Minggu, Maret 07, 2010

PERNAHKAH UMAT BUDDHIS BERSYUKUR ?

Oleh : Tanhadi


Bila kita merenungkan pertanyaan ini :
"Pernahkah umat Buddhis bersyukur ?", 
maka selanjutnya timbul pertanyaan lain :
"Kepada siapakah umat Buddhis bersyukur ?" 
lalu : "Dengan cara apa dan bagaimana umat Buddhis bersyukur ?"


1). Pernahkah umat Buddhis bersyukur ?

Tentu saja, bahkan semua umat Buddhis diajarkan oleh Sang Buddha untuk melatih pikirannya setiap saat dengan cara "mensyukuri" apapun yang telah dimiliki saat ini, sehingga secara perlahan-lahan dapat mengikis ketamakan-ketamakan (lobha) yang timbul dari dalam diri kita sendiri.

2). Kepada Siapakah umat Buddhis bersyukur ?

Pada dasarnya kita bersyukur melalui sikap batin dan perbuatan kita sendiri. Bersyukur tidak cukup hanya melalui ucapan saja, tapi kita harus merealisasikannya dalam bentuk-bentuk perbuatan yang nyata.

Sebagai contoh :  Banyak diantara teman kita yang sebelum makan mengucapkan rasa beryukurnya dengan berdoa...,akan tetapi begitu dia memakan makanan yang telah tersedia itu, dia berkomentar...yang nggak enak-lah...yang hambar-lah...yang begini dan begitu, pokoknya nggak suka terhadap makanan itu, kemudian ia-pun tidak menghabiskan makanannya..., hal ini tampak dengan jelas sekali bahwa sesungguhnya antara sikap dan perbuatannya tidak sesuai dengan kenyataannya.

3). Dengan cara apa dan bagaimana umat Buddhis bersyukur ?

Sang Buddha telah mengajarkan kepada kita untuk melihat 'segala sesuatu apa adanya'...., Orang yang berbahagia adalah orang yang selalu merasa puas terhadap pencapaian/ hasil dari apa yang telah ia perjuangkan..., ini bukan berarti kita pasrah atau malas-malas-an dan tidak mau maju...; tetapi kita harus dapat menerima kenyataan apa adanya...bahwa semua yang diterima adalah hasil dari suatu upaya kerja keras /perjuangan.

Seseorang yang selalu merasa tidak puas akan melakukan dengan cara apapun untuk memenuhi kepuasannya...dan tidak akan pernah berhenti untuk mengejar dan mencari kepuasan-kepuasan berikutnya yang sesungguhnya tidak akan pernah ia temukan dan tentu saja akan membuatnya gelisah, cemas, khawatir dan menderita...,kecuali ia menyadari akan hal itu dan mensyukuri apa yang telah ia dapatkan.

Apakah ada jaminan bahwa orang yang kaya raya itu merasa puas dan bahagia karena berkelimpahan harta dan kesenangan jasmani ? Belum tentu bukan ? banyak contoh untuk hal ini disekitar kita...

Bagi seorang laki-laki yang sudah berumah tangga : Bersyukurlah bahwa saat ini kita masih bisa menikmati makanan yang telah disediakan oleh isteri kita, yang telah bersusah-payah memikirkan makanan yang kita sukai ,ia pergi berbelanja bahan-bahan yang dibutuhkan, ia mengolah masakan itu sedemikian rupa dengan harapan sang suami akan menyukai masakannya..., apa yang terjadi jika saat itu kita berkomentar : "duh...masakanmu rasanya enggak enak...masih kalah dengan masakan si A, si B..".  Sungguh kata-kata yang seperti itu selain tidak bijaksana , juga akan mengecewakan hati isteri kita...., semua itu karena kita tidak merasa puas dan tidak mensyukuri seperti apa adanya.

Sebaliknya bagi seorang isteri : Bersyukurlah bahwa Sang suami masih memiliki tanggung jawab untuk memberikan nafkah dengan kerja kerasnya..,tidak peduli berapapun hasil yang ia dapatkan...syukurilah dan puaslah dengan yang telah didapat saat ini apa adanya......

Bagi para pemuda-pemudi remaja yang segala sesuatunya masih menjadi tanggung jawab orang tua kita : Bersyukurlah bahwa orang tua kita masih bisa menyediakan kebutuhan-kebutuhan kita, dari soal makan, pakaian, tempat tinggal, hiburan, pendidikan/sekolah, uang saku dsb.., jangan pernah membuat mereka merasa kecewa, apalagi menyakiti hatinya yang hanya dikarenakan kita merasa tidak puas terhadap sesuatu yang diberikannya...., makanlah dan nikmatilah apapun masakan yang telah disediakan orang tua kita dengan perasaan beryukur, orang tua kita akan tersenyum dan kita-pun kenyang.

Semua orang pasti ada kelebihan dan kekurangannya dan tidak akan pernah ada seseorang yang dapat memberikan kepuasan sepenuhnya kepada diri kita. Terimalah semua seperti apa adanya.
Pandanglah makanan sebagai makanan , bukan hanya sebagai pemuas nafsu lapar. Pandanglah rumah sebagai tempat berteduh, bukan untuk gengsi-gengsi-an. Pandanglah pakaian sebagai penutup badan, bukan sebagai alat untuk pamer dan bersaing mahal-mahal-an / ber-Merk.

Terimalah semuanya itu dengan rasa puas dan bersyukur, kitapun akan merasa berbahagia, lepas dari rasa iri, keserakahan dan keinginan yang bukan-bukan (buruk). Dengan bisa menjaga pikiran, ucapan dan perilaku jasmani, kita akan bisa merasakan kepuasan dan kebahagiaan bagi diri sendiri dan bagi orang lain.

Sifat dan sikap merasa tidak pernah puas dan tidak mensyukuri apa adanya, akan membawa kita lebih jauh terseret dalam lingkaran kekecewaan dan penderitaan yang berkepanjangan.

4). Apa pendapat anda tentang "Tuhan telah membagikan Rejeki kepada umatnya sesuai dengan jatahnya masing-masing...?" 

Didalam Ajaran Sang Buddha disebutkan bahwa Hukum Karma-lah yang bekerja dan yang membuat perbedaan-perbedaan diantara semua makhluk di 31 alam kehidupan ini...

"Semua makhluk memiliki kammanya sendiri,
mewarisi kammanya sendiri,
lahir dari kammanya sendiri,
berhubungan dengan kammanya sendiri,
terlindung oleh kammanya sendiri.
Kammalah yang membuat semua makhluk 
menjadi berbeda, hina atau mulia".
( Majjhima Nikaya 55 )


"Mari kita bangkit dan berterima kasih,
karena meskipun hari ini kita tidak belajar banyak,
setidaknya kita belajar sedikit.
Bila kita tidak belajar sedikit, setidaknya kita tidak sakit.
Bila kita sakit, setidaknya kita masih hidup.
Maka, mari kita bersikap syukur".
( Sang Buddha )

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Semoga semua makhluk berbahagia


BODHICITTA

Oleh: Bhiksu Nirmana Sasana


Dharma yang dibabarkan oleh Sang Buddha tidak pernah terlepas dari apa yang disebut dengan Bodhicitta, seperti di dalam Sutra Amitabha, Sutra Saddharmapundarika, terlebih di dalam Sutra Bodhicitta itu sendiri.

Di dalam Sutra Bodhicitta, kita dapat melihat bahwa setiap kalimat yang ada di dalamnya mengajarkan kita untuk mengembangkan jiwa Bodhisattva. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa dalam menjalankan Buddha Dharma dalam kehidupan sehari-hari, pengembangan jiwa Bodhisattva adalah merupakan suatu hal yang mutlak.

Memang benar, kita sebagai umat Buddha, hendaknyalah kita selalu melaksanakan jiwa Bodhisattva dengan berbuat kebajikan. Seperti pepatah berkata: "Berbuat kebajikan akan mendapat buah baik, Berbuat kejahatan akan menerima buah buruk." Namun, apa yang dimaksud dengan kebajikan di sini? Apakah kebajikan akan terwujud tanpa pengembangan Bodhicitta? Lagipula, apakah yang disebut "Bodhicitta" itu? Dalam bahasa sehari-hari, kita sering mendengar kata "Pencerahan". Apakah ini yang dimaksud dengan Bodhicitta?

Bodhicitta bukanlah hanya sekedar "Pencerahan" biasa, tetapi Pencerahan ini adalah Pencerahan yang mengandung Tekad mencapai keBuddhaan. Terutama di dalam aliran Mahayana yang selalu tidak terlepas dari kata "Metta, Karuna, Mudita"(cinta kasih). Yang dimaksud "cinta kasih" di sini bukanlah seperti cinta kasih antara dua makhluk yang berlainan jenis atau bahkan sesama jenis, tetapi "cinta kasih" yang dimaksud dalam Buddhadharma adalah cinta kasih yang universal. Cinta kasih universal ini dikembangkan dari hati nurani kita yang terdalam, bukan yang hanya diucapkan di bibir belaka, atau yang timbul karena keinginan-keinginan tertentu (ego kita).

Bagaimana kita dapat mengembangkan Bodhicitta atau tekad mencapai keBuddhaan ini? Kita dapat mengembangkannya bila kita telah dapat mengikrarkan TEKAD kita.

Apakah yang dimaksud dengan "tekad"?
Tekad adalah tujuan positif yang akan kita hadapi dan jalankan.

Untuk menimbulkan tekad, apa yang harus kita lakukan?
Tekad dapat timbul di saat kita telah:
  • Melepaskan keserakahan
  • Melepaskan kebencian
  • Melepaskan kebodohan
Tekad terbagi menjadi 2 jenis:
1. Tekad kecil.
Tekad ini biasa dilakukan oleh orang awam, dan umumnya hanya untuk diri sendiri atau keluarga, tidak peduli dengan orang banyak.

2. Tekad besar.
Tekad ini dilakukan oleh orang yang telah mengerti tentang Bodhicitta, atau mereka yang mau menjalankan jiwa dan semangat Bodhisattva. Orang-orang ini selalu menyadari bahwa makhluk hidup yang ada di alam semesta ini hidup dengan penuh penderitaan. Bagi mereka yang melaksanakan, dan menjalankan jiwa/semangat Bodhisattva akan selalu bertekad untuk menolong agar semua mahkluk hidup bahagia dan dapat mencapai Alam Bahagia (Tanah Suci Sukhavati). Bila kita mengembangkan tekad besar, kita akan selalu melakukan kebajikan demi kebahagiaan orang lain dan bahkan seluruh makhluk, tanpa mengharapkan imbalan. Kita sebenarnya tidak perlu mengharapkan imbalan. Ingat! Di dalam ajaran Sang Buddha telah dijelaskan tentang "Hukum Sebab dan Akibat." Segala sebab yang kita perbuat, baik maupun buruk, kita pasti akan menerima akibatnya. Hal ini tidak terelakkan, tidak bisa dipungkiri dan tidak dapat dihapus dengan apapun juga. Satu pepatah agama Buddha berkata: "Memberi adalah mendapat".

Setelah kita menjalankan tekad besar ini dengan ikhlas dan tulus, sekaligus melepaskan keserakahan dan keterikatan kita akan nama dan kedudukan, barulah dengan sendirinya kita dapat mengembangkan Bodhicitta (bertekad mencapai pencerahan keBuddhaan, untuk menolong sesama makhluk).

Ada hal lain yang penting untuk kita sadari. Sebenarnya segala sesuatu juga tidak terlepas dari proses jodoh. Untuk mengembangkan dan melaksanakan jiwa /semangat Bodhisattva inipun juga tergantung proses jodoh. Bila tidak mempunyai satu pertemuan antara A dan B, maka jiwa Bodhisattva tidak dapat terlaksanakan.

Proses jodoh apa saja yang memungkinkan bagi kita untuk mengembangkan Bodhicitta?
1. Mengingat jasa Sang Buddha, Guru Junjungan kita:
  • Mengingat saat Sakyamuni Buddha pertama kali mengembangkan tekad untuk menolong seluruh makhluk.
  • Mengingat jasa Sang Buddha bagi kita di saat kita ditutupi oleh kebodohan sendiri dan tidak dapat menerima pendapat dan nasehat orang lain. Dengan kebodohan ini kita masuk neraka untuk menerima karma buruk yang telah kita perbuat. Melihat penderitaan yang kita alami, Sang Buddha pasti akan merasakan sedih dan berusaha untuk menolong kita dengan cara apapun juga.
  • Sang Buddha selalu dengan jiwa besar mengembangkan dan menjalankan Bodhicitta demi kita semua dan seluruh makhluk di Alam Semesta ini.
2. Mengingat jasa kedua orang tua kita:
  • Mengingat ibu yang melahirkan kita dan orang tua yang telah memelihara kita hingga dewasa.
  • Selalu mengenang jasa kedua orang tua kita di setiap kehidupan.
  • Mengenang jasa orang tua kita di kehidupan yang lampau, intinya, semua makhluk adalah orang tua kita.
3. Mengingat jasa para guru:
  • Mengingat jasa Guru Besar kita yang telah mengajarkan Dharma kepada kita.
  • Mengingat jasa guru sekolah dari kelompok bermain hingga kita sarjana.
  • Mengingat bahwa kehidupan para guru hanyalah dari pengabdian saja.
4. Mengingat orang-orang yang telah berjasa:
  • Mengingat jasa para petani, pahlawan, dokter dan lainnya.
5. Mengingat jasa para makhluk hidup:
  • Kita harus menyadari bahwa kita tidak dapat hidup tanpa orang lain.
  • Menyadari bahwa setiap makhluk hidup ada kaitannya dengan kita dan ini disebut dengan tali perjodohan yang telah terjalin berkalpa-kalpa yang lalu.
6. Mengingat penderitaan hidup dan mati:
  • Kita dan para makhluk lain tidak hentinya lahir dan mati.
  • Kita kadang terlahir di Alam Bahagia, kadang terlahir di alam manusia, dan kadang terlahir di alam neraka, yang mana sama-sama menerima penderitaan dan penyiksaan yang diakibatkan oleh karma perbuatan buruk kita sendiri.
7. Mengingat para Sesepuh:
  • Mengingat para Buddha dan Sakyamuni Buddha yang telah mencapai pencerahan sempurna.
  • Mengingat para Bodhisattva yang selalu melaksanakan Bodhicitta demi menolong sesama makhluk.
  • Mengingat para sesepuh yang telah mencapai pencerahan.
  • Menyadari bahwa kita masih saja terus bergelut dengan karma dan tumimbal lahir.
8. Menyesali karma-karma buruk:
  • Karma buruk kecil saja kita sudah sulit menerimanya, apalagi karma buruk besar. Apakah kita dapat menerimanya?
9. Meminta terlahir di Alam Bahagia (Pantai Seberang):
  • Melatih diri dengan tekun
  • Mengembangkan perbuatan baik.
  • Mengembangkan jiwa dan melapangkan dada untuk selalu berdana
  • Bila tidak mengembangkan kebajikan, maka sulitlah untuk dapat mencapai Pantai Bahagia. Ini disebut kemunduran atau kegagalan dalam mengembangkan bibit Bodhicitta.
10. Berupaya agar Buddhadharma tidak musnah:
  • Sang Buddha mengajarkan DharmaNya, dan mengajarkan bagaimana menjalankan Dharma.
  • Selalu melatih diri, selalu sabar atas yang sulit disabari, selalu melakukan perbuatan baik yang sulit dilakukan.
  • Tidak membeda-bedakan, tidak gossip, dan tidak menciptakan keributan.
Apabila kita dapat menghayati ke-10 proses jodoh ini dengan baik, saya yakin kita semua dengan sendirinya akan mengembangkan tekad untuk Bodhicitta. Mungkin pada awalnya kita dapat mengembangkan jiwa/semangatnya Bodhicitta kecil (cinta kasih), yang hanya untuk lingkungan kita. Bila kita sering mengembangkan dan menjalankannya, maka lama kelamaan tanpa kita sadari kita akan lebih maju dalam pengembangan cinta kasih yang universal.

Yang penting untuk kita sadari adalah, kita dan seluruh makhluk tercipta dari unsur-unsur di alam semesta ini. Sebagai contoh, jasmani kita tercipta dari sebagian unsur kecil dari semesta ini. Oleh karena itu, kita jangan sombong dan jangan lupa diri, karena makhluk lain juga terdiri dari unsur-unsur semesta ini. Kita mempunyai enam indera. Para makhluk juga mempunyai enam indera. Kita harus bisa menerima kesamaan ini dan harus mempunyai kepercayaan terhadap Buddha, Dharma dan Sangha (Triratna).

Dengan selalu menghayati dan mengkaji penderitaan makhluk lain, maka otomatis kita membangkitkan Bodhicitta kita. Setelah Bodhicitta berkembang, wajah kita akan memancarkan cahaya, sinar kebajikan yang terang dan tenang. Kita akan selalu disenangi oleh seluruh makhluk dan disegani oleh musuh-musuh kita. Dengan demikian, kita akan terlepas dari segala malapetaka dan hidup berbahagia selalu.

Semoga Semua Makhluk Berbahagia