FANATISME BUTA
Oleh : Upa. Amaro Tanhadi
TIDAK SELAYAKNYA SESEORANG BERKESIMPULAN BAHWA :
“
HANYA INI YANG BENAR, YANG LAINNYA ADALAH SALAH”
(Sang Buddha)
Fanatik adalah suatu sikap batin (mentalitas) terhadap suatu
pandangan atau kepercayaan (keyakinan), agama, sosial, politik, ekonomi, pemimpin
dan lain-lain yang dianut secara mendalam.
Sayangnya, banyak orang yang salah dalam menerapkan
kefanatikan itu, sehingga menimbulkan sikap bahwa keyakinannyalah yang paling
benar, sedangkan yang lainnya adalah salah (Fanatisme buta). Sikap batin yang
demikian ini sesungguhnya merupakan perwujudan dari egoisme sempit yang hanya
melihat sesuatu dari satu sudut pandangnya saja tanpa melihat akibat negatif yang
ditimbulkannya yang biasanya cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik
serius.
Ciri-ciri orang yang ‘fanatik secara membuta (Fanatisme) ini
dapat dilihat dari bentuk solidaritas terhadap orang-orang yang sepaham dengan
kelompok/golongannya sendiri, dan membenci (antipati) terhadap
orang-orang/kelompok yang berbeda pandangan, baik dalam kehidupan beragama,
sosial, politik, ekonomi.
Fanatisme biasanya tidak rationil, hal ini disebabkan oleh
dorongan perasaan yang sangat kuat terhadap apa yang diyakininya itu, akibatnya,
seseorang kurang menggunakan akal budinya sehingga ia tidak dapat menerima paham
yang lain walaupun sesungguhnya paham yang lain lebih benar daripada paham yang
diyakininya itu. Fanatisme semacam
inilah merupakan akar kejahatan yang dapat menimbulkan perilaku agresif dan dapat
menyulut terjadinya konflik serta menciderai kehidupan umat beragama, bahkan
menimbulkan peperangan hanya karena satu alasan perbedaan suatu pandangan tertentu
dan kurangnya toleransi untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial.
Secara psikologis, seseorang yang ‘fanatik secara membuta’
biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak paham
terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat
selain yang mereka yakini. Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatik adalah
ketidak mampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar
kelompoknya, benar atau salah.
Bagaimana
pandangan agama Buddha terhadap fanatisme yang demikian itu ?
Mari kita simak ringkasan dialog
antara Sang Buddha dengan seorang murid brahmana bernama Kāpaṭhika.
Seorang pemuda yang mahir dan menguasai Tiga Veda dan mahir dalam filosofi alam dan dalam
tanda-tanda manusia luar biasa. (dari MN
95: Caṅkī Sutta; II 168-77) sbb :
Kapathika : “Guru
Gotama, sehubungan dengan syair-syair pujian brahmana kuno yang diturunkan
melalui penyampaian lisan, yang dilestarikan dalam kitab-kitab, para brahmana
sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah
salah.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”
Sang Buddha menjawab dengan
pertanyaan kembali kepada Kapathika sbb :
Sang Buddha : “Apakah
ada di antara para brahmana yang mengatakan bahwa: ‘Aku mengetahui ini, aku
melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?”
Kapathika : “Tidak, guru Gotama”
Sang Buddha : “ Apakah ada di
antara seorang guru atau Maha guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya
yang mengatakan bahwa: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang
benar, yang lainnya adalah salah’?”
Kapathika
: “Tidak, guru Gotama”
Sang Buddha : “ Apakah ada diantara para petapa brahmana masa lampau
yang mengatakan bahwa : ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang
benar, yang lainnya adalah salah’?”
Kapathika
: “Tidak, guru Gotama”
Selanjutnya Sang Buddha memberikan suatu perumpamaan sbb :
“ Misalkan terdapat sebaris
orang buta yang masing-masing bersentuhan dengan yang lainnya: orang pertama
tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir juga tidak
melihat. Demikian pula, Bhāradvāja, sehubungan dengan pernyataan mereka, para
brahmana itu tampak seperti sebaris orang buta itu: orang pertama tidak
melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat.
Bagaimana menurutmu, Bhāradvāja, apakah keyakinan para brahmana itu terbukti
tidak berdasar?”
“Para brahmana menghormati ini hanya karena keyakinan,
Guru Gotama. Mereka juga menghormatinya sebagai tradisi lisan.” Jawab
Kapathika.
Sang Buddha menjelaskan bahwa Ada lima hal, yang mungkin terbukti dalam
dua cara berbeda ( bisa benar atau salah),
yaitu :
·
Keyakinan
(Sadha)
·
Persetujuan
(Ruci)
·
Tradisi
lisan (Anussava)
·
Pertimbangan
(Akaparivitakka)
·
Penerimaan
pandangan melalui perenungan (Ditthinijjhanakkhanti)
Penjelasan :
Keyakinan
:
Karena Keyakinan
itu umumnya berdasarkan pada Perasaan, maka bisa saja Keyakinan itu diterima sebagai
kebenaran, walaupun ada kemungkinan bahwa apa yang diyakininya itu adalah sesuatu
yang kosong, hampa, dan salah.
Namun ada kemungkinan bahwa Keyakinan itu tidak diterima , walaupun hal
itu merupakan fakta, benar, dan tidak salah.
Persetujuan
:
Karena Persetujuan
itu pada umumnya adalah merupakan Kesepakatan dan berdasarkan pada Perasaan, maka sesuatu itu
mungkin sepenuhnya disetujui, walaupun ada kemungkinan hal itu adalah sesuatu
yang kosong, hampa, dan salah.
Namun ada kemungkinan bahwa Persetujuan itu tidak diterima sepenuhnya,
walaupun hal itu adalah merupakan fakta, benar, dan tidak salah.
Tradisi
Lisan :
Tradisi lisan adalah
merupakan adat kebiasaan turun-temurun yang beranggapan bahwa cara-cara yang
telah ada merupakan yang paling baik dan benar, maka bisa saja
Tradisi lisan itu diterima sebagai kebenaran, walaupun ada kemungkinan hal itu adalah
sesuatu yang kosong, hampa, dan salah.
Namun ada kemungkinan bahwa Tradisi Lisan itu tidak diterima sepenuhnya,
walaupun hal itu merupakan fakta, benar, dan tidak salah.
Pertimbangan
:
Pada umumnya
pertimbangan adalah merupakan penalaran secara rasional atau kognitif
(berdasarkan pada pengalaman dan pengamatan), maka bisa saja Pertimbangan itu diterima
sebagai kebenaran, walaupun ada kemungkinan hal itu adalah sesuatu yang kosong,
hampa, dan salah.
Namun ada kemungkinan bahwa Pertimbangan itu tidak diterima sepenuhnya, walaupun hal
itu merupakan fakta, benar, dan tidak salah.
Penerimaan
pandangan melalui perenungan :
Karena Perenungan
ini bersifat individu dan merupakan sepuluh landasan yang tidak dapat diterima
untuk sebuah kepercayaan*).Maka bisa saja Penerimaan pandangan melalui
Perenungan itu diterima sebagai kebenaran.
Tetapi ada kemungkinan bahwa hal itu tidak direnungkan dengan baik, walaupun
hal itu merupakan fakta, benar, dan tidak salah.
.
Didalam kondisi yang demikian itu, adalah tidak selayaknya bagi seorang
bijaksana yang melestarikan kebenaran untuk sampai pada kesimpulan pasti bahwa:
‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’” (karena ia belum secara
pribadi memastikan kebenaran yang ia yakini tetapi hanya menerimanya atas dasar
yang tidak dapat menghasilkan kepastian).
Catatan
:
*)Sepuluh landasan yang tidak dapat diterima untuk
sebuah kepercayaan, yaitu :
* Empat di antaranya
berhubungan dengan pembentukan otoritas kitab suci :
1.
Tradisi lisan,
2.
Ajaran turun-temurun,
3.
Kabar angin,
4.
Kumpulan teks
* Empat pada
landasan rasional :
5.
Logika,
6.
Penalaran,
7.
Pertimbangan,
8.
Penerimaan pandangan setelah merenungkan.
* Dua pada
orang-orang yang memiliki otoritas :
9.
Pembabar-pembabar yang mengesankan
10.
Guru-guru yang terhormat.
( Cuplikan dari : Majjhima
Nikaya 95: Caṅkī Sutta; II 168-77 )
___________________________________
Kesimpulan
:
Dengan demikian jelaslah bahwa sesungguhnya
banyak orang yang mempunyai “keyakinan” semata, meskipun sebenarnya mereka
tidak mengerti apa yang diyakininya itu. Seorang yang fanatik ukurannya adalah
pada praktek, yaitu seberapa besar ia menjalankan yang telah diajarkan
berdasarkan keyakinannya. Dan sering kita dapati bahwa seseorang yang yakin
belum tentu mengerti, orang yang mengerti pun juga belum tentu yakin.
Jadi adalah sangat bijaksana jika dalam hal
menyikapi soal kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, seseorang berusaha
menghindari untuk mengambil suatu kesimpulan yang didasari oleh kefanatikannya
secara membuta itu dengan mengatakan :
“
HANYA INI YANG BENAR, YANG LAINNYA ADALAH SALAH”.
Sebab seperti yang telah dikatakan oleh Sang
Buddha tersebut diatas, bahwa dalam hal pembuktian suatu kebenaran apapun yang
hanya didasari oleh Keyakinan, Persetujuan,Tradisi lisan, Pertimbangan dan
Penerimaan pandangan melalui perenungan , semuanya bisa benar atau salah.
Hanya setelah seseorang melakukan penyelidikan
dengan usaha yang tekun dan melalui pengulangan pengembangan faktor-faktor yang
mengarah menuju penemuan kebenaran, serta telah terbebas dari pengaruh
keserakahan, kebencian dan kebodohan batin maka seseorang akhirnya sampai pada
kebenaran; melihat dan menembusnya dengan kebijaksanaan. Dan ia dengan tubuhnya
mencapai kebenaran tertinggi – Nibbana (paramasacca)
.
-oOo-
Terima kasih mau berbagi
BalasHapusSama-sama, terima kasih.
Hapus