BELAJAR
DAN MENGALAMI
Oleh: Ven. Ajahn Chah
Mari kita membahas tentang perbedaan antara belajar teori
Dhamma dengan melaksanakan Dhamma.
Belajar Dhamma yang benar hanya mempunyai satu tujuan yaitu
untuk menemukan suatu jalan keluar dari ketidak-puasan kehidupan kita dan untuk
mencapai kebahagiaan dan kedamaian untuk diri kita sendiri dan semua makhluk.
Penderitaan kita mempunyai sebab untuk muncul dan berlanjut. Marilah kita
menyadari proses ini. Apabila hati kita sedang tenang atau diam, ia disebut berada
dalam keadaan normal; apabila pikiran bergerak, bentuk-bentuk pikiran lalu
muncul. Kebahagiaan dan kesedihan merupakan bagian dari pergerakan sang
pikiran, dari bentuk-bentuk pikiran yang tercipta. Begitu pula dengan
ketidak-tenangan, nafsu keinginan pergi kesana-kemari. Jika engkau tidak
mengerti pergerakan tersebut, engkau akan terperangkap di dalam bentuk-bentuk
pikiran dan berada di dalam kekuasaannya.
Oleh karena itu, Sang Buddha mengajarkan kita untuk
mengawasi pergerakan sang Pikiran. Dengan memperhatikan pergerakan pikiran,
kita akan melihat sifat-sifat asalnya, yakni: selalu berubah-ubah, tidak
memuaskan, dan kosong. Anda harus selalu waspada dan merenungkan
fenomena-fenomena mental ini. Dengan cara ini, Anda dapat memahami proses Hukum
Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan. Sang Buddha mengajarkan bahwa kebodohan
adalah penyebab timbulnya seluruh fenomena duniawi dan seluruh keinginan kita.
Keinginan menyebabkan timbulnya kesadaran, dan kesadaran seterusnya melahirkan
pikiran dan jasmani. Inilah proses daripada hukum sebab musabab yang saling
bergantungan.
Ketika pertama kali kita mempelajari agama Buddha, ajaran
tradisi ini mungkin sangat masuk di akal kita. Tapi ketika proses tersebut
terjadi di dalam diri kita, kepada mereka yang hanya membaca teori ajaran Sang
Buddha maka mereka tak akan cukup cepat dapat mengikuti proses tersebut.
Bagaikan sebiji buah yang jatuh dari pohon, kecepatan jatuh buah tersebut
begitu cepat, sehingga bagi orang-orang tertentu tidak dapat mengatakan
cabang-cabang mana saja yang dilewati oleh buah tersebut. Ketika perasaan
senang muncul karena adanya kontak dengan sesuatu yang menyenangkan misalnya,
maka mereka langsung diseret oleh sensasi dan tak dapat mengetahui bagaimana
hal tersebut terjadi.
Sudah tentu, penjelasan secara sistematis mengenai proses
yang terjadi ditulis dengan sangat tepat, tetapi pengalaman yang terjadi adalah
di luar pelajaran yang tertulis. Pelajaran tertulis (teori) tidak dapat
mengatakan kepada Anda bahwa "inilah" perasaan/pengalaman dari pengalaman
timbulnya kebodohan; beginilah rasanya keinginan; inilah perasaan dari
unsur-unsur jasmani dan batin yang berbeda-beda. Ketika Anda jatuh ke tanah
dari dahan sebuah pohon, Anda tidak mengetahui dengan persis/detail berapa
meter Anda jatuh; Anda hanya sadar sudah menyentuh tanah dan merasakan sakitnya
saja. Tidak ada sebuah buku pun yang dapat menjelaskan hal tersebut.
Belajar Dhamma secara formal adalah dengan cara bertahap dan
makin tinggi; tapi dalam kehidupan yang nyata ia tidaklah mengikuti alur jalan
cuma satu. Itulah sebabnya, kita harus membuktikan/mengalami sendiri pada apa
yang timbul dari dalam batin kita, dari kebijaksanaan kita yang paling dalam.
Ketika kebijakan kita yang paling dalam —ia yang mengetahui—, mengalami
kebenaran dari jalan hati/pikiran, akan menjadi jelaslah bahwa sang pikiran
ternyata bukanlah diri kita. Bukan bagian kita, bukan saya, bukan milik saya,
sehingga semua itu harus dibuang.
Seperti halnya yang telah kita pelajari tentang nama-nama
dari semua unsur pikiran dan kesadaran, Sang Buddha tidak ingin kita menjadi
melekat kepada kata-kata. Beliau hanya ingin agar kita melihat bahwa semua hal
tersebut adalah tidak kekal, tidak memuaskan, dan kosong dari aku. Beliau
mengajarkan hanya untuk melepas. Ketika hal-hal ini muncul, sadarilah mereka
semua, dan ketahui mereka apa adanya. Hanya pikiran yang telah terlatih dengan
sempurna yang dapat melakukan hal ini.
Bila pikiran sedang kacau, berbagai bentuk pikiran,
rencana-rencana pikiran, dan reaksi-reaksi mulai timbul dari padanya, tumbuh
dan berkembang terus-menerus. Biarkan saja mereka apa adanya, yang baik maupun
yang buruk. Sang Buddha berkata dengan sederhana, "Biarkanlah mereka
berlalu". Tapi bagi kita, adalah sangat perlu untuk mempelajari pikiran
kita sendiri untuk mengetahui bagaimana caranya agar kita dapat melepaskan
mereka.
Jika kita perhatikan model dari unsur-unsur batin, kita akan
melihat bahwa ia mengikuti suatu pola yang alamiah: faktor-faktor mental adalah
demikian, kesadaran muncul dan lenyap seperti ini, dan seterusnya. Kita dapat
melihat di dalam latihan kita sendiri bahwa apabila kita mempunyai pengertian
dan kesadaran yang benar, maka pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar,
dan kehidupan benar otomatis mengikutinya. Unsur-unsur mental yang berbeda-beda
muncul dari sesuatu —sumber yang mengetahui tersebut. Sesuatu yang mengetahui
tersebut adalah bagaikan sebuah lampu. Jika pengertiannya benar, pikiran dan
faktor-faktor lainnya akan benar pula, bagaikan cahaya yang bersinar dari
sebuah lampu. Apabila kita mengawasi dengan penuh kesadaran, pengertian benar
akan tumbuh. Bila kita memeriksa segala sesuatu tentang hal yang kita sebut
Batin, kita akan melihat bahwa ia hanya merupakan penggabungan dari
elemen-elemen mental, bukan diri. Lalu di mana kita dapat berpegang? Perasaan,
ingatan, semua dari 5 skandha batin dan jasmani, adalah berubah-ubah seperti
daun yang melayang-layang ditiup angin. Kita dapat merealisasi hal ini melalui
meditasi.
Meditasi adalah seperti sebatang pokok kayu. Insight dan pemeriksaan
diri adalah ujung yang satu dari kayu tersebut; ketenangan dan konsentrasi
adalah ujung yang lainnya. Jika anda mengangkat seluruh batang kayu tersebut,
kedua ujungnya terangkat bersamaan. Yang mana konsentrasi dan yang mana
Insight? Semuanya hanya sang batin itu sendiri.
Anda tak dapat benar-benar memisahkan antara konsentrasi,
ketenangan di dalam, dan Insight. Mereka adalah seperti sebuah mangga yang pada
awalnya hijau dan kecut, kemudian berubah menjadi kuning dan manis, tetapi
bukan merupakan 2 buah yang berbeda. Satu mangga yang berubah menjadi lainnya.
Dari yang satu berubah menjadi yang lainnya; tanpa awal, kita tak akan pernah
mendapatkan yang kedua. Pelajaran atau teori seperti ini hanyalah kaidah-kaidah
untuk mengajar. Kita tidak seharusnya melekat kepada kata-kata atau
istilah-istilah. Satu-satunya sumber dari kebenaran yang sesungguhnya adalah
dengan melihat langsung ke dalam diri sendiri. Hanya dengan cara belajar
seperti ini yang memiliki akhir, dan merupakan cara belajar tentang nilai yang
sesungguhnya.
Ketenangan dari pikiran pada tahap awal konsentrasi, muncul
dari latihan yang sederhana dari pemusatan pada satu titik. Tetapi ketika
ketenangan ini berlalu, kita menderita karena kita menjadi melekat terhadap
ketenangan tersebut. Menurut Sang Buddha, pencapaian ketenangan bukanlah
merupakan akhir dari latihan. Kelahiran dan penderitaan masih terus ada.
Oleh karena itu, Sang Buddha menggunakan konsentrasi ini,
ketenangan ini, untuk perenungan yang lebih lanjut. Beliau menyelidiki kebenaran
dari benda-benda/segala sesuatu sampai Beliau tidak lagi melekat kepada
ketenangan. Ketenangan hanyalah salah satu kebenaran yang relatif, salah satu
dari bentuk-bentuk mental yang sangat banyak, hanyalah merupakan suatu tahapan
dari sang Jalan. Jika Anda melekat kepadanya, Anda akan menemukan bahwa diri
Anda masih terikat pada kelahiran dan perwujudan, berlandaskan pada kesenangan
di dalam ketenangan. Ketika ketenangan lenyap, ketidak-tentraman akan muncul,
dan Anda akan semakin melekat kepada ketenangan tersebut.
Sang Buddha terus menyelidiki kelahiran dan perwujudan,
untuk melihat dari mana asalnya. Ketika Beliau belum mengetahui kebenaran dari
benda-benda, Beliau menggunakan pikirannya untuk menyelidiki lebih lanjut,
untuk memeriksa semua unsur batin yang muncul. Apakah tenang atau tidak, Beliau
terus menyelidiki, menembusi, sampai akhirnya Beliau menyadari bahwa semua yang
Beliau lihat, kelima skandha dari jasmani dan batin, adalah bagaikan bola api
yang panas. Apabila semua permukaan bola merah tersebut panas, di manakah akan
Anda temukan tempat yang dingin untuk berpegang? Adalah sama dengan kelima
skandha, memegang pada salah satu daripadanya hanya akan menyebabkan
penderitaan. Itulah sebabnya, Anda tidak seharusnya melekat kepada apapun, bahkan
terhadap ketenangan atau konsentrasi sekalipun. Anda tidak semestinya
mengatakan bahwa kedamaian atau ketenangan itu adalah Anda atau milik Anda.
Dengan melakukan hal tersebut, hanya menyebabkan munculnya kesakitan pada ilusi
diri, dunia dari kemelekatan dan kekhayalan, merupakan bola api panas yang
lainnya.
Di dalam melakukan latihan, kecenderungan kita adalah untuk
meraih dan mengambil pengalaman sebagai Aku dan milikku. Jika Anda berpikir:
"Saya tenang, saya gelisah, saya baik atau buruk, saya bahagia atau tidak
bahagia", kemelekatan ini akan menyebabkan lebih banyak lagi perwujudan
dan kelahiran. Bila kebahagiaan berakhir, penderitaan muncul; bila penderitaan
berakhir, kebahagiaan muncul. Anda akan melihat diri Anda tak henti-hentinya
terombang-ambing di antara surga dan neraka.
Sang Buddha melihat bahwa kondisi dari pikiran-Nya adalah
seperti itu, dan Beliau tahu, karena adanya kelahiran dan perwujudan maka
kebebasan-Nya belumlah komplit. Sehingga Beliau mengambil semua unsur
pengalaman ini dan merenungkan intisari kebenaran. Disebabkan oleh keinginan,
maka kelahiran dan kematian timbul. Menjadi senang adalah kelahiran; menjadi
kesal/benci adalah kematian. Setelah mati, kita lalu lahir; karena lahir, kita
lalu mati. Kelahiran dan kematian dari satu saat ke saat yang lain adalah
bagaikan berputarnya sebuah roda yang tak ada akhirnya.
Sang Buddha melihat bahwa apapun yang timbul dari pikiran
adalah bersifat sementara, keadaan yang berkondisi, yang sesungguhnya adalah
kosong. Ketika ini jelas bagi Beliau, Beliau lalu melepaskan, membiarkan, dan
menemukan akhir dari penderitaan. Anda juga harus mengerti kebenaran ini. Bila
Anda memahami segala sesuatu sebagaimana adanya, Anda akan melihat bahwa
unsur-unsur pikiran ini adalah penuh dengan tipuan; sesuai dengan ajaran Sang
Buddha bahwa batin/pikiran ini adalah tidak memiliki apa-apa/kosong pada
awalnya, tidak timbul, tidak lahir, dan tidak mati bersama siapapun. Ia bebas,
bersinar, gemerlapan, dan tidak bergantung pada apapun. Sang Pikiran menjadi
bergantung hanya karena ia salah dimengerti dan dibungkus oleh kondisi-kondisi
fenomena ini, khayalan salah tentang sang Aku.
Oleh karena itu, Sang Buddha menasihati kita untuk melihat
ke dalam batin kita. Apakah yang muncul pada awalnya? Sebenarnyalah, tak ada
apapun. Kekosongan ini tidak muncul dan mati dengan fenomena-fenomena yang ada.
Bila ia kontak dengan sesuatu yang baik, ia tidak menjadi baik; bila ia kontak
dengan sesuatu yang buruk, ia tidak menjadi buruk. Batin yang murni mengetahui
obyek-obyek ini dengan jelas, mengetahui bahwa mereka bukanlah sesuatu yang
penting.
Apabila batin para meditator ada pada kondisi ini, tak ada
keragu-raguan yang akan muncul. Apakah ada pewujudan? Apakah ada kelahiran?
Kita tak perlu bertanya kepada siapapun. Setelah memeriksa unsur-unsur dari
batin, Sang Buddha lalu melepaskannya dan menjadi orang yang semata-mata sadar
tentangnya. Beliau hanya melihat dengan keseimbangan. Keadaan yang menyebabkan
kelahiran tidak lagi timbul pada diri-Nya. Dengan pengetahuan-Nya yang komplit/sempurna,
Beliau menyebut mereka semuanya tidak kekal, tidak memuaskan, kosong dari
Aku/Diri. Itulah sebabnya, Beliau menjadi seorang yang tahu dengan
sempurna/Maha Tahu. Seseorang yang mengetahui, akan melihat sesuai dengan
kesunyataan dan tidak menjadi gembira atau sedih terhadap keadaan yang
berubah-ubah. Ini adalah kedamaian yang sejati, bebas dari kelahiran, usia tua,
kesakitan, dan kematian; tidak terpengaruh oleh Hukum Sebab Akibat, atau
kondisi-kondisi, di luar kebahagiaan dan penderitaan, di atas baik dan jahat.
Tak ada yang dapat diucapkan tentang hal tersebut. Tak ada kondisi yang
mendorongnya lagi.
Oleh karena itu, kembangkan samadhi, ketenangan dan
pandangan terang/Insight; belajarlah untuk membuat mereka muncul di dalam batin
Anda dan benar-benar dapat memanfaatkan mereka. Bila tidak, Anda mungkin hanya
tahu ajaran-ajaran teori agama Buddha dan tahu maksud-maksudnya dengan lengkap,
kemudian pergi berkeliling menjelaskan sifat-sifat dari kehidupan. Anda mungkin
menjadi pintar, namun ketika suatu hal timbul di dalam batin/pikiran Anda,
apakah Anda akan mengikutinya? Ketika Anda kontak dengan sesuatu yang Anda
senangi, apakah Anda seketika menjadi melekat? Dapatkah Anda melepaskannya?
Ketika hal yang tidak Anda sukai timbul, apakah Anda (sesuatu yang mengetahui)
memegangnya di dalam pikiran, atau apakah akan membiarkannya berlalu? Jika Anda
melihat sesuatu yang tidak Anda sukai dan masih memegangnya atau membencinya,
Anda harus sadar bahwa ini tidak benar, belum yang tertinggi. Jika Anda menyelidiki
pikiran Anda dengan cara seperti ini, Anda pasti benar-benar akan memahaminya.
Saya tidak berlatih dengan menggunakan buku; saya hanya
melihat kepada sesuatu yang mengetahui ini (batin). Jika ia membenci seseorang,
tanyakan mengapa? Jika ia mencintai seseorang, tanyakan mengapa? Periksalah
segala sesuatu yang timbul tersebut lalu kembalikan kepada asalnya, maka Anda
akan dapat memecahkan masalah dari kemelekatan dan kebencian dan membiarkan
mereka berlalu dari diri Anda. Segala sesuatu akan kembali dan muncul dari
sesuatu yang mengetahui (batin). Dan mengulangi latihan adalah paling penting.
[ Dimuat atas izin Ir.
Lindawati T. Dikutip dari Mutiara Dhamma VI ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar