MELEPAS
DAN TANPA PENILAIAN
From the Book : Wherever You Go, There You Are
Oleh
: Jon Kabat-Zinn
Istilah “melepas” seringkali
menjadi klise pada abad ini. Terlalu sering digunakan, disalahgunakan setiap
hari. Namun, klise maupun tidak, ada sesuatu yang sangat penting dipelajari
dari praktik melepas.
Melepas mempunyai arti harafiah,
yaitu mengakhiri kemelekatan terhadap apapun, entah itu ide, materi, peristiwa,
waktu tertentu, pendapat, atau keinginan. Memerlukan keteguhan hati untuk
melepas dengan cara menerima kekinian seutuhnya. Untuk melepas berarti menyerah
tanpa paksaan, perlawanan, atau perjuangan untuk memperoleh sesuatu yang
lebih baik. Hanyalah membiarkan segala sesuatu apa adanya, tidak menginginkan
segala sesuatu atau menolak sesuatu. Bebas dari kemelekatan terhadap
keinginan, rasa suka, maupun benci. Ini ibarat membuka telapak tangan Anda
untuk melepaskan sesuatu yang Anda genggam.
Bukan hanya kemelekatan terhadap
keinginan kita untuk mengalami peristiwa tertentu yang membelenggu kita, bukan
pula mengenggam dengan tangan kita. Melainkan menggenggam dengan pikiran kita.
Kita membelenggu diri kita sendiri dengan menggenggam pikiran sempit dan
harapan yang egois. Melepaskan berarti menjadi tidak mengikuti perasaan suka
atau tidak suka, dan lamunan yang menarik kita mendekat pada keduanya. Agar
dapat mempraktikannya kita perlu kewaspadaan penuh utnuk membiarkan ketakutan
dan ketidaknyamanan bermain tanpa kita sentuh.
Melepas hanya mungkin dilakukan
bila kita waspada dan menerima masalah masalah yang kita hadapi, jika kita
dapat mengenali bagaimana kita jatuh dalam lamunan, di antara pengamat dan
objek yang diamati, yang kemudian membentuk cara pandang kita. Kita dapat lepas
dari kemelekatan ini jika kita dapat terus waspada dan mengenali saat pikiran
kita mulai mendekati dan melekat atau membenci dan menolak sesuatu demi
keuntungan pribadi.
Ketenangan, pemahaman dan
kebijaksanaan hanya muncul saat kita benar benar mengamati momen ini, tanpa
mencari atau menggenggam atau menolak apapun. Pernyataan ini dapat diuji
kebenarannya. Coba saja. Perhatikan diri sendiri, apakah melepas pada saat
sebagian diri kita ingin menggenggam justru akan semakin membawa
kebahagiaan atau kemelekatan.
Tanpa penilaian
Sebagian dari pikiran kita terus
mengevaluasi pengalaman kita, membandingkannya dengan pengalaman lain, atau
menolaknya karena tidak sesuai dengan harapan dan standar yang kita ciptakan.
Biasanya disebabkan oleh ketakutan, takut bahwa saya tidak cukup baik, takut
bahwa hal buruk dapat terjadi, takut bahwa hal baik akan berakhir, takut bahwa
orang lain akan melukai saya, takut bahwa saya tidak berhasil, takut bahwa
hanya saya sendiri yang tidak tau apa apa. Kita cenderung melihat segala hal
dari kacamata yang berwarna : apakah itu baik bagi saya ataukah buruk
bagi saya, atau apakah itu tidak bertentangan dengan keyakinan dan filosofi
saya. Jika baik, saya suka. Jika buruk, saya tidak suka. Jika netral, saya
tidak punya perasaaan tertentu dan mungkin mengabaikannya.
Saat kita diam dalam ketenangan,
pikiran yang menilai bisa muncul ibarat suara alam. Saya tidak berhasil…kenapa
mesti begini…..Saya tidak berbakat…Saya gagal, titik. Pikiran pikiran semacam
ini mendominasi dan membebani pikiran. Ibarat membawa koper yang berisi penuh
dengan batu di kepala kita. Rasanya nyaman jika diletakkan. Bayangkan rasanya
berhenti menilai dan membiarkan apa adanya, tanpa mencoba untuk memberi label
“baik” atau “buruk”. Inilah ketenangan sejati, kebebasan yang sejati.
Membandingkan, menilai dan
mengevaluasi adalah sifat alami pikiran. Ketika dia muncul, kita tidak berusaha
menghentikan atau mengabaikannya. Semakin kita mencoba untuk menghentikannya
justru semakin banyak pikiran yang muncul. Yang perlu dijaga adalah sekedar
mengamati apapun yang muncul pada batin dan jasmani, lalu kenali tanpa mengejar
atau menolaknya. Kita memahami bahwa penilaian kita tidak dapat dihindari
dan penting untuk membatasi pengalaman yang muncul dalam pikiran kita. Dan kita
terus waspada terhadap kemungkinan untuk terjebak pada menilai penilaian
itu sendiri, atau memberi label beberapa penilaian sebagai baik dan beberapa
lainnya sebagai buruk.
Saat pikiran mempengaruhi seluruh
pengalaman kita, biasanya pikiran kita yang cenderung kurang cermat. Umumnya
pikiran pikiran itu hanyalah opini pribadi, reaksi, dan prasangka
yang berdasarkan pada wawasan sempit dan dipengaruhi oleh keadaan kita dimasa
lalu. Semuanya sama saja, jika tidak disadari, maka pikiran kita dapat
menghambat kita untuk melihat kekinian dengan jelas. Kita dibelenggu dengan pikiran
yang kita anggap sebagi apa yang kita lihat dan rasakan, sehingga memunculkan
penilaian kita terhadap semua hal. Hanya dengan mengenali pola baku ini dan
mengamati pada saat kemunculannya akan membuat kita dapat memahami dan menerima
segala hal tanpa menilai.
Tidak menilai tentu saja bukan
berarti bahwa kita bersikap acuh tak acuh dalam masyarakat atau menganggap apa
yang dilakukan semua orang itu baik. Tidak menilai berarti kita bisa bertindak
dengan arah yang lebih jelas di dalam hidup, lebih seimbang, lebih efektif,
lebih bermoral dalam kegiatan harian kita, jika kita tahu bahwa kita secara
tidak sadar dapat terbawa arus suka dan tidak suka yang mengasingkan kita
dari dunia dan dari kemurnian kita sebagai manusia. Rasa suka atau tidak suka
dapat menetap dalam pikiran kita, dan tanpa disadari mendominasi seluruh aspek
hidup kita. Saat kita dapat menyadari benih keserakahan yang terus mengejar hal
hal yang kita sukai dan benih kebencian yang terus menolak hal hal yang tidak
kita sukai, betapapun halusnya, maka kita perlu berhenti sejenak dan ingat
bahwa kedua kekuatan itu selalu berada di dalam pikiran kita setiap saat.
Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa keserakahan dan kebencian mempunyai
racun berbahaya yang menghambat kita dari melihat sesuatu apa adanya dan
menghambat kita dari menggunakan potensi yang sesungguhnya.
-oOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar