KISAH PEMBERIAN DANA
YANG TIADA TARANYA
Dhammapada XIII: 177
Suatu saat raja memberi dana makanan kepada Sang
Buddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya dalam jumlah besar. Saingan-saingannya, yang
bersaing dengannya, telah mengatur upacara pemberian dana yang lainnya dalam
jumlah yang lebih besar dari raja. Jadi, raja dan para saingannya bersaing
dalam pemberian dana. Akhirnya, Ratu Mallika memikirkan sebuah rencana. Untuk
melaksanakan rencana ini, ia meminta raja membangun sebuah paviliun besar.
Berikutnya, ia meminta lima ratus buah payung putih dan lima ratus ekor gajah
jinak. Kelima ratus ekor gajah tersebut akan menahan kelima ratus buah payung
putih memayungi lima ratus bhikkhu. Ditengah paviliun, mereka membuat sepuluh
perahu yang telah diisi dengan wewangian dan dupa. Di sana juga terdapat dua
ratus lima puluh orang putri yang akan mengipasi kelima ratus orang bhikkhu
tersebut. Sedangkan saingan-saingan raja tidak memiliki putri-putri,
payung-payung putih, ataupun gajah-gajah, mereka tidak lagi dapat bersaing
dengan raja. Ketika semua persiapan telah selesai dilaksanakan, dana makanan
diberikan. Setelah bersantap, raja mempersembahkan seluruh benda yang berada di
paviliun, yang seharga empat belas croses.
Pada saat itu, dua menteri raja hadir. Salah seorang
yang bernama Junha, sangat senang dan memuji kemurahan hati raja atas pemberian
dana kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Ia juga mengatakan bahwa pemberian
yang besar itu hanya dapat dilakukan oleh seorang raja. Ia sangat senang karena raja akan membagi kebaikan atas
perbuatan baiknya kepada seluruh makhluk. Dengan kata lain, Menteri Junha
bergembira atas kemurahan hati raja yang tiada taranya. Di lain pihak, Menteri
Kala berpikir bahwa raja hanya menghambur-hamburkan uang, dengan memberikan
empat belas croses dalam sehari, dan karena setelah itu para bhikkhu akan
kembali ke vihara dan tidur.
Setelah bersantap, Sang Buddha menatap kepada
orang-orang yang hadir dan mengetahui bagaimana perasaan Menteri Kala. Kemudian,
Beliau berpikir bahwa jika ia
menyampaikan khotbah panjang tentang pengertian, Kala akan bertambah kecewa,
dan akibatnya akan lebih menderita dalam kehidupannya yang akan datang. Jadi,
dengan perasan kasihan terhadap Kala, Sang Buddha hanya menyampaikan khotbah
singkat dan kembali ke Vihara Jetavana. Raja mengharapkan khotbah panjang
tentang pengertian, oleh karena itu ia menjadi sangat sedih karena Sang Buddha
hanya memberikan khotbah singkat. Raja berpikir bahwa ia telah gagal melakukan
sesuatu yang seharusnya dilakukan, dan akhirnya ia pergi ke vihara.
Begitu melihat
raja, Sang Buddha berkata, "Raja yang agung! Anda seharusnya bergembira
karena berhasil mempersembahkan dana yang tiada taranya (asadisadana). Sebuah
kesempatan yang jarang sekali datangnya; dan datang hanya sekali selama
kemunculan setiap Buddha. Tetapi Menteri Kala merasa bahwa hal itu hanyalah
sebuah pemborosan, dan sama sekali tidak berharga. Jadi, jika saya memberikan
sebuah khotbah panjang, ia akan menjadi sangat kecewa dan tidak senang, dan
akibatnya, ia akan sangat menderita pada kehidupannya yang sekarang maupun pada
kehidupan-kehidupan berikutnya. Itulah mengapa saya berkhotbah sangat singkat
sekali".
Kemudian Sang Buddha
menambahkan, "Raja yang agung! Adalah suatu kebodohan tidak
bergembira atas kemurahan hati yang telah diberikan oleh orang lain dan akan
pergi ke alam yang rendah. Orang bijaksana bergembira atas kemurahan hati orang
lain, dan melalui pengertian, mereka saling membagi keuntungan, kebaikan dengan
yang lainnya dan akan pergi ke tempat kediaman para dewa".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
177 berikut:
Sesungguhnya orang kikir tidak dapat
pergi ke alam dewa.
Orang bodoh tidak memuji kemurahan hati.
Akan tetapi orang bijaksana senang dalam
memberi,
dan karenanya ia akan bergembira di alam
berikutnya.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar