Senin, Mei 28, 2012

Tekad


TEKAD
by: Tanhadi

Setelah selesai membaca buku uraian penjelasan tentang Pancasila Buddhis, seorang umat Buddhis baru mengetahui bahwa selama ini ia banyak melanggar sila dan ia pun mengetahui bahaya karma buruk yang bisa terjadi pada dirinya.

Menyadari akan hal itu, ia pun berjanji kepada dirinya sendiri, dan janji itu ditulis di dinding kamarnya yang berbunyi demikian:

“ Saya bertekad melatih diri untuk menghindari dan berhenti MEMBACA BUKU APAPUN !!!”

:D
oooOOooo



Selasa, Mei 22, 2012

Misteri Angka 13


MISTERI ANGKA 13


Di seantero dunia terdapat bermacam-macam kepercayaan, mitos, dan legenda, yang tidak terhitung banyaknya. Bagi kaum rasionalis, kepercayaan-kepercayaan orang-orang tua ini seharusnya ikut mati sejalan dengan modernisasi yang merambah seluruh sisi kehidupan manusia. Namun demikiankah yang terjadi? Ternyata tidak.

Di dalam tatanan masyarakat modern, kepercayaan-kepercayaan tahayul ini ternyata tetap eksis dan bahkan berkembang dan merasuk ke dalam banyak segi kehidupan masyarakatnya. Kepercayaan-kepercayaan ini bahkan ikut mewarnai arsitektural kota dan juga gedung-gedung pencakar langit.

Sebagai contoh kecil, di berbagai gedung tinggi di China, tidak ada yang namanya lantai 13 dan 14. Menurut kepercayaan mereka, kedua angka tersebut tidak membawa hoki. Di Barat, angka 13 juga dianggap angka sial. Demikian pula di berbagai belahan dunia lainnya. Kalau kita perhatikan nomor-nomor di dalam lift gedung-gedung tinggi dunia, Anda tidak akan jumpai lantai 13. Biasanya, setelah angka 12 maka langsung ‘loncat’ ke angka 14. Atau dari angka 12 maka 12a dulu baru 14. Fenomena ini terdapat di banyak negara dunia, termasuk Indonesia.

Mengapa angka 13 dianggap angka yang membawa kekurang-beruntungan?
Sebenarnya, kepecayaan tahayul dan aneka mitos yang ada berasal dari pengetahuan kuno bernama Kabbalah. Kabalah merupakan sebuah ajaran mistis kuno, yang telah dirapalkan oleh Dewan Penyihir tertinggi rezim Fir’aun yang kemudian diteruskan oleh para penyihir, pesulap, peramal, paranormal, dan sebagainya—terlebih oleh kaum Zionis-Yahudi yang kemudian mengangkatnya menjadi satu gerakan politis—dan sekarang ini, ajaran Kabbalah telah menjadi tren baru di kalangan selebritis dunia.

Bangsa Yahudi sejak dahulu merupakan kaum yang secara ketat memelihara Kabbalah. Di Marseilles, Perancis Selatan, bangsa Yahudi ini membukukan ajaran Kabbalah yang sebelumnya hanya diturunkan lewat lisan dan secara sembunyi-sembunyi. Mereka juga dikenal sebagai kaum yang gemar mengutak-atik angka-angka (numerologi), sehingga mereka dikenal pula sebagai sebagai kaum Geometrian.

Menurut mereka, angka 13 merupakan salah satu angka suci yang mengandung berbagai daya magis dan sisi religius, bersama-sama dengan angka 11 dan 666. Sebab itu, dalam berbagai simbol terkait Kabbalisme, mereka selalu menyusupkan unsur angka 13 ke dalamnya. Kartu Tarot misalnya, itu jumlahnya 13. Juga Kartu Remi, jumlahnya 13 (As, 2-9, Jack, Queen, King).

Penyisipan simbol angka 13 terbesar sepanjang sejarah manusia dilakukan kaum ini ke dalam lambang negara Amerika Serikat. The Seal of United States of America yang terdiri dari dua sisi (Burung Elang dan Piramida Illuminati) sarat dengan angka 13.

Inilah buktinya:

·         13 bintang di atas kepala Elang membentuk Bintang David.
·         13 garis di perisai atau tameng burung.
·         13 daun zaitun di kaki kanan burung.
·         13 butir zaitun yang tersembul di sela-sela daun zaitun.
·         13 anak panah.
·         13 bulu di ujung anak panah.
·         13 huruf yang membentuk kalimat ‘Annuit Coeptis’
·         13 huruf yang membentuk kalimat ‘E Pluribus Unum’
·         13 lapisan batu yang membentuk piramida.
·         13 X 9 titik yang mengitari Bintang David di atas kepala Elang.

Selain menyisipkan angka 13 ke dalam lambang negara, logo-logo perusahaan besar Amerika Serikat juga demikian seperti logo McDonalds, Arbyss, Startrek. Com, Westel, dan sebagainya. Angka 13 bisa dilihat jika logo-logo ini diputar secara vertikal. Demikian pula, markas besar Micosoft disebut sebagai The Double Thirteen atau Double-13, sesuai dengan logo Microsoft yang dibuat menyerupai sebuah jendela (Windows), padahal sesungguhnya itu merupakan angka 1313.

Uniknya, walau angka 13 bertebaran dalam berbagai rupa, bangsa Amerika rupa-rupanya juga menganggap angka 13 sebagai angka yang harus dihindari. Bangunan-bangunan tinggi di Amerika jarang yang menggunakan angka 13 sebagai angka lantainya. Bahkan dalam kandang-kandang kuda pacuan demikian pula adanya, dari kandang bernomor 12, lalu 12a, langsung ke nomor 14. Tidak ada angka 13.

Kaum Kabbalis sangat mengagungkan angka 13, selain tentu saja angka-angka lainnya seperti angka 11 dan 666. Angka ini dipakai dalam berbagai ritual setan mereka. Bahkan simbol Baphomet atau Kepala Kambing Mendez (Mendez Goat) pun dihiasi simbol 13. Itulah sebabnya angka 13 dianggap sebagai angka sial karena menjadi bagian utama dari ritual setan.

Friday the 13th adalah Hari sial?

Berdasarkan hasil penelitian dari Dr Donald Dossey seorang psikoterapi khusus dlm bidang “phobia” = takut dlm bhs Yunani, di AS saja ada lebih dari 21 juta orang yang memiliki penyakit “paraskevidekatriap hobia” atau rasa takut akan hari Jumat tgl 13. Dan menurut laporan dari “The Stress Management Center and Phobia Institute” di Asheville – AS, tenyata setiap hari Jumat tgl 13, ekonomi Amerika mengalami kerugian antara 800 s/d 900 juta AS$, karena banyak orang yg ogah travelling, bekerja ataupun melakukan kegiatan bisnis apapun juga.

Kenapa angka 13 adalah angka sial ?

Sedangkan kepercayaan 13 sebagai nomor sial itu timbulnya dari orang Kristen, karena Yudas menduduki kursi yg 13 dan ia menjual Yesus tepat jam 13.00. Disamping itu angka tsb berada satu poin diatas angka sempurna 12 atau melebihi kekuatan puncak, maka dgn mana otomatis akan membawa sial, maklum murid Yesus terdiri dari 12 orang, suku Israel 12, siang-malam 12 jam, bulan 12, dewa Olympus 12.

Bila numerologi Barat memandang angka 13 sebagai angka sial, hal yang sama berlaku pula di masyarakat Cina. Namun mungkin dilihat dari sudut pandang yang berbeda. “Kalau dijumlah 1+3 hasilnya 4. Dan angka ‘empat’ sendiri dalam bahasa Cina bila diucapkan dengan intonasi berbeda (sie) bisa memberikan 2 makna yaitu empat dan mati = sial!

Bahkan kalau dihitung tgl 13 Oktober 2006 ini adalah benar-benar angka sial tulen cobalah Anda jumlahkan: 13-10-2006 = 1+3+1+0+2+6 = 13 (tigabelas lagi)

Dan apabila nama Anda terdiri dari 13 abjad maka ini harus hati2 sebab para pembunuh sadis memiliki nama yg terdiri dari 13 abjad lihat saja: Jack the Rippe, Charles Manson, Theodore Bundy dan Albert De Salvo.

Trikaideka-phobia , takut akan angka 13, sedemikian hebatnya sehingga kalau anda makan malam di Hotel berbintang Savoy di London, dan kebetulan anda datang rame-rame ber 13 maka si Manager Hotel Mr Paul, akan cepat-cepat mengeluarkan mascot dua kucing hitam yg didudukan di kursi khusus , untuk menemani anda sekalian dimeja makan! Biar yang makan jadi 15, kalau tidak, “It is believed that one of the 13 diners will die within a year. Begitu wanti-wanti sang manager.

Berapa banyak hotel atau permukiman yang pantang mencantumkan angka 13 untuk nomor lantai, kamar, maupun rumah. Lotere di Itali, Perancis tidak ada nomer 13 nya. Begitu juga tidak ada nama jalan di Amerika yang menggunakan 13th Street atau 13th Avenue .

Darimana timbulnya kepercayaan ini? Diduga, Pythagoras – figur seniman, filsuf, dan guru dari abad 6 SM, secara tak langsung mendorong para pengikutnya melahirkan pemahaman baru, numerologi.

Apakah disemua Negara Eropa mereka takut akan Hari Jumat tgl 13 ?
Tidak !,  sebab di negara-negara Amerika Latin, di Yunani maupun di Spanyol hari “Selasa” tgl 13 adalah hari sial, sehingga ada pepatah “En martes, ni te cases ni te embarques” = di hari Selasa janganlah melakukan perkimpoian ataupun perjalanan.

Sedangkan di Italy hari sialnya adalah hari Jumat tgl 17

Tetapi bagaimana dgn di Indonesia ?
Disini kita percaya bahwa angka 12 adalah angka sial buktinya orang sering ngomong ‘Cilaka 12″

Sumber : Internet


Asal-Usul Papan Nama Sembahyang Leluhur


ASAL USUL PAPAN NAMA SEMBAHYANG LELUHUR


Dahulu kala, disebuah desa kecil di negeri cina hiduplah seorang ibu tua bersama seorang anak laki-lakinya. Sehari-harinya si anak bekerja disawah mereka yang tak begitu luas. Saat menjelang siang setiap harinya sang ibu mangantar makan siang untuk anaknya. Namun malang, jika sang ibu terlambat mangantar makanan anaknya maka si anak akan memarahinya dan tak segan untuk memukul ibunya.

Suatu hari, matahari begitu terik menyinari bumi. Karena kelelahan si anak beristirahat dibawah pohon. Sambil mengipasi dirinya, ia mengamatin sekitarnya. Pandangannya tertuju pada anak-anak kambing yang sedang menyusu kepada induknya dengan posisi sujud. Si anak tertegun.

‘Wah kambing saja begitu menghormati induknya, bahkan saat menyusui saja harus sujud dihadapan induknya, sedangkan aku, aku bahkan memukuli ibu bila terlambat mengantar makananku, sungguh tak berguna aku’.

Dalam hati si anak bertekad untuk selanjutnya akan menghormati ibunya dan tidak akan memarahi ibunya apalagi memukul ibunya lagi. Dari kejauhan tampak sang ibu sedang berjalan menuju tempat anaknya. Sang ibu terlihat begitu kelelahan dibawah terik matahari siang itu.

Melihat ibunya dari kejauhan, si anak tak sabar lagi sambil berlari menyusul ibunya ia berteriak memanggil.

”ibu…..ibu...…ibu…....!”
”ibu...…ibu…..ibu…....!”

Bukan kepalang kaget sang ibu melihat anaknya berlari kearahnya sambil berteriak-teriak.

’Ya..Tuhan, salah apalagi aku hari ini hingga anakku begitu marah padaku ia pasti akan memukuliku’. Pikir sang ibu dengan sangat sedih. ‘Hari ini aku tidak akan membiarkan dia memukulku lagi’.

Sang ibu pun berbalik dan berlari menghindari anaknya sementara si anak terus mengejar. Si anak semakin mendekat dan sang ibu pun berlari sangat kencang sekuat tenaga. Hingga akhirnya, sampailah sang ibu dibibir sungai

Sungai tersebut tidak terlalu dalam namun airnya tidak pernah kering. Tanpa pikir panjang, sang ibu pun melompat kedalam sungai tersebut karena melihat anaknya sudah hampir mendekati dirinya.

Bukan main kaget si anak melihat ibunya manceburkan diri ke dalam sungai. Ia menunggu dan berharap agar ibunya muncul ke permukaan sungai. Namun, ibunya tak kunjung muncul juga. Ia pun menangis dan meratap dipinggir sungai dengan sangat sedih. Beberapa saat kemudian ia melihat sekeping papan mengapung dipermukaan sungai. Ia langsung mengambil papan tersebut untuk kemudian ia bawa pulang dan dalam hatinya ia berpikir ‘sepotong kayu ini adalah pengganti ibu dan kini ibu telah tiada’.

Setiap hari si anak bersujud dan berdoa untuk ibunya melalui sepotong papan tersebut.

Kadang-kala ia juga menyajikan makanan kesukaan ibunya didepan papan tersebut, walaupun setiap kali makanan tersebut masih tetap ada tak bergerak sedikit pun.

Hingga suatu hari si anak menikah, ia pun selalu berpesan kepada isterinya untuk selalu menghormati dan melakukan seperti apa yang ia lakukan terhadap papan tersebut. Lama-kelamaan si isteri bosan karena tiap hari selalu menyembah papan tersebut. Maka lalailah ia menjalankan kewajibannya. Tak jarang si isteri pun tidak menyembah papan tersebut hingga si suami mendapati potongan papan tersebut mengeluarkan darah. Si suami pun memarahi isterinya dan menjelaskan bahwa papan tersebut merupakan symbol dari ibunya. Dengan demikian, mengertilah si isteri dan ia tak pernah lagi lalai melaksanakan kewajibannya dan papan tersebut tidak lagi mengeluarkan darah.


Kisah diatas merupakan asal-usul orang Tionghoa menghormati leluhur dengan memasang kayu nisan pada kuburan leluhurnya. Konon katanya papan tersebut diukir nama leluhur beserta tanggal meninggal dan dibubuhi cat merah pada nama leluhur yang meninggal, sedangkan cat hijau untuk nama keluarga lain seperti isteri atau suami..

Di negara China masyarakat banyak yang tidak percaya Tuhan, Mereka sangat percaya hukum sebab akibat, dimana jika kita berbuat baik, kebaikanlah yang kita dapat, jika kita berbuat jahat, maka kejahatan pula upah yang kita terima. Hormat pada leluhur itulah akar dari semua berkat kehidupannya.

Sumber : Internet


Senin, Mei 21, 2012

Bakar Kertas Apakah Bermanfaat ?


BAKAR KERTAS APAKAH BERMANFAAT ?
Oleh : UP. Sudharma SL.

Sering timbul salah pengertian di kalangan masyarakat yang non-Buddhis (bukan beragama Buddha), bahwa tradisi "Bakar Kertas" adalah merupakan bagian dari ajaran Agama Buddha, bahkan sebagian dari umat Buddha pun beranggapan demikian. Terasa seakan kurang lengkap apabila dalam upacara sembahyang tidak dilaksanakan tradisi "Bakar Kertas" ini.

Sejak zaman dulu sebenarnya ada 2 jenis kertas yang digunakan dalam tradisi ini, yaitu kertas yang bagian tengahnya berwarna keemasan (Kim Cua) dan kertas yang bagian tengahnya berwarna keperakan (Gin Cua). Menurut kebiasaan-nya Kim Cua (Kertas Emas) digunakan untuk upacara sembahyang kepada dewa-dewa, sedangkan Gin Cua (Kertas Perak) untuk upacara sembahyang kepada para leluhur dan arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia.

Mereka yang mempercayai tradisi ini beranggapan bahwa dengan membakar kertas emas dan perak itu berarti mereka telah memberikan kepingan uang emas dan uang perak kepada para dewa atau leluhur mereka; sebagaimana diketahui kepingan emas dan perak adalah mata uang yang berlaku pada zaman Tiongkok kuno.

Tetapi ternyata kemajuan zaman telah mempengaruhi pula tradisi ini, sekarang yang dibakar bukan hanya kertas emas dan perak, ada pula sejenis uang kertas dengan nilai nominal aduhai (milyaran), yang bentuknya mirip dengan uang kertas yang digunakan pada zaman sekarang. Yang membedakannya adalah kalau pada uang kertas yang berlaku pada umumnya ada yang bergambar kepala negara atau pahlawan, tetapi pada uang kertas yang akan dikirim kepada para leluhur yang telah meninggal ini bergambar Yen Lo Wang (Giam Lo Ong) yakni Dewa Yama, penguasa alam neraka, dan adanya tulisan "Hell Bank Note" (Mata Uang Neraka). Entah dari mana asal mula timbulnya ide untuk membuat dan membakar uang kertas akhirat seperti itu, mungkin dasar pemikirannya adalah karena sekarang mata uang tidak lagi berupa kepingan emas dan perak, melainkan uang kertas; tentunya di alam sana juga perlu penyesuaian.

Apakah benar tradisi "Bakar Kertas" ini berdasarkan ajaran Agama Buddha ? Apakah ada manfaatnya ?, dan bagaimanakah sesungguhnya pandangan Agama Buddha mengenai tradisi ini ? Pembicaraan mengenai hal ini cukup menarik, ada yang pro dan ada pula yang kontra, bahkan anti sama sekali.

Agama Buddha adalah agama yang penuh dengan toleransi, dalam arti agama Buddha dapat menerima pengaruh tradisi atau budaya manapun selama hal itu tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Agama Buddha (Buddha Dharma). Dan dalam hal ini tentu perlu pula dipertimbangkan apakah hal itu bermanfaat bagi kemajuan batin kita atau tidak. Begitu pula dengan tradisi "Bakar Kertas" ini apakah hal ini bertentangan atau tidak dengan prinsip dasar ajaran Buddha Dharma ? Marilah kita tinjau lebih lanjut.

Asal-Usul Tradisi "Bakar Kertas"

Konon tradisi "Bakar Kertas" ini baru dimulai pada zaman pemerintahan Kaisar Lie Sie Bien (Lie She Min) dari Kerajaan Tang di Tiongkok. Lie Sie Bien adalah seorang kaisar yang adil dan bijaksana, sehingga beliau dicintai oleh rakyatnya.

Pada suatu hari tersebar kabar bahwa Kaisar menderita sakit yang cukup parah, mendengar kabar ini rakyat menjadi sedih. Beberapa hari kemudian secara resmi keluar pengumuman dari Kerajaan bahwa Kaisar Lie Sie Bien meninggal dunia. Rakyat benar benar berduka-cita karena merasa kehilangan seorang Kaisar yang dicintai, sebagai ungkapan rasa duka-cita ini penduduk memasang kain putih di depan pintu rumahnya masing-masing tanda ikut berkabung atas mangkatnya Sang Kaisar.

Sebagaimana tradisi pada waktu itu, jenazah Kaisar tidak langsung dikebumikan, melainkan disemayamkan selama beberapa minggu untuk memberi kesempatan pada para pejabat istana dan rakyat untuk memberikan penghormatan terakhir.

Alkisah, setelah beberapa hari kemudian Kaisar Lie Sie Bien hidup kembali atau bangkit kembali dari kematiannya. Dan kemudian beliau bercerita mengenai perjalanan panjangnya menuju alam neraka, yang dialaminya selama saat kematiannya.

Dimana salah satu cerita beliau, adalah ketika beliau dalam perjalanan menuju alam neraka, sang Kaisar bertemu dengan ayahbunda, dan sanak keluarga, serta teman-temannya yang telah lama meninggal dunia. Dimana dikisahkan bahwa kebanyakan dari mereka berada dalam keadaan menderita kelaparan, kehausan, dan serba kekurangan walaupun dulu semasa hidupnya mereka hidup senang dan mewah. Keadaan mereka sangat menyedihkan, walaupun saat ini anak-anak dan keturunannya yang masih hidup berada dalam keadaan senang dan bahagia. Makhluk-makhluk yang menderita ini berteriak memanggil Lie Sie Bien untuk minta pertolongan dan bantuannya untuk mengurangi penderitaan mereka. Menurut Kaisar mereka ini sangat mengharapkan bantuan dan pemberian dari keturunan dan sanak-keluarganya yang masih hidup.

Lalu sang Kaisar menghimbau dan menganjurkan agar keturunan dan sanak keluarga yang masih hidup jangan sampai melupakan leluhur dan keluarganya yang telah meninggal. Kita yang masih hidup wajib mengingat dan memberikan bantuan kepada mereka yang menderita di alam sana, sebagai balas budi kita kepada leluhur kita itu. Untuk itu keluarga yang masih hidup dianjurkan untuk mengirimkan bantuan dana/ uang kepada mereka yang berada di alam penderitaan itu. Dan dana bantuan itu adalah berupa "Kertas Emas dan Perak" yang dibakar dan kemudian akan menjelma menjadi kepingan uang emas dan perak di alam sana, sehingga dapat dipergunakan oleh ayahbunda, leluhur, dan sanak keluarga yang berada di alam sana untuk meringankan penderitaan mereka.

Karena yang berkisah ini adalah seorang Kaisar yang sangat dihormati dan dicintai segenap rakyatnya, maka tentu saja cerita ini dipercayai, dan himbauan kaisar langsung mendapatkan tanggapan yang baik dari para pejabat, bangsawan, dan seluruh rakyat kerajaan Tang.

Tetapi sekarang persoalannya, siapakah yang akan membuat "kertas emas dan perak" itu, untuk kemudian dijual kepada yang mau membakarnya atau mengirimkannya kepada leluhur dan sanak keluarganya yang telah meninggal ?

Lie Sie Bien adalah seorang yang cerdas, beliau tahu betul bahwa dari sekian luas wilayah kerajaan Tang (Tiongkok), tidak semua daerah tersebut sama kesuburan tanahnya, ada daerah-daerah yang gersang dan tandus, yang hanya dapat ditumbuhi pohon bambu yakni bahan baku untuk pembuat kertas pada waktu itu. Nah, penduduk daerah inilah yang dikerahkan untuk membuat "kertas emas dan perak" untuk keperluan sembahyang kepada para leluhur itu.

Apakah sesungguhnya yang terjadi ? Betulkah Kaisar Lie Sie Bien meninggal dunia dan melakukan perjalanan ke alam neraka ? Benarkah kisah perjalanan yang diceritakan oleh sang Kaisar ? Banyak orang yang percaya bahwa Kaisar Lie Bie Bien benar-benar pernah meninggal dan melakukan perjalanan ke alam neraka, dan apa yang dikisahkannya itu sungguh-sungguh terjadi. Tetapi tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa kejadian "mati suri" nya Kaisar Lie Sie Bien dan kisah perjalanannya ke neraka hanya rekayasa sang Kaisar untuk tujuan politis.

Dimana penggambaran alam neraka seperti yang diceritakan beliau diambil dari penggambaran alam neraka dalam kitab-kitab suci Agama Buddha, karena Kaisar Lie Sie Bien adalah seorang Buddhis (beragama Buddha) yang cukup banyak mendalami ajaran-ajaran Agama Buddha (Buddha Dharma).

Seperti kita ketahui, bahwa di zaman itu di Tiongkok berlaku sistim feodal, dimana terjadi jurang perbedaan yang sangat nyata antara tuan-tuan tanah, bangsawan, dan pedagang yang kaya raya dengan segala kemewahan yang berlimpah ruah, dengan kaum petani, buruh dan rakyat jelata yang hidup miskin, melarat, penuh kesengsaraan dan serba kekurangan. Orang-orang kaya ini sama sekali tidak punya kepedulian terhadap orang-orang miskin, bahkan mereka menindas kaum miskin ini.

Sebagai seorang kaisar yang adil dan bijaksana, tentu saja Lie Sie Bien tidak setuju dengan keadaan ini, tetapi beliau juga tidak bisa sewenang-wenang memaksa kaum kaya ini untuk mempunyai kepedulian dan mau membantu kaum miskin. Maka terpaksalah beliau menggunakan taktik untuk menciptakan pemerataan kehidupan dan menolong kaum miskin itu, yakni dengan merekayasa peristiwa kematian beliau dan perjalanannya ke alam neraka.

Barisan terdepan dari mereka yang mengikuti himbauan dan ajuran Kaisar Lie Sie Bien untuk membakar "Kim Cua dan Gin Cua" untuk di kirimkan sebagai dana bantuan kepada leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal sudah tentu adalah orang-orang kaya yang punya banyak uang untuk membeli "kertas emas dan perak" yang dibuat oleh orang-orang miskin; sehingga dengan demikian rakyat jelata yang miskin ini jadi terbantu dan punya penghasilan, terjadilah pemerataan pendapatan.

Secara keagamaan pun tradisi ini pada mulanya bermanfaat, yaitu agar anak dan sanak keluarga yang masih hidup senantiasa ingat pada leluhur/ keluarga yang telah mendahului sekaligus sebagai ungkapan balas budi atas jasa dan kebaikan mereka, dan selalu berdoa serta mengharapkan kebahagiaan mereka di alam sana.
Bagaimana pada zaman sekarang ?

Zaman terus berubah, tradisi yang tadinya sengaja dicetuskan oleh Kaisar Lie Sie Bien dengan maksud dan tujuan yang baik, yakni membantu dan menolong kaum miskin, sekarang masalahnya menjadi lain. "Kertas Emas dan Perak" yang dulunya di produksi oleh home industry (industri rumah tangga) orang-orang miskin, sekarang sudah di produksi secara massal oleh pabrik-pabrik yang tentunya milik pengusaha kaya. Sehingga maksud dan tujuan untuk pemerataan penghasilan sudah tidak bermakna lagi.

Kalau dulu upacara "Bakar Kertas" itu selalu diiringi dengan doa dan harapan untuk kebahagiaan para leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal, saat ini makna ini sudah semakin kabur karena tidak banyak lagi orang yang tahu asal mula, maksud dan tujuan sesungguhnya dari tradisi "Bakar Kertas" ini. Malah sekarang ada anggapan bahwa semakin banyak "kertas emas dan perak" ini dibakar adalah semakin baik, dan membuat leluhur dan sanak keluarga semakin kaya dan semakin senang di alam sana.

Ditambah lagi dengan berbagai ide yang menyesatkan, seperti membuat uang kertas "Hell Bank Note", peralatan-peralatan modern/ canggih dari kertas (seperti pesawat televisi, hand phone, mobil mewah, televisi, parabola, dll) untuk dibakar guna dikirimkan pada leluhur dan sanak keluarga di alam sana, tentunya akan semakin mengaburkan maksud dan tujuan tradisi "Bakar Kertas" ini.

Bagaimanakah pandangan Agama Buddha ?

Agama Buddha adalah agama yang penuh dengan toleransi, walaupun bukan berarti bahwa agama Buddha bersikap menerima tradisi apapun dalam ritual a-gama Buddha. Tradisi "Bakar Kertas" yang masih dilaksanakan pada saat ini jelas tidak sesuai dengan ajaran agama Buddha.

Alangkah baik dan bijaksana bilamana uang yang tadinya akan digunakan untuk pembelian "kertas emas dan perak" itu dipergunakan untuk membantu orang-orang yang memerlukan bantuan/ pertolongan, atau membeli sesuatu yang dapat diberikan/ disumbangkan pada mereka yang membutuhkannya; misalnya : disumbangkan ke Vihara, Panti Asuhan, Panti Jompo, Panti Anak Cacat, memberikan dana pada anggota Sangha (Bhikkhu/ Bhikkhuni), atau disumbangkan pada pengemis, orang-orang miskin, korban bencana alam, dan lain sebagainya. Bantuan dan sumbangan tersebut kita berikan dengan mengenang dan mengatasnamakan orangtua/ leluhur dan sanak keluarga kita yang telah meninggal itu. Inilah yang di dalam agama Buddha dinamakan "Upacara Pelimpahan Jasa (Pattidana)", sehingga uang kita tidak menjadi sia-sia untuk membakar kertas dan segala sesuatu yang tidak bermanfaat itu.

Tetapi dalam hal ini agama Buddha tidak mengambil sikap menentang keras atau anti terhadap tradisi tersebut, karena menyadari bahwa melaksanaan tradisi tersebut hanya semata-mata karena ketidaktahuan, kurangnya pengertian, dan kepatuhan pada tradisi secara membabi buta, bukan karena tujuan untuk menentang atau melanggar ajaran agama Buddha.

Jika masih ada generasi tua yang melaksanakan tradisi "Bakar Kertas" itu, kita tidak perlu menentang, mengejek, menghina, atau pun melecehkan apa yang mereka lakukan; tetapi seharusnya kewajiban kita adalah untuk memberikan pengertian dan penjelasan secara bijaksana tentang tradisi tersebut, sehingga mereka berangsur-angsur jadi mengerti dan menyadari kekeliruannya dan mau dengan ikhlas dan sukarela untuk memperbaiki/ merubahnya. Sungguhpun harus diakui bahwa tidaklah mudah untuk merubah suatu tradisi yang sudah mendarah-daging, meski pun demikian kita tetap harus mencobanya; syukur jika berhasil, tetapi bila tidak berhasil kita tidak perlu kecewa, putus asa, atau pun memaksakannya pada mereka.

"Ajaran Buddha merupakan petunjuk spiritual, dan Beliau tidak pernah memaksakannya".




Di Kremasi Atau Di Makamkan ?


DI KREMASI ATAU DI MAKAMKAN ?


Dalam Agama Buddha tidak ada peraturan yang mewajibkan apakah jenazah seorang umat Buddha harus diperabukan atau dimakamkan. Pilihan atas dua macam cara umum itu ataupun cara-cara lainnya [misalnya disumbangkan ke rumah sakit untuk penelitian medis] dianggap sebagai hak asasi yang bersangkutan. Apabila ada pesan yang disampaikan sebelum meninggal dunia, pesan itulah yang layak dipenuhi sebagai suatu penghormatan terhadap orang yang mati. Seandainya tidak ada pesan yang ditinggalkan, hal ini tergantung keputusan sanak keluarga yang bersangkutan.

Walaupun tidak ada peraturan yang bersifat wajib, perabuan menempati prioritas tertinggi dalam tradisi Buddhis. Ini bersumber pada Mahaparinibbana Sutta. Dalam wejangan terakhir tersebut, Buddha Gotama meninggalkan pesan kepada Ananda Thera untuk memperabukan jenazah-Nya. Sumber-sumber lain dalam Kitab Suci Tipitaka menunjukkan bahwa para siswa utama Beliau juga memilih perabuan. Dengan pertimbangan ini, kiranya layak bagi umat Buddha untuk menerapkan serta melestarikan cara ini.

Ada sementara umat Buddha yang menghindari perabuan dengan alasan kasihan yang mati akan kepanasan karena terbakar api. Ini adalah suatu alasan dangkal yang bersifat kekanak-kanakan. Kematian adalah perpisahan mutlak antara tubuh jasmaniah dengan unsur-unsur batiniah. Makhluk yang sudah mati tidak lagi memiliki perasaan, ingatan, corak batin serta kesadaran. Karena itu, ia sudah tidak akan merasa apa pun atas jenazah yang ditinggalkannya. Lagipula, kalaupun ada perasaan semacam itu, apakah ia tidak akan merasa kepengapan apabila dikubur/dipendam dalam tanah? Adakah cara lain yang lebih baik?

'Perabuan' adalah terjemahan baku kata `cremation' (kremasi). Kata ini sesungguhnya berasal dari kata Latin 'cremo' yang secara harfiah berarti `membakar' -khususnya pembakaran jenazah.

Kebanyakan ahli purbakala memprakirakan bahwa perabuan diperkenalkan sebagai suatu cara memusnahkan mayat pada Zaman Batu -sekitar 3,000 tahun Sebelum Masehi. Cara yang agaknya pertama kali dipakai di Eropah atau Timur Dekat ini kemudian dipakai secara umum di Yunani (800 SM) dan Roma (600 SM). Perabuan merupakan lambang kebesaran (status symbol). Ketika Kristen menjadi agama-negara Kekaisaran Roma pada sekitar tahun 100 Masehi, tatkala banyak penganut agama lain diasingkan dan dibinasakan, pemakaman (penguburan jenazah) merupakan sate-satunya cara yang dipakai di seluruh penjuru Eropah. Tepatnya pada tahun 1886, Gereja Roman Katholik secara resmi melarang pelaksanaan perabuan jenazah. Jemaat gereja yang ketahuan mengatur penyelenggaraannya akan dikucilkan (excommunicated). Ini berlangsung hingga masa Perang Dunia ke-II. Pada tahun 1961, Patrick Konstantinopel dari Gereja Orthodoks Timur memfatwakan bahwa: "Memang tidak ada peraturan orthodoks yang resmi terhadap perabuan, namun ada adat-istiadat yang kuat serta rasa kecenderungan terhadap pemakaman ala Kristen."

Ada dua alasan utama yang melandasi penolakan terhadap perabuan. Yang pertama adalah kekhawatiran yang berkaitan dengan kebangkitan tubuh dari mati serta penyatuan kembali dengan roh kekal sebagaimana yang dijanjikan. Apabila mayatnya dibakar hingga musnah tak berbekas, d.ikhawatirkan akan timbul masalah dalam penyatuan jasmaniah-rohaniah tersebut. Ini bersumberkan pada Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 15:35-44. Alasan kedua, dalam masyarakat Israel kuno, pembakaran mayat lazimnya hanya diperuntukkan bagi para penyembah berhala, orang berdosa, pelaku kejahatan serta musuh. Dalam Kitab Kejadian 38:24, misalnya, dituliskan bahwa Yehuda memerintahkan agar menantu wanitanya yang sedang hamil anak kembar dibakar hingga mati karena dituduh telah melakukan perzinahan. Apabila seorang laki-laki menikahi wanita sekaligus ibunya, menurut Kitab Imamat 20:14, itu merupakan suatu perzinahan. Ketiga orang itu harus dibakar dalam api. Dalam bait ke 21:9, hukuman yang sama dija tuhkan kepada anak wanita seorang imam yang menjadi pelacur. Bahkan Tuhan sendiri, sebagaimana yang dikisahkan dalam Kitab Bilangan 16:35, memberangus Korah beserta 250 orang Israel karena menentang Nabi Musa. Sumber-sumber lain dalam Kitab Perjanjian Lama dapat dijumpai di Keluaran 32:20, Yosua 7:15-25, Hakim-Hakim 15:6, I Samuel 31:11-13, II Raja-raja 10:26, Yeremia 29:22, Amos 2:1. Sementara itu, sumber dalam Kitab Perjanjian Baru terdapat dalam Wahyu kepada Yohanes 20:15.

Para penganut Agama Kristen cenderung memilih pemakaman karena cara inilah dikehendaki oleh Tuhan terhadap jenazah Nabi Musa (Yosua 34:6). Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 15:35¬44 menceritakan bagaimana Tuhan membangkitkan tubuh orang-orang yang percaya. Sumber-sumber lain bertebaran di Kitab Kejadian, Yosua, Matius, Kisah Para Rasul.

Karena sedemikian besar manfaat serta kepraktisan perabuan dibandingkan dengan pemakaman (dengan segala dampak negatifnya: pencemaran lingkungan, pemborosan tempat, biaya dan sebagainya); pada zaman modern sekarang ini banyak orang yang memilih perabuan jenazah meskipun kurang begitu bersesuaian dengan ajaran agama yang dipercayai. Di kebanyakan negara besar di Eropah, lebih dari separo memakai cara perabuan. Di Jepang, perabuan yang pernah dilarang pada tahun 1875, kini diterapkan secara hampir menyeluruh.( Perabuan telah dikenal di Jepang sejak tahun 703 Masehi; hingga tahun 1644 semua kaisar diperabukan ) Di Amerika Serikat dan Kanada, telah dibangun lebih dari 30,000 tempat perabuan (crematorium) dengan statistik lebih dari setengah juta jenazah per tahun.

Sumber : Internet


Tradisi Pembakaran Kertas


TRADISI  PEMBAKARAN KERTAS

Pembakaran kertas sendiri bermula dari daratan Tiongkok dan tidak ada hubungannya dengan Buddhisme. Tradisi ini bermula dari rasa kekhawatiran masyarakat Tiongkok akan familinya yang meninggal. Bahkan tradisi ini merupakan bentuk pengalihan dari tradisi sebelumnya yaitu membakar hal-hal yang sebenarnya seperti baju famili yang meninggal sampai pada membakar seorang prajurit sebagai penjaga Kaisar yang meninggal. Karena tradisi ini dilihat terlalu kejam dan memakan biaya yang besar, maka digunakan kertas yang menyerupai benda aslinya.

Dan akhirnya tradisi ini merambat pada umat Buddha di Tiongkok. Dari rasa kekhawatiran masyarakat Tiongkok akan familinya yang meninggal, tradisi ini dialih fungsikan sebagai persembahan kepada para Buddha dan bodhisatva. Meskipun dialih fungsikan ternyata tradisi ini intinya adalah pemujaan terhadap PRIBADI bukan sifat kebuddhaan. Beberapa umat Buddha tradisional bahkan masih menganggap dengan melakukan tradisi ini akan mendapatkan balasan secara langsung dari para Buddha maupun bodhisatva, bahkan mengharapkan balasan yang lebih banyak/besar jumlahnya dari yang ia bakar.

ANDAIKATA para Buddha yang sudah parinirvana itu bisa menerima kertas yang dibakar, pertanyaannya : “Untuk apa uang kertas itu bagi para Buddha? Jika suatu bentuk persembahan, bakti mengapa tidak berbentuk buah saja sehingga para Buddha bisa langsung memakannya?”.

Mengikuti tradisi setempat tidaklah dilarang dalam Buddhisme selama tidak bersifat negatif. Dan sebagai umat Buddha kita harus mengetahui dan meluruskan bahwa TRADISI INI BUKAN AJARAN BUDDHISME. Sehingga di masa depan generasi kita tidak dibingungkan oleh tradisi yang dianggap sebagai ajaran Buddhisme.

Sumber : Internet


Minggu, Mei 20, 2012

Ungkapan Buddhis Dalam Kehidupan Bermasyarakat


UNGKAPAN BUDDHIS DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT


a. Namo Buddhaya
Bermakna ‘Hormat kepada Sang Buddha’. Istilah ini digunakan oleh umat Buddha sebagai kata pembuka untuk memulai pembicaraan ataupun dalam menulis surat.

Catatan :
pembacaan doa Buddhis dimulai dengan ‘Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasāmbuddhassa’ dan diakhiri dengan ‘Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā’.

b. Mettacittena
Bermakna ‘Dengan pikiran cinta kasih’. Digunakan sebagai kata penutup untuk mengakhiri suatu surat.

c. Anumodana
Bermakna ‘Berbahagia atas perbuatan baik yang dilakukan oleh orang lain’. Ungkapan ini dipakai seseorang sebagai pernyataan yang ditujukan kepada orang lain yang telah melakukan suatu perbuatan baik pada dirinya, sebagai suatu ungkapan yang lebih bernilai daripada sekedar ucapan ‘terima kasih’ yang biasa disampaikan.

d. Sukhi Hontu
Bermakna ‘Semoga berbahagia’, disampaikan untuk mendoakan kebahagiaan seseorang atau pihak lain yang dituju.

e. Sabbe Sankhara Anicca
Bermakna ‘Segala sesuatu yang tercipta tidak kekal’, suatu ungkapan yang menyatakan bahwa di alam semesta ini tidak ada sesuatu yang kekal abadi dan tidak berubah.

Umumnya dipergunakan sebagai ungkapan pada saat seseorang meninggal dunia (yang merupakan suatu kondisi perubahan perpindahan dari alam ini ke alam lain sesuai dengan kamma masing-masing).

Umat Buddha dapat pula menyampaikan ungkapan : “Semoga almarhum/ almarhumah memperoleh kebahagiaan tertinggi” pada saat berdoa di depan jenazah atau dituliskan pada sampul/kartu tanda simpati.


Sumber :
BUKU PANDUAN KURSUS DASAR AGAMA BUDDHA
Diterbitkan oleh Pengurus Pusat Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia, Jl. Agung Permai XV/12 Blok C Sunter Agung Podomoro- Jakarta Utara 14350, Edisi Pertama, 2008.



Sabtu, Mei 12, 2012

Bhikkhu


B H I K K H U
Oleh: Bhikkhu Dhammiko

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa


Hatthasaññato pādasaññato, vācāsaññato saññatuttamo
Ajjhattarato samāhito, eko santusito tamāhu bhikkhu’ti.

“Seseorang yang mengendalikan tangan dan kakinya, ucapan dan pikirannya,
yang bergembira dalam Samadhi dan memiliki batin yang tenang,
 yang berpuas berdiam seorang diri,
maka orang lain menamakan dia seorang “bhikkhu”.”
(Dhammapada 362)


Arti :

1. Bhikkhu berasal dari akar kata bhik atau bhikkha, yang artinya orang yang meminta. Pengartian ini muncul karena kebiasaan para bhikkhu yang setiap pagi mengumpulkan dana makanan dari rumah ke rumah penduduk (piṇḍapāta). Karena itulah maka dalam Bahasa Inggris kata bhikkhu sering diterjemahkan dengan istilah beggar, pengemis. Namun sesungguhnya arti ini tidaklah tepat, piṇḍapāta yang dilakukan para bhikkhu tidak sama dengan aktivitas para pengemis, karena pada saat bhikkhu piṇḍapāta ia memberikan kesempatan kepada umat untuk melakukan tindakan berjasa dengan memberikan sokongan kepada ia yang menjalani kehidupan brahmacari. Karena itulah maka pada saat bhikkhu piṇḍapāta dia tidak boleh memilih-milih rumah yang dilaluinya, setiap rumah hendaknya dihampiri, setiap orang hendaknya diberikan kesempatan untuk berbuat kebajikan, seorang bhikkhu hendaknya menjadi ladang yang siap ditanami oleh siapapun.

2. Bhante Buddhaghosa seorang komentator Kitab Suci Pali, Penulis Kitab Visuddhimagga, seorang Sarjana Buddhis yang hidup di abad V Masehi, memberikan pengertian bahwa bhikkhu adalah orang yang melihat bahaya samsara (lingkaran kelahiran-kematian), karenanya ia berjuang melaksanakan Dhamma-Vinaya agar terbebas dari samsara.

3.  Dalam Dhammapada, Bhikkhuvagga Gatha 362, Sang Buddha mengartikan bhikkhu adalah:

“Seseorang yang mengendalikan tangan dan kakinya, ucapan dan pikirannya, yang bergembira dalam Samadhi dan memiliki batin yang tenang, yang berpuas berdiam seorang diri, maka orang lain menamakan dia seorang “bhikkhu”.”

Tugas & Kewajiban Seorang Bhikkhu
Seseorang yang telah memasuki kehidupan ke-bhikkhu-an memiliki tugas dan kewajiban melaksanakan Dhamma dan Vinaya.

Ada peraturan yang harus dilatihnya. Ada dua macam peraturan yang dilatih oleh seorang bhikkhu: 1. Peraturan yang mengarah pada kesucian, dan 2. Peraturan yang mengarah pada kepantasan hidupnya sebagai bhikkhu.

1.  Peraturan yang mengarah pada kesucian.
Ada Empat Latihan Sila yang jika dijalani mengarah pada terealisasinya kesucian:

·         imokkha Savara Sīla: mengendalikan diri sesuai Patimokkha (227 Sila)

·         Indriya Savara Sīla: mengendalikan indriya-indriya.

·         Ājīvapārisuddhi Sīla: mendapatkan empat kebutuhan pokok dengan cara yang sesuai. Tidak didapat dengan cara menipu, praktik perdukunan, jimat ataupun kekuatan gaib.

·         Paccayasannissita Sîla: perenungan yang benar akan manfaat sesungguhnya dari empat kebutuhan pokok.

2.   Peraturan  yang mengarah pada kepantasan.
Sang Buddha menetapkan peraturan bagi para bhikkhu didasari oleh adanya kejadian yang terjadi di masa itu.

Ada banyak peraturan yang ditetapkan oleh Beliau atas dasar kepantasan hidup seorang bhikkhu. Seperti: peraturan tentang vassa (musim hujan) yang harus dilakukan oleh bhikkhu (Vassupanayika khandaka) dan pavarana (Pavarana khandaka), peraturan tentang dibolehkannya seorang bhikkhu mengenakan sandal (Camma khandaka), peraturan tentang bhikkhu yang akan menjalani operasi dan penggunaan obat-obatan yang diijinkan (Bhessajja khandaka), peraturan tentang kathina (Kathina khandaka), dan beberapa peraturan lainnya yang berhubungan dengan kepantasan bagi seseorang yang telah meninggalkan keduniawian dengan menjadi bhikkhu.

Hari ini, Sangha Theravada Indonesia dengan bertempat di Uposathagara Padepokan Dhammadipa Arama - Malang melangsungkan upasampada bhikkhu.

Sudah sejak tahun 1987, Sangha Theravada Indonesia melakukan upasampada di Indonesia dengan calon bhikkhu putra-putra Indonesia, dengan guru penahbis (Upajjhaya) juga bhikkhu putra Indonesia. Sebuah upaya yang mengakarkan kembali agama Buddha di Nusantara, setelah lenyap 500 tahun lamanya.

Eksitensi sangha (di Indonesia, khususnya), sebagai pelaksana & pelestari Dhamma-Vinaya  tentu akan tetap bertahan jika segenap umat Buddha berperan serta dalam menjaganya. Peran serta yang tidak hanya support dalam catupaccaya tetapi juga peran serta dalam menambah jumlah bhikkhu.


Sumber:                                                                 
-    Kitab Suci Dhammapada, Yayasan Dhammadipa Arama
-    Sila & Vinaya, Penerbit Bodhi
-    Wikipedia

 (18 Maret 2012)