Kamis, November 29, 2012

'Aku' Hanyalah Sebuah Fenomena


‘AKU’ HANYALAH SEBUAH FENOMENA
Oleh : Tanhadi

‘Aku” terbentuk dari perpaduan unsur-unsur materi,
yang terlahir dari perbuatanku sendiri.

Tiada satu pun diantara diri ini yang dapat kukatakan sebagai
“ini adalah diriku, Ini adalah milikku”

Oleh karena diri ini senantiasa mengalami perubahan
dan tidak kekal adanya,
maka sesungguhnya diri ini hanyalah sebuah ilusi,
“Aku” Hanyalah Sebuah Fenomena”

-oOo-




Selasa, November 27, 2012

Pokok-Pokok Dasar Pemersatu Theravada dan Mahayana

POKOK-POKOK DASAR PEMERSATU
THERAVADA DAN MAHAYANA


Pendahuluan

Dalam suatu faham, kepercayaan ataupun agama tentunya memiliki ciri khas dalam ide, konsep ataupun ajarannya yang membedakannya satu dengan yang lain. Meskipun dalam suatu faham, kepercayaan ataupun agama tersebut memiliki aliran atau mazab atau tradisi yang beraneka ragam, namun pastilah memiliki ciri khas, kesamaan beberapa konsep ajaran yang mendasar yang menghubungan satu dengan yang lain sehingga aliran-aliran tersebut masih dapat digolongkan dalam faham, kepercayaan ataupun agama induknya.

Buddhisme merupakan agama yang juga tidak lepas dari keberagaman aliran ataupun tradisi. Mayoritas, terdapat dua aliran atau tradisi dalam Buddhisme, yaitu Theravada dan Mahayana (dengan mempertimbangkan Vajrayana merupakan bagian dari Mahayana). Digolongkannya aliran Theravada maupun Mahayana sebagai bagian dari Buddhisme tidak lepas dari adanya kesamaan yang mendasar dalam beberapa konsep ajaran yang merupakan inti sari dari Buddha Dhamma.

Dalam tulisan kali ini, kita disuguhkan persamaan pokok-pokok dasar yang terdapat dua aliran besar dalam Buddhisme yang menjadi pemersatu keduanya. Pokok-pokok dasar pemersatu ini terdapat dalam rumusan-rumusan yang sebelumnya telah dipelajari, disusun, dan diterima oleh para rohaniawan khususnya yang tergabung dalam Dewan Sangha Buddhis Sedunia.

Rumusan Oleh Dewan Sangha Buddhis Sedunia

 Pada tahun 1966, Dewan Sangha Buddhis Sedunia atau World Buddhist Sangha Council (WBSC) terbentuk di Colombo, Sri Lanka pada bulan Mei. WBSC merupakan organisasi internasional non-pemerintah yang keanggotaannya terdiri dari sangha-sangha dari seluruh dunia.  

WBSC memiliki perwakilan dari tradisi Theravada, Mahayana, dan Vajrayana, yang berasal dari berbagai negara yaitu: Australia, Bangladesh, Kanada, Denmark, Perancis, Jerman, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Korea, Macao, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Nepal, New Zealand, Philipina, Singapura, Sri Lanka, Sweden, Taiwan, Thailand, Inggris dan Amerika Serikat.

Pada Kongres WBSC Pertama, salah satu pendirinya, Sekretaris-jendral, almarhum Y.M. Pandita Pimbure Sorata Thera meminta Y.M. Walpola Rahula untuk memberikan rumusan ringkas untuk mempersatukan tradisi-tradisi yang berbeda, yang kemudian secara bulat disetujui oleh Dewan.

Inilah sembilan “Pokok-Pokok Dasar Pemersatu Theravada dan Mahayana”:

1.    Sang Buddha hanyalah satu-satunya Guru dan Penunjuk Jalan.

2.    Kami berlindung dalam Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha).1

3.    Kami tidak mempercayai dunia ini diciptakan dan diatur oleh tuhan.2

4.    Kami mengingat bahwa tujuan hidup adalah mengembangkan belas kasih untuk semua makhluk tanpa diskriminasi dan berusaha untuk kebaikan, kebahagiaan, dan kedamaian mereka; dan untuk mengembangkan kebijaksanaan yang mengarah pada perealisasian Kebenaran Tertinggi.Kami menerima Empat Kebenaran Arya, yaitu dukkha, penyebab timbulnya dukkha, padamnya dukkha, dan jalan menuju pada padamnya dukkha; dan menerima hukum sebab dan akibat (Paticcasamuppada/ Pratityasamutpada).

5.    Segala sesuatu yang berkondisi (sankhara / samskara) adalah tidak kekal (anicca / anitya) dan dukkha, dan segala sesuatu yang berkondisi dan yang tidak berkondisi (dhamma) adalah tanpa inti, bukan diri sejati (anatta / anatma).

6.    Kami menerima Tigapuluh Tujuh (37) kualitas yang membantu menuju Pencerahan (Bodhipakkhika Dhamma / Bodhipaksa Dharma) sebagai segi-segi yang berbeda dari Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha yang mengarah pada Pencerahan.

7.    Ada tiga jalan mencapai bodhi atau Pencerahan: yaitu sebagai Savakabuddha / Sravakabuddha, sebagai Paccekabuddha / Pratyekabuddha, dan sebagai Samyaksambuddha / Sammasambuddha. Kami menerimanya sebagai yang tertinggi, termulia dan terheroik untuk mengikuti karir Bodhisattva dan untuk menjadi seorang Sammasambuddha dalam rangka menyelamatkan makhluk lain.3

8.    Kami mengakui bahwa di negara yang berbeda terdapat perbedaan pandangan kepercayaan-kepercayaan dan praktik Buddhis. Bentuk dan ekspresi luar ini seharusnya tidak boleh dicampuradukkan/dikelirukan (perlu dipisahkan) dengan esensi/inti ajaran-ajaran Sang Buddha.

Perluasan Rumusan

Pada tahun 1981 Y.M. Walpola Sri Rahula mengajukan alternatif rumusan yang mengacu pada 9 dasar dalam rumusan terdahulu. Rumusan tersebut berisi:

1.    Apapun aliran, kelompok atau sistem kami, sebagai Buddhis kami semua menerima Sang Buddha sebagai Guru kami yang memberikan kami ajaranNya.

2.    Kami semua berlindung pada Tiga Permata (Tiratana): Sang Buddha, Guru kami; Dhamma, ajaranNya; dan Sangha, Komunitas para Arya (suciwan). Dengan kata lain, kami berlindung pada Pengajar, Pengajaran, dan Hasil Pengajaran.

3.    Baik Theravada ataupun Mahayana, kami tidak mempercayai bahwa dunia ini diciptakan dan diatur oleh tuhan atas kehendaknya.

4.    Mengikuti keteladanan Sang Buddha, Guru kami yang merupakan perwujudan dari Belas kasih Agung (Maha Karuna) dan Kebijaksanaan Agung (Maha Prajna), kami menyadari bahwa tujuan dari hidup adalah untuk mengembangkan belas kasih bagi semua makhluk hidup tanpa diskriminasi dan untuk bekerja untuk kebaikan, kebahagiaan, dan kedamaian mereka; dan untuk mengembangkan kebijaksanaan yang mengarah pada realisasi Kebenaran Tertinggi.

5.    Kami menerima Empat Kebenaran Mulia yang diajarkan oleh Sang Buddha, yaitu, Dukkha, kebenaran bahwa keberadaan kita di dunia ini berada dalam kesukaran, tidak kekal, tidak sempurna, tidak memuaskan, penuh dengan konflik; Samudaya, kebenaran bahwa kondisi-kondisi ini merupakan hasil dari sifat egois kita yang mementingkan diri sendiri berdasarkan pada ide yang salah mengenai diri; Niroda, kebenaran bahwa adanya kepastian akan kemungkinan pelepasan, pembebasan, kemerdekaan dari kesukaran ini dengan pemberantasan secara total sifat egois yang mementingkan diri sendiri; dan Magga, kebenaran bahwa pembebasan ini dapat dicapai melalui Jalan Tengah yang terdiri dari delapan faktor, yang mendorong ke arah kesempurnaan akan kemoralan (sila), disiplin mental (samadhi), dan kebijaksanaan (panna).

6.    Kami menerima hukum semesta sebab akibat yang terdapat dalam Paticcasamuppada (Skt. Pratityasamutpada, Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan), dan oleh karena itu kami menerima bahwa segala sesuatu bersifat relatif, saling berhubungan, saling berkaitan dan tidak ada yang mutlak, tetap, dan kekal di alam semesta ini.

7.    Kami memahami, berdasarkan pada ajaran Sang Buddha, bahwa segala sesuatu yang berkondisi (sankhara) adalah tidak kekal (anicca), tidak sempurna dan tidak memuaskan (dukkha), dan segala sesuatu yang berkondisi dan tidak berkondisi (dhamma) adalah bukan diri/ tanpa inti (anatta).

8.    Kami menerima Tigapuluh Tujuh kualitas yang berguna bagi pencapaian Pencerahan (Bodhipakkhiya Dhamma) sebagai beragam aspek yang berbeda dari Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha yang mendorong ke arah Pencerahan, yaitu:

a)    Empat Bentuk Landasan Perhatian Benar (Pali: satipatthana; Skt. smrtyupasthana);

b)    Empat Daya Upaya Benar (Pali. sammappadhana; Skt. samyakpradhana);

c)    Empat Dasar Kekuatan Batin (Pali. iddhipada; Skt. rddhipada);

d)    Lima Macam Kemampuan (indriya: Pali. saddha, viriya, sati, samadhi, panna; Skt. sraddha, virya, smrti, samadhi, prajna);

e)    Lima Macam Kekuatan (bala: saddha, viriya, sati, samadhi, panna; Skt. sraddha, virya, smrti, samadhi, prajna);

f)     Tujuh Faktor Pencerahan Agung (Pali. bojjhanga; Skt. bodhianga);

g)    Delapan Ruas pada Jalan Mulia (Pali. ariyamagga; Skt. aryamarga).

h)    Ada tiga jalan untuk mencapai Bodhi atau Pencerahan Agung berdasarkan pada kemampuan/kecakapan dan kapasitas dari masing-masing individu, yaitu: sebagai seorang Sravaka (Yang melaksanakan ajaran Sammasambuddha ), sebagai seorang Pratyekabuddha (Buddha Yang tidak memberikan pengajaran) dan sebagai seorang Samyaksambuddha (Buddha Yang Sempurna). Kami menerima jika mengikuti karir seorang Boddhisattva adalah untuk menjadi seorang Samyaksambuddha dalam rangka menyelamatkan yang lain, merupakan sesuatu yang tertinggi, mulia dan paling heroik. Tetapi ketiga kondisi ini berada dalam Jalan yang sama, tidak berada dalam jalan yang berbeda. Sesungguhnya, Sandhinirmocana Sutra, salah satu sutra Mahayana yang penting, secara jelas dan tegas mengatakan bahwa mereka yang mengikuti garis Sravaka-yana (Wahana Sravaka) atau garis Pratyekabuddha-yana (Wahana Pratyekabuddha) atau garis Para Tathagata (Mahayana) mencapai Nibbana tertinggi dengan Jalan yang sama, dan oleh karena itu bagi mereka semua hanya ada satu Jalan Pemurnian (visuddhi-marga) dan hanya satu Pemurnian (visuddhi) dan tidak ada yang lain, dan oleh karena itu mereka bukanlah jalan yang berbeda dan pemurnian yang berbeda, dan oleh karena itu Sravakayana dan  Mahayana merupakan Satu Wahana, Satu Yana (eka-yana) dan bukanlah wahana atau yana yang berbeda.

i)      Kami mengakui bahwa dalam negara-negara yang berbeda ada perbedaan mengenai tata cara hidup dari para biarawan Buddhis, kepercayaan dan praktik, upacara dan ritual-ritual, seremonial, adat istiadat dan kebiasaan umat Buddha yang bersifat umum. Bentuk eksternal (luar) dan ekspresi ini semestinya tidak boleh dicampuradukkan/dikelirukan (perlu dipisahkan) dengan esensi/inti ajaran-ajaran Sang Buddha.

Rumusan Lain

Ada beberapa tokoh ataupun sarjana Buddhis yang juga merumuskan persamaan ajaran antara Theravada dan Mahayana yang isinya sebagian besar sama dengan rumusan WBSC.

Y.M. K. Sri Dhammananda memberikan rumusan seperti berikut:

1.    Kedua aliran menerima Buddha Sakyamuni sebagai Guru.

2.    Empat Kebenaran Arya adalah sama persis dikedua aliran.

3.    Jalan Utama Berunsur Delapan adalah sama persis dikedua aliran.

4.    Paticcasamuppada atau ajaran akan Sebab-Musabab Yang Bergantungan adalah sama persis dikedua aliran.

5.    Kedua aliran menolak ide akan “makhluk tertinggi” yang menciptakan dan mengatur dunia ini.

6.    Kedua aliran menerima Anicca, Dukkha, Anatta dan Sila, Samadhi, Panna tanpa adanya perbedaan.

Rumusan dari Oo Maung:

1.    Kesamaan dalam menerima Empat Kebenaran Arya.

2.    Kesamaan dalam menerima Jalan Utama Berunsur Delapan.

3.    Kesamaan dalam menerima Paticcasamuppada atau Sebab-Musabab Yang Bergantungan.

4.    Kesamaan dalam menerima Anicca, Dukkha, Anatta.

5.    Kesamaan dalam menerima Sila, Samadhi, Panna.

6.    Kesamaan dalam menolak konsep tuhan tertinggi.

Rumusan dari Tan Swee Eng:

1.    Buddha Sakyamuni merupakan pendiri Buddhisme yang asli dan berdasarkan sejarah.

2.    Tiga Corak Universal (Dukkha, Anica, dan Anatta), Empat Kebenaran Arya, Jalan Utama Berunsur Delapan, dan 12 rantai Sebab-Musabab Yang Bergantungan, merupakan fondasi dasar bagi seluruh aliran Buddhisme termasuk aliran Tibet dari Vajrayana.

3.    Tiga unsur latihan yaitu Kemoralan (sila), Meditasi (samadhi) dan Kebijaksanaan (prajna) adalah hal yang universal bagi semua aliran.

4.    Pengorganisasian Ajaran Buddha / Dharma terbagi menjadi tiga klasifikasi (Sutra/Sutta, Vinaya, dan sastra) terdapat pada kanon Buddhis di berbagai negara.

5.    Konsep pikiran melampaui materi. Pikiran sebagai hal yang mendasar dari penjinakan dan kontrol adalah hal yang fundamental bagi semua aliran.

Penutup

Dengan rumusan pokok-pokok dasar pemersatu ini, diharapkan kita dapat memahami ciri khas ajaran yang ada dalam Buddhisme yang membedakan agama besar ini dengan agama atau kepercayaan lainnya yang ada di dunia. Kita dapat memahami bahwa meskipun terdapat perbedaan antar aliran, namun memiliki ajaran pokok yang sama yang apabila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dapat mengarahkan kita pada akhir penderitaan, Nibbana / Nirvana.

-oOo-

Catatan:

1 Berlindung dalam Ti Ratana bukan berarti berserah diri. Buddha dalam pengertian Guru pembimbing, dimana Sakyamuni Buddha adalah Buddha Sejarah. Dan Buddha dalam pengertian Kesadaran. Dhamma dalam pengertian Kebenaran ataupun Ajaran Buddha. Sangha dalam pengertian persaudaraan / perkumpulan para Bhikkhu Arya.

2 Tuhan yang dimaksud adalah yang memiliki definisi: berpersonal, pencipta semesta, prima causa, ayah/ibu dari semua makhluk, paramatman, yang maha segalanya. 

3 Savakabuddha: pencapaian Pencerahan melalui mendengar ajaran dari Sammasambuddha.  Paccekabuddha: pencapaian Pencerahan dengan usaha sendiri tanpa mengajar. Sammasambuddha: pencapaian pencerahan dengan usaha sendiri dan mengajar.

Literatur:

-        The Heritage of the Bhikkhu; Walpola Rahula; New York, Grove Press, 1974; hal. 100, 137-138.
-        Two Main Schools of Buddhism; K. Sri Dhammananda; Brickfields, Kuala Lumpur.
-        Common Ground Between Theravada and Mahayana Buddhism; Tan Swee Eng; www.buddhanet.net
-        Theravada Versus Mahayana; Oo Maung, 2006

Disusun oleh: Bhagavant.com

Catatan :
Berdasarkan rumusan “Pokok-Pokok Dasar Pemersatu Theravada dan Mahayana” yang telah disepakati oleh WBSC tersebut diatas, maka kita dapat dengan mudah mengetahui bahwa apapun aliran/sekte yang mengaku sebagai kelompok Buddhisme tapi didalam pengajarannya “Keluar” dari jalur rumusan tersebut diatas, dapatlah di pastikan bahwa aliran/sekte tersebut bukan merupakan kelompok Buddhisme. (Aliran sesat).




  

Dialog Sang Buddha dengan Muridnya Tentang Mencapai Pencerahan


DIALOG SANG BUDDHA DENGAN MURIDNYA
TENTANG MENCAPAI PENCERAHAN


Alkisah, salah seorang murid Sang Buddha pada suatu malam memberanikan diri untuk bertanya pada gurunya.

“Wahai Guru...” Sang murid memulai “Telah bertahun-tahun saya menuntut ilmu pada Anda, Saya sudah mempelajari jalan menuju pencerahan, tetapi saya mendapati bahwa hudup saya belum berubah sedikit pun.”

“Terus...” tanya sang Buddha, “Apa pertanyaanmu ?”

“Selama bertahun-tahun,” kata murid itu “Sudah banyak orang yang berguru pada Anda, diantara mereka ada biarawan, biarawati, orang kaya, orang miskin, laki-laki, wanita, tua dan muda. Ada yang bertahan, ada yang tidak kembali. Ada beberapa diantara mereka yang nampaknya berhasil meraih cita-cita mereka. Mereka menunjukkan tanda-tanda kedamaian batin, mereka mengasihi sesama, mereka hidup dalam keceriaan dan kebahagiaan. Akan tetapi, tidak setiap orang mengalami hal yang sama, atau mungkin bahkan sebagian besar dari mereka tidak banyak menunjukkan perubahan dibandingkan dengan ketika mereka pertama kali datang ke sini untuk mendengarkan petuah Anda. Bagi sebagian orang, kehidupan mereka tampak kacau. Anda tidak diragukan lagi adalah guru yang hebat. Anda mengasihi dan penuh perhatian kepada orang-orang yang anda jumpai. Mengapa Anda tidak menggunakan kekuatan Anda untuk membantu mereka ? Mengapa Anda tidak membimbing mereka agar bisa menggapai cita-cita tertinggi mereka ?”

Ekpresi Sang Buddha terlihat begitu welas asih, tetapi jawaban yang diberikan sepertinya tidak berhubungan. Murid tersebut mengira Sang Buddha tidak paham pada pertanyaan yang tadi dia ajukan.

“Di mana rumah mu ?” tanya Sang Buddha.

Murid tersebut menyebutkan nama kota kelahiran dan dari negara mana dia berasal. Dia menceritakan tempat dia lahir dan dibesarkan.  

“Apakah kamu masih sering pulang ke rumah mu ?” tanya Sang Buddha.

“Ya, sesering mungkin,” kata murid itu “ Ayah saya masih hidup di sana. Taman-teman sepermainan saya juga ada di sana. Saya bahkan punya kekasih dan suatu hari nanti kami berencana melangsungkan pernikahan di sana.”

“Nah,” kata Sang Buddha “ Jika kamu begitu sering pulang. Kamu pasti kenal betul dengan jalan yang selalu kamu lewati ?”

“Saya hapal di luar kepala,” jawab murid itu “Begitu hapalnya, sampai saya merasa bisa melewatinya dengan mata tertutup.” Begitu katanya dengan yakin.

“Jika kamu kenal betul dengan jalan menuju kampung halamanmu, bisakah kamu menggambaran kepada orang yang ingin menempuh jalan yang sama ? Apakah penjelasanmu dapat dipercaya dan mudah dipahami ?”

“Tentu saja. Saya sering menjelaskan kepada orang-orang yang bertanya kepada saya dan saya berusaha untuk menjelaskan segamblang mungkin. Tak ada gunanya memberikan petunjuk jalan jika itu hanya akan menyesatkan mereka.”

 “Dari mereka yang pernah bertanya padamu,“ tanya Sang Buddha “Apakah semua orang menindaklanjuti dengan menempuh perjalanan ke kampung halamanmu ?”

“Tidak.” Jawab murid itu. “Banyak yang bertanya, tetapi tidak semuanya mencoba menempuh perjalanan. Ada sebagian yang tidak bisa menemukan waktu dan alasan yang tepat untuk melakukan perjalanan. Sebagian nampaknya berhasrat untuk menempuh perjalanan, tetapi entah mengapa tidak melakukannya.”

Sang Buddha bertanya lebih lanjut, “Dari mereka yang bertanya dan akhirnya menempuh perjalanan menuju kampung halamanmu, ada berapa orang yang berhasil ke tujuan akhir ?”

“Begini.” Kata murid itu “Biasanya hanya mereka yang benar-benar menjadikan kampung halaman saya sebagai tempat tujuan mereka yang sampai di sana. Jalan yang harus dilewati memang tidak mudah dan sebagian dari mereka menyerah di tengah jalan. Ada yang memilih untuk mencari jalan lain dan tidak menjadikan perjalanan tersebut sebagai tujuan utama mereka.”

“Jika begitu” kata Sang Buddha “ Kita memiliki pengalaman yang sangat mirip. Orang-orang yang datang padaku, melihatku sebagai seorang yang telah melakukan perjalanan tertentu dan tahu jalan-jalan yang telah aku lalui dengan sangat baik. Mereka meminta aku untuk menjelaskan kepada mereka. Mungkin mereka menikmati penjelasanku, tetapi tidak semua orang berani melangkahkan kakinya. Sementara mereka yang berani melangkah, tidak semua orang memilih untuk berjalan sampai akhir dan oleh karenanya tidak semua orang berhasil menggapai cita-cita tertinggi mereka.  

Suasana hening sejenak

“Seperti juga dirimu” lanjut Sang Buddha “Aku sudah berusaha menjelaskan jalan yang harus kau tempuh sejelas dan sejujur mungkin, tetapi aku tidak bisa mendorong, menarik, atau menggendong mu dalam perjalanan yang kau ingin tempuh. Yang bisa aku katakan hanyalah : Aku sudah melewati jalan tersebut. Ada hikmah yang aku dapatkan dari perjalanan itu. Ini adalah pengalaman yang aku dapat dari perjalanan yang aku lakukan. Aku dengan senang hati berbagi pengalaman dengan mu. Cuma itu yang bisa kulakukan. Jika kamu ingin menuju pencerahan yang aku dapat, kamu harus menempuh sendiri jalan yang sudah kuterangkan itu”  

____________
Pesan moral :
Melihat orang lain makan, tidak akan menghilangkan laparmu... .
Melihat orang lain minum tidak akan menghapus dahagamu...
Pengalaman spiritual orang lain tidak bisa membuatmu mencapai pencerahan sejati .
Hanya dengan mengalami sendirilah tujuan kita itu dapat dicapai.

-oOo-




Senin, November 26, 2012

Tidak Menerima Undangan


TIDAK MENERIMA UNDANGAN


Dalam memenuhi suatu undangan untuk menerima dana dari seorang Brahmin, Sang Buddha mendapatkan cacian ‘babi’, ‘orang biadab’, ‘kerbau’ dan kata-kata kotor lainnya. Tetapi Beliau sama sekali tidak terganggu. Beliau tidak membalas, malah justru dengan sopan, Sang Buddha bertanya kepada tuan rumah;

“Apakah para tamu berkunjung ke rumahmu brahmin yang baik?”

“Ya”, jawabnya.

“Apa yang kamu lakukan ketika mereka datang?”

“Oh, kami menyiapkan jamuan yang mewah.”

“Bagaimana seandainya mereka lupa datang, sehingga apa yang akan engkau lakukan dengan jamuan yang telah dipersiapkan tersebut?”

“Mengapa, dengan senang hati kami sendiri akan memakannya.”

“Baik, brahmin yang baik, kamu telah mengundangku untuk menerima dan dan menjamuku dengan caci-maki. Aku tidak menerima apapun. Silahkan mengambilnya kembali.”

Celaan tampaknya merupakan suatu warisan budaya manusia yang selalu langgeng dari waktu ke waktu. Bagaimana dapat bersikap dengan tenang dan bijaksana dalam berbagai situasi dicela dan dimaki akan mampu melatih diri kita dalam Keseimbangan. Ingatlah selalu pepatah yang mengatakan bahwa, “Biarlah anjing menggonggong, tetapi kafilah tetap berlalu”, atau “Tong kosong nyaring bunyinya”. Sang Buddha bersabda :

Pelajarilah hal ini dari air;
di lembah-lembah dan jurang-jurang,
mengalir dengan gemuruh anak sungai,
tetapi sungai besar mengalir dengan tenang.
Tong kosong nyaring bunyinya,
yang penuh selalu tenang.
Orang bodoh adalah seperti tong yang setengah terisi,
orang bijaksana adalah seperti kolam dalam yang tenang.
(Sutta Nipata, 720-721)

-oOo-




Sang Buddha Menyadarkan Nelayan


SANG BUDDHA MENYADARKAN NELAYAN

Suatu ketika, ada seorang nelayan yang tinggal di dekat gerbang utara kota Savatthi. Suatu hari, melalui kemampuan batin luar biasa, Sang Buddha melihat bahwa telah tiba saatnya bagi nelayan itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Maka dalam perjalanan pulang dari berpindapatta, Sang Buddha bersama dengan para bhikkhu, berhenti di dekat tempat dimana Ariya sedang menangkap ikan. Ketika nelayan itu melihat Sang Buddha, dia melemparkan alat penangkap ikannya kemudian datang dan berdiri di dekat Sang Buddha. Sang Buddha mulai menanyakan nama-nama para bhikkhu di hadapan si nelayan, dan akhirnya, Beliau menanyakan nama nelayan itu.

Ketika si nelayan menjawab bahwa namanya adalah Ariya, Sang Buddha berkata bahwa para orang mulia (Ariya) tidak melukai makhluk hidup apapun, tetapi karena si nelayan membunuh ikan-ikan maka dia tidak layak menyandang nama Ariya.  

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut

“Seseorang tidak dapat disebut Ariya (orang mulia)
apabila masih menyiksa makhluk hidup.
Dia yang tidak lagi menyiksa makhluk-makhluk hiduplah
yang dapat dikatakan mulia”.
Dhammapada. 270

Nelayan Ariya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khobah Dharma Sang Buddha berakhir.

-oOo-




Brahma yang Tidak Tahu


BRAHMA YANG TIDAK TAHU


Pada jaman Buddha, ada seorang bhikkhu yang begitu pandai sehingga ia bisa mencapai alam para dewa.

Demikianlah ia bermeditasi memasuki alam dewa dan bertanya : "Bilakah keempat unsur utama lenyap tanpa sisa?"

Para dewa tidak mampu menjawab. Mereka menyarankan agar bhikkhu itu bertanya kepada Empat Raja Besar (Cattu Maharajika). Tetapi ternyata keempat Raja Besar itu pun tak tahu jawabnya.

Maka keempat Raja Besar itu menyarankan kepada bhikkhu supaya bertanya kepada 32 dewa di surga yang lebih tinggi.

Bhikkhu itu kembali berlatih meditasi sampai akhirnya ia mencapai alam 32 dewa luhur.

Ia pun bertanya : "Bilakah keempat unsur utama lenyap tanpa sisa?"

Lagi-lagi para dewa yang luhur itu tidak mampu menjawab, dan menyarankan agar ia bertanya pada Sakka, raja para dewa.

Sakka tidak bisa menjawab. Ia menyarankan agar bhikkhu itu bertemu dengan Yama yang lebih tinggi.

Maka bhikkhu itu pun berlatih meditasi lagi dengan lebih tekun, supaya bisa mencapai alam para Yama.

Ia bertanya : "Bilakah keempat unsur utama lenyap tanpa sisa?"

Para Yama pun ternyata tidak dapat menjawab.

Demikianlah terus berlangsung sehingga akhirnya bhikkhu itu harus bertanya kepada para Brahma. Ternyata para Brahma tetap tidak mampu menjawab.

Akhirnya bhikkhu itu menghadap Maha Brahma, raja para Brahma, dan bertanya : "Bilakah keempat unsur utama lenyap tanpa sisa?"

Maha Brahma tidak menjawab, malah berkata : "Akulah Maha Brahma, Yang Terbesar, Yang Utama, Yang Mengetahui Segalanya, ... dstnya, dstnya."

Bhikkhu itu dengan hormat mengulangi pertanyaannya : "Bilakah keempat unsur utama lenyap tanpa sisa?"

Sekali lagi Maha Brahma tidak menjawab, malah berkata : "Akulah Maha Brahma, Yang Terbesar, Yang Utama, Yang Mengetahui Segalanya, ... dstnya, dstnya."

Hampir habis sabar bhikkhu itu berkata : "Ya, Yang Maha Mulia, aku pun tahu bahwa engkau adalah Maha Brahma, Yang Terbesar, Yang Utama, Yang Mengetahui Segalanya, ... dstnya, dstnya. Tetapi aku bertanya, bilakah keempat unsur utama lenyap tanpa sisa?"

Sekali ini Maha Brahma tidak menjawab apa pun. Secepat kilat ia menangkap bhikkhu itu dengan tangannya yang perkasa, dan membawanya pergi ke ujung terpencil, jauh dari segala kehidupan. Penuh wibawa, Maha Brahma bersabda : "Bhikkhu, kamu bertanya tentang itu. Lihatlah semua para dewa dan Brahma, selama ini mereka menyangka aku mengetahui segalanya. Mengapa kamu bertanya hal itu di depan mereka semua? Apakah engkau bermaksud melecehkan diriku di depan para dewa dan Brahma?"

Bhikkhu itu heran : "Lho, kamu kan Maha Brahma? Kalau kamu tidak tahu, siapa yang tahu dong?"

Maha Brahma menjawab setengah membentak setengah berteriak : "Kamu bodoh! Di dunia kan ada Buddha. Mengapa kamu tidak bertanya pada Buddha? Berhentilah mengganggu aku!"

Bhikkhu itu pun kembali ke dunia dan bertanya pada Buddha.

Buddha tertawa dan bercerita : "Duhai bhikkhu, pada jaman dahulu, para pelaut melepas burung untuk mengetahui apakah daratann sudah dekat. Kalau burung itu kembali ke perahu, artinya daratan masih jauh dan belum kelihatan, sehingga burungnya terpaksa kembali ke perahu. Engkau seperti burung itu. Pergi meninggalkan perahu, akhirnya tidak menemukan daratan, dan terpaksa kembali bertanya padaku."

Bhikkhu itu sadar dan turut tertawa.

Barulah Buddha menjawab :

"Saat keempat unsur utama itu lenyap tanpa sisa adalah Nibbana”

-oOo-