Minggu, Januari 24, 2010

TENTANG NIBBANA

 (1) Ada kelompok Buddhis yang menyatakan bahwa Nibbana adalah pemusnahan diri, namun mereka juga menolak bahwa Sang Buddha mengajarkan " Kemusnahan diri ". Mereka mencoba menjelaskan kontradiksi ini dengan berkata : " Pemusnahan Diri hanya mungkin terjadi, bila ada pribadi yang akan dimusnahkan. Namun pada kebenaran akhir, tidak ada suatu yang disebut "Pribadi". Lalu, bagaimana mungkin Nibbana adalah " Pemusnahan Diri ", bila tidak ada pribadi yang akan musnah ?"

Dibalik permainan kata diatas, mereka juga tetap mengatakan Nibbana adalah kekosongan, dimana pribadi tidak ada lagi dalam bentuk apapun.

Banyak kesempatan bagi Sang buddha untuk dapat menyatakan bahwa mereka yang mencapai Nibbana telah hilang keberadaannya, tapi Beliau tidak pernah mengatakan demikian.

Sekali waktu, Upasiva bertanya kepada Sang Buddha :

Mereka yang telah pergi (ke Nibbana),
Apakah mereka musnah keberadaannya,
Atau mereka tetap tak lekang selamanya ?
Jelaskan pada saya, O, Guru bijaksana
Sebab Kaulah yang mengetahui sejelasnya.

Lalu, Sang Buddha menjawab :

Tak dapat dinilai mereka yang telah pergi.
Yang oleh seseorang mungkin dikatakan sebagai
Tidak ada lagi.
Ketika semua fenomena telah tiada,
Semua cara untuk menggambarkannya juga tiada.

(Sutta Nipata : 1075-1076)

 (2) Sekali waktu, seorang pengembara bernama Vacchagota bertanya pada Sang Buddha, tentang keberadaan mereka yang telah mencapai Nibbana, mereka timbul ( dengan kata lain, tetap keberadaannya) atau tidak timbul        ( dengan kata lain, hilang keberadaannya).

Sang Buddha menolak untuk memberi jawaban, dan menerangkan pada kita bahwa Beliau menolak, karena Nibbana adalah keadaan yang tak dapat diterangkan dengan kata-kata.

" Tapi, Gotama yang bijaksana, dimana timbulnya para siswa yang batinnya telah terbebaskan itu ?"

"Istilah 'Timbul' tidak dapat terpakai."

" Bila demikian, bagaimana kalau dikatakan "Tidak timbul".

" 'Tidak timbul', juga tidak terpakai."

" Bila demikian, apakah mereka 'Timbul dan juga tidak Timbul'?"

" 'Timbul dan juga tidak Timbul', juga tidak terpakai ".

" Bila demikian, mereka 'tidak timbul dan juga tidak tidak timbul' ?".

" 'Tidak timbul dan juga tidak 'tidak timbul', juga tidak terpakai."

" Dengan demikian, saya kehilangan jejak dalam hal ini,  Gotama yang baik, saya bingung, dan kepuasan yang saya dapati pada pembahasan kita yang lalu, sekarang telah tiada lagi...."

" Kesadaran Tathagata terbebas dari pengungkapan-pengungkapan; dia begitu dalam, tak terukur, tak diketahui dalamnya seperti lautan.
'Timbul' tak terpakai,
'tidak timbul' tak terpakai,
'timbul dan juga tidak timbul' tak terpakai,
'tidak timbul dan juga tidak tidak timbul' juga tidak terpakai."

( Majjhima Nikaya I : 140 )

(3). Yang dimaksud Sang Buddha, bahwa seorang yang telah mencapai Nibbana, keberadaannya tidak ada lagi, adalah bahwa semua ciri-ciri yang dihubungkan dengan keberadaan- lahir, mati, jasmaniah, bergerak dalam ruang dan waktu, dan berperasaan sebagai suatu pribadi sendiri - tidak lagi dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan Nibbana.

Yang dimaksud Sang Buddha, bahwa seorang yang telah mencapai Nibbana, keberadaannya tidak musnah, adalah tepat seperti itu.

Dimensi Nibbana tak dapat digambarkan secara tepat dengan bahasa duniawi, pula keberadaan Nibbana tak dapat dibayangkan oleh pikiran duniawi.

(4). Walaupun sulit digambarkan, namun Sang Buddha memberi pada kita gambaran umum tentang keberadaan Nibbana. Dengan menggambarkan batin manusia, Sang Buddha berkata ;

Batin adalah putih suci, 
namun dia ternodai oleh kekotoran batin 
yang sebelumnya tidak ada. 
Orang awam tidak menyadarinya, 
oleh karenanya mereka tidak menjaga batinnya. 
Batin adalah putih suci, 
dan dapat dimurnikan dari kekotoran batin 
yang sebelumnya memang tidak ada. 
Siswa yang agung mengerti hal itu, 
oleh karenanya mereka menjaga batin mereka. 
(Anguttara Nikaya I : 10).

(Kalau kita melihat Sabda Sang buddha yang ini, maka sebenarnya terjemahan didalam Dhammapada XIV ; 183  yaitu : “Janganlah berbuat kejahatan, Perbanyaklah perbuatan baik, Sucikan hati dan pikiran , Inilah ajaran semua Buddha”, semestinya diterjemahkan sebagai Sucikan Batin....)

Dengan kata lain, batin adalah suci pada awalnya (pabhassaram idam cittam), kemudian dinodai kotoran batin yang sebenarnya adalah sesuatu yang asing bagi batin. Bila kotoran batin dibersihkan, maka batin kembali suci lagi. Sang Buddha bersabda :

Dimana tanah, air, api dan udara tak berpijak ? Dimanakah yang panjang dan pendek , kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa, akhirnya musnah?

Jawabnya adalah : Itu adalah kesadaran dari seorang Yang Agung – tak tertandai, tak terikat, dan bercahaya. Disana tak ada tempat tanah, air, api dan udara itu berpijak. Disana yang panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa akhirnya musnah. Bila kesadaran telah musnah, maka  demikian pula semuanya itu. (Digha Nikaya I : 223)

Nibbana adalah “alam” dimana jasmaniah dan semua keberadaan berlawanan-pasang-panjang dan pendek, besar dan kecil, murni dan tidak murni- tidak ada lagi serta batin tak tertandai lagi (anidassanam), tak terikat(anatam) dan bercahaya(sabbo pabham). Bercirikan sebagai keadaan kekal (nibbanapadam accutam) dari kemurnian (suddhi), kebebasan (vimitti) dan kebahagiaan tertinggi (nibbanam paramam sukham).

(5). Sang Buddha juga memberitahu, bahwa Nibbana dicapai dalam dua tingkatan atau cara. Pertama, mereka yang mencapai Nibbana, dengan batin yang telah bebas, tapi karena jasmani-nya masih ada, maka dia masih menjadi obyek penderitaan jasmaniah. Ini disebut Nibbana dengan sisa dasar (saupadisesa nibbana). Lalu, setelah mereka mati, batin juga dibebaskan dari penderitaan jasmaniah dan seorang mencapai Nibbana sempurna. Ini disebut sebagai Nibbana tanpa sisa dasar (anupadisesa nibbana), atau sering pula disebut sebagai Nibbana Sempurna (parinibbana).

(6). Walau kita hanya dapat mengerti sepenuhnya keadaan Nibbana setelah kita mengalaminya sendiri, namun kita tetap dapat mengetahui keberadaan keadaan itu. Pertama, kita dapat menyimpulkan keberadaannya. Apabila ada dimensi disertai kelahiran, kematian, kekotoran batin dan kejadian, maka dapat disimpulkan bahwa ada dimensi tanpa itu. Naskah Buddhis kuno menyebutkan :

Dimana ada panas,
Disitu pasti pula ada dingin.
Demikian pula,
Dimana ada tiga api,
Disitu pasti pula ada Nibbana.

Dimana ada kejahatan,
Disitu pasti pula ada kebajikan.
Demikian pual,
Dimana ada kelahiran,
Keadaan”tak terlahir”, dengan demikian juga ada.
(jataka Nidanakatha 22-23)

Kedua, kita dapat mengetahui adanya keadaan seperti Nibbana, karena Sang Buddha mencapainya, dan Beliau dengan tegas menjelaskan keberadaannya. Beliau bersabda :

Ada sesuatu yang Tak Terlahirkan, 
Tak Terjadi, Tak Terbuat, Tak Tergabung. 
Bila tidak ada yang Tak Terlahirkan, 
Tak Terjadi, Tak Terbuat, Tak Tergabung, 
maka tidak akan ada jalan untuk bebas dari Terlahir, 
Terjadi, Terbuat dan Tergabung. 
Tetapi karena adanya Yang Tak Terlahir, 
Tak Terjadi, Tak Terbuat, Tak Tergabung, 
maka ada jalan untuk terbebas dari Terlahir, 
Terjadi, Terbuat, Tergabung. 
(Udana : 80).

Sekali lagi Beliau menegaskan keberadaannya, sebagai berikut :

Ada suatu keadaan, 
dimana tidak ada tanah, air, api dan udara, 
dimana tidak ada Lingkup ruang tak terbatas, 
Kesadaran Tak terbatas, Kehampaan, 
juga Lingkup bukan Kesadaran 
bukan pula Tanpa Kesadaran,
 tidak di bumi ini, 
di bumi seberang ataupun keduanya, 
tidak ada matahari, tidak ada bulan, 
dimana tidak ada yang datang untuk dilahirkan,
 tidak ada yang pergi ke kematian, 
tidak ada kurun waktu, 
tidak ada yang terjatuh dan timbul. 
Bukan sesuatu yang terpaku, 
tidak pula bergerak, 
dia berasaskan kehampaan. 
Inilah sebenarnya akhir penderitaan 
(Udana:80).

(7). Dapatkah setiap orang mencapai kebahagiaan dan kebebasan Nibbana ? Bila dapat, apakah setiap orang pada akhirnya akan mencapainya?

Jawaban untuk hal yang pertama adalah jelas, yakni bahwa setiap orang dapat mencapai Nibbana, dan justeru Sang Buddha senantiasa mendorong setiap orang untuk menjadikan Nibbana tujuan hidupnya serta agar berupaya sekuatnya untuk mencapainya. Senandung para wanita yang telah mencapai Nibbana, terdengar lantang dan jelas, dalam menjawab pertanyaan ini.

Keadaan abadi ini telah banyak yang mencapainya,
Dan tetap dapat dicapai saat inipun,
bagi siapa yang menjalankannya sendiri,
Tapi tidak bagi  yang tidak berusaha sekuatnya.
(Therigattha : 513)

Apakah setiap orang dapat mencapai Nibbana atau tidak? Jawaban dari pertanyaan ini tak dapat diramalkan, karena setiap orang mempunyai minat dan cita-cita masing-masing. Sang Buddha telah mengajarkan Dhamma dan dengan segala macam cara, menganjurkan orang untuk melaksanakannya; namun tentu saja pelaksanaannya tergantung pada orang itu sendiri-sendiri.

“ Gotama Yang Baik, setelah diajar dan diarahkan oleh-Mu, apakah semua Siswa-Mu akan mencapai cita-cita murni itu, atau sebagian tidak akan berhasil?”

“ Sebagian akan mencapainya dan sebagian tidak.”

“Apa alasannya, Gotama Yang Baik? Apa penyebabnya ?”

“ Aku akan bertanya padamu, brahmin ; jawablah bila berkenan. Bagaimana pikiranmu? Apakah engkau mengetahui jalan ke Rajagaha?”

“ Ya, Gotama yang baik, saya mengetahuinya.”

“ Baik, andaikan seorang datang padamu, dan berkata bahwa dia ingin ke Rajagaha dan bertanya arahnya. lalu, engkau berkata : ‘ Jalan ini menuju ke Rajagaha; berjalanlah terus sampai ke suatu desa, berjalanlah terus sampai engkau tiba di pasar, lalu bila engkau berjalan terus, engkau akan sampai di Rajagaha dengan kebun-kebunnya yang indah, hutan-hutan yang indah, lapangan-lapangan yang indah dan kolam-kolam yang indah.

Namun ,walau telah ditunjukkan dan diarahkan olehmu jalan itu, tapi orang tadi mengambil jalan lain yang menuju ke Barat. Dan, oleh karenanya dia tidak sampai ke Rajagaha. Lalu, andaikan seorang lagi datang padamu, dan dia juga berkeinginan ke Rajagaha, lalu karena dia mengikuti petunjukmu, maka akhirnya dia tiba dengan selamat. Jadi oleh karena ada Rajagaha, oleh karena ada jalan menuju kesana  dan juga ada engkau sebagai peunjuk jalan, mengapa orang yang pertama tidak sampai, sedangkan orang yang satunya lagi sampai ke Rajagaha?”

“ Gotama yang baik, apa yang harus saya kerjakan dalam hal ini ? Saya tiada lain hanyalah seorang penunjuk jalan.”

“ Demikian pula, Brahmin; ada Nibbana, ada jalan menuju ke Nibbana, dan ada aku sebagai penunjuk jalan ke Nibbana. Tapi hanya sebagian siswa yang diajar dan diarahkan oleh-Ku yang mencapai Nibbana, sebagian lainnya tidak. Apa yang dapat aku perbuat dalam hal ini? Sang Tathagata hanyalah penunjuk jalan.”
(Majjhima Nikaya II ;5 )

Tapi satu hal yang pasti, siapapun yang mencapai Nibbana adalah sebagai hasil menjalankan ajaran Sang Buddha.

“ Bila, dengan pengertian penuh Gotama Yang Baik telah mengajarkan Dhamma pada Siswanya untuk pemurnian makhluk hidup, untuk mengatasi penyesalan dan keputusasaan, untuk mengakhiri kesedihan dan kemurungan, untuk mencapai tatacara-Nya, untuk mencapai Nibbana; lalu apakah seluruh dunia akan mencapainya, atau seperduanya, atau sepertiganya?”

Sampai disitu, Sang Buddha berdiam diri. Lalu Ananda berpikir:” Orang ini hendaknya jangan sampai berpikir bahwa Sang Buddha tidak dapat menjawab pertanyannya yang penting ini.”

Jadi Ananda berkata :” Saya akan memberitahu suatu perumpamaan.”
Bayangkan ada suatu kota dikelilingi oleh tembok dengan dasar pondasi yang sangat kuat, bermenara dan hanya berpintu gerbang hanya satu, pintu gerbang dijaga ketat, hanya orang yang dikenal diperbolehkan melewatinya dan orang asing tak diperbolehkan melewatinya. Lalu, ketika seseorang berjaga di sekeliling tembok, dia tidak menemukan satupun lobang yang dapat dilewati walau oleh seekor kucing pun. Dengan demikian dia tahu, bahwa semua makhluk, besar ataupun kecil, hanya dapat masuk ke kota atau keluar dari kota dengan melewati gerbang tersebut. Sama halnya dengan pertanyaanmu, tidaklah penting bagi Sang Buddha. Apa yang disabdakan  Beliau adalah, bahwa : Siapapun yang telah terbebas, sedang terbebas ataupun akan terbebas dari dunia ini, dia akan terbebas dengan cara melepaskan kelima rintangan, melepaskan kesesatan batin yang melemahkan kebijaksanaan, dia akan tebebas dengan cara mengembangkan batin dalam empat dasar kesadaran, dan dengan mengembangkan tujuh unsur pencerahan.” (Anguttara Nikaya V : 194).

Setelah Sang Buddha mencapai Nibbana, Beliau “ mengajak” semua umat manusia untuk mengikuti Jalan agar umat manusia juga dapat menikmati kedamaian, kebahagiaan dan kebebasan. “Ajakan” beliau masih berlaku sampai saat ini.

Pintu-pintu ke Abadian telah terbuka,
Marilah, mereka yang dapat mendengar,
berusaha dengan keyakinan.
(Majjhima Nikaya I:169).


Demikianlah adanya dan semoga bermanfaat.

Sadhu...Sadhu...Sadhu.


Sumber bacaan : - Dasar Pandangan agama Buddha- Ven. S. Dhammika

3 komentar:

  1. salam damai...
    saya sangat tertarik dengan ajaran Budha...
    yang saya ingin tanyakan adalah.."seseorang yang telah mencapai nibana, dia akan hidup di mana? atau alam mana.... karena setahu saya banyak umat budha yang meminta berkat/perlindungan, dll.. pada budha tertentu... dan sang budha tersebut menunjukkan kuasanya...jadi budha-budha tersebut sesungguhnya berada di mana?....
    terimakasih...

    BalasHapus
  2. @ mbahbolbol,
    Terima kasih mbah telah berkunjung ke Blog ini .

    Sebelumnya terimalah Salam sejahtera dan Damai dari saya._/|\_

    Begini mbah...:)

    Dengan segala keterbatasan yang ada, baik secara bahasa maupun tingkat pencapaian spiritualitas yang dimiliki oleh kebanyakan orang pada umumnya dan dalam hal ini khususnya saya, maka sebenarnya untuk menjelaskan tentang Nibbana ini ‘rawan’ dengan timbulnya pengertian yang salah bahkan akan dapat menimbulkan Pandangan keliru tentang Nibbana.

    Hal ini dapat di analogikan dengan usaha manusia untuk menceritakan rasa durian kepada mereka yang belum pernah makan durian. Sebaik apapun seseorang menceritakan rasa durian itu, orang yang mendengarkannya tidak akan pernah bisa memahaminya dengan pasti. Orang tersebut baru akan mengerti yang dimaksudkan apabila ia sendiri telah mencicipi durian itu.

    Demikian pula dengan Nibbana, hanya bisa diketahui dengan pasti oleh mereka yang telah mengalaminya. Oleh karena itu, salah satu prinsip Dhamma adalah ehipassiko yaitu datang dan buktikan, bukan datang dan percayalah.

    Namun demikian, saya akan berusaha menjawab pertanyaan mbah sesuai dengan kapasitas pemahaman saya yang merupakan hasil daripada pembelajaran terhadap Ajaran Buddha selama ini, dan BUKAN dari pengalaman saya sendiri :)

    Hal pertama yang perlu dipahami mengenai Nibbana adalah bahwa Nibbana BUKANLAH SUATU ALAM atau TEMPAT seperti halnya keberadaan hidup kita di BUMI atau kelak setelah kematian jasmani akan masuk dan tinggal di SURGA atau NERAKA Abadi.

    Hal kedua , Nibbana adalah suatu KONDISI BATIN yang telah terbebas dari segala bentuk ‘Kekotoran Batin’ (al. Nafsu keinginan, Ketamakan, Kebencian dan Ketidaktahuan mana yang benar dan mana yang salah).

    Hal ketiga, Karena Nibbana adalah merupakan KONDISI BATIN, maka ia dapat di alami atau dicapai pada saat seseorang masih hidup didunia ini. ( jadi tidak selalu dialami setelah kematian terlebih dahulu).

    (Bersambung ke halaman berikutnya...)

    BalasHapus
  3. @ mbahbolbol,
    (...Sambungan dari jawaban yang diatas....)

    Di dalam konsep Buddhisme mengenal adanya 31 ALAM KEHIDUPAN yang dikelompokkan menjadi 6 Kelompok, yaitu : Alam Surga (kebahagiaan, Alam para dewa) , Alam Manusia, Alam Binatang, Alam Asura (Alam para Raksasa yang memiliki kesaktian) , Alam Setan (Alam para setan dan hantu) dan Alam Neraka (Alam yang sangat menyedihkan). NIBBANA TIDAK TERMASUK dalam 31 Alam Kehidupan tersebut, karena Nibbana merupakan KONDISI di luar 31 Alam Kehidupan (Lokuttara Dhamma).

    Intinya, Nibbana TIDAK TERDAPAT DI ALAM MANAPUN dan orang-orang yang mengalaminya/mencapainya ‘Setelah kematiannya’ juga TIDAK BERADA atau terlahir kembali di Alam manapun (para Arahat dan Buddha) . (hal inilah yang saya maksud sulit untuk dipahami dengan kecerdasan logika/Intelektual, sehingga bisa di salah pahami /berpandangan salah thdp.Nibbana, sehingga beranggapan bahwa agama Buddha adalah menganut paham NIHILISME/Kemusnahan setelah kematian).

    Kesulitan untuk menjelaskannya dengan kata-kata yang sangat terbatas ini dapat merujuk pada kalimat sabda Sang Buddha : “…. Ketika semua fenomena telah tiada, Semua cara untuk menggambarkannya juga tiada “.

    Seperti halnya api pada sebuah Lilin, ketika api tersebut padam dikarenakan batang lilin dan sumbunya telah habis terbakar, kemanakah api tersebut ? dengan pengertian yang sama begitulah Nibbana, bagi orang-orang yang telah mencapainya sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata, dan hanya akan diketahui jika di realisasikan/di alami sendiri.

    Namun yang pasti Nibbana adalah merupakan “Tujuan akhir yang Tertinggi” dari umat Buddha, dan merupakan “Kondisi Pencapaian Kesadaran Tertinggi ” yang bisa di capai oleh umat manusia serta merupakan “Titik Puncak Tujuan” dari keseluruhan Ajaran Sang Buddha yaitu : Berakhirnya seluruh massa Penderitaan !.

    Mengenai masih banyaknya umat Buddha yang menyembah patung-patung Buddha, Bodhisatwa, Dewa dll. serta memohon itu dan ini ; sebenarnya adalah SALAH SATU PRAKTIK KE-AGAMAAN YANG KELIRU dan JAUH dari apa yang telah di ajarkan oleh Sang Buddha sendiri ( terbelenggu oleh ‘Ketidaktahuan/kebodohan batin’ dan hanya ikut-ikutan tradisi yang turun-temurun dari keluarga dan nenek moyangnya).

    Sang Buddha tidak dapat menolong kita dari akibat semua perbuatan yang kita lakukan sendiri, hanya kitalah yang bertanggung jawab atas perbuatan kita, hanya kita sendirilah yang dapat menolong diri kita, Sang Buddha hanya Penunjuk Jalan.

    Demikian penjelasan yang dapat saya sampaikan, semoga hal ini mewakili jawaban dari pertanyaan mbah tentang Nibbana.

    Terima kasih,

    Semoga mbah sehat-sehat selalu, terbebas dari kesulitan-kesulitan yang berarti dan senantiasa mudah memperoleh kebahagiaan.

    Semoga semua makhluk berbahagia.

    (Tanhadi)

    BalasHapus