KISAH SEORANG BHIKKHU
MUDA YANG TIDAK PUAS
Dhammapada XIV: 186-187
Suatu saat, ada seorang bhikkhu muda di Vihara
Jetavana, suatu hari gurunya mengirim bhikkhu itu ke vihara lain untuk belajar.
Ketika ia sedang pergi, ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia tanpa diketahui
bhikkhu muda itu. Tetapi ayahnya meninggalkan uang seratus kahapana kepada
saudara lelakinya, paman bhikkhu muda itu. Pada saat bhikkhu muda kembali,
pamannya menceritakan tentang kematian ayahnya dan tentang uang seratus
kahapana yang ditinggalkan untuknya. Mulanya, ia berkata bahwa ia tidak
memerlukan uang tersebut. Kemudian, ia berpikir bahwa mungkin lebih baik
kembali pada kehidupan berumah-tangga, dan akibatnya ia menjadi tidak puas
dengan kehidupan seorang bhikkhu. Pelan-pelan ia mulai kehilangan ketertarikan
pada hidupnya dan juga kehilangan berat badannya. Ketika para bhikkhu yang lain
tahu tentang hal ini, mereka membawanya menghadap Sang Buddha.
Sang Buddha bertanya kepadanya apakah benar bahwa ia
merasa tidak bahagia dengan kehidupannya sebagai seorang bhikkhu dan apakah ia
memiliki modal untuk memulai kehidupan sebagai orang berumah-tangga.
Ia menjawab benar dan ia memiliki uang seratus
kahapana untuk memulai kehidupannya. Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepadanya
bahwa ia akan membutuhkan makanan, pakaian, perabotan rumah tangga, dua ekor
lembu jantan, bajak-bajak, pangkur-pangkur, pisau-pisau, dan lain sebagainya,
sehingga uang tunai seratus itu akan sangat sulit menutupi biaya-biaya
tersebut.
Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya bahwa bagi
kehidupan manusia tidak akan pernah cukup, tidak terkecuali juga bagi kehidupan
raja dunia yang dapat mendatangkan hujan uang atau mutiara atau sejumlah
kekayaan lainnya dan harta karun pada setiap saat.
Lebih lanjut, Sang Buddha menceritakan sebuah cerita
tentang Mandatu, raja dunia, yang menikmati kebahagiaan hidup surgawi di Alam
Surga Catumaharajika dan Tavatimsa secara bersamaan untuk waktu yang lama.
Setelah menghabiskan waktu yang lama di surga Tavatimsa, suatu hari Mandatu
berkeinginan untuk menjadi satu-satunya penguasa Surga Tavatimsa, daripada
membagi kekuasaan dengan Sakka. Tapi saat itu, keinginannya tidak dapat
dipenuhi dan serta merta ia menjadi tua dan lemah, ia kembali ke alam manusia
dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
186 dan 187 berikut ini:
Bukan dalam hujan uang emas
dapat ditemukan kepuasan nafsu indria.
Nafsu indria hanya merupakan kesenangan
sekejap
yang membuahkan penderitaan.
Bagi orang bijaksana yang dapat
memahami,
hal itu tidak membuatnya bergembira
bila mendapat kesenangan surgawi
sekalipun.
Siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna
bergembira dalam penghancuran
nafsu-nafsu keinginan.
(186-187)
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar