Jumat, April 30, 2010

KHOTBAH PENCERAHAN (II)

Disusun oleh : Tanhadi

KEBENARAN MULIA TENTANG ASAL PENDERITAAN
( Samudaya )

Sang Buddha bersabda :
“ Apakah kebenaran mulia tentang asalnya penderitaan ?.
Yaitu nafsu keinginan yang menyebabkan tumimbal lahir,
yang disertai oleh nafsu keinginan menjadi ini dan itu.
Dengan kata lain:
Nafsu Keinginan akan kesenangan inderawi,
keinginan akan penjelmaan, keinginan untuk memusnahkan diri.
Tetapi kapankah keinginan ini timbul dan berkembang ?
Dimana ada hal-hal yang nampak menyenangkan
dan memuaskan, disitulah ia timbul dan berkembang.”
( Digha Nikaya 22 ).

“ Adalah dengan kebodohan(*) sebagai syarat,
maka bentuk-bentuk pikiran itu timbul;
dengan bentuk-bentuk pikiran sebagai syarat
maka timbullah kesadaran;
dengan kesadaran sebagai syarat
maka timbullah nama dan rupa;
dengan nama dan rupa sebagai syarat
maka timbullah enam landasan kontak;
dengan enam landasan kontak sebagai syarat
maka timbullah perasaan;
dengan perasaan sebagai syarat
maka timbullah keinginan;
dengan keinginan sebagai syarat
maka timbullah kemelekatan;
dengan kemelekatan sebagai syarat
maka timbullah arus perwujudan;
dengan arus perwujudan sebagai syarat
maka timbullah kelahiran;
dengan kelahiran sebagai syarat
maka timbullah usia tua dan kematian,
juga kesedihan dan ratap tangis,
sakit, kesusahan dan putus asa ;
begitulah terjadinya rentetan asal mulanya dukkha itu.
Inilah yang disebut kebenaran mulia
tentang asal mulanya dukkha.”
( Digha Nikaya 22 )

(*) Kebodohan, yang dimaksudkan disini adalah Moha yang berarti : Kebodohan atau ketidak-tahuan untuk membedakan apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah, secara umum Moha mempunyai arti yang sama dengan Avijja yaitu Kebodohan atau ketidak-tahuan, tapi sehubungan dengan kebodohan atau ketidak-tahuan tentang kebenaran sejati dari Empat Kebenaran Mulia, Tiga corak umum, Hukum Sebab-akibat yang saling bergantungan, Hukum karma dan hukum Tumimbal lahir.

Nafsu keinginan rendah (Tanha) dan Ketidak-tahuan/kebodohan/kegelapan batin  (Avijja) yang terus menerus tiada hentinya adalah merupakan sumber dari berbagai macam penderitaan dan penyebab dari kelahiran dan terlahir kembali berulang-ulang (Tumimbal lahir ).

Sebagai contoh: Keinginan yang sangat kuat untuk mendapatkan sesuatu, kenikmatan, kesenangan, nafsu-birahi, gila hormat, harta dan kekuasaan ataupun keinginan yang kuat untuk melenyapkan semua keadaan yang kita benci adalah hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan Kemelekatan duniawi dan kegelapan batin.

Disebutkan sebagai kemelekatan duniawi karena, kesenangan-kesenangan semacam itu seperti halnya orang meminum air asin untuk menghilangkan rasa hausnya ataupun orang yang kecanduan akan obat-obatan terlarang (Narkoba), yang dapat mengakibatkan ketergantungan atau keterikatan /kemelekatan.

Ada tiga bentuk tanhä, yaitu :

1. Kämatanhä : adalah ketagihan akan kesenangan indria, ialah ketagihan akan :

    a.  Bentuk-bentuk (indah)
    b.  Suara-suara (merdu)
    c.  Wangi-wangian
    d.  Rasa-rasa (nikmat)
    e.  Sentuhan-sentuhan (lembut)
    f.   Bentuk-bentuk pikiran

2. Bhavatanhä : adalah ketagihan untuk lahir kembali sebagai manusia, berdasarkan pada kepercayaan yang mengatakan tentang adanya "atma (roh) yang kekal dan terpisah" (attavada).

3. Vibhavatanhä : adalah ketagihan untuk memusnahkan diri, yang berdasarkan kepercayaan yang mengatakan bahwa setelah manusia meninggal maka berakhirlah segala riwayat tiap-tiap manusia (ucchedaväda).

Pada kebanyakan orang, setelah ia berhasil mendapatkan sesuatu yang diingin kannya... ,biasanya timbul keinginan baru , bila keinginan baru itu telah terpenuhi juga, selanjutnya keinginan lain muncul lagi.. begitulah nafsu keinginan itu bermunculan tiada hentinya.

Disebutkan sebagai kegelapan batin, karena pandangan yang salah bahwa kesenangan-kesenangan itulah yang dapat membuat hidup ini lebih berarti dan dapat memberikan kebahagiaan selamanya. Padahal pada kenyataannya, semuanya itu hanyalah bersifat sementara ( tidak kekal ) dan Sebaliknya bila keinginan itu tidak terpenuhi , timbullah rasa frustrasi dan kekecewaan..., inilah asal-mula penderitaan itu terjadi.

Dengan demikian dapat kita lihat bahwa Nafsu keinginan rendah tidak hanya merupakan Keinginan yang terikat oleh Hawa nafsu, harta-benda dan kekuasaan saja, tetapi juga merupakan suatu keinginan yang terikat kepada ide-ide,cita-cita, pandangan hidup, teori-teori, konsepsi - konsepsi  dan  kepercayaan-kepercayaan. Karena hal-hal itulah yang memicu pola pikir kita untuk berkehendak, dan bertindak sesuai dengan kehendak tersebut, yang menyebabkan kita tidak akan pernah terbebas dari daur Tumimbal lahir yang berulang-ulang ini.

Pada khotbah tentang Kebenaran Mulia yang ke dua inilah Sang Buddha juga membabarkan pengetahuan tentang Karma dan Tumimbal lahir serta hukum sebab-akibat yang saling bergantungan.

KEBENARAN MULIA TENTANG AKHIR PENDERITAAN
( Nirodha)

“ Apakah kebenaran mulia tentang lenyapnya dukkha ?
yaitu hilang tak berbekas dan lenyapnya keinginan,
penolakan, penyingkiran, peninggalan
dan lenyapnya samasekali keinginan.
Tetapi dimanakah keinginan ini ditinggalkan dan berakhir ?
Yaitu dimana hal-hal yang nampaknya menyenangkan
dan memuaskan itu telah ditinggalkan dan lenyap.”
( Digha Nikaya 22 )

“ Dengan hilang tak berbekas
dan lenyapnya kebodohan,
lenyaplah bentuk-bentuk pikiran ;
dengan lenyapnya bentuk-bentuk pikiran,
lenyapnya kesadaran;
dengan lenyapnya kelahiran,
lenyaplah usia tua dan kematian,
juga kesedihan dan ratap tangis, sakit,
kesusahan dan putus asa.
Inilah yang disebut kebenaran mulia
tentang lenyapnya dukkha.”
( Angutara Nikaya 3 : 61 ).

Pada bagian ini Sang Buddha menjelaskan bahwa dukkha bisa dihentikan yaitu dengan cara menyingkirkan tanhä sebagai penyebab dukkha. Ketika tanhä telah disingkirkan, maka kita akan terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana.

Dalam Itivuttaka 44; Khuddaka Nikaya, Sang Buddha menjelaskan bahwa terdapat 2 elemen/jenis Nibbana, yaitu :

Sa-upadisesa-Nibbana
Nibbana masih bersisa. Yang dimaksud dengan bersisa di sini adalah masih adanya Lima Khanda. Ketika Petapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau dikatakan telah dapat mencapai Sa-upadisesa-Nibbana tetapi masih memiliki Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan).  Sa-upadisesa-Nibbana juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin (state of mind) yang murni, tenang, dan seimbang.

An-upadisesa-Nibbana
Nibbana tanpa sisa. Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Pari-Nibbana, dimana tidak ada lagi Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan), tidak ada lagi sisa-sisa dan sebab-sebab dari suatu bentuk kemunculan. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Hal ini dapat diumpamakan dengan padamnya api dari sebuah pelita, kemanakah api itu pergi ? Hanya satu jawaban yang tepat, yaitu ‘tidak tahu’. Ketika Guru Buddha mangkat/wafat, Beliau dikatakan telah mencapai anupadisesa-nibbana.

KEBENARAN MULIA TENTANG
JALAN MENUJU AKHIR PENDERITAAN
( Magga )

“ Apakah kebenaran mulia tentang
Jalan menuju lenyapnya penderitaan itu ?.
inilah jalan mulia beruas delapan, yaitu :
Pandangan benar, pikiran benar,
ucapan benar, perbuatan benar,
penghidupan benar, usaha benar,
perhatian benar dan konsentrasi benar.”
( Digha Nikaya 22 )

“ Dari empat kebenaran ini,
kebenaran mulia tentang dukkha
harus ditembusi
dengan pengetahuan lengkap dengan dukkha;
kebenaran mulia tentang asalnya dukkha
harus ditembus
dengan meninggalkan keinginan ;
kebenaran mulia tentang lenyapnya dukkha
harus ditembus
dengan memahami lenyapnya keinginan ;
kebenaran mulia tentang Jalan menuju lenyapnya dukkha
ditembus
dengan memelihara Jalan mulia beruas delapan itu .”
( Samyutta Nikaya 56 : 11 : 29 )

“ Kebenaran ini adalah nyata, bukan tak nyata,
tak berbeda dengan yang tampak.”
(Samyutta Nikaya 56 : 27 )

“ Seperti halnya fajar yang menghantarkan
dan memberi isyarat terbitnya matahari,
demikian jugalah pandangan benar menghantarkan
dan memberi isyarat penembusan
terhadap empat kebenaran mulia
sesuai dengan apa adanya “.
( Samyutta Nikaya 56 : 37 ).

Kebenaran Mulia yang pertama, kedua dan ketiga adalah merupakan pandangan-pandangan Sang Buddha terhadap dunia ini dan Kebenaran Mulia yang keempat adalah Jalan yang ditunjukkan Sang Buddha untuk melenyapkan penderitaan menuju  suatu kedamaian, kebahagiaan dan kebebasan sempurna....yang menjadi tujuan akhir dari para Buddha, Bodhisattva, dewa dan semua makhluk yang tampak maupun yang tak tampak, yaitu Nibbana !

Namun, tidak ada kata-kata yang sepadan untuk menjelaskan lebih dalam tentang kebahagiaan Nibbana, karena semua itu Hanya dapat dicapai dan dirasakan melalui pengalaman diri kita sendiri ,tidak ada satupun pihak kedua yang dapat membantu / mengantarkan kita sampai ketujuan itu, bahkan Sang Buddha sekalipun.

Sang Buddha bersabda:
“ Engkau sendirilah yang harus berusaha,
para Tathagata hanya menunjukkan ‘Jalan’ ”
( Dhammapada 276 ).


DELAPAN JALAN KEBENARAN MULIA
(Atthangika-magga).

Jalan menuju lenyapnya penderitaan telah ditunjukkan oleh Sang Buddha melalui Delapan Jalan Kebenaran Mulia atau disebut juga sebagai Jalan Tengah, karena dalam mempraktekkan Buddha Dhamma, Sang Buddha menasehatkan kepada para siswanya untuk mengikuti Jalan Tengah dan menghindarkan diri dari Dua cara ekstrim yang salah, yaitu :

1. Mencari kebahagiaan dengan menuruti atau memuaskan nafsu-nafsu  indera.
2. Mencari kebahagiaan dengan menyiksa diri.

Mencari kebahagiaan dengan cara ekstrim itu tidak akan menghasilkan kebahagiaan sejati, cara itu tidak akan dapat menghentikan daur tumimbal lahir yang terus menerus, yang berarti tidak dapat melenyapkan penderitaan bahkan menimbulkan penderitaan-penderitaan baru.

Disebut ‘Kebenaran Mulia’ karena bila dilaksanakan dengan benar, maka akan menuntun seseorang ke kehidupan yang mulia., disebut ‘Delapan Jalan’, karena terdiri dari delapan unsur/ruas/jalur yang menuntun seseorang menuju tercapainya Nibbana.

Delapan Jalan Kebenaran Mulia ini secara tradisional dibagi dalam tiga bagian/kelompok, yaitu :

1. Kelompok kebijaksanaan ( panna )
2. Kelompok Moral/Kebajikan ( Sila )
3. Kelompok Pemusatan Pikiran ( Samadhi )

1).  KELOMPOK KEBIJAKSANAAN, terdiri dari :

- Pengertian benar (Samma-ditthi) dan 
- Pikiran benar (Samma-Sankappa).

     Adalah sebagai latihan intelektual/akal budi, dimaksudkan agar kita hendaknya memahami terlebih dahulu secara jelas dan realistis mengenai konsep Empat Kebenaran Mulia, lalu kemudian secara bertahap mengembangkan langkah-langkah lain dari Jalan.

1. Pengertian/Pemahaman Benar; Adalah pengetahuan yang disertai dengan penembusan terhadap:

    a. Empat Kebenaran Mulia
    b. Hukum Tilakkhana (Tiga Corak Umum)
    c. Hukum  Paticca-Samuppäda (Sebab-musabab yang saling bergantungan )
    d. Hukum Kamma

2. Pikiran Benar adalah pikiran yang bebas dari:

    a. Pikiran yang bebas dari nafsu - nafsu keduniawian (nekkhamma-sankappa)
    b. Pikiran yang bebas dari kebencian (avyäpäda-sankappa)
    c. Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsä-sankappa)

Ajaran Sang Buddha adalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman langsung akan kebenaran, bukan berdasarkan suatu kepercayaan semata yang tidak beralasan. Pengertian benar sangat penting dan merupakan hal utama yang harus kita pelajari dan dikaji kebenarannya secara seksama terlebih dahulu, sebelum mempelajari lebih lanjut ajaran-ajaran  Sang Buddha.

Kebanyakan agama besar didunia ini meng-klaim bahwa hanya agama merekalah yang memiliki kebenaran “ Hanya ini yang benar, yang lain salah “. Demikian pula agama Buddha juga menyatakan mengajarkan kebenaran, yakni dalam doktrin Empat Kebenaran Mulia.

Beda antara agama Buddha dengan agama lainnya adalah ; Agama Buddha tidak secara dogmatis menyatakan kebenarannya tanpa alasan, juga tidak ada unsur pemaksaan atau menakut-nakuti agar ajarannya dapat kita terima mentah-mentah tanpa penyelidikan secara seksama terlebih dahulu...Tidak ada istilah pokoknya percaya aja deh, hidupmu pasti selamat dan selalu dalam lindungan-NYA !

Sang Buddha berkata kepada seorang tokoh yang bernama Upali, yang berharap agar dapat diterima menjadi siswa Sang Buddha :

“ Upali, telitilah secara mendalam terlebih dahulu.
Penelitian yang mendalam adalah sangat baik,
bagi orang yang terkenal seperti dirimu.”
( Majjhima Nikaya, I : 379 )

Inilah bukti nyata bahwa Sang Buddha justru menganjurkan kita untuk mengetahui ,meneliti, menyelidiki dan menemukan kebenaran itu terlebih dahulu demi diri sendiri. Usaha pemahaman ajaran Sang Buddha membutuhkan proses yang dengan sendirinya membutuhkan waktu, tidak dengan tergesa-gesa, karena fakta-fakta harus dikumpulkan, disusun dan diteliti secara cermat untuk menemukan kemungkinan adanya fakta-fakta baru.

Sang Buddha dalam riwayat hidupnya belum pernah mendesak seseorang untuk secepatnya menerima ajaran-NYA, karena Sang Buddha tidak mempunyai missi dan visi untuk memperbanyak pengikutnya dengan cara terburu-buru. Bagaimanapun juga, membuat keputusan secara terburu-buru adalah suatu kesalahan. Penerimaan atau penolakan suatu keyakinan hendaknya dilakukan setelah melalui perenungan yang hati-hati dan tidak tergesa-gesa.

Ketidak tergesa-gesaan (terkesan lamban) inilah dipandang sebagai suatu kesempatan yang sering  dipergunakan oleh orang-orang tertentu untuk mengalihkan kita ke agama yang dianutnya, mereka mencoba secepatnya agar kita dapat menerima ajaran agamanya tanpa melalui penelitian mendalam dan pemikiran terlebih dahulu.

Kita disarankan Oleh Sang Buddha untuk mendengarkan dan mempertimbangkan argumentasi  dari sudut pandang keyakinan orang lain tanpa berpihak terlebih dahulu terhadap keyakinan kita sendiri, hal ini dapat kita rujuk dalam Sabda Sang Buddha :

“Tidak hanya atas dasar pendapat sepihak,
seseorang akan dekat pada kebenaran.
Orang bijaksana adalah
mereka yang menyelidiki cerita dari kedua belah pihak.”
(Dhammapada : 256)

“Hendaknya engkau mendengarkan ‘Dhamma’
dari kedua belah pihak,
simaklah ‘ Dhamma’ dari kedua belah pihak;
lalu pilihlah pandangan, pihak, ajakan dan ajaran
dari dia yang benar mengucapkan Dhamma.”
( Vinaya, IV : 355 ).

Kebanyakan orang dari agama lain telah menutup hati , pikiran, dan logikanya terhadap kebenaran-kebenaran dari agama lain, yaitu, dengan cara mempertahankan keyakinannya sendiri secara dogmatis dan menolak untuk mendengarkan pandangan yang lain. Walaupun sering “hati kecilnya” mengakui bahwa pandangan dari kepercayaan lainnya itu lebih “mengandung kebenaran” dibanding kepercayaannya sendiri.

Menurut pandangan Buddhis, sikap yang demikian  itu adalah salah. Sebab setelah seseorang menerima suatu ajaran/agama tertentu, mereka tidak dapat lagi mempelajari sesuatu yang baru, wawasan mereka tentang nilai-nilai kebenaran sangat rendah dan telah  terkotak-kotak / terbatas hanya pada sudut pandang dari agamanya sendiri, bergelut melalui penafsiran-penafsiran belaka, yang sering menghasilkan perdebatan-perdebatan diantara mereka sendiri. Sang Buddha menceritakan suatu perumpamaan yang sangat menarik untuk melukiskan hal ini :

Sekali waktu, ada seorang raja di Savatthi. Dia memanggil pengawalnya dan berkata : “ Kesini, pengawalku yang baik, pergi dan kumpulkanlah mereka yang buta sejak lahir di Savatthi ini, pada suatu tempat. “Baik Tuanku” sahut pengawalnya, lalu dia melaksanakan titah rajanya. Kemudian setelah selesai dikumpulkan, raja berseru lagi kepadanya : “Sekarang, pengawalku yang baik, tunjukkan pada orang-orang buta ini seekor gajah. “Baik Tuanku”, kata pengawalnya, lalu ia melaksanakan lagi titah rajanya. Dia mendekatkan salah seorang dari orang-orang buta itu dikepala gajah, seorang lagi ditelinganya, seorang di gadingnya, seorang dibelalainya, seorang di kakinya, seorang dipunggungnya, seorang diekornya, seorang lagi di ujung ekornya, lalu pengawal berseru : “ Wahai orang-orang buta, inilah yang disebut gajah.”

Setelah itu sang pengawal kembali menghadap pada raja dan berkata : “Tuanku, gajah telah ditunjukkan kepada semua orang buta, sesuai dengan titah baginda.”

Sang raja kemudian menghampiri orang-orang buta tersebut dan berkata : “Wahai orang-orang buta, sudahkah engkau tahu bagaimana gajah itu ?.”  “ Ya, tuanku, kita telah mengetahuinya,” kata mereka. “Bila demikian, katakan  bagaimana yang disebut gajah.”

Orang buta yang memegang kepala gajah berkata : “Gajah menyerupai tempayan.” Yang memegang telinga berkata :”Gajah menyerupai kipas”, Demikian seterusnya, mereka mengatakan gading seperti ujung bajak, belalai seperti pegangan bajak, badan gajah seperti lumbung padi, kaki seperti tiang, bokong seperti lesung, dan ekor sebagai alunya, ujung ekor seperti sapu. Mereka mulai bertengkar, berteriak : “Ya, begitu!”, “Tidak, tidak begitu!”, “Gajah tidak seperti itu!”, “ya, seperti itu!”. Mereka kemudian berkelahi dan sang raja malah menikmati apa yang dilihatnya. (Udhana 68 ).

Makna perumpamaan ini sangatlah jelas. Mereka yang menarik kesimpulan dengan tergesa-gesa, tanpa menelitinya dari segala sudut, adalah sama halnya mendapat sebagian sudut pandang dari suatu kebenaran dan bila dia menutup mata batinnya dan bergantung kepada pandangannya saja secara dogmatis, kecil kemungkinan bagi mereka untuk mengerti sesuatu secara lengkap.

Pikiran Benar , berarti pikiran dan kehendak yang mengacu pada semua pikiran-pikiran kita, terutama pikiran yang menggerakkan tindakan. Secara filosofis, umumnya hanyalah perilaku jasmani dan ucapan yang digolongkan etika, tidak termasuk pikiran. Tetapi, kebijaksanaan Sang Buddha memberi pemahaman bahwa jalan pikiran kita mempunyai pengaruh mendasar pada apa yang kita lakukan.

Sang Buddha bersabda :
Pikiran mendahului segalanya.
Pikiran adalah pemimpinnya,
Pikiran adalah pembentuknya.
( Dhammapada 1)

Dunia dituntun oleh pikiran,
Oleh pikiran dunia dinodai
Hanya pikiran semata-mata
yang menyebabkan segala yang dibawahnya tergoyah.
( Samyutta Nikaya I : 39 )

Dengan sendirinya, bila kita berkeinginan merubah perilaku ucapan dan tindakan kita, kita harus terlebih dahulu merubah pikiran yang menggerakkan kedua perilaku itu.

Sabda Sang Buddha :
“Dan Apa Pikiran Benar itu ?,
Pikiran yang didasari pikiran penghentian(*),
pikiran cinta-kasih dan pikiran untuk menolong
inilah yang disebut Pikiran Benar”
( Majjhima Nikaya III : 251 )

Beliau juga memberitahu alasan perlunya pengembangan Pikiran benar sbb ;

“Tiga jenis pikiran; yang menyebabkan kebutaan,
hilangnya pandangan dan pengetahuan,
yang mengakhiri kebijaksanaan,
yang berhubungan dengan kesulitan
dan tidak menuntun ke Nibbana.
Apa yang tiga itu ?
Pikiran yang didasari keserakahan,
pikiran yang didasari kebencian
dan pikiran yang didasari keinginan-merugikan.

Tiga jenis pikiran yang memberi penglihatan,
pandangan dan pengetahuan,
yang meningkatkan kebijaksanaan,
yang berhubungan dengan keselarasan
dan menuntun ke Nibbana.
Apa yang tiga itu ?
Berpikir didasari penghentian(*),
berpikir didasari cinta-kasih
dan berpikir didasari keinginan menolong.
( Itivuttaka : 82 )

(*) Penghentian yang dimaksudkan adalah ; menghilangkan pikiran atau keinginan jahat untuk membalas rasa benci, keserakahan dan nafsu-nafsu keduniawian yang menyebabkan kita tidak dapat melangkah maju secara spiritual.

2). KELOMPOK MORAL / KEBAJIKAN, terdiri dari :

- Ucapan benar (Samma-vaca)
- Perbuatan benar (Samma-kammanta) dan
- Mata pencaharian benar ( Samma-ajiva ).

Adalah merupakan latihan etika, dimana kita menentukan sendiri apa yang baik, kemudian melaksanakannya untuk diri sendiri maupun tindak-tanduk/sikap kita dalam bermasyarakat.

3. Ucapan Benar adalah berusaha menahan diri dari :

- Berbohong (musãvãdã),
- Memfitnah (pisunãvãcã),
- Berucap kasar/caci maki (pharusavãcã), dan
- Percakapan-percakapan yang tidak bermanfaat / pergunjingan    (samphapalãpã). 

Dapat dinamakan Ucapan Benar, jika memenuhi syarat dibawah ini :

a. Ucapan itu benar
b. Ucapan itu beralasan
c. Ucapan itu berfaedah
d. Ucapan itu tepat pada waktunya

Sang Buddha bersabda :
“ Kata-kata yang mempunyai empat nilai
adalah yang diucapkan baik, bukan pembicaraan jahat,
tidak salah dan tidak dicela para bijaksana.
Apa empat itu ?
Mengenai ini,
seseorang berbicara dengan kata-kata yang indah,
bukannya buruk;
seorang berbicara dengan kata-kata yang benar,
bukannya salah;
seseorang berbicara dengan kata-kata yang halus,
bukannya kasar ;
seorang berbicara dengan kata-kata penuh kebenaran,
bukan kepalsuan”.
( Sutta Nipata 449-450 )

“ Bila ada pembicaraan yang memancing pertengkaran,
akan banyak kata-kata, bila banyak kata-kata,
seseorang mudah terpancing,
seorang yang terpancing tak akan terkendali,
dan bila seorang tak terkendali
pikirannya akan kacau tak terpusat.”
(Anguttara Nikaya IV:87)

“ Dengan tidak berkata-kata kasar,
seseorang akan mengucapkan sesuatu
yang tak akan dipersalahkan, menyenangkan didengar,
dapat diterima, berkenan dihati, sopan,
menyenangkan dan disenangi oleh semua orang.”
( Majjhima Nikaya I : 288 )

4. Perbuatan Benar adalah berusaha menahan diri dari :

   - pembunuhan,
   - pencurian,
   - perbuatan melakukan perbuatan seksualitas yang tidak dibenarkan (asusila),
   - perkataan tidak benar, dan
  - penggunaan cairan atau obat–obatan yang menimbulkan ketagihan dan melemahkan kesadaran.

Sabda Sang Buddha :
“ Semua gemetar pada kekerasan,
semua takut kematian,
tempatkan dirimu pada tempat orang yang lain.
Oleh karenanya jangan membunuh
ataupun menyebabkan mereka terbunuh.”

“ Semua gemetar pada kekerasan,
semua menghargai hidup,
tempatkan dirimu pada tempat orang yang lain.
Oleh karenanya jangan membunuh
ataupun menyebabkan mereka terbunuh.”
( Dhammapada : 129-130 )

“ Mereka yang mengikuti jalan Dhamma,
hendaknya tidak minum minuman keras,
atau menyarankan seseorang untuk meminumnya,
karena mengetahui akibat dari kemabukan “.

“Disebabkan mabuk,
seorang yang bodoh berbuat sesuatu yang tercela
dan juga menyebabkan orang lainnya tak berhati-hati.
Hindarilah akar dari tindakan salah ini,
Kebodohan ini hanya disenangi oleh mereka yang bodoh.”
( Sutta Nipata : 398-399 )

5. Mata Pencaharian Benar berarti menghindarkan diri dari bermata pencaharian yang menyebabkan kerugian atau penderitaan makhluk lain. 

Terdapat lima objek perdagangan yang  seharusnya dihindari (Anguttara Nikaya, III, 153), yaitu:

a.  Makhluk hidup
b.  Senjata
c. Daging atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan makhluk - makhluk  hidup.
d.Minum - minuman yang memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan.
e. Racun

Dan terdapat pula lima mata pencaharian salah yang harus dihindari (Majjima Nikaya. 117), yaitu:

a.  Penipuan
b.  Ketidak-setiaan
c.  Penujuman
d.  Kecurangan
e.  Memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat)

Pada umumnya manusia mengisi bagian besar dari waktu hidupnya dengan bekerja, pekerjaan yang kita lakukan itu dengan sendirinya akan turut membentuk kepribadian kita, baik positif ataupun negatif.

Sewajarnya bila agama melibatkan seluruh aspek pengalaman manusia, maka agama seyogyanya juga memberi petunjuk cara bagaimana mengusahakan dan bagaimana menggunakan kekayaan. Sang Buddha telah memberi petunjuk dan membagi hal-hal sebagai: Hal Intrinsik (hakekat/tujuan langsung) dan Hal sebagai sarana ( penunjang pencapaian sesuatu ).

Hal Intrinsik adalah yang tujuan dan sasarannya tercapai langsung. Kesehatan, kedamaian, cinta dan tentunya Nibbana, adalah hal yang bersasaran langsung, dengan demikian adalah hal yang intrinsik.

Hal sebagai sarana, adalah segala sesuatu yang bisa membantu untuk mencapai hal intrinsik diatas. Uang, misalnya adalah hal sebagai sarana, karena dengan uang kita dapat membeli makanan bergizi dan obat-obatan demi kesehatan kita ( yang adalah intrinsik).
Demikian juga, memaafkan lalu berbaikan kembali adalah hal sebagai sarana, sebab akan menuju kedamaian yang adalah hal intrinsik.

Sampai disini ternyata etika yang diajarkan oleh Sang Buddha merangkul kedua macam hal tsb.diatas, jadi berlaku untuk pencapaian kebahagiaan duniawi dan juga kebahagiaan Nibbana.

Bila uang hanya dilihat sebagai hal intrinsik saja, yakni sekadar benda/hal dalam batasnya sendiri, maka manusia akan melangkahi dasar-dasar moral, semena-mena pada lainnya, mencelakakan dirinya sendiri, hanya demi mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Namun, bila uang dilihat sebagai benda/ hal sebagai sarana, yakni yang menjadi sesuatu yang berarti karena apa yang dapat dilakukan dengannya, maka uang akan menjadi sumber kebahagiaan bagi diri, juga bagi sesama kita.

Dengan sumber keuangan yang memadai, kita dapat melengkapi kebutuhan primer diri kita dan keluarga kita. Untuk tujuan ini sendiri uang adalah sesuatu yang penting. Bila kita telah mengumpulkan lebih banyak, kita dapat melengkapi baik kebutuhan sekarang maupun kebutuhan masa depan, yang pada gilirannya membebaskan kita dari kekhawatiran. Lalu bila kita telah mengumpulkan lebih banyak lagi, kita dapat menyumbangkan pada lembaga keagamaan atau sosial lainnya, yang pada gilirannya juga akan memberi kita kebahagiaan, kepuasan dan juga keuntungan lainnya.

Sang Buddha menyadari nilai kebahagiaan, dan melukiskan tiga macam kebahagiaan yang dapat dinikmati dari kekayaan;

“ Dan apakah kebahagiaan dari kepemilikan ?
menyangkut hal ini,
perumah tangga yang memperoleh kekayaan
berkat usaha yang keras, membanting tulang
dan bercucuran keringat, secara jujur
dan tak melanggar hukum.
Dengan memikirkan hal itu,
dia akan merasa berbahagia dan puas.

Dan Apakah  kebahagiaan dari kekayaan ?
Menyangkut hal ini,
perumah tangga yang memperoleh kekayaannya
dengan jujur dan tak melanggar hukum,
dan dengan kekayaannya dia berbuat banyak kebaikan.
Dengan memikirkan hal itu,
dia akan merasa berbahagia dan puas.

Dan apakah kebahagiaan dengan terbebas dari hutang ?
menyangkut hal ini,
perumah tangga tidak berhutang pada siapapun
besar atau kecil.
Dengan memikirkan hal itu,
dia kan merasa berbahagia dan puas.”
( Anguttara Nikaya II : 68 )

.... Mengenai hal ini,
dengan kekayaan yang didapatkan
dengan usaha yang keras, membanting tulang
dan bercucuran keringat, dengan jujur
dan tak melanggar hukum,
siswa yang mulia akan membahagiakan dirinya,
ibu dan ayahnya, isteri dan anak-anaknya,
pelayan-pelayan dan para pekerjanya,
teman-teman dan kerabatnya,
dia menciptakan kebahagiaan yang sejati.
Inilah manfaat pertama yang diraihnya,
digunakan demi kebaikan dan dimanfatkan secara tepat.”
( Anguttara Nikaya III : 44 )

3).  KELOMPOK PEMUSATAN PIKIRAN , terdiri dari:

- Upaya benar  (Samma-vayama) ,
- Perhatian benar  (Samma-sati) dan
- Konsentrasi benar  ( Samma-samadhi ).

Adalah merupakan latihan kejiwaan, menyadari perubahan batin dari yang bersifat keduniawian ke keadaan batin yang murni.

6. Upaya Benar dapat diwujudkan dalam empat bentuk tindakan,

yaitu: Berusaha mencegah munculnya kejahatan baru, berusaha menghancurkan  kejahatan yg sudah ada,berusaha mengembangkan kebaikan yang belum muncul, berusaha memajukan kebaikan yang telah ada.

7. Perhatian Benar dapat diwujudkan dalam empat bentuk tindakan, yaitu:

- Perhatian penuh terhadap badan jasmani (kãyãnupassanã)
- Perhatian penuh terhadap perasaan (vedanãnupassanã)
- Perhatian penuh terhadap pikiran (cittanupassanã)
- Perhatian penuh terhadap mental/batin (dhammanupassanã)

Keempat bentuk tindakan tersebut bisa disebut sebagai Vipassanã Bhãvanã.

8. Konsentrasi Benar berarti pemusatan pikiran pada obyek yang tepat sehingga batin mencapai suatu keadaan yang lebih tinggi dan lebih dalam. Cara ini disebut dengan Samatha Bhãvanã.

Tingkatan-tingkatan konsentrasi dalam pemusatan pemikiran tersebut dapat digambarkan dalam empat proses pencapaian Jhana, yaitu:

- Bebas dari nafsu-nafsu indria dan pikiran jahat, ia memasuki dan berdiam dalam Jhãna pertama, di mana vitakka (penempatan pikiran pada objek) dan vicãra (mempertahankan pikiran pada objek) masih ada, yang disertai dengan kegiuran dan kesenagan (piti dan sukha).

- Dengan menghilangkan vitakka dan vicara, ia memasuki dan berdiam dalam Jhãna kedua, yang merupakan ketenangan batin, bebas dari vitakka dan vicãra, memiliki kegiuran (piti) dan kesenangan (sukha) yang timbul dari konsentrasi.

- Dengan meninggalkan kegiuran, ia berdiam dalam ketenangan, penuh perhatian dan sadar, dan merasakan tubuhnya dalam keadaan senang. Dia masuk dan berdiam dalam Jhãna ketiga.

- Dengan meninggalkan kesenangan dan kesedihan, dia memasuki dan berdiam dalam Jhãna keempat, keadaan yang benar-benar tenang dan penuh kesadaran di mana kesenangan dan kesedihan tidak dapat muncul dalam dirinya.

Siswa yang telah berhasil melaksanakan Delapan Jalan Utama memperoleh :

1. Sila-visuddhi - Kesucian Sila sebagai hasil dari pelaksanaan Sila dan terkikis habisnya Kilesa (Kekotoran batin).

2. Citta-visuddhi - Kesucian Bathin sebagai hasil dari pelaksanaan Samadhi dan terkikis habisnya Nivarana ( Rintangan batin).

3. Ditthi-visuddhi - Kesucian Pandangan sebagai hasil dari pelaksanaan Pañña dan terkikis habisnya Anusaya (Kecenderungan berprasangka).

Demikianlah Empat Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani) yang tidak dapat dipisahkan antara Kebenaran yang satu dengan Kebenaran yang lainnya. Empat Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani) bukanlah ajaran yang bersifat pesimis yang mengajarkan hal-hal yang serba suram dan serba menderita. Dan juga bukan bersifat optimis yang hanya mengajarkan hal-hal yang penuh harapan, tetapi merupakan ajaran yang realitis, ajaran yang berdasarkan analisa yang diambil dari kehidupan di sekitar kita. 

(....Bersambung ke :" Khotbah Pencerahan  (III).)