“Bagaimana ini, kamu tampaknya sedang mengandung? Apakah kamu melanggar
kesucian?”
Lalu katanya, “Tidak, saya tidak melanggarnya.”
“Yah, engkau tampak sedang mengandung.”
“Saya tidak pernah melanggar peraturan apapun”
Lalu terjadi kebuntuan. Dan waktu terlalu dan ia dapat
dipastikan mengandung. Lalu mereka membawanya kepada Devadatta dan berkata “Apa
yang harus kami perbuat, wanita ini mengandung.” Lalu Devadatta berkata lebih
kurang sebagai berikut, “Lemparkan ia keluar. Ia harus diusir. Ia pasti
melanggar peraturan.”
Dan Uppala berkata: “Tolong saudaraku, saya tidak melanggar
peraturan apa pun. Jika Devadatta mengusirku keluar, maka berakhirlah sudah
dikehidupan sebagai bhikkhuni. Bawalah saya kepada Sang Buddha – Sang Buddhalah
yang telah mengizinkan saya untuk ditabhiskan.
Lalu mereka membawanya kepada Sang Buddha. Sang Buddha
berpikir: “Ini adalah situasi yang sulit. Devadatta telah mengusirnya keluar
dan saya tidak ingin terlihat mengampuni orang yang telah melanggar peraturan,
tetapi wanita ini berkata ia tidak melanggar peraturan apapun.” Lalu katanya,
“Saya tahu, orang yang dapat memutuskan persoalan ini adalah Visakha.”
Lalu Beliau memanggil Visakha datang kepadaNya dan
menjelaskan kepada Visakha. “Ini adalah seorang wanita yang sudah menikah, ia
sudah menikah sebelum datang untuk menjadi bhikkhuni. Selidiki sudah berapa
lama ia mengandung, dari sana dapat diketahui apakah ia melanggar peraturan
atau ia sudah mengandung pada saat ditabhiskan sebab ini adalah masalah yang
sulit.
Saat itu Visakha telah memiliki enam belas anak dan seratus
cucu, sehingga ia sangat berpengalaman melihat kehamilan. Dikatakan dalam sutta
bahwa mereka melakukan ini didepan pengadilan, seluruh anggota sangha dan
sejumlah besar siswa. Visakha menguji wanita itu dibelakang layar. Yang menarik
adalah mereka mengukur daerah perut sama seperti yang dilakukan oleh ahli
ginekologi pada masa sekarang ini.
Lalu Visakha memperkirakan bahwa wanita tersebut sudah
mengandung sebelum ia ditabhiskan. Lalu ia datang dari balik layar dan berkata
kepada Sang Buddha. “Saya perkirakan bahwa wanita ini sudah mengandung sebelum
ia ditabhiskan. Ia sudah lama mengandung jadi tidak mungkin melanggar
peraturan.”
Kemudian Sang Buddha berkata, “Benar, ia suci. Ia dapat
tinggal di biara dan tidak ada pelanggaran atas kesuciannya.”
Lalu ia tinggal di biara dan mempunyai anak. Saat bayinya
berumur beberapa bulan dan ia sedang mengasuhnya, suatu sore anak tersebut
menangis dan seorang pangeran lewat di biara tersebut dan mendengar tangisan
bayi tersebut dan berpikir: “Yah, pasti sangat menyusahkan bagi
bhikkhuni-bhikkhuni tersebut, mempunyai bayi yang menangis ditengah-tengah
mereka. Dan pasti sangat sulit bagi seorang bhikkhuni untuk membesarkan seorang
bayi”. Lalu ia berpikir “Mungkin sebaiknya saya mengadopsinya dan bhikkhuni
tersebut tidak akan lagi khawatir akan masa depan anak tersebut.”
Maka pangeran mengirim pesan yang mengatakan bahwa ia
berkeinginan untuk mengadopsi anak tersebut. Uppala menyetujui bayi tersebut
dibawa kerumah pangeran dan diadopsi oleh pangeran dan ratu,dan istri pangeran
itu membesarkannya. Anak itu kemudian dikenal sebagai pangeran Kassapa.
Kemudian pada saat berumur tujuh tahun, ia ingin menjadi seorang Bhikkhu. Lalu
ia ditahbiskan pada saat berumur tujuh tahun dan dikenal sebagai pangeran
Kassapa, bahkan setelah ditahbiskan, untuk membedakannya dari Kassapa yang lain.
Ia sebenarnya lahir di Jetavana dan menjadi seorang arahat pada usia yang
sangat muda.
[Dikutip
dari: Mutiara Dharma atas izin dari Ir. Lindawati. Sumber: Buddhist Digest 34,
p 53-56, alih bahasa Rianto]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar