KISAH TISSA THERA
Dhammapada XVIII: 240
Suatu saat seorang Thera bernama Tissa tinggal di
Savatthi. Pada suatu hari, ia menerima seperangkat jubah yang bagus dan merasa
sangat senang. Ia bermaksud mengenakan jubah tersebut keesokan harinya. Tetapi
pada malam hari ia meninggal dunia.
Karena melekat pada seperangkat jubah yang bagus itu,
ia terlahir kembali sebagai seekor kutu yang tinggal di dalam lipatan jubah
tersebut. Karena tidak ada orang yang mewarisi benda miliknya, diputuskan bahwa
seperangkat jubah tersebut akan dibagi bersama oleh bhikkhu-bhikkhu yang lain.
Ketika para bhikkhu sedang bersiap untuk membagi jubah
di antara mereka, si kutu sangat marah dan berteriak, "Mereka sedang
merusak jubahku!"
Teriakan ini didengar oleh Sang Buddha dengan
kemampuan pendengaran luar biasa Beliau. Maka Beliau mengirim seeorang untuk
menghentikan perbuatan para bhikkhu dan memberi petunjuk kepada mereka untuk
menyelesaikan masalah jubah itu setelah tujuh hari. Pada hari ke delapan,
seperangkat jubah milik Tissa Thera itu dibagi oleh para bhikkhu.
Kemudian Sang Buddha ditanya oleh para bhikkhu mengapa
Beliau menyuruh mereka menunggu selama tujuh hari sebelum melakukan pembagian
jubah Tissa Thera.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Murid-murid-Ku,
pikiran Tissa melekat pada seperangkat jubah itu pada saat dia meninggal dunia,
dan karenanya ia terlahir kembali sebagai seekor kutu yang tinggal dalam
lipatan jubah tersebut. Ketika engkau semua bersiap untuk membagi jubah itu,
Tissa si kutu sangatlah menderita dan berlarian tak tentu arah dalam lipatan
jubah itu. Jika engkau mengambil jubah tersebut pada saat itu, Tissa si kutu
akan merasa sangat membencimu dan ia akan terlahir di alam neraka (niraya).
Tetapi sekarang Tissa telah bertumimbal lahir di alam dewa Tusita, dan sebab
itu Aku memperbolehkan engkau mengambil jubah tersebut.
"Sebenarnya, para bhikkhu, kemelekatan sangatlah
berbahaya, seperti karat merusak besi di mana ia terbentuk, begitu pula
kemelekatan menghancurkan seseorang dan mengirimnya ke alam neraka (Niraya).
Seorang bhikkhu sebaiknya tidak terlalu menuruti kehendak atau melekat dalam
pemakaian empat kebutuhan pokok".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
240 berikut:
Bagaikan karat yang timbul dari besi,
bila telah timbul akan menghancurkan
besi itu sendiri,
begitu pula perbuatan-perbuatan sendiri
yang buruk
akan menjerumuskan pelakunya
ke alam kehidupan yang meyedihkan.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar