Minggu, Januari 24, 2010

TENTANG NIBBANA

 (1) Ada kelompok Buddhis yang menyatakan bahwa Nibbana adalah pemusnahan diri, namun mereka juga menolak bahwa Sang Buddha mengajarkan " Kemusnahan diri ". Mereka mencoba menjelaskan kontradiksi ini dengan berkata : " Pemusnahan Diri hanya mungkin terjadi, bila ada pribadi yang akan dimusnahkan. Namun pada kebenaran akhir, tidak ada suatu yang disebut "Pribadi". Lalu, bagaimana mungkin Nibbana adalah " Pemusnahan Diri ", bila tidak ada pribadi yang akan musnah ?"

Dibalik permainan kata diatas, mereka juga tetap mengatakan Nibbana adalah kekosongan, dimana pribadi tidak ada lagi dalam bentuk apapun.

Banyak kesempatan bagi Sang buddha untuk dapat menyatakan bahwa mereka yang mencapai Nibbana telah hilang keberadaannya, tapi Beliau tidak pernah mengatakan demikian.

Sekali waktu, Upasiva bertanya kepada Sang Buddha :

Mereka yang telah pergi (ke Nibbana),
Apakah mereka musnah keberadaannya,
Atau mereka tetap tak lekang selamanya ?
Jelaskan pada saya, O, Guru bijaksana
Sebab Kaulah yang mengetahui sejelasnya.

Lalu, Sang Buddha menjawab :

Tak dapat dinilai mereka yang telah pergi.
Yang oleh seseorang mungkin dikatakan sebagai
Tidak ada lagi.
Ketika semua fenomena telah tiada,
Semua cara untuk menggambarkannya juga tiada.

(Sutta Nipata : 1075-1076)

 (2) Sekali waktu, seorang pengembara bernama Vacchagota bertanya pada Sang Buddha, tentang keberadaan mereka yang telah mencapai Nibbana, mereka timbul ( dengan kata lain, tetap keberadaannya) atau tidak timbul        ( dengan kata lain, hilang keberadaannya).

Sang Buddha menolak untuk memberi jawaban, dan menerangkan pada kita bahwa Beliau menolak, karena Nibbana adalah keadaan yang tak dapat diterangkan dengan kata-kata.

" Tapi, Gotama yang bijaksana, dimana timbulnya para siswa yang batinnya telah terbebaskan itu ?"

"Istilah 'Timbul' tidak dapat terpakai."

" Bila demikian, bagaimana kalau dikatakan "Tidak timbul".

" 'Tidak timbul', juga tidak terpakai."

" Bila demikian, apakah mereka 'Timbul dan juga tidak Timbul'?"

" 'Timbul dan juga tidak Timbul', juga tidak terpakai ".

" Bila demikian, mereka 'tidak timbul dan juga tidak tidak timbul' ?".

" 'Tidak timbul dan juga tidak 'tidak timbul', juga tidak terpakai."

" Dengan demikian, saya kehilangan jejak dalam hal ini,  Gotama yang baik, saya bingung, dan kepuasan yang saya dapati pada pembahasan kita yang lalu, sekarang telah tiada lagi...."

" Kesadaran Tathagata terbebas dari pengungkapan-pengungkapan; dia begitu dalam, tak terukur, tak diketahui dalamnya seperti lautan.
'Timbul' tak terpakai,
'tidak timbul' tak terpakai,
'timbul dan juga tidak timbul' tak terpakai,
'tidak timbul dan juga tidak tidak timbul' juga tidak terpakai."

( Majjhima Nikaya I : 140 )

(3). Yang dimaksud Sang Buddha, bahwa seorang yang telah mencapai Nibbana, keberadaannya tidak ada lagi, adalah bahwa semua ciri-ciri yang dihubungkan dengan keberadaan- lahir, mati, jasmaniah, bergerak dalam ruang dan waktu, dan berperasaan sebagai suatu pribadi sendiri - tidak lagi dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan Nibbana.

Yang dimaksud Sang Buddha, bahwa seorang yang telah mencapai Nibbana, keberadaannya tidak musnah, adalah tepat seperti itu.

Dimensi Nibbana tak dapat digambarkan secara tepat dengan bahasa duniawi, pula keberadaan Nibbana tak dapat dibayangkan oleh pikiran duniawi.

(4). Walaupun sulit digambarkan, namun Sang Buddha memberi pada kita gambaran umum tentang keberadaan Nibbana. Dengan menggambarkan batin manusia, Sang Buddha berkata ;

Batin adalah putih suci, 
namun dia ternodai oleh kekotoran batin 
yang sebelumnya tidak ada. 
Orang awam tidak menyadarinya, 
oleh karenanya mereka tidak menjaga batinnya. 
Batin adalah putih suci, 
dan dapat dimurnikan dari kekotoran batin 
yang sebelumnya memang tidak ada. 
Siswa yang agung mengerti hal itu, 
oleh karenanya mereka menjaga batin mereka. 
(Anguttara Nikaya I : 10).

(Kalau kita melihat Sabda Sang buddha yang ini, maka sebenarnya terjemahan didalam Dhammapada XIV ; 183  yaitu : “Janganlah berbuat kejahatan, Perbanyaklah perbuatan baik, Sucikan hati dan pikiran , Inilah ajaran semua Buddha”, semestinya diterjemahkan sebagai Sucikan Batin....)

Dengan kata lain, batin adalah suci pada awalnya (pabhassaram idam cittam), kemudian dinodai kotoran batin yang sebenarnya adalah sesuatu yang asing bagi batin. Bila kotoran batin dibersihkan, maka batin kembali suci lagi. Sang Buddha bersabda :

Dimana tanah, air, api dan udara tak berpijak ? Dimanakah yang panjang dan pendek , kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa, akhirnya musnah?

Jawabnya adalah : Itu adalah kesadaran dari seorang Yang Agung – tak tertandai, tak terikat, dan bercahaya. Disana tak ada tempat tanah, air, api dan udara itu berpijak. Disana yang panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa akhirnya musnah. Bila kesadaran telah musnah, maka  demikian pula semuanya itu. (Digha Nikaya I : 223)

Nibbana adalah “alam” dimana jasmaniah dan semua keberadaan berlawanan-pasang-panjang dan pendek, besar dan kecil, murni dan tidak murni- tidak ada lagi serta batin tak tertandai lagi (anidassanam), tak terikat(anatam) dan bercahaya(sabbo pabham). Bercirikan sebagai keadaan kekal (nibbanapadam accutam) dari kemurnian (suddhi), kebebasan (vimitti) dan kebahagiaan tertinggi (nibbanam paramam sukham).

(5). Sang Buddha juga memberitahu, bahwa Nibbana dicapai dalam dua tingkatan atau cara. Pertama, mereka yang mencapai Nibbana, dengan batin yang telah bebas, tapi karena jasmani-nya masih ada, maka dia masih menjadi obyek penderitaan jasmaniah. Ini disebut Nibbana dengan sisa dasar (saupadisesa nibbana). Lalu, setelah mereka mati, batin juga dibebaskan dari penderitaan jasmaniah dan seorang mencapai Nibbana sempurna. Ini disebut sebagai Nibbana tanpa sisa dasar (anupadisesa nibbana), atau sering pula disebut sebagai Nibbana Sempurna (parinibbana).

(6). Walau kita hanya dapat mengerti sepenuhnya keadaan Nibbana setelah kita mengalaminya sendiri, namun kita tetap dapat mengetahui keberadaan keadaan itu. Pertama, kita dapat menyimpulkan keberadaannya. Apabila ada dimensi disertai kelahiran, kematian, kekotoran batin dan kejadian, maka dapat disimpulkan bahwa ada dimensi tanpa itu. Naskah Buddhis kuno menyebutkan :

Dimana ada panas,
Disitu pasti pula ada dingin.
Demikian pula,
Dimana ada tiga api,
Disitu pasti pula ada Nibbana.

Dimana ada kejahatan,
Disitu pasti pula ada kebajikan.
Demikian pual,
Dimana ada kelahiran,
Keadaan”tak terlahir”, dengan demikian juga ada.
(jataka Nidanakatha 22-23)

Kedua, kita dapat mengetahui adanya keadaan seperti Nibbana, karena Sang Buddha mencapainya, dan Beliau dengan tegas menjelaskan keberadaannya. Beliau bersabda :

Ada sesuatu yang Tak Terlahirkan, 
Tak Terjadi, Tak Terbuat, Tak Tergabung. 
Bila tidak ada yang Tak Terlahirkan, 
Tak Terjadi, Tak Terbuat, Tak Tergabung, 
maka tidak akan ada jalan untuk bebas dari Terlahir, 
Terjadi, Terbuat dan Tergabung. 
Tetapi karena adanya Yang Tak Terlahir, 
Tak Terjadi, Tak Terbuat, Tak Tergabung, 
maka ada jalan untuk terbebas dari Terlahir, 
Terjadi, Terbuat, Tergabung. 
(Udana : 80).

Sekali lagi Beliau menegaskan keberadaannya, sebagai berikut :

Ada suatu keadaan, 
dimana tidak ada tanah, air, api dan udara, 
dimana tidak ada Lingkup ruang tak terbatas, 
Kesadaran Tak terbatas, Kehampaan, 
juga Lingkup bukan Kesadaran 
bukan pula Tanpa Kesadaran,
 tidak di bumi ini, 
di bumi seberang ataupun keduanya, 
tidak ada matahari, tidak ada bulan, 
dimana tidak ada yang datang untuk dilahirkan,
 tidak ada yang pergi ke kematian, 
tidak ada kurun waktu, 
tidak ada yang terjatuh dan timbul. 
Bukan sesuatu yang terpaku, 
tidak pula bergerak, 
dia berasaskan kehampaan. 
Inilah sebenarnya akhir penderitaan 
(Udana:80).

(7). Dapatkah setiap orang mencapai kebahagiaan dan kebebasan Nibbana ? Bila dapat, apakah setiap orang pada akhirnya akan mencapainya?

Jawaban untuk hal yang pertama adalah jelas, yakni bahwa setiap orang dapat mencapai Nibbana, dan justeru Sang Buddha senantiasa mendorong setiap orang untuk menjadikan Nibbana tujuan hidupnya serta agar berupaya sekuatnya untuk mencapainya. Senandung para wanita yang telah mencapai Nibbana, terdengar lantang dan jelas, dalam menjawab pertanyaan ini.

Keadaan abadi ini telah banyak yang mencapainya,
Dan tetap dapat dicapai saat inipun,
bagi siapa yang menjalankannya sendiri,
Tapi tidak bagi  yang tidak berusaha sekuatnya.
(Therigattha : 513)

Apakah setiap orang dapat mencapai Nibbana atau tidak? Jawaban dari pertanyaan ini tak dapat diramalkan, karena setiap orang mempunyai minat dan cita-cita masing-masing. Sang Buddha telah mengajarkan Dhamma dan dengan segala macam cara, menganjurkan orang untuk melaksanakannya; namun tentu saja pelaksanaannya tergantung pada orang itu sendiri-sendiri.

“ Gotama Yang Baik, setelah diajar dan diarahkan oleh-Mu, apakah semua Siswa-Mu akan mencapai cita-cita murni itu, atau sebagian tidak akan berhasil?”

“ Sebagian akan mencapainya dan sebagian tidak.”

“Apa alasannya, Gotama Yang Baik? Apa penyebabnya ?”

“ Aku akan bertanya padamu, brahmin ; jawablah bila berkenan. Bagaimana pikiranmu? Apakah engkau mengetahui jalan ke Rajagaha?”

“ Ya, Gotama yang baik, saya mengetahuinya.”

“ Baik, andaikan seorang datang padamu, dan berkata bahwa dia ingin ke Rajagaha dan bertanya arahnya. lalu, engkau berkata : ‘ Jalan ini menuju ke Rajagaha; berjalanlah terus sampai ke suatu desa, berjalanlah terus sampai engkau tiba di pasar, lalu bila engkau berjalan terus, engkau akan sampai di Rajagaha dengan kebun-kebunnya yang indah, hutan-hutan yang indah, lapangan-lapangan yang indah dan kolam-kolam yang indah.

Namun ,walau telah ditunjukkan dan diarahkan olehmu jalan itu, tapi orang tadi mengambil jalan lain yang menuju ke Barat. Dan, oleh karenanya dia tidak sampai ke Rajagaha. Lalu, andaikan seorang lagi datang padamu, dan dia juga berkeinginan ke Rajagaha, lalu karena dia mengikuti petunjukmu, maka akhirnya dia tiba dengan selamat. Jadi oleh karena ada Rajagaha, oleh karena ada jalan menuju kesana  dan juga ada engkau sebagai peunjuk jalan, mengapa orang yang pertama tidak sampai, sedangkan orang yang satunya lagi sampai ke Rajagaha?”

“ Gotama yang baik, apa yang harus saya kerjakan dalam hal ini ? Saya tiada lain hanyalah seorang penunjuk jalan.”

“ Demikian pula, Brahmin; ada Nibbana, ada jalan menuju ke Nibbana, dan ada aku sebagai penunjuk jalan ke Nibbana. Tapi hanya sebagian siswa yang diajar dan diarahkan oleh-Ku yang mencapai Nibbana, sebagian lainnya tidak. Apa yang dapat aku perbuat dalam hal ini? Sang Tathagata hanyalah penunjuk jalan.”
(Majjhima Nikaya II ;5 )

Tapi satu hal yang pasti, siapapun yang mencapai Nibbana adalah sebagai hasil menjalankan ajaran Sang Buddha.

“ Bila, dengan pengertian penuh Gotama Yang Baik telah mengajarkan Dhamma pada Siswanya untuk pemurnian makhluk hidup, untuk mengatasi penyesalan dan keputusasaan, untuk mengakhiri kesedihan dan kemurungan, untuk mencapai tatacara-Nya, untuk mencapai Nibbana; lalu apakah seluruh dunia akan mencapainya, atau seperduanya, atau sepertiganya?”

Sampai disitu, Sang Buddha berdiam diri. Lalu Ananda berpikir:” Orang ini hendaknya jangan sampai berpikir bahwa Sang Buddha tidak dapat menjawab pertanyannya yang penting ini.”

Jadi Ananda berkata :” Saya akan memberitahu suatu perumpamaan.”
Bayangkan ada suatu kota dikelilingi oleh tembok dengan dasar pondasi yang sangat kuat, bermenara dan hanya berpintu gerbang hanya satu, pintu gerbang dijaga ketat, hanya orang yang dikenal diperbolehkan melewatinya dan orang asing tak diperbolehkan melewatinya. Lalu, ketika seseorang berjaga di sekeliling tembok, dia tidak menemukan satupun lobang yang dapat dilewati walau oleh seekor kucing pun. Dengan demikian dia tahu, bahwa semua makhluk, besar ataupun kecil, hanya dapat masuk ke kota atau keluar dari kota dengan melewati gerbang tersebut. Sama halnya dengan pertanyaanmu, tidaklah penting bagi Sang Buddha. Apa yang disabdakan  Beliau adalah, bahwa : Siapapun yang telah terbebas, sedang terbebas ataupun akan terbebas dari dunia ini, dia akan terbebas dengan cara melepaskan kelima rintangan, melepaskan kesesatan batin yang melemahkan kebijaksanaan, dia akan tebebas dengan cara mengembangkan batin dalam empat dasar kesadaran, dan dengan mengembangkan tujuh unsur pencerahan.” (Anguttara Nikaya V : 194).

Setelah Sang Buddha mencapai Nibbana, Beliau “ mengajak” semua umat manusia untuk mengikuti Jalan agar umat manusia juga dapat menikmati kedamaian, kebahagiaan dan kebebasan. “Ajakan” beliau masih berlaku sampai saat ini.

Pintu-pintu ke Abadian telah terbuka,
Marilah, mereka yang dapat mendengar,
berusaha dengan keyakinan.
(Majjhima Nikaya I:169).


Demikianlah adanya dan semoga bermanfaat.

Sadhu...Sadhu...Sadhu.


Sumber bacaan : - Dasar Pandangan agama Buddha- Ven. S. Dhammika

Kalama Sutta


KALAMA SUTTA




Demikian yang telah saya dengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berkelana dengan diiringi Sangha para Bhikkhu yang besar jumlahnya. Beliau tiba di kota suku Kalama yang bernama Kesaputta (¹). Suku Kalama dari Kesaputta mendengar, “

Dikabarkan bahwa petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keluarga Sakya, telah tiba di kota Kesaputta. Ada laporan yang baik tentang Guru Gotama yang beredar demikian : “ Yang Terberkahi itu adalah Sang Arahat, yang telah sepenuhnya tercerahkan, yang terampil dalam perilaku benar dan pengetahuan benar, yang maha tinggi, pengenal dunia, pemimpin yang tak ada bandingnya bagi manusia yang harus dijinakkan, guru bagi para dewa dan manusia,

Yang telah Tercerahkan, Yang Terberkahi. Beliau memperkenalkan dunia dengan para dewa, Mara, dan Brahmanya, generasi dengan para petapa dan brahmananya, para dewa dan manusianya, setelah merealisasikannya dengan pengetahuan langsung-nya sendiri. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di tengah, dan indah di akhir, dengan arti yang benar dan ungkapan yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang sepenuhnya lengkap murni. ‘ Adalah baik bila kita menemui Arahat seperti itu “.

Kemudian suku Kalama dari Kesaputta menemui Sang Buddha. Beberapa memberi hormat pada Beliau dan duduk di satu sisi; beberapa bertukar salam dengan Beliau dan setelah bertukar sapa, duduk di sati sisi. Kemudian suku Kalama itu berkata kepada Sang Buddha :

“ Yang Mulia, ada beberapa petapa dan brahmana yang datang ke Kesaputta. mereka menjelaskan dan menguraikan doktrin-doktrin mereka sendiri, sambil menjelekkan, merendahkan, mencaci, serta mencemarkan doktrin mereka yang lain. kemudian beberapa petapa dan brahmana lain datang ke Kesaputta, dan mereka juga menjelaskan dan menguraikan doktrin mereka sendiri, sambil menjelekkan, merendahkan, mencaci, serta mencemarkan doktrin yang lain. Kami, tuan, merasa bingung dan ragu. Diantara petapa-petapa yang baik ini, yang manakah yang berbicara benar dan yang manakah yang berbicara salah ?”

“ Memang pantas bagi kalian untuk bingung, O suku kalama, memang pantas bagi kalian untuk ragu. Keraguan telah muncul di dalam diri kalian tentang masalah yang membingungkan.

Wahai, suku Kalama. 
Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, 
ajaran turun-temurun, 
kata orang, 
koleksi kitab suci, 
penalaran logis, 
penalaran lewat kesimpulan, 
perenungan tentang alasan, 
penerimaan pandangan setelah memikirkannya, 
pembicara yang kelihatannya meyakinkan, 
atau karena kalian berpikir, 
‘Petapa itu adalah guru kami’(²). 

Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, 
‘ hal-hal ini adalah tidak bermanfaat, 
hal-hal ini dapat dicela; 
hal-hal ini dihindari oleh para bijaksana; 
hal-hal ini, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, 
akan menyebabkan kerugian dan penderitaan’, 
maka kalian harus meninggalkannya.”

“ Bagaimana pendapatmu, suku Kalama? Bila keserakahan, kebencian dan kebodohan batin muncul di dalam diri seseorang, apakah hal itu akan menyebabkan kesejahteraan atau kerugian?”(³)

“ Kerugian, Tuan.”

“ Suku Kalama, orang yang serakah, membenci dan bodoh batinnya, yang dikuasai oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, yang pemikirannya dikendalikan oleh hal-hal itu, akan menghancurkan kehidupan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perilaku seksual yang salah dan pembicaraan yang salah; dia juga akan mendorong orang lain untuk melakukan demikian pula. Apakah hal itu akan menyebabkan kerugian dan penderitaan untuk masa yang lama ?”

“Ya, Tuan.”

“ Bagaimana pendapatmu, suku Kalama ? Apakah hal-hal itu bermanfaat atau tidak bermanfaat?”

“Tidak bermanfaat, Tuan”.

“ Tercela atau tidak tercela?”

“Tercela, Tuan.”

“Dikecam atau dipuji oleh para bijaksana?”

“Dikecam,Tuan”.

“Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, apakah hal-hal ini akan menyebabkan kerugian dan penderitaan atau tidak, atau bagaimana?”

“Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, hal-hal ini akan menyebabkan kerugian dan penderitaan. Demikian tampaknya hal ini bagi kami.”

“ Untuk alasan inilah, suku Kalama, maka kami mengatakan : Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan...”

“Wahai suku Kalama,
Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan,
ajaran turun-temurun,
kata orang,
koleksi kitab suci,
penalaran logis,
penalaran lewat kesimpulan,
perenungan tentang alasan,
penerimaan pandangan setelah memikirkannya,
pembicara yang kelihatannya meyakinkan,
atau karena kalian berpikir,
'Petapa itu adalah guru kami’.

Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri,
‘Hal-hal ini adalah bermanfaat,
hal-hal ini tidak tercela;
hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana;
hal-hal ini jika dilaksanakan dan dipraktekkan,
akan menyebabkan kesejahteraan dan kebahagiaan', maka kalian harus menjalankannya.

"Bagaimana pendapatmu, suku Kalama? Jika tanpa-keserakahan, tanpa kebencian dan tanpa kebodohan batin muncul di dalam diri seseorang, apakah hal itu akan menyebabkan kesejahteraan atau kerugian?"

"Kesejahteraannya, Tuan."

"Suku Kalama, orang yang tanpa keserakahan, tanpa kebencian, tanpa kebodohan batin, yang tidak dikuasai oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, maka seseorang yang pemikirannya tidak dikendalikan oleh semua itu, dia tidak akan menghancurkan kehidupan, tidak akan mengambil apa yang tidak diberikan, tidak akan melakukan perilaku seksual yang salah dan pembicaraan yang salah; dia juga akan mendorong orang lain untuk melakukan demikian pula. Apakah hal itu menopang kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk masa yang lama?"

"Ya, Tuan."

"Bagaimana pendapatmu, Kalama? Apakah hal-hal itu bermanfaat atau tidak bermanfaat?"

"Bermanfaat, Tuan."

"Tercela atau tidak tercela?"

"Tidak tercela, Tuan."

"Dikecam atau dipuji oleh para bijaksana?"

"Dipuji, Tuan."

"Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, apakah hal-hal ini akan menyebabkan kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimana?"

“Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, apakah hal-hal ini akan menyebabkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikian tampaknya hal ini bagi kami."

"Untuk alasan inilah, suku Kalama, maka kami mengatakan: Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan...

"Maka, suku Kalama, siswa agung itu , yang tidak memiliki keserakahan, tidak memiliki niat jahat, tidak bingung, memahami dengan jernih, selalu waspada, berdiam dengan menyelimuti satu arah dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih, demikian pula ke arah kedua, ketiga dan keempat(4). Demikian pula ke atas, ke bawah, ke seberang dan ke manapun, dan ke segala sesuatu seperti ke dirinya sendiri, dia berdiam menyelimuti seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih, luas, tinggi, tanpa batas, tanpa rasa permusuhan dan tanpa niat jahat."

"Dia berdiam menyelimuti satu arah dengan pikiran yang dipenuhi kasih sayang... dipenuhi sukacita yang tidak mengutamakan diri sendiri... dipenuhi ketenang-seimbangan, demikian pula ke arah kedua, ketiga dan keempat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke seberang, dan ke manapun, dan ke segala sesuatu seperti ke dirinya sendiri, dia berdiam menyelimuti seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi ketenang-seimbangan, luas, tinggi, tanpa batas, tanpa rasa permusuhan dan tanpa niat jahat.

"Suku Kalama, bila siswa agung ini telah membuat pikirannya bebas dari rasa permusuhan, bebas dari niat jahat, murni dan tidak kotor, dia telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini juga.

Inilah jaminan pertama yang telah dimenangkannya: 'Seandainya ada alam lain, dan seandainya perilaku yang baik dan buruk memang memberikan buah dan menghasilkan akibat, maka ada kemungkinan ketika tubuh hancur, setelah kematian, aku akan muncul di tempat yang baik, di suatu alam surgawi.'

Inilah jaminan kedua yang telah dimenangkannya: 'Seandainya tidak ada alam lain, dan seandainya tindakan baik dan buruk memang tidak memberikan buah dan menghasilkan akibat, tetap saja di sini, di dalam kehidupan ini juga, aku hidup dengan bahagia, bebas dari rasa permusuhan dan niat jahat.'

Inilah jaminan ketiga yang telah dimenangkannya: 'Seandainya kejahatan menimpa si pelaku kejahatan, maka karena aku tidak berniat jahat kepada siapapun, bagaimana mungkin penderitaan menyerangku, orang yang tidak melakukan kejahatan?'

Inilah jaminan keempat yang telah dimenangkannya: 'Seandainya kejahatan tidak menimpa pelaku kejahatan, maka di sini juga aku melihat diriku sendiri termurnikan di dalam dua hal

"Suku Kalama, bila siswa agung ini telah membuat pikirannya bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat, murni dan tidak kotor, maka dia telah memenangkan empat jaminan ini di dalam kehidupan ini juga."

“Benar demikian, Yang terberkahi! benar demikian, Yang Agung ! Jika siswa Agung ini telah membuat pikirannya bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat, murni dan tidak kotor, maka dia telah memenangkan empat jaminan ini didalam kehidupan ini juga.”

"Luar biasa, Tuan! ... Biarlah Yang Terberkahi menerima kami sebagai pengikut awam yang telah pergi untuk berlindung sejak hari ini sampai akhir hayat."

Catatan :
(1). Menurut AA, kota ini terletak di pinggir hutan sehingga juga berfungsi sebagai tempat berhenti berbagai kelompok petapa dan pengelana. Kunjungan para pendatang menyebabkan penduduk kota itu terbuka bagi berbagai rangkaian teori filsafat. Tetapi sistem berpikir yang saling berlawanan itu menyebabkan mereka bingung dan ragu. Sutta ini sering dilukiskan sebagai “ Piagam Sang Buddha bagi penyelidikan yang bebas”. Walaupun hal itu memang mematahkan kepercayaan buta, namun kesungguhan pendapat pribadi tidak dianjurkan di dalam lingkup spiritual. Akan kita lihat bahwa satu kriteria penting untuk penilaian sehat yang diajukan oleh Sang buddha adalah pendapat para bijaksana. Melalui kriteria ini, orang disiapkan untuk mengenali orang lain yang lebih bijaksana daripada dirinya sendiri dan menerima rekomendasi mereka karena yakin bahwa mereka akan membimbingnya menuju manfaat jangka panjang.

(2). Sepuluh kriteria yang tidak memadai mengenai keterangan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori:
a. yang pertama, adalah dalil yang didasarkan pada tradisi, yang mencakup empat kriteria pertama. Dari kriteria ini, “tradisi lisan” (anussava) biasanya dianggap mengacu pada tradisi Veda, yang menurut para brahmana, berasal dari Dewa Pertama dan diturunkan ke generasi-generasi berikutnya. “Turun-temurun” (parampara) menunjukkan tradisi pada umumnya dan kesinambungan tanpa putus dari ajaran-ajaran atau guru-gurunya. “ Kata orang” (atau “laporan”; itikira) bisa berarti pendapat populer atau persetujuan umum. Dan “ Koleksi kitab Suci” (pitaka-sampada) mengacuu pada koleksi kitab-kitab agama apapun yang dianggap sebagai tidak bisa salah.

b. Rangkaian kedua, yang terdiri empat kriteria berikutnya, mengacu pada empat jenis penalaran yang dikenali oleh para pemikir di zaman Sang Buddha; perbedaan-perbedaan mereka tidak perlu menghalangi kita di sini.

c. Rangkaian ketiga, yang merupakan dua butir terakhir, terdiri dari dua jenis otoritas pribadi :- yang pertama adalah kharisma pribadi pembicara ( mungkin mencakup juga kualifikasi eksternalnya, misalnya dia memiliki pendidikan yang tinggi, memiliki banyak pengikut, dihormati raja dll);  - Yang kedua adalah otoritas yang bermula dari hubungan pembicara dengan dirinya, yaitu bahwa dia adalah guru pribadinya sendiri (kata Pali garu yang digunakan disini identik dengan kata sansekerta guru). untuk analisa yang mendetail, lihat Jayatilleke, hal 175-202, 271-75.

(3). Menurut sang Buddha, ini merupakan tiga akar tak bajik, yang mendasari semua perilaku tak bermoral dan semua keadaan pikiran yang kotor. karena tujuan Ajaran Sang Buddha adalah hancurnya keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, secara halus Sang Buddha telah membimbing suku Kalama untuk melihat kebenaran Ajaran beliau, hanya dengan cara merenungkan pengalaman mereka sendiri. Sama-sekali Sang Buddha tidak perlu memaksakan otoritas kepada mereka.

(4). Pada titik ini, Sang Buddha memperkenalkan praktek “empat tempat berdiam yang agung” (brahmavihara), pengembangan cinta kasih universal, kasih sayang, sukacita altruistik(yang tidak mementingkan diri sendiri), dan ketenang-seimbangan. Cinta kasih (Metta) secara formal didefinisikan sebagai keinginan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk; kasih sayang (karuna) sebagai rasa empati kepada mereka yang tertimpa penderitaan; sukacita altruistik (Mudita) sebagai sukacita dalam keberhasilan dan nasib baik orang lain; dan ketenang-seimbangan (Upekkha) sebgai sikap netral atau tidak pilih kasih terhadap makhluk. Untuk pembahasan terperinci tentang sifat-sifat ini, baik secara umum maupun sebagai subyek meditasi lihat Vism bab IX.

Sumber:
- Kitab Petikan Anguttara Nikaya jilid 1: “Kepada Suku Kalama”, Anguttara Nikaya III, 65)
Dipilih dan diterjemahkan dari bahasa Pali oleh : Nyanaponika dan Bhikkhu Bodhi.
Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh : Dra.Wena Cintiawati dan Dra. Lanny Anggawati.
Editor : Bhikkhu jotidhammo Thera, M.Hum. dan Rudy Ananda Limiadi, S.Si, M.M.



SIAPAKAH SANG BUDDHA ?

Pada suatu waktu seorang pertapa bernama Dona, memperhatikan tanda-tanda dari bekas jejak Sang Buddha, menghampiri Beliau dan bertanya pada Beliau :

“ Yang Mulia tentunya Deva ?“ ¹
“ Tentu saja bukan, pertapa, saya bukan Deva,” Jawab Sang Buddha.
“ Lalu Yang Mulia tentu Gandhaba ?” ²
“ Tentu saja bukan, pertapa, saya bukan Gandhabha.”
“ Lalu Yakkha ?” ³
“ Tentu saja bukan, pertapa, bukan Yakkha.”
“ Lalu Yang Mulia tentu seorang Manusia
“ Tentu saja bukan, pertapa, saya bukan seorang manusia.”
“ Lalu kepada siapa Yang Mulia berdoa ?”

Sang Buddha menjawab bahwa Beliau telah menghancurkan kekotoran-kekotoran dari kondisi kelahiran kembali seperti Deva, Gandhabha, Yakkha atau seorang manusia dan menambahkan :

“ Seperti sekuntum bunga teratai, yang cantik dan elok.
Tidak menjadi kotor karena air.
Saya tidak menjadi kotor karena air,
Oleh karena itu, pertapa, saya seorang Buddha “
( Anguttara Nikaya ii, hal 37 )

Sang Buddha tidak menyatakan sebagai Titisan (Avatara) dari dewa Hindu : Vishnu, yang sebagaimana bhagavadgita menyanyikannya dengan sangat menarik, dilahirkan berulang kali dalam masa yang berbeda untukk melindungi orang yang berbudi, menghancurkan yang jahar, dan menetapkan Dhamma (Kebenaran).

Menurut Sang Buddha tidak terhitung banyaknya para Dewa dan kelompok makhluk yang tunduk pada kelahiran dan kematian; tetapi tidak ada satupun Dewa tertinggipun yang mengatur nasib-nasib manusia dan mempunyai kekuatan hebat untuk muncul di dunia pada jarak waktu yang berbeda, menggunakan bentuk manusia sebagai suatu sarana.

Foot note : 
1. Deva : Suatu makhluk dewa yang bertempat tinggal di tempat yang amat menyenangkan.
2. Gandhabha : Pemusik Surgawi.
3. Yakkha : Seorang Setan.
4. Walaupun guru-guru Hindu, dengan tujuan menarik kedalam agama Hindu untuk memperbanyak pengikut-pengikut Agama buddha, telah dengan tidak adil menyebut Sang Buddha sebagai Titisan Dewa ( Avatara ), suatu gagasan yang Beliau tidak akui pada masanya.