APAKAH KEBAHAGIAAN
ITU ?
Oleh: Ven. Dr. K. Sri Dhammananda
Judul Asli:
WHAT IS HAPPINESS?
Ir. Shirley
(alih-bahasa)
Apakah kebahagiaan itu? Kebahagiaan adalah suatu keadaan mental
yang dapat dicapai melalui pengembangan pikiran. Sumber-sumber phisik seperti
kekayaan, nama baik, kemashuran, kedudukan sosial dan kepopuleran hanya
merupakan sumber kebahagiaan yang sementara. Apapun yang kita lakukan, pada
pokoknya kita lakukan demi kebahagiaan.
Anda
dapat mengatakan bahwa anda melakukannya demi uang, demi kekuasaan, namun apa
yang kita lakukan sesungguhnya adalah demi kebahagiaan. Bahkan dalam beragama
apa yang kita lakukan adalah demi kebahagiaan. Dengan demikian apapun yang kita
lakukan terutama kita lakukan demi kebahagiaan, namun apakah kita berhasil mencapainya?
Tidak. Mengapa? Karena kita mencari kebahagiaan di tempat yang salah. Orang
seringkali berpikir bahwa mereka dapat menemukan kebahagiaan dalam uang,
sehingga mereka mencoba sedapat-dapatnya untuk menjadi kaya. Bila mereka sudah
kaya, apakah mereka bahagia? Jika kekayaan merupakan sumber kebahagiaan,
orang-orang kaya pasti lebih bahagia daripada orang-orang miskin. Namun
seringkali kita temukan, orang-orang biasa yang tidak terlalu berhasil, lebih
bahagia daripada mereka yang kaya raya. Bahkan kita pernah mendengar beberapa
milyuner yang mencoba bunuh diri. Mereka tidak mungkin terpikir untuk bunuh
diri jika kekayaan merupakan sumber kebahagiaan. Jadi, kekayaan bukanlah sumber
kebahagiaan yang sesungguhnya.
Demikianlah kekuasaan, nama baik ataupun
kemashuran ataupun kekuasaannya, mereka tenggelam dalam keadaan bingung, resah.
Ini menunjukkan bahwa nama baik ataupun kemashuran ataupun kekuasaan bukanlah
sumber utama bagi kebahagiaan karena hal-hal tersebut juga dapat menjadi sumber
bagi kerisauan dan karena ketidak-kekalan dapat mempengaruhinya. Sebagian orang
berpikir bahwa seorang pasangan, seorang kekasih yang baik, dapat menjadi
sumber kebahagiaan. Ini hanya mungkin untuk tahap tertentu saja namun tidak
berlaku secara keseluruhan. Sebagian orang berpikir bahwa anak-anak merupakan
sumber kebahagiaan namun bilamana mereka terpaksa harus berpisah karena sesuatu
hal, yang cepat atau lambat pasti terjadi, mereka merasa tidak bahagia.
Sebagian orang berpikir bahwa pacuan kuda dan pacuan anjing dapat menjadi
sumber kebahagiaan, karenanya mereka bertaruh. Bahkan bilamana mereka menang,
mereka hanya bahagia untuk waktu yang singkat. Sebagian orang berharap untuk
menemukan kebahagiaan dalam minuman keras. Untuk sementara mereka bahagia,
namun sesaat kemudian mereka kembali tidak bahagia seperti semula.
Sumber-sumber luar bukanlah sumber kebahagiaan yang sebenarnya. Namun hal yang
utama adalah pikiran. Pikiran yang dikendalikan, dikembangkan, adalah sumber
kebahagiaan yang sejati.
Sekarang, bagaimana kita dapat mencapai kebahagiaan? Bagaimanakah kita mendefinisikan
kebahagiaan?
Kebahagiaan adalah suatu keadaan, suatu
keadaan mental yang sesuai dengan pembawaan seseorang atau yang mengikuti
pembawaan/sifat seseorang atau yang melengkapi pembawaan/sifat seseorang.
Keadaan ini dapat diterapkan dalam tingkatan-tingkatan, seperti:
1. Material atau materialistik
2. Emosional
3. Intetektual, dan
4. Spiritual
Material atau materialistik
Untuk jelasnya, ambillah makanan yang lezat.
Bilamana anda menikmati makanan yang lezat, jika anda adalah seseorang yang
membanggakan pencapaian phisik anda, anda akan merasakan kebahagiaan yang
bersifat phisik, material. Anda menikmati makanan anda bagi pengembangan
phisik, kesehatan phisik. Anda merasakan kebahagiaan yang bersifat material
dari makanan ini.
Emosional
Jika anda memakan sesuatu yang telah anda
idam-idamkan, anda juga merasakan, "Saya menyukainya, karena makanan ini
sangat baik dan sangat menyenangkan". Anda dapat menghargai suatu sajian
karena sajian itu menyenangkan. Anda mencapai kebahagiaan darinya, melaluinya,
dan kebahagiaan anda bersifat emosional. Anda tidak peduli apakah makanan
tersebut baik untuk kekuatan ataupun kesehatan tetapi yang penting rasanya.
Intetektual
Jika anda cerdas, berakal-pikiran dan sedang
menjalani suatu diet, anda mungkin merasakan kebahagiaan yang bersifat
intelektual dan berkata, "Makanan ini sangat baik karena cocok bagi
kesehatan saya". Jadi anda menilai makanan ini berdasarkan sifat-sifat
anda yang tertentu.
Spiritual
Jika anda menemukan kebahagiaan yang
bersifat spiritual dalam suatu sajian, anda akan mengatakan, "Makanan ini
baik karena murni. Makanan ini baik bagi prinsip-prinsip moral, baik karena
membantu bagi saya untuk bermeditasi". Jadi kebahagiaan anda berbeda,
penilaian anda juga berbeda dengan yang lain. Bahkan makanan yang sama akan
dihargai dan juga kebahagiaan yang dicapai merupakan suatu keadaan, suatu
keadaan mental, yang cocok dan meliputi semua tingkatan. Namun keadaan seperti
ini tidak selalu dapat dicapai jika kita tidak dapat mencapai kebahagiaan
tertinggi yang meliputi semua tingkatan, yang mendekati adalah
tingkatan-tingkatan tinggi berikutnya yang memberi kebahagiaan yang lebih besar
daripada tingkatan-tingkatan yang lebih rendah.
Kita menilai, bereaksi dan menanggapi
sesuatu hal sesuai dengan sifat kita. Karenanya, penting bagi setiap kita untuk
mengetahui jenis orang yang bagaimana kita ini. Karena kita bertindak dan
bereaksi terhadap rangsangan luar sesuai dengan sifat kita, yaitu kita melihat
segala sesuatu melalui kacamata berwarna yang kita miliki. Jika seseorang
dianggap berpikiran luas dan tidak mudah berprasangka, kebanyakan karena kita
melihat dan menilai sesuatu dengan kacamata berwarna yang kita buat untuk diri
kita sendiri dan bukannya dengan milik orang lain yang dibuatnya untuk dirinya
sendiri. Jadi bagaimana kita dapat mengetahui jenis orang yang bagaimana kita
ini? Hanya dengan suatu pengamatan pribadi atas reaksi kita sendiri terrhadap
rangsangan luar, reaksi kita terhadap apa yang terjadi, kita dapat mengetahui
atau kita dapat menempatkan diri kita sendiri pada salah satu penggolongan.
Sekarang, pertama-tama, tingkatan material atau phisik.
Seseorang pada tingkatan ini dengan sifat
materialistiknya, akan tertarik untuk mengumpulkan materi. Pertimbangan dan
konsentrasinya adalah sekitar hal yang penting bagi dirinya. Orang yang
materialistis ini sangat praktis dan menghendaki segala sesuatu, bahkan agama
ataupun filsafat secara materialistik bersifat "praktis" dan tidak
lebih dari itu. Segala sesuatu yang memerlukan pemikiran dan konsentrasi tidak
akan menarik bagi mereka, mereka tidak akan tertarik pada agama atau filsafat
apa pun. Minat mereka adalah pada kenikmatan phisik dan pandangan-pandangan
yang memberikan suatu pencapaian material bagi mereka. Jadi tidak heran mengapa
banyak orang yang tidak tertarik pada agama apa pun, karena agama, seperti yang
anda ketahui, tidak secara langsung memberikan kekayaan material atau pun yang
bersifat phisik pada seseorang. Berapa banyakkah yang anda duga di dunia ini
yang kehilangan minat terhadap agama? Bagi kebanyakan orang pencapaian material
adalah sangat penting. Jika kita mengatakan bahwa kita sibuk, kita sibuk
mengumpulkan uang. Untuk apa? Untuk kesenangan, kebahagiaan, kenikmatan phisik,
pakaian, makanan, rumah, dan lain-lain kenikmatan phisik. Jadi dapat kita
sadari bahwa kebanyakan kita agak materialistis.
Yang berikutnya adalah tingkatan emosional.
Orang-orang yang berada pada tingkatan ini
sangat perasa. Mereka terutama terlibat dengan rasa suka dan benci dan rasa
senang dan tidak senang, sensasi. Mereka menilai segala sesuatu sesuai dengan
emosi mereka, tidak peduli apakah penilaian mereka benar atau salah.
Orang-orang yang emosionil ini tertarik pada agama yang berdasarkan bukti yang
cocok dengan emosi mereka. Mereka merasa agama apa pun yang tidak memiliki
upacara, sangat membosankan.
Tingkatan yang ketiga adalah intelektual.
Mereka yang berada pada tingkatan ini
terutama tertarik dengan akal-pikiran, mempelajari segala sesuatu secara intelektual.
Mereka juga menemukan kebahagiaan dalam bacaan-bacaan dan ilmu pengetahuan.
Mereka mencapai kebahagiaan melalui pengejaran intelektual. Namun mereka,
karena aktif secara mental, tidak aktif secara phisik. Mereka mengetahui banyak
hal melalui apa yang mereka pelajari atau baca namun dalam praktik mereka tidak
aktif.
Yang keempat adalah tingkatan spiritual atau moral.
Mereka yang berada pada tingkatan ini
memberi bantuan dan pengertian yang penuh simpati, mereka menekankan pentingnya
keadilan atau perlakuan yang adil/jujur. Mereka realistis. Jadi anda dapat
melihat, setiap orang bertindak dan bereaksi terhadap segala sesuatu,
memberikan kritik, merasa dan menilai sesuai dengan sifatnya yang tertentu;
sesuai dengan tingkatannya yang tertentu. Mengetahui bagaimana dan mengapa kita
berbeda dalam berpikir, merasa, menilai dan tampil dalam hidup ini, kita dapat
memaklumi bilamana jenis orang yang berbeda bertindak sesuai dengan sifat
mereka dan karenanya kita menanamkan rasa toleransi dan kesabaran terhadap
orang-orang lain.
Bilamana kita kurang maju secara spirituil
maka kesenangan dan kebahagiaan material dan emosionallah yang kebanyakan kita
alami. Sayangnya, kebanyakan kita tidak pernah berusaha keluar dari noda ini.
Bahkan dalam tingkatan yang rendah ini mereka bangga terhadapnya. Mereka tidak
mau keluar dari keadaan ini karena mereka berpikir bahwa mereka mencapai
kebahagiaan bilamana mereka merasa memperoleh kesenangan duniawi. Mereka tidak
menginginkan Nibbana yang nampaknya membosankan bagi mereka. Mengapa? Karena
mereka kurang maju dalam bidang evolusi spiritual. Bilamana mereka maju dalam
bidang spiritual, mereka juga dapat membaca buku-buku, ilmu pengetahuan dan
filsafat. Sementara orang bahkan tidak dapat menghargai membaca dan belajar.
Mereka berpikir bahwa hal tersebut merupakan pemborosan waktu dan bahwa membaca
tidaklah bermanfaat.
Nibbana sendiri dapat dicapai dalam kehidupan ini.
Kebanyakan kita berpikir bahwa ini sangat
sulit. Jika demikian, untuk apa kita memiliki 6 sifat Dhamma? Sang Buddha
sendiri seringkali mengulangi 6 sifat Dhamma ini, salah satunya adalah Sanditthika —menunjukkan
hasil yang segera. Bila hal ini benar, mengapa kita tidak dapat mencapai
kebahagiaan yang sejati? Nibbana dapat dicapai setiap waktu (akalika).
Tidak harus besok, atau bulan depan. Anda dapat mencapainya sesuai dengan usaha
dan pengertian anda. Sementara orang pernah bertanya pada saya, apakah ada
tujuan hidup. Saya katakan, "ya, ada!" Tujuan hidup adalah
pertumbuhan, kemajuan dari kebodohan menuju kesadaran dari ketidak-bahagiaan
menuju kebahagiaan. Sang Buddha sendiri berkali-kali menyatakan bahwa tujuan
hidupnya adalah untuk mencapai kesadaran agungnya. Seorang filsuf Yunani
berkata bahwa ia datang ke bumi ini hanya untuk satu tujuan, yaitu menyempurnakan
dirinya. Jadi pertumbuhan, perkembangan ini adalah mungkin sekarang dan di sini
juga. Sebagaimana kita dapat mengembangkan otot kita dengan latihan
terus-menerus, demikian juga pikiran kita bisa dikembangkan. Kita pasti dapat
mencapai kesempumaan secara spiritual melalui pencapaian kebahagiaan dan
menyadari Nibbana; secara intelektual melalui
pencapaian ilmu pengetahuan; secara emosional melalui pengendalian dan
pemanfaatan emosi secara benar dan secara phisik dengan latihan sehingga
mencapai kesehatan yang prima dan juga melalui pengendalian tubuh.
Pada setiap tingkatan ada tindakan yang
mempunyai sebab terdahulu yang menyebabkan hal itu terjadi sebagaimana juga
akibat yang akan datang yang mengikutinya. Suatu tindakan merupakan perwujudan
dari pikiran dan suatu keinginan akan sesuatu yang merangsang pikiran. Pada
setiap tingkatan ada aksi dan reaksi yaitu sebab dan akibat. Jadi reaksi kita
terhadap rangsangan luarlah yang harus kita kendalikan. Tindakan dan reaksi ini
berfungsi pada semua tingkatan, pada tingkatan phisik dari pergerakan,
tingkatan emosional dari perasaan dan tingkatan intelektual dari pikiran dan
pada tingkatan spiritual dari pencapaian kesadaran. Pada setiap tingkatan ada
sisi baik dan sisi buruknya, segi baik dan segi buruk. Seseorang, umpamanya,
yang berada pada sisi materialistik yang buruk dapat berbuat jahat secara
phisik, yang akan menimbulkan penderitaan. Ia menggunakan kekuatan materialnya,
senjata materialnya. Dalam segi baik dari tingkatan material ia dapat berbuat
baik secara phisik. Jadi seseorang akan melakukan tindakan phisik berbentuk
menolong, dan ini akan membuatnya tumbuh dari tingkatan ini ke tingkatan yang
lebih tinggi. Apa pun yang anda lakukan secara mental dan emosional tidaklah
sempurna sampai anda melakukannya secara phisik.
Berikut ini ada sebuah cerita. Suatu ketika
ada sebuah batu untuk mencuci. Sebuah batu pencuci tidak dikenal oleh
orang-orang Barat. Sebuah batu pencuci adalah sebuah batu untuk mencuci yang
digunakan oleh para pencuci pakaian di Timur. Batu ini berupa sebuah batu pipih
di atas mana pakaian yang telah disabuni dicuci. Ada sebuah batu seperti ini di
tepian sebuah aliran sungai di pinggir sebuah desa. Penduduk desa menggunakan
batu ini untuk mencuci pakaian kotor mereka.
Suatu hari seseorang ahli ilmu bumi datang
dan melihat bahwa batu ini mengandung banyak potongan-potongan batu berharga.
Ia berpikir bahwa penduduk desa itu demikian bodohnya dan menggunakan batu yang
sedemikian berharga hanya untuk mencuci. Jadi ia meyakinkan semua orang termasuk
kepala desa untuk mengganti batu itu dengan suatu batu yang baru dan lebih
baik.
Mereka semua setuju. Ia memberi mereka
sebuah batu yang lebih lebar dan lebih bagus dan mengambil batu yang lama.
Semua penduduk desa sangat gembira dan berterima kasih dan ia lebih berterima
kasih lagi pada mereka untuk batu itu, yang darinya ia dapat memperoleh batu
berharga yang bernilai tinggi.
Sang Buddha menasihati kita untuk seperti
halnya ahli itu dan jangan seperti penduduk desa yang bodoh. Kita harus
menggunakan tubuh kita tidak hanya untuk kesenangan namun juga untuk menolong,
sehingga apakah kita mencarinya ataupun tidak, kita akan memiliki penampilan
yang sempurna, kesehatan yang prima. Sang Bodhisatta bertindak ke mana saja dia
pergi untuk menolong secara mental, phisik, bahkan dalam kehidupannya yang
terakhir sebagai seorang Buddha.
Ingatkah anda cerita tentang seorang bhikkhu
yang sakit yang terjatuh ke atas kotorannya sendiri? Tidak ada seorang pun yang
muncul untuk menolongnya. Sang Buddha tanpa ragu-ragu mengambil pakaian kotor
yang penuh kotoran dari bhikkhu tersebut dan mencucinya sendiri. Tidak ada
sesuatu pun di dunia ini yang direndahkan martabatnya.
Karena segala sesuatu di dunia ini merupakan
subjek dari ketidak-kekalan tidak mungkin ada kebahagiaan sejati dan yang
selama-lamanya dalam benda-benda material di dunia ini. Ini dapat merupakan
penampilan yang pesimis bilamana tidak ada jalan menuju kebahagiaan yang sejati
yang mengatasi material yang menjadikannya penampilan yang realistis dan
optimis.
Kebudayaan adalah jawabnya, kebudayaan tidak
perlu harus tubuhnya namun yang penting pikirannya dan lebih lanjut lagi sifat
moral yang lebih tinggi, untuk mencapai Nibbana.
Sumber:
Buddha Cakkhu No.07/VIII/1987;
Yayasan Dhammadipa Arama
-oOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar