Minggu, September 22, 2013

Dampak Ajaran Ehipassiko yang disalahmengerti

DAMPAK AJARAN ‘EHIPASSIKO’ YANG DISALAHMENGERTI
Oleh : Upa. Amaro Tanhadi

“Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu;
atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi;
atau sesuatu yang didesas-desuskan.

Janganlah percaya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab suci;
juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka;
juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian;
juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama;
juga apa yang terlihat cocok dengan pandanganmu;
atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.'

Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui,
'Hal ini berguna; hal ini tidak tercela;
hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana;
hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan,' 
maka sudah selayaknya kamu menerima
dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut."

( Anguttara Nikaya 3.65 : Kalama Sutta )

Seperti yang telah banyak diketahui oleh umat Buddha bahwa Kalama Sutta inilah yang mendasari Ajaran Sang Buddha yang disebut Ehipassiko (secara harfiah diterjemahkan sebagai : datang dan lihatlah sendiri), yaitu Ajaran yang mengajarkan kepada kita untuk menyelidiki terlebih dahulu secara cermat terhadap sebuah kepercayaan atau agama yang hendak kita jadikan pedoman atau pegangan hidup, kemudian setelah diselidiki dengan cermat, seyogianya kita mempraktikkannya sendiri untuk memastikan apakah ajaran tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat, dibenarkan atau dicela oleh para bijaksanawan,  membawa keberuntungan atau kerugian, membawa kebahagiaan atau penderitaan bagi diri kita sendiri dan orang lain?

Namun sayangnya, masih ada beberapa umat Buddha sendiri yang secara agak serampangan memahami Kalama Sutta tersebut dengan hanya mengambil sepotong kalimatnya saja (yang ‘katanya’ merupakan inti dari Kalama Sutta) yaitu : “Janganlah percaya begitu saja..., tetapi apabila setelah diselidiki sendiri..”, dan potongan kalimat inilah yang diartikan oleh mereka sebagai Ehipassiko! Jelas ini adalah salah satu kekeliruan yang cukup fatal dalam memahami makna secara keseluruhan dari Kalama Sutta tersebut, dan inilah yang membuat seseorang menjadi takabur (angkuh; sombong); merasa dirinya lebih hebat dari ajaran-ajaran yang tertulis di kitab suci, sehingga merasa sah-sah saja mengabaikan Tipitaka dengan alasan Tipitaka sudah tidak murni lagi berisikan ajaran-ajaran Sang Buddha ! (?). Koq tahu ? atau sok tahu?

Bahkan ada yang ekstrim menilai orang lain dengan mengatakan bahwa orang-orang yang banyak membaca dan mempelajari Sutta-Sutta yang terdapat di dalam Tipitaka itu hanyalah pandai berTEORI saja, praktiknya NOL BESAR! Bagi orang yang beranggapan demikian, tampaknya mereka lebih suka ber-Ehipassiko dengan CARANYA SENDIRI tanpa harus repot-repot mempelajari Ajaran Sang Buddha yang tertulis dalam Tipitaka. [Tipitaka berisikan ribuan Sutta yang dikelompokkan menjadi SUTTA PITAKA yang dibagi menjadi Empat kumpulan buku (nikaya) ditambah lagi dengan satu nikaya yang berisikan 15 kitab kumpulan khotbah pendek, belum lagi ajaran Sang Buddha yang terdapat dalam VINAYA PITAKA ( terdiri dari 5 buku) dan ABHIDHAMMA PITAKA (terdiri dari 7 buku)].

Lieur euy !” kata orang sunda.

“ Malas ahhh bacanya…terlalu jelimet, sulit dimengerti, gak ada waktu untuk membacanya !” demikianlah alasan yang mungkin sering kita dengar dari beberapa umat Buddha sendiri. Halo…Bagaimana dengan Anda sendiri ?

Pertanyaannya adalah : ‘Bagaimana jika ternyata Ehipassiko yang dilakukan dengan ‘caranya sendiri’ itu menyesatkan dan hanya menguntungkan dirinya sendiri tetapi merugikan orang lain ?, hanya membuat dirinya sendiri bahagia tetapi membuat orang lain menderita? hanya membuat dirinya sendiri merasa mulia tetapi orang lain melihatnya sebagai sesuatu yang tercela? dan hanya merasa dirinya sudah paling benar tetapi orang lain menilainya sebagai suatu kesalahan?

Padahal bila kita amati dengan cermat, ESENSI Kalama Sutta secara lengkapnya adalah :

“…Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui,
'Hal ini berguna;
hal ini tidak tercela;
hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana;
hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan,'
maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut."

Lalu, tindakan apa yang dimaksud dengan ‘Hal ini berguna, tidak tercela, dibenarkan oleh para bijaksana dan sesuatu yang membawa keberuntungan dan kebahagiaan itu ?’

Di dalam Kalama Sutta itu pula, Sang Buddha telah memberikan nasihatnya sekaligus menjawab pertanyaan tersebut diatas secara singkat namun padat yaitu :

Kita harus melatih diri untuk membebaskan diri dari cengkeraman sifat-sifat SERAKAH/KETAMAKAN (lobha), KEBENCIAN (dosa) dan KEBODOHAN BATIN (moha) sehingga kita dapat mengendalikan diri dengan baik untuk tidak melakukan penganiayaan dan pembunuhan makhluk hidup, tidak mengambil sesuatu yang tidak diberikan (mencuri), tidak melakukan perzinahan, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak benar (berbohong), dan tidak menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain.

Bila kita telah mampu dan telah terbebas dari sifat-sifat ketamakan, kebencian dan kebodohan batin tersebut, maka dengan sendirinya kita dapat mengendalikan diri dengan baik dan pikiran menjadi terpusat, sedangkan batin kita akan dipenuhi oleh cinta kasih, belas kasih, simpati, dan keseimbangan batin (Brahmavihara) yang berkembang terus tanpa batas, terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan. Dan tentu saja hal-hal tersebut akan memberikan banyak manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain, tidak akan di cela oleh orang-orang yang berpandangan benar, para bijaksanawan pun akan setuju dan membenarkan perbuatan kebajikan kita, sehingga jika kita hidup sesuai dengan hal-hal tersebut, pastilah akan mendatangkan perlindungan, keselamatan, keberuntungan serta kebahagiaan bagi diri sendiri dan makhluk lainnya.


Waru, 21 September 2013


-oOo-




Jumat, September 20, 2013

Bagaimana Cara Melakukan Pertobatan ?

BAGAIMANA CARA MELAKUKAN PERTOBATAN ?
Oleh : Upa. Amaro Tanhadi

Bila kita pernah menganiaya atau membunuh binatang, maka :

1. Mulai saat ini hentikan perbuatan menganiaya dan melakukan pembunuhan berikutnya.

2. Lakukan banyak kebajikan dengan cara melepaskan (Fangshen) atau menolong binatang yang membutuhkan pertolongan, memberikan pengobatan, memberi makan dsb.

3. Pada saat melakukan Fangshen atau menolong binatang tsb. ucapkan dalam hati atau dengan suara : “ Semoga dengan kekuatan keyakinan dan kebajikan yang kulakukan ini dapat membuahkan kebahagiaan bagi diri kalian dan semua makhluk yang berhubungan karma denganku.”

Manusia dan binatang adalah makhluk yang sama-sama menginginkan kebahagiaan dan hidup tanpa ketakutan. Sudah selayaknya kita sebagai manusia yang berakal-budi tidak menganiaya dan mengancam kehidupan para binatang yang lemah dan bisu.

Mereka memiliki kehidupan sendiri dan memiliki perasaan yang sama dengan kita dan mereka pun takut untuk mati, maka janganlah bertindak sewenang-wenang kepada mereka kaum binatang yang lemah dan bisu, hanya semata-mata kita merasa lebih berhak untuk hidup dan lebih berkuasa daripada mereka.

Kepada teman-teman yang suka berburu, hentikanlah kesenangan (hobby) yang hanya untuk memuaskan nafsu membunuh demi kesenangan dan kebanggaan belaka.

Sadarilah bahwa para binatang itu adalah bentukan dari tumimbal lahir para makhluk yang kurang beruntung yang merupakan hasil daripada perbuatan buruknya di kehidupan lampau. Bisa saja diantara mereka itu dahulunya adalah saudara kita, Ibu kita, ayah kita, istri kita, sahabat kita dan anak-anak kita.

Maka hentikanlah untuk melakukan perburuan, penganiayaan dan membunuh makhluk hidup, gantungkan saja senjata Anda, biarkanlah mereka hidup bebas dan menikmati kebahagiaan dengan caranya sendiri !

Mettacittena,







Rabu, September 18, 2013

Orang yang Dungu dan Orang yang Bijaksana

ORANG YANG DUNGU DAN ORANG YANG BIJAKSANA

Jika seseorang menyadari suatu kondisi yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, namun ia tetap bertahan serta tinggal di dalam kondisi itu, maka sesungguhnya dia adalah orang yang dungu.

Sebaliknya, jika seseorang menyadari suatu kondisi yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, dan ia segera meninggalkan kondisi itu, maka dialah orang yang bijaksana.


(Tanhadi)

.




Selasa, September 17, 2013

Minum Obat

MINUM OBAT
Oleh : Upa Amaro Tanhadi

Dhamma akan menjadi obat yang mujarab jika diminum oleh orang yang menyadari bahwa didalam dirinya terdapat bermacam-macam penyakit.

Namun, bagi orang yang tidak menyadari adanya penyakit didalam dirinya dan beranggapan bahwa ia sehat-sehat saja, maka dimata orang itu Dhamma hanya bagaikan selembar 'keterangan aturan minum obat' yang tertera di depan botol obat.

Sahabat seDhamma...

Semoga kita adalah orang yang sadar bahwa didalam diri kita terdapat berbagai macam penyakit yang harus segera disembuhkan yaitu dengan meminum obatnya, bukan hanya meneliti dan membaca aturan minum obatnya saja.

Waru, 16 Sept'13


Mettacittena,





Jumat, September 13, 2013

Kehidupan Ayam Hutan yang Mulia

KEHIDUPAN AYAM HUTAN YANG MULIA

(Hidup Saling Menghormati dan Menghargai)
Di petik dan di edit seperlunya oleh : Upa. Amaro Tanhadi

Ketika Sang Buddha berada di Savatthi, Beliau memberikan wejangan Dhamma kepada para bhikkhu dengan sebuah cerita kelahiran “Kehidupan ayam hutan yang mulia”, demikianlah kisah yang dibabarkan oleh Sang Buddha :

Pada suatu waktu, o para bhikkhu, di suatu tempat di Himalaya ada sebuah pohon beringin yang amat besar, di bawah pohon itu hidup tiga sekawan. Mereka dalah ayam hutan, gajah dan kera. Mereka sering bersikap kasar dan saling mencela satu sama lain, dan mereka hidup tanpa memikirkan antara satu dengan yang lainnya. Mereka berpikir : “ Jika saja kita dapat menetapkan siapa yang tertua di antara kita, maka kita dapat menghormati, menghargai, memuji dan memuliakan serta mematuhi nasihatnya.”

Ayam hutan dan kera bertanya kepada gajah : “ Sejauh manakah engkau mengingat masa lalu ?”

 “ Ketika aku masih kanak-kanak, aku dapat berjalan melangkahi pohon beringin ini, sehingga ia ada di sela-sela kakiku dan ujungnya menyentuh perutku,” jawab gajah.

Kemudian ayam hutan dan gajah itu bertanya kepada kera : “ Sejauh manakah engkau mengingat masa lalu ?”

“ Ketika aku masih bayi, aku dapat duduk di atas tanah dan mengunyah pucuk pohon ini,” jawab kera.

Kemudian gajah dan kera bertanya kepada ayam hutan : “Sejauh manakah engkau mengingat masa lalu ?”

“ Di suatu tempat ada sebatang pohon beringin, aku memakan salah satu bijinya dan membuangnya lewat kotoran dan pohon beringin ini tumbuh dari biji itu. Jadi aku lebih tua dari kalian berdua.” jawab ayam hutan.

Kemudian gajah dan kera itu berkata kepada ayam hutan : “ Engkau lebih tua daripada kita berdua. Kami akan menghormati, menghargai, memuji dan memuliakan engkau serta mematuhi nasihatmu.”

Sejak saat itu, mereka saling menghormati dan menghargai serta saling memikirkan satu sama lain.


Setelah menceritakan kisah tersebut, Sang Buddha memberikan nasihatNya kepada para bhikkhu : “ Maka, o para bhikkhu, hewan-hewan tersebut dapat saling menghormati dan menghargai, serta hidup saling memikirkan antara satu dengan lainnya, cobalah tiru mereka. Jika kalian saling bersikap kasar dan menghina, serta hidup tanpa memikirkan satu sama lain dibawah Dhamma dan Vinaya yang sudah dinyatakan dengan sempurna seperti ini, maka sikap seperti itu sama halnya dengan kalian tidak memberikan kepercayaan bagi mereka yang sudah percaya; dan sebaliknya, hal itu mengakibatkan bagi mereka yang tidak percaya untuk tetap tidak percaya, dan membahayakan bagi yang sudah percaya menjadi tidak percaya lagi terhadap Dhamma dan Vinaya ini.”

(Vinaya. Cv. Kh. 6)

Sumber buku bacaan :
-       Kehidupan Sang Buddha – Penerbit Yayasan Dhammacarini- Bandung Thn.1993.









Kamis, September 05, 2013

Ehipassiko

EHIPASSIKO

Kata Ehipassiko berasal dari kata Ehipassika yang terdiri dari 3 suku kata yaitu ehi, passa dan ika. Secara harafiah ”ehipassika” berarti datang dan lihat. Ehipassikadhamma merupakan sebuah undangan kepada siapa saja untuk datang, melihat serta membuktikan sendiri kebenaran yang ada dalam Dhamma. Istilah ehipassiko ini tercantum dalam Dhammanussati (Perenungan Terhadap Dhamma) yang berisi tentang sifat-sifat Dhamma.

Sang Buddha mengajarkan untuk menerapkan sikap ehipassiko di dalam menerima ajaranNya. Beliau mengajarkan untuk ”Datang dan buktikan” ajaranNya, bukan ”Datang dan percaya”. Ajaran mengenai ehipassiko ini adalah salah satu ajaran yang penting dan yang membedakan ajaran Buddha dengan ajaran lainnya.

Salah satu sikap dari Sang Buddha yang mengajarkan ehipassiko dan memberikan kebebasan berpikir dalam menerima suatu ajaran terdapat dalam perbincangan antara Sang Buddha dengan suku Kalama berikut ini:

"Wahai, suku Kalama.

Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu,
atau oleh karena sesuatu yang sudah merupakan tradisi
atau sesuatu yang didesas-desuskan.

Janganlah percaya begitu saja apa yang tertulis dalam kitab-kitab suci,
juga apa yang dikatakan sesuai logika dan kesimpulan belaka,
juga apa yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu,
atau karena ingin menghormati seorang pertapa yang menjadi gurumu.

Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui;
Hal ini berguna, hal ini tidak tercela, hal ini dibenarkan oleh para bijaksana,
hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan,
maka, sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut.”

( Kalama Sutta, Anguttara Nikaya III. 65 )

Sikap awal untuk tidak percaya begitu saja dengan mempertanyakan apakah suatu ajaran itu adalah bermanfaat atau tidak, tercela atau tidak tecela; dipuji oleh para bijaksana atau tidak, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, adalah suatu sikap yang akan menepis kepercayaan yang membuta terhadap suatu ajaran. Dengan memiliki sikap ini maka nantinya seseorang diharapkan dapat memiliki keyakinan (saddha) yang berdasarkan pada kebenaran.

Ajaran Ehipassiko yang diajarkan oleh Sang Buddha juga harus diterapkan secara bijaksana. Meskipun ehipassiko berarti ”datang dan buktikan” bukanlah berarti selamanya seseorang menjadikan dirinya objek percobaan.

Sebagai contoh sederhana :

- Ketika seseorang ingin membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan, merusak, bukan berarti orang tersebut harus terlebih dulu menggunakan narkoba tersebut. Sikap ini adalah sikap yang salah dalam menerapkan ajaran Ehipassiko.

Untuk membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan, merusak, seseorang cukup melihat orang lain yang menjadi korban karena menggunakan narkoba. Melihat dan menyaksikan sendiri orang lain mengalami penderitaan karena penggunaan narkoba, itu pun suatu pengalaman, suatu pembuktian.

- Demikian pula dengan Racun, kita tidak perlu lagi untuk membuktikan sendiri bahwa siapapun yang meminum racun pasti fatal akibatnya, karena Racun dari sejak jaman dahulu kala, saat ini dan kelak dikemudian hari telah terbukti kebenarannya bahwa ia memiliki sifat yang destruktif (merusak) bagi siapa saja yang mengkonsumsinya.

- Jika ada orang yang meminta kita untuk membuktikan kebenaran adanya Kelahiran kembali (Rebirth), perlukah kita membuktikannya kepada orang tersebut ?, tentu saja tidak bukan ? karena kalau kita hendak membuktikannya..maka kita harus melanggar sila ke satu dari Pancasila Buddhist.

- Jika kita diminta untuk membuktikan tentang Neraka Avicci, berarti kita harus membunuh ayahanda atau ibunda kita dulu dong? sebab mencari Arahat untuk dibunuh kan sulit, atau memecah-belah Sangha juga bukan hal yang mudah…

Nah, setelah kita bunuh salah satu ortu kita , biar cepat / instant untuk membuktikan ada atau tidaknya neraka avicci, kita bunuh diri (supaya/berharap terlahir di sana untuk membuktikannya... ). Apa yang terjadi ?...percayalah bahwa orang yang meminta kepada kita untuk membuktikan adanya neraka Avicci itu masih berada di Bumi... dan kita akan jadi penghuni neraka avicci berkappa-kappa......, jadi untuk hal-hal yang seperti ini tidak perlu ada pembuktian seperti itu...,cukup diyakini dengan kebijaksanaan diri sendiri.

Jadi, pada hakekatnya Ehipassiko diajarkan memang bertujuan untuk “Menguji kebenaran suatu ajaran dengan cara mendengarkan, merenungkan, memahami dan membuktikan sendiri kebenarannya”, sehingga dengan cara yang demikian dapat menimbulkan kebijaksanaan dan keyakinan yang terbebas dari cengkeraman rasa takut, terbebas dari keragu-raguan, terbebas dari kekotoran dan kebodohan batin serta terbebas dari berpandangan keliru terhadap suatu ‘Ajaran Kebenaran’ sebagaimana adanya.


Semoga bermanfaat bagi kemajuan batin dan keyakinan kita.

Disusun kembali oleh : Tanhadi
dari berbagai sumber artikel Buddha Dhamma





Minggu, September 01, 2013

Dhammapada XXIII: 326- Kisah Samanera Sanu

KISAH SAMANERA SANU
 Dhammapada XXIII: 326


Suatu hari, Samanera Sanu didesak oleh para bhikkhu yang lebih tua untuk naik ke atas mimbar dan mengulang bagian-bagian dari Dhamma yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha.

Ketika ia telah menyelesaikan pengulangannya, ia dengan sungguh-sungguh menyebut, "Semoga jasa-jasa yang telah saya peroleh hari ini dengan mengulang syair-syair mulia ini, dinikmati pula oleh ibu dan ayah saya".

Saat itu, dewa-dewa dan raksasa yang pernah menjadi ibu samanera muda ini dalam kehidupan lampaunya turut mendengarkan pengulangannya.

Ketika mereka mendengar kata-kata itu, raksasa tersebut sangat gembira dan dengan cepat berteriak, "Putraku sayang, betapa bahagianya saya dapat ikut menikmati jasamu; kau telah melakukannya dengan baik, putraku. Sangat baik! Sangat baik! (Sadhu! Sadhu!)".

Karena jasa Samanera Sanu, dewa dan raksasa yang pernah menjadi ibunya menjadi sangat dihormati dan diberi tempat yang utama dalam perkumpulan mereka oleh para dewa dan raksasa lainnya.

Saat samanera tersebut tumbuh menjadi lebih tua, ia ingin kembali pada kehidupan sebagai umat biasa; ia pergi ke rumahnya dan meminta pakaiannya dari ibunya. Ibunya tidak ingin ia meninggalkan Sangha dan mencoba agar ia tidak melakukan hal itu, tetapi ia tetap teguh dengan keputusannya. Untuk mengulur waktu, ibunya menjanjikan untuk memberinya pakaian setelah bersantap makanan.

Saat ibunya sedang sibuk memasak makanannya, raksasa yang pernah menjadi ibunya dalam suatu kehidupan yang lampau berpikir, "Jika putraku —Sanu meninggalkan Sangha, saya akan malu dan menjadi tertawaan di antara raksasa dan dewa yang lain. Saya harus mencoba dan menghentikannya agar tidak meninggalkan Sangha".

Kemudian samanera muda dirasuki oleh raksasa tersebut. Anak laki-laki itu berguling-guling di lantai, berkomat-kamit tidak keruan dengan air liur berleleran dari mulutnya. Sang ibu merasa ada bahaya; tetangga berdatangan dan mencoba untuk mengusir makhluk halus tersebut.

Kemudian, raksasa itu berbicara, "Samanera ini ingin meninggalkan Sangha dan kembali pada kehidupan umat awam; jika ia berbuat demikian maka ia tidak akan dapat lepas dari dukkha".

Setelah mengucapkan kata-kata ini, raksasa tersebut meninggalkan tubuh anak laki-laki tersebut dan anak tersebut menjadi normal kembali.

Melihat ibunya menangis dan para tetangga berkumpul di sekitarnya, ia bertanya apa yang telah terjadi. Ibunya menceritakan pada mereka, semua yang telah terjadi pada samanera muda anaknya dan juga menjelaskan pada mereka bahwa untuk kembali pada kehidupan umat awam setelah meninggalkan Sangha adalah sangat bodoh. Sesungguhnya, meskipun hidup ia seperti orang mati.

Samanera tersebut kemudian menyadari kesalahannya. Dengan membawa tiga jubah dari ibunya, ia kembali ke vihara dan segera diterima sebagai seorang bhikkhu.

Ketika berkata tentang Samanera Sanu, Sang Buddha yang berharap untuk mengajar tentang latihan batin berkata, "AnakKu, seseorang yang tidak mengendalikan pikirannya, yang mengembara ke mana-mana, tidak dapat menemukan kebahagiaan. Karena itu, kendalikanlah pikiranmu seperti seorang pelatih gajah mengendalikan seekor gajah".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 326 berikut:

Dahulu pikiran ini mengembara,
pergi kepada objek-objek yang disukai,
diingini dan kemana yang dikehendaki.
Sekarang aku akan mengendalikannya dengan penuh perhatian,
seperti seorang penjinak gajah mengendalikan gajah dengan kaitan besi.

        Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Bhikkhu Sanu memahami 'Empat Kebenaran Mulia'. Kemudian ia mencapai tingkat kesucian arahat.


]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.







Dhammapada XXIII: 325- Kisah Raja Pasenadi Dari Kosala


KISAH RAJA PASENADI DARI KOSALA
 Dhammapada XXIII: 325


Suatu hari, Raja Pasenadi dari Kosala pergi ke vihara untuk memberi hormat kepada Sang Buddha setelah raja bersantap dengan banyak. Raja mempunyai kebiasaan makan seperempat sangku (setengah gantang) nasi dan kari daging. Saat di hadapan Sang Buddha, raja merasa sangat mengantuk sehingga ia terus menerus terangguk-angguk menahan kantuk dan hampir tidak dapat mempertahankan dirinya untuk tetap terjaga.

Kemudian ia berkata kepada Sang Buddha, "Bhante! Saya merasa sangat tidak nyaman setelah saya makan".

Padanya, Sang Buddha menjawab, "O Raja! Orang serakah banyak makan benar-benar menderita dengan cara seperti itu".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 325 berikut:

Jika seseorang menjadi malas, serakah,
rakus akan makanan dan suka merebahkan diri,
sama seperti babi hutan yang berguling-guling kesana kemari.
Orang yang bodoh ini akan terus menerus dilahirkan.

        Setelah mendengar khotbah Dhamma itu, raja mengerti pesan tersebut, berangsur-angsur mengurangi jumlah makanan yang dimakannya. Hasilnya, ia menjadi jauh lebih bersemangat dan mudah terjaga, oleh karena itu ia juga berbahagia.


]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.





Dhammapada XXIII: 324- Kisah Seorang Brahmana Tua

KISAH SEORANG BRAHMANA TUA
 Dhammapada XXIII: 324


Suatu ketika hiduplah di Savatthi seorang brahmana tua yang memiliki uang delapan laksa. Ia memiliki empat putra. Waktu setiap putranya menikah ia memberi satu laksa kepadanya. Jadi ia telah memberikan empat laksa. Kemudian istri brahmana tua meninggal dunia. Putra-putranya datang kepadanya dan merawatnya dengan baik. Kenyataannya mereka sangat mencintainya dan menyayanginya. Dengan berlalunya waktu, entah bagaimana, mereka membujuknya untuk memberikan empat laksa yang tersisa. Sehingga akhirnya brahmana tua tidak mempunyai uang sama sekali.

Beberapa waktu kemudian, brahmana tua pergi tinggal bersama putra tertuanya

Setelah beberapa hari, menantu perempuannya berkata kepadanya, "Apakah engkau memberi tambahan uang beberapa ratus atau ribu pada putramu yang tertua? Tidakkah engkau mengetahui jalan menuju rumah putra-putramu yang lain?"

Mendengar hal itu, brahmana tua menjadi sangat marah dan ia meninggalkan rumah putra tertuanya dan menuju rumah putra keduanya.

Kata-kata yang sama dibuat oleh istri putra keduanya dan orang tua tersebut pergi menuju ke rumah putra ketiganya dan akhirnya ke rumah putra keempat atau putra termuda. Hal yang sama terjadi di rumah semua putranya. Sehingga orang tua tersebut menjadi tak berdaya; kemudian, dengan membawa tongkat dan mangkuk ia pergi kepada Sang Buddha memohon perlindungan dan nasehat.

Di vihara, brahmana tua tersebut menceritakan pada Sang Buddha bagaimana putra-putranya telah memperlakukannya dan meminta pertolongan dari Beliau. Kemudian Sang Buddha memberinya beberapa syair untuk diingat dan menyuruh untuk mengucapkannya di tempat dimana ada banyak orang berkumpul.

Inti dari syair tersebut adalah: "Empat putraku yang bodoh bagaikan raksasa. Mereka memanggilku: Ayah! Ayah! Tetapi, kata-kata itu hanya keluar begitu saja dari mulutnya dan bukan dari hatinya. Mereka pembohong dan penuh tipu daya. Mengikuti nasehat istrinya, mereka mengusirku dari rumah mereka. Sehingga, sekarang saya harus mengemis. Putra-putraku itu bahkan tidak melayaniku dengan lebih baik dibandingkan tongkatku ini".

Ketika brahmana tua itu mengucapkan syair-syair itu, banyak orang di keramaian tersebut mendengarnya, pergi dengan gusar menuju putra-putranya dan bahkan beberapa di antara orang-orang itu mengancam akan membunuh mereka.

Putra-putra brahmana tersebut menjadi ketakutan dan berlutut di kaki ayah mereka untuk meminta maaf. Mereka juga berjanji bahwa mulai hari itu mereka akan merawat ayah mereka dengan layak dan akan menghormati, mencintai dan menghargainya. Kemudian mereka membawa ayah mereka ke rumah mereka; mereka juga memperingatkan istri-istri mereka untuk merawat sang ayah dengan baik. Bila para istri tidak merawatnya maka mereka akan dipukul sampai mati. Setiap putra memberi sepotong kain dan mengirim satu nampan makanan setiap hari.

Brahmana tersebut menjadi makin sehat daripada sebelumnya dan berat badannya segera kembali ke berat semula. Ia menyadari bahwa ia mendapat siraman manfaat seperti itu atas jasa Sang Buddha. Maka ia pergi menghadap Sang Buddha. Dengan rendah hati memohon Beliau untuk menerima dua nampan makanan dari empat nampan yang biasa ia terima setiap hari dari putra-putranya. Kemudian ia menyuruh putra-putranya untuk mengirimkan dua nampan makanan kepada Sang Buddha.

Suatu hari, putra tertua brahmana itu mengundang Sang Buddha ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, Sang Buddha memberi khotbah tentang manfaat yang diperoleh dengan merawat orang tua. Kemudian, Beliau bercerita kepada mereka tentang kisah seekor gajah bernama Dhanapala yang merawat orang tuanya. Dhanapala ketika ditangkap merindukan orang tuanya yang ditinggal di hutan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 324 berikut:

Pada musim kawin,
gajah ganas bernama Dhanapalaka sukar dikendalikan;
walaupun diikat kuat ia tetap tidak mau makan
karena merindukan gajah-gajah lain di hutan.

        Brahmana tua beserta empat putra dan istri-istrinya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.



]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.





Dhammapada XXIII: 323- Kisah Seorang Bhikkhu Yang Dahulu Sebagai Pelatih Gajah

KISAH SEORANG BHIKKHU YANG DAHULU SEBAGAI PELATIH GAJAH
 Dhammapada XXIII: 323


Pada suatu kesempatan, beberapa bhikkhu melihat seseorang pelatih gajah dan gajahnya di tepi Sungai Aciravati. Saat pelatih tersebut menemui kesulitan untuk mengendalikan gajahnya. Salah satu dari para bhikkhu tersebut, yang merupakan bekas pelatih gajah, berkata pada bhikkhu-bhikkhu yang lain bagaimana cara menanganinya dengan mudah. Pelatih gajah tersebut mendengarnya dan melakukan seperti yang dikatakan oleh bhikkhu tersebut. Dengan cepat gajah tersebut ditaklukkan. Setelah tiba kembali di vihara, para bhikkhu memberitahukan kejadian tersebut kepada Sang Buddha.

Sang Buddha mengundang bhikkhu bekas pelatih gajah tersebut dan berkata, "O bhikkhu yang sia-sia, yang jauh dari 'Jalan' (Magga) dan 'Hasil' (Phala)! Kau tidak mendapatkan apapun dengan menaklukkan gajah. Tak ada seorangpun yang dapat pergi ke suatu tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya (yaitu nibbana) dengan menaklukkan gajah; hanya ia yang telah menaklukkan dirinya sendiri yang dapat merealisasinya".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 323 berikut:

Tidak dengan mengendarai tunggangan seperti itu
seseorang dapat pergi ke tempat yang belum pernah didatangi (nibbana). Namun orang yang telah dapat melatih, menaklukkan,
dan mengendalikan dirinya sendiri dapat pergi
 ke tempat yang belum pernah didatangi itu (nibbana).


]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.






Dhammapada XXIII : 320-321-322- Kisah Menaklukkan Diri Sendiri

KISAH MENAKLUKKAN DIRI SENDIRI
 Dhammapada XXIII : 320-321-322


Suatu saat ayah Magandiya, karena sangat tertarik dengan kepribadian dan penampilan Sang Buddha, telah mempersembahkan anak perempuannya yang sangat cantik untuk dijadikan istri Sang Buddha Gotama. Tetapi Sang Buddha menolak persembahan itu dan berkata bahwa Beliau tidak akan mau menyentuh hal itu yang penuh dengan kotoran, sekalipun dengan kakinya. Ketika mendengar kata-kata ini, kedua ayah dan ibu Magandiya melihat kebenaran dalam kata-kata tersebut dan mencapai tingkat kesucian anagami. Tetapi Magandiya menganggap Sang Buddha sebagai musuh dan bertekad untuk membalas dendam kepada Beliau.

Kemudian ia menjadi salah satu dari tiga istri Raja Udena. Ketika Magandiya mendengar kabar bahwa Sang Buddha telah datang ke Kosambi, ia menyewa beberapa penduduk dan pelayan-pelayannya untuk mencaci maki Sang Buddha saat Beliau memasuki kota untuk berpindapatta.

Orang-orang sewaan tersebut mengikuti Sang Buddha dan mencaci maki dengan menggunakan kata-kata yang sedemikian kasar seperti "pencuri, bodoh, unta, keledai, suatu ikatan ke neraka" dan sebagainya.

Mendengar kata-kata yang kasar tersebut, Y.A. Ananda memohon kepada Sang Buddha untuk meninggalkan kota dan pergi ke tempat lain.

Tetapi Sang Buddha menolak dan berkata, "Di kota lain, kita juga mungkin dicaci maki dan tidak mungkin untuk selalu berpindah tempat setiap kali seseorang dicaci maki. Lebih baik menyelesaikan masalah di tempat terjadinya masalah. Saya seperti seekor gajah yang menahan panah-panah yang datang dari semua penjuru. Saya juga akan menahan dengan sabar caci maki yang datang dari orang-orang yang tidak memiliki moral".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 320, 321 dan 322 berikut ini:

Seperti seekor gajah di medan perang
dapat menahan serangan panah yang dilepaskan dari busur,
begitu pula Aku (Tathagata) tetap bersabar terhadap cacian; sesungguhnya,
sebagian besar orang mempunyai kelakuan rendah.
(320)

Mereka menuntun gajah
yang telah terlatih ke hadapan orang banyak.
Raja mengendarai gajah yang terlatih ke medan perang.
Di antara umat manusia, maka yang terbaik adalah
orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri
dan dapat bersabar terhadap cacian.
(321)

Sungguh baik keledai-keledai yang terlatih,
begitu juga kuda-kuda Sindhu
dan gajah-gajah perang milik para bangsawan;
tetapi yang jauh lebih baik dari semua itu adalah
orang yang telah dapat menaklukkan dirinya sendiri.
(323)

Pada akhir khotbah Dhamma tersebut, mereka yang telah mencaci maki Sang Buddha menyadari kesalahannya dan datang untuk menghormat Beliau, beberapa di antara mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti.***


]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.