Kamis, April 28, 2011

Buddha tercipta dari unsur-unsur yang bukan Buddha


BUDDHA TERCIPTA DARI UNSUR-UNSUR YANG BUKAN BUDDHA

Oleh : Thich Nhat Hanh

Suatu hari Hyang Buddha berada di dalam gua, dan Ananda menjadi asisten
Buddha, sedang berdiri di dekat pintu. Tiba-tiba Ananda melihat Mara sedang mendatangi,
 
dia terkejut. Dia tidak menginginkannya, dan ia berharap Mara akan pergi.
Tetapi Mara berjalan terus ke arah Ananda dan bertanya kepadanya untuk menyatakan kunjungannya ke Hyang Buddha.

Ananda berkata, "Mengapa anda datang kemari?" Tidakkah anda ingat bahwa pada
waktu lampau anda dikalahkan oleh Hyang Buddha di bawah pohon Bodhi? Tidakkah anda mau datang ke sini? Pergi sana! Hyang Buddha tidak akan menemuimu. Anda adalah setan, anda adalah musuh beliau."

Ketika Mara mendengar ini ia mulai tertawa dan tertawa. "Apakah anda bilang
bahwa guru anda mengatakan kepadamu bahwa beliau mempunyai musuh?" Itu membuat  Ananda sangat malu. Dia tahu bahwa gurunya tidak pernah mengatakan bahwa beliau mempunyai musuh. Jadi Ananda dikalahkan dan harus masuk ke dalam dan memberitahukan kunjungan Mara, berharap Hyang Buddha akan berkata, "Pergi dan katakan padanya bahwa saya tidak ada. Katakan padanya bahwa saya sedang dalam sebuah pertemuan."

Tetapi Hyang Buddha sangat bergairah ketika beliau mendengar bahwa Mara, teman
yang begitu lama telah datang mengunjungi beliau. "Apakah itu benar? Apakah ia benar-benar ada di sini?" Hyang Buddha berkata dan beliau sendiri pergi keluar memberi salam Mara. Ananda sangat bingung. Hyang Buddha menghampiri Mara, mengangguk padanya dan menggandeng tangannya denan cara yang paling hangat. 

Hyang Buddha berkata, "Halo, apa kabarmu? Bagaimana keadaanmu? Apa semuanya
baik-baik saja?"

Mara tidak mengatakan apa-apa. Jadi Hyang Buddha membawanya ke dalam gua,
menyediakan tempat duduk untuknya dan menyuruh Ananda pergi dan membuat teh untuk mereka berdua. "Membuat teh untuk guru saya seratus kali pun saya senang, tapi membuat teh untuk Mara bukanlah sesuatu yang menyenangkan." Ananda berpikir sendiri. Tetapi karena ini perintah dari gurunya, bagaimana ia dapat tolak? Jadi Ananda pergi menyiapkan ramuan teh untuk Hyang Buddha dan yang disebut tamu beliau. Tetapi selagi mengerjakan ini ia mencoba untuk mendengar percakapan mereka.

Hyang Buddha mengulangi dengan sangat hangat, "Bagaimana keadaan anda?
Bagaimana dengan segala halnya dengan anda?" Mara berkata, "Sesuatunya tidak baik sama sekali. saya lelah menjadi seorang Mara. Saya ingin menjadi sesuatu yang lain."

Ananda menjadi sangat takut. Mara berkata, "Anda tahu, menjadi seorang Mara tidaklah sangat mudah untuk dilakukan. Jika anda bicara, anda harus bicara berbelit-belit, jika anda mengerjakan sesuatu, anda harus licin dan berwajah jahat (kelihatan jahat). Saya sangat lelah dengan semua itu. Tetapi apa yang tak dapat saya tahan adalah murid-murid saya. Mereka sekarang membicarakan tentang keadilan sosial, perdamaian, persamaan kemerdekaan, non-dualistik  tanpa kekerasan, semuanya itu. Saya sudah cukup itu! Saya pikir itu akan lebih baik jika saya serahkan mereka semua kepada anda. Saya ingin menjadi sesuatu yang lain.

Ananda mulai merasa gemetar karena ia takut gurunya akan memutuskan untuk
berperan yang satunya. Mara akan menjadi Buddha dan Buddha akan menjadi Mara.  Itu membuatnya sangat sedih.

Hyang Buddha mendengarkan dengan penuh perhatian dan penuh dengan belas kasih. Akhirnya beliau berkata dengan lembut, "Apakah anda pikir menyenangkan menjadi seorang Buddha? Anda tidak tahu apa yang telah dilakukan murid-murid saya
terhadapku! Mereka meletakkan kata-kata ke dalam mulut saya, yang mana tidak pernah saya katakan. Mereka membangun vihara/kuil yang berkilat-kilat dan meletakkan patung saya di atas altar-altar untuk menarik pisang dan jeruk-jeruk, dan ketan, hanya untuk diri mereka sendiri. Dan mereka membungkus saya dalam kemasan dan membuat ajaran saya ke dalam sesuatu yang komersil,Mara, jika anda mengetahui seperti apa sesungguhnya  enjadi seorang Budddha, saya yakin anda tidak akan mau menjadi Buddha."

Dan setelah itu Hyang Buddha membacakan sebuah syair panjang meringkaskan
percakapan itu.

Kemerdekaan

"Karena tiada pencapaian, para Bodhisattva, berkat kesempurnaan kebijaksanaan luhur, tiada ditemukan rintangan pada rintangan mereka. Ketiadaaan rintangan, mereka mengatasi rasa takut, membebaskan diri selamanya dari khayalan dan mencapai nirwana  ang sempurna. Semua Buddha di masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang, berkat kebijaksanaan sempurna ini mencapai penerangan sempurna.

Rintangan-rintangan ini adalah gagasan kita dan konsep-konsep mengenai kelahiran dan kematian, kekotoran, kesucian, penambahan, pengurangan, atas, bawah, dalam, luar, Buddha, Mara, dan seterusnya. Sekali kita melihat dengan mata dan hidup berdampingan, rintangan-rintangan ini hilang dari pikiran kita dan kita mengatasi rasa takut, membebaskan diri dari khayalan selamanya dan menyadari nirwana sempura. Sekali ombak menyadari bahwa itu hanyalah air, tidak 
ada apa-apa tapi air, ia menyadari bahwa kelahiran dan kematian tidak dapat  menyakitinya. Dia telah melebihi semua jenis rasa takut dan Nirwana sempurna  adalah keadaan tanpa ketakutan. Anda bebas, anda tidak lagi sebagai subyek  kelahiran dan kematian, kekotoran, dan kesucian, anda bebas dari semua itu.

Sumber: The Heart of Understanding-Commentaries on The Prajnaparamita Heart  Sutra.


™]˜

Apa dan Siapa Buddha Gotama ?


APA DAN SIAPA BUDDHA GOTAMA ?

Oleh : Bhikkhu Sudhammacaro


Buddha bukan nama, Buddha bukan sebutan Dewa, Buddha bukan Tuhan atau Allah. Buddha adalah gelar atau panggilan bagi seorang manusia yang telah mencapai pencerahan batin yang sempurna. Buddha adalah puncak pencapaian kesucian batin yang sempurna seorang manusia dalam tradisi India zaman dulu hingga kini. Setelah mencapai Buddha maka nama keturunan ‘Gotama’ ditambahkan dibelakang menjadi Buddha Gotama. Buddha Gotama adalah sebutan seorang manusia biasa namun bedanya Beliau sejak lahir sudah memiliki 32 ciri tubuh. Agar lebih jelas lihat buku Tipitaka bahasa Inggris atau lihat: http://www.sudhammacaro.blogspot.com/. Buddha diartikan secara sederhana artinya orang yang telah memiliki kesadaran yang sempurna, bebas dari khayalan, lamunan, delusi, mimpi. Buddha Gotama telah bebas dari kekotoran batin (kilesa): lobha, dosa dan moha.

Dengan kesadaran yang sempurna, Buddha Gotama tidak akan tertipu lagi oleh nafsu keinginan rendah. Karena itu, Beliau tidak akan membuat karma buruk lagi yang bisa menimbulkan akibat. Faktanya dalam riwayat hidup Beliau meskipun di hina, dicaci-maki, difitnah, hingga mau dibunuh berkali-kali, Buddha Gotama tidak akan membalasnya. Walaupun Beliau tahu sebelumnya dan punya kemampuan superpower, sakti mandra guna, karena hal itu pasti akan berbuah karma buruk lagi. Buddha Gotama tidak akan bisa dibunuh oleh siapa pun dengan cara apa pun. Sebab Buddha Gotama terlindungi oleh payung agung 10 paramita kesempurnaan kebajikan, yang telah dikumpulkan dalam beberapa kehdupan lalu. Buddha Gotama tidak akan tertipu lagi oleh jeratan Mara (syetan/setan) si pencipta karma.

Buddha Gotama tidak akan terpancing oleh umpan si Mara jahat yang menciptakan karma, sebab Buddha Gotama maha tahu bahwa umpan itu enak bahkan nikmat, tapi di dalamnya terselip racun ganas belenggu penderitaan lahir dan batin. Maka buahnya akan menjerat setiap orang dan berakibat terjerumus ke jurang penderitaan yang penuh dengan lumpur kekotoran batin yakni; keserakahan, kebencian dan kegelapan batin (lobha, dosa dan moha). Yang akhirnya membawa masuk lagi ke lingkaran setan perputaran roda kelahiran dan kematian (sangsara) terus menerus tanpa henti di 31 alam kehidupan.

Buddha Gotama sudah kenyang pengalaman berkeliling dalam roda sangsara kelahiran dan kematian di 31 alam kehidupan itu. Buddha Gotama sudah jemu, jenuh, dan bosan, sebab kehidupan makhluk apapun bentuknya di dalamnya terdapat belenggu penderitaan kasar dan halus yang kuat sekali mencengkram. Karenanya, Buddha Gotama setelah mengerti lalu berjuang dengan segala daya upaya untuk bisa keluar dari belenggu dan cengkraman derita itu. Dengan cara melepaskan kenikmatan, kesukaan dan kegemaran serta kemelekatan pada segala sesuatu yang dilihat, dirasa, disentuh, di cium baunya, didengar, dipikirkan atau khayalan. Keberhasilan Buddha Gotama menemukan cara mengatasi kenikmatan duniawi disebut ‘Jalan Tengah Berunsur Delapan’, lalu mengajarkan kepada para siswa-Nya. Sejak itu Buddha Gotama terkenal sebagai ‘Penunjuk Jalan’ bukan yang muluk-muluk lainnya, artinya Buddha Gotama hanya dapat menunjukkan jalan atau cara untuk mencapai pembebasan sempurna hingga meraih kebahagiaan tertinggi yang sering diistilahkan Nibbana.

Buddha Gotama menolak pujian, penghormatan dalam cara dan bentuk apa pun, baik secara langsung atau tidak. Buktinya dalam Parinibbana-Sutta Buddha Gotama bersabda: Oh, para Bhikkhu, bunga-bunga harum berjatuhan, meskipun bukan musimnya, hal ini pertanda para Dewa menghormat dan memuja kapada Buddha Gotama karena tak lama lagi akan Parinibbana (wafat). Namun, cara seperti ini tak akan memberikan manfaat apa pun. Tetapi sebaliknya, jika siapa saja yang mau melaksanakan Dhamma dengan sungguh-sungguh, berdiam di dalamnya, dan hidup sesuai dengan Dhamma-Winaya. Lalu berjuang penuh semangat dan jangan lengah, maka dia akan memperoleh buah hasil yang terbaik. Itulah penghormatan-pemujaan yang tertinggi dari seorang siswa terhadap Buddha Gotama. ‘Waya-Dhamma-Sangkhara-Apamadena-Sampadetha’ artinya: ‘Semua yang terbentuk tak ada yang abadi (termasuk butir-butir pikiran). Berjuanglah sungguh-sungguh dan jangan lengah’. Inilah kalimat pamungkas dari Guru Agung para Dewa dan manusia yakni Buddha Gotama makhluk suci nan sempurna.

Pernyataan Buddha Gotama tersebut mengiris hati para penjilat pujian dan penghormatan. Wejangan terakhir Buddha Gotama juga termasuk mengkritik setiap orang yang rakus minta disembah. Nasihat terakhir Buddha Gotama juga melibas orang yang gila hormat, gila pujian dan gila uang. Pernyataan Buddha Gotama terakhir itu juga mematahkan doktrin Nabi, Rasul, Penyelamat, Juru Selamat, Tuhan, dan sebagainya yang umumnya dipuja-puji secara salah kaprah. Yang akibatnya membutakan mata batin orang untuk melihat kebenaran universal, menciptakan dogma. Akhirnya menimbulkan perdebatan, pengingkaran, perselisihan, perpecahan, dan buntutnya peperangan yang membawa ceceran darah korban manusia tak bersalah dengan sia-sia. Buktinya perang Irak, perang Palestina-Israel, dsb, yang sudah bertahun-tahun lamanya tapi tak pernah selesai dan berhenti. Termasuk insiden Monas 1 Juni 2008. Semua itu akibat atau dampak dari menganggungkan, mengkultuskan, mendewakan manusia secara salah kaprah tak bermoral secara benar.

Sabda Buddha Gotama terakhir kali itu juga menggilas ego, kesombongan dan keserakahan manusia yang maunya diangkat setinggi-tingginya. Sabda Buddha Gotama itu juga membumi ratakan keangkuhan manusia yang bodoh dan dungu. Sabda Buddha Gotama terakhir juga menghancurkan keakuan, kemunafikan, kelicikan, kejahatan yang menghalalkan segala cara atas nama keagungan seorang manusia super, yang dianggap seperti Nabi, Rasul, Juru Selamat, dsb. Sabda Buddha Gotama terakhir kali juga mengisyaratkan bahwa Beliau tidak mau nama-Nya dicatut dan digunakan untuk menghalalkan segala cara demi keuntungan duniawi, untuk menipu orang, untuk kejahatan segala cara tanpa mau tanggung jawab.

Sabda Buddha Gotama terakhir mementahkan kepercayaan istilah Rasul, Nabi, atau Tuhan YME, yang dikultuskan secara salah kaprah. Alasannya, doktrin tentang mengagungkan makhluk hidup terlalu berlebihan akan membutakan pengertian benar dan kebenaran universal. Bukan saja salah kaprah, tapi lebih dari itu, hal tersebut menimbulkan perdebatan konyol, perselisihan, menjadikan rebutan mana yang benar dan salah. Pasalnya, bahwa manusia awalnya buta akan kebenaran dan batinnya gelap, ketika ada promosi ajaran yang salah, maka manusia pasti mengikutinya. Sebab, memang manusia belum tahu dan belum mengerti mana yang benar dan salah, manusia belum bebas dari kebodohan dan kegelapan batin. Inilah akar dari kesalahannya, dan sumber dari pengkultusan dan pengagungan kepada Rasul, Nabi dan Tuhan YME secara salah.

Sabda Buddha Gotama terakhir bisa menghancurkan kebodohan dan kegelapan batin, sebaliknya membuka selaput dogma atas kebodohan dan kegelapan batin. Alasannya, sejak zaman dulu hingga kini manusia tetap mudah dikelabui, mudah ditipu oleh ajaran sesat tentang pengkultusan dan pengagungan tradisi Nabi, Rasul dan Tuhan YME, yang sebenarnya tak ada gunanya sama sekali. Faktanya kemelut Ahmadiyah, Lia Eden, Ahmad Musadeq mengaku Nabi, sekte Hari Kiamat, dsb. Dogma dengan cara pengkultusan seperti itu sebenarnya akar dan sumber dari segala bentuk konflik perdebatan, perselisihan peperangan diatas kebodohan dan kegelapan batin. Hal ini sudah terjadi sejak zaman dulu sampai kini, anda dapat melihat faktanya perang di negara dengan penduduk taat agama; Timur Tengah, Amerika, Eropa, Aceh, Ambon, cobalah renungkan!

Buddha Gotama menghapus tradisi tersebut yang dianggap-Nya sangat bodoh dan salah kaprah. Maka ajaran Buddha Gotama melarang pengkultusan dan pengagungan segala bentuk makhluk hidup termasuk manusia, Dewa, Rasul, Nabi dan Tuhan YME. Sebab semua itu tak akan membawa ke jalan akhir pembebasan dari kebodohan dan kegelapan batin. Justru cara pengkultusan dan pengagungan terhadap manusia, dewa, Rasul, Nabi dan Tuhan YME akan menutup kebenaran universal. Artinya hal itu makin menutup kebodohan dan kegelapan batin manusia, hasilnya kehidupan manusia selalu berkecamuk, rusuh, ribut, rebutan sebuah nama Rasul, Nabi dan Tuhan YME. Mana yang benar? Padahal mereka sendiri tak pernah tahu yang sebenarnya.

Buddha Gotama mengajarkan ke titik sumber dan akar kebodohan dan kegelapan batin manusia yang disebabkan karena ‘Tanha’ atau nafsu keinginan yang salah dan negatif. Tanha atau nafsu keinginan yang salah inilah awal mula manusia terjerumus ke jurang kemelekatan, keterikatan akan nafsu keinginan yang salah dalam menilai segala sesuatu yang salah dianggap benar, yang tidak berguna dianggap berguna, yang buruk dianggap manis, yang jahat dianggap baik, yang tidak ada dianggap ada. Maka semua jadi terbalik, hasilnya manusia akhirnya tidak pernah tahu dan tidak akan mengerti tentang kebenaran sesungguhnya atau kebenaran universal. Yang ada ialah ‘Pembenaran’ artinya benar menurut diri sendiri saja, maka buntutnya selalu rusuh, perang, dsb.

Sabda Buddha Gotama terakhir menyibak tabir rahasia kehidupan manusia yang diliputi oleh kebododhan dan kegelapan batin. Sebab kebodohan dan kegelapan batin ini penyakit akut yang lebih berbahaya dari segala macam penyakit akut lain yang ada di dunia ini. Kebodohan dan kegelapan batin ini sulit diberantas, karena ia telah berlapis-lapis bentuknya menutupi batin manusia. Sudah sejak berjuta kali kelahiran yang lalu. Maka tidaklah mudah untuk mengikisnya, tidak bisa cepat untuk menghacurkannya, apalagi jika ditambah oleh ajaran yang salah dan menyesatkan. Akhirnya manusia semakin tebal dan makin berat lapisan-lapisan kebodohan dan kegelapan batinnya.

Dengan demikian, jelas sekali bahwa Buddha Gotama adalah manusia yang sangat rendah hati, tulus, murni, dan rela, bahwa semua yang Beliau lakukan bukan untuk diri-Nya sendiri. Perjuangan dan pengorbanan serta hasil yang Beliau usahakan semuanya demi kebahagiaan, kesejahteraan dan kebebasan semua makhluk, para dewa dan manusia agar terbebas dari derita lahir dan batin. Sebab Beliau tahu dengan pengertian benar tentang Anatta atau Sunya yang artinya ‘kosong’ tanpa inti diri yang dianggap kekal abadi. Semuanya hanyalah proses dari sebab dan akibat, timbul berkembang lalu hancur dan akhirnya lenyap kembali.

Faktanya Buddha Gotama bersabda bahwa selama di dunia ini masih ada sekelompok orang yang mau melaksanakan delapan jalan mulia. Maka dunia kehidupan ini tak akan kekurangan dari para suciwan atau orang yang dapat meraih tingkat kesucian batin. Dari pernyataan Buddha Gotama ini kita dapat menyimpulkan bahwa dalam ajaran-Nya tak ada larangan bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkat Buddha atau tingkat kesucian batin di bawahnya. Artinya tak ada ‘Diskriminasi’ atau ‘Monopoli’ tingkat Buddha yaitu manusia yang dianggap paling tinggi kesucian batinnya. Bahkan dalam segala hal Buddha menganjurkan untuk lebih baik diselidiki terlebih dulu jangan mudah percaya atau asal percaya begitu saja. Ajaran ini terkenal sampai kini yang disebut ‘Ehipasiko’

Sungguh sangat berbeda bila dibadingkan dengan ajaran atau agama lainnya di dunia, yang masih ada cara atau doktrin atau prinsip ‘Monopoli atau Diskriminasi’ tentang cara memuja, mengagungkan dan pengkultusan manusia atau makhluk apa pun namanya. Yang berakibat dogma akhirnya membutakan mata batin manusia terhadap kebenaran universal. Yang ada hanyalah ‘Pembenaran’ yang terus dipelihara dan dilestarikan hingga kini, walaupun peradaban hidup sudah sedemikian majunya. Maka, akibat dari dogma tersebut kehidupan manusia tidak pernah lepas dari kekerasan, kejahatan, peperangan dan pembantaian yang diklaim oleh mereka sebagai pembenaran, ini faktanya. Ironis!

Itulah sebabnya saya sering menghimbau kepada semua orang, tentang bagaimana kita sebagai manusia seharusnya memilih agama, yang sekiranya dapat membuka mata batin kita untuk melihat kebenaran universal. Sehingga kita tidak hanya larut dalam dogma dan ritual semata, namun agama masa kini harus dapat menjawab tantangan zaman globalisasi yang diyakini saat ini lebih mendasar dengan cara berpikir yang ‘Rasional’. Memilih agama memang bebas dan sah-sah saja, tapi satu hal yang perlu diingat, bahwa kita manusia yang punya akal sehat dan menggunakannya dalam kehidupan, yang saat ini sering diistilahkan “Rasional”. Untuk itu, pilihlah agama yang sesuai akal sehat, ilmiah dan rasional, sebab kembali ke ungkapan pertama bahwa kita manusia yang …

Berkah karma baik kita yang berada dalam lingkaran keyakinan kepada seorang guru agung petapa dari India yang satu ini Buddha Gotama. Maka, pegang dan pupuk serta kuatkan tekad keyakinan kita, untuk mengikuti jejak guru agung Buddha Gotama agar kita sampai ke tujuan akhir. Seperti apa yang dicita-citakan oleh Beliau untuk mencapai pembebasan sempurna, bebas dari kilesa atau kekotoran batin yakni keserakahan, kebencian dan kegelapan batin (lobha, dosa, dan moha). Yang akhirnya meraih kebahagiaan hakiki Nibbana istilah sederhana sebagai kebahagiaan yang bebas dari beban derita hidup baik lahir maupun batin, inilah intinya.

Walaupun Buddha Gotama tidak mau dipuja-puji dan dihormati, toh faktanya sampai detik ini banyak umat manusia memuja-memuji dan menghormati Beliau. Meskipun sudah kadaluarsa istilahnya karena lewat 2500 tahun lebih, malah hanya kepada patung maupun gambar yang berbentuk Buddha Gotama sebagai simbol. Bahkan disinyalir belakangan banyak umat lain dari kalangan selebritis kelas atas dunia Hollywood, Eropa dan Asia jusru tergila-gila mencari, belajar dan mempraktikkan meditasi. Intisari ajaran Buddha Gotama yang menurut mereka sangat terkenal sebagai obat penawar stress, depresi, stroke, kanker (bukan kantong kering), kehampaan jiwa, kekosongan arti hidup, pencaharian yang tak bermakna. Para doktor ahli psikologi dan ahli kedokteran otak dari Barat dan Eropa telah menemukan bukti, gejala orang setelah berhasil meditasi ternyata otaknya membesar dan lebih cerdas dari semula Juga hidupnya lebih bahagia akhirnya tentu merasa lebih bermakna dan lebih bermanfaat bagi dirinya dan orang banyak.


]˜


Selasa, April 26, 2011

Dhammapada I I : 21-22-23 - Kisah Samavati

KISAH SAMAWATI
 Dhammapada II : 21-22-23


Kerajaan Kosambi waktu itu diperintah oleh Raja Udena dengan permaisurinya Ratu Samavati.
       
Ratu Samavati mempunyai 500 orang pengiring yang tinggal bersamanya di istana. Ia juga mempunyai pelayan kepercayaan, Khujjuttara, yang setiap harinya bertugas untuk membeli bunga.
       
Suatu hari terlihat Khujjuttara sedang menanti tukang bunga langganannya, Sumana. Tetapi yang dinantinya tak kunjung datang, sedang hari semakin siang. Bergegas ia ke rumah Sumana dengan maksud untuk membelinya di sana. Setibanya di sana, Sumana kelihatannya sedang repot menjamu tamu-tamunya, yaitu para bhikkhu.

Dengan menggerutu terpaksa Khujjuttara menunggu sampai perjamuan itu selesai.
       
Selesai perjamuan, Khujjuttara melihat seorang bhikkhu yang berwajah cerah dan agung mulai berkhotbah. Para bhikkhu lainnya, Sumana, dan kerabatnya, tampak mengelilinginya dan mendengarkan dengan tekun dan penuh perhatian.
       
"Aduh, bisa-bisa aku kena marah kalau pulang nanti", keluh Khujjattara. "Apa boleh buat, terpaksa aku harus menunggu lagi", keluhnya. "Ah, daripada menganggur dan mengantuk, apa salahnya aku juga ikut mendengarkan. Aku ingin tahu, apa yang dikhotbahkan, sehingga semuanya mendengarkan dengan khidmat dan tidak mempedulikan kehadiranku!" katanya dalam hati.
       
Mula-mula Khujjuttara hanya setengah-setengah mendengarkan. Tetapi, makin lama perhatiannya makin tertarik, dan akhirnya malahan mendengarkan dengan tekun dan penuh perhatian.
       
Tak heran, karena pengkhotbah itu adalah Sang Buddha sendiri.
       
Khujjuttara baru kali itu mempunyai kesempatan untuk mendengarkan khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha. Walaupun demikian, karena akibat kamma masa lampaunya, mata batinnya mulai terbuka. Apa yang dikhotbahkan dapat dipahaminya dengan benar dan sekaligus ia berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti.
       
Pulang ke istana ia telah ditunggu oleh Samavati dengan muka cemberut. "Kemana saja dan apa pula kerjamu sehingga sesiang ini baru pulang? Dan mana bunga yang seharusnya kau beli?" tegur Samavati.
       
Setelah meminta maaf, Khujjattara menceriterakan apa yang barusan dialaminya. Samavati tertarik mendengar pengalaman Khujjatara dan memintanya agar sore nanti mengulangi khotbah yang tadi didengarnya.
       
Sore itu, Khujjatara mengulang khotbah Sang Buddha kepada Samavati dan 500 orang pengiringnya. Sama halnya seperti Khujjatara, Samavati beserta pengiringnya pada akhir khotbah juga mencapai kesucian sotapatti.
       
"Oh, Khujjatara, engkau beruntung sekali bisa mendengarkan khotbah yang seindah itu. Berkat engkau, aku beserta yang lain-lainnya juga ikut menikmati keberuntungan itu!" kata Samavati.
       
"Atas jasa-jasamu, engkau kuangkat sebagai ibu angkat dan guruku!" lanjutnya.

"Mulai hari ini engkau kubebaskan dari segala kewajibanmu yang lain. Sayang, aku tak dapat keluar istana. Maka untuk selanjutnya engkau berkewajiban untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha dan kemudian mengulangnya untuk didengar oleh semuanya".
       
Demikianlah, Khujjattara selalu mengikuti kemana Sang Buddha berkhotbah dan kemudian mengulangnya di hadapan Samavati beserta para pengiringnya. Dalam waktu singkat Khujjattara berhasil memahami Dhamma yang diajarkan Sang Buddha dengan baik.
       
Lama kelamaan Samavati dan pengiringnya sangat berharap dapat melihat Sang Buddha dan ingin sekali memberi penghormatan kepada Beliau. Tetapi mereka takut jika raja tidak berkenan. Dicarilah akal, bagaimana caranya agar mereka bisa melaksanakan maksudnya. Salah satu pengiring Samavati menemukan cara, dengan membuat lubang-lubang pada dinding-dinding di dekitar istana. Melalui lubang itu mereka dapat melihat keluar dan memberi penghormatan kepada Sang Buddha setiap hari, saat Beliau akan mengunjungi rumah tiga orang hartawan, bernama Ghosaka, Kukkuta dan Pavariya.
       
Pada waktu Raja Udena memerintah, ada seorang brahmana mempunyai putri yang sangat cantik, Magandiya namanya. Karena kecantikan putrinya, ia selalu memilih-milih calon suami anaknya. Dan selama itu dirasanya belum ada yang tepat untuk mendampingi anaknya.
       
Suatu hari brahmin itu bertemu muka dengan Sang Buddha. Ia sangat terpesona melihatnya dan berpikir bahwa inilah satu-satunya orang yang pantas untuk menjadi suami putrinya yang sangat cantik. Dicarinya tahu di mana Sang Buddha berdiam, kemudian bersama dengan istri dan putrinya ia ke sana dan meminta kepada Sang Buddha agar mau menerima putrinya sebagai istri.
       
Sang Buddha terdiam sejenak. Dengan kekuatan supranatural-Nya diselidikilah brahmin anak beranak itu. Beliau melihat bahwa brahmin itu dengan istrinya mempunyai kesempatan yang sangat besar untuk mencapai kesucian anagami.
       
Dengan tersenyum Beliau menjawab, "Setelah melihat Tanha, Arati dan Raga, putri-putri Mara, Aku tidak lagi mempunyai keinginan seksual; semuanya hanya berisikan kotoran dan air kencing dan aku tidak ingin menyentuh walaupun dengan ujung kakiku sekalipun".
       
Mendengar kata-kata Sang Buddha, brahmin itu dan istrinya terkejut. Mereka kemudian merenung, mengapa permintaan baik-baik mereka dijawab seperti itu?

Akhirnya mata batin mereka berdua terbuka, dan mereka menjadi paham dengan arti jawaban tadi. Keduanya langsung mencapai tingkat kesucian anagami magga dan phala.
       
Sepulangnya, mereka berdua segera berunding. Berdua mereka ingin menjauhi kehidupan duniawi dan bergabung dengan murid-murid Sang Buddha. Mereka juga bersetuju untuk menyerahkan perawatan putri mereka kepada saudara mereka. Kelak, karena ketekunannya mereka berdua berhasil mencapai tingkat kesucian arahat.
       
Alkisah, putri Magandiya yang juga mendengar jawaban Sang Buddha seperti tadi merasa sangat terhina dan tersinggung. Apalagi setelah ayah bundanya akhirnya mengikuti Sang Buddha dan menyerahkan perawatan dirinya kepada pamannya.
       
"Wahai Samana Gotama, setelah aku kau hina, kau rebut pula kedua orang tuaku. Sungguh keterlaluan sikapmu padaku!" demikian kata hati putri Magandiya. "Awas! Tunggulah pembalasanku! Kemana saja engkau pergi, pasti akan kucari dan kubalas penghinaanmu padaku! Sebelum dendamku terbalas, aku tidak akan berhenti!" ancamnya dalam hati.
       
Alkisah, beberapa waktu kemudian pamannya menyerahkan Magandiya kepada Raja Udena. Karena Magandiya memang cantik jelita, rajapun menerimanya sebagai salah satu istrinya.
       
Suatu ketika Magandiya mendengar kedatangan Sang Buddha di Kosambi dan bagaimana Samavati dan pengiringnya memberi penghormatan kepada Beliau melalui lubang-lubang di sekitar istana.
       
"Inilah waktunya untuk membalas dendam!" pikirnya.
       
Matanya berbinar-binar kegirangan. Segera Magandiya merencanakan cara untuk membalas dendam kepada Sang Buddha dan mencelakakan Samavati beserta pengiring yang sangat mengagumi Sang Buddha.
       
Paginya, Magandiya segera menghadap raja.
       
"Baginda, Samavati ingin berkhianat. Ia bersama pengiringnya telah membuat lubang-lubang di dinding istana agar dapat berhubungan dengan orang luar. Mungkin pula mereka telah mengatur pemberontakan!" katanya memanas-manasi raja.
       
Raja terkejut mendengar laporan itu. Ia segera turun ke lapangan untuk melihat sendiri kebenarannya. Benar! Banyak lubang dibuat pada dinding istana. Dengan marah raja segera memanggil Samavati.
       
"Samavati, tak kusangka bahwa engkau sampai hati benar ingin berkhianat kepadaku!"
       
Samavati melenggak keheranan, "Baginda, mengapa Baginda sampai hati menuduh demikian?"
       
"Untuk apa kau buat banyak lubang pada dinding istana? Bukankah untuk memudahkan berhubungan dengan orang luar dan mengatur pemberontakan?"
       
"Ampun Baginda", jawab Samavati. "Tiada setitikpun terbit ingatan untuk memberontak pada diri hamba. Bahwa selama ini hamba sangat berterima kasih dapat hidup tanpa kekurangan suatu apapun di istana ini".
       
"Lalu, untuk apa kau buat lubang-lubang itu?"
       
Samavati segera menceriterakan semuanya dengan bersungguh-sungguh. Raja dapat diyakinkan, sehingga tidak menarik panjang urusan itu.
       
Melihat usahanya untuk mengenyahkan Samavati tidak berhasil, Magandiya bertambah marah, tetapi ia tidak putus asa. Ia tetap berusaha mencari jalan untuk membuat raja percaya bahwa Samavati tidak setia kepada raja dan telah berusaha untuk membunuhnya.
       
Suatu hari, Magandiya mendengar bahwa raja akan mengunjungi Samavati dalam beberapa hari mendatang dan akan membawa kecapinya. Magandiya memasukkan seekor ular ke dalam kecapi tersebut dan menutupinya dengan seikat bunga.
       
Magandiya mengikuti Raja Udena ke tempat tinggal Samavati. Di perjalanan ia selalu mencoba mengurungkan niat raja karena dia merasa tidak percaya kepada Samavati dan mengkhawatirkan keselamatan raja. Tetapi raja tidak menghiraukannya. Sampai di kediaman Samavati, tatkala tiada orang, Magandiya mencabut seikat bunga dari lubang kecapinya. Ular itu keluar dan melingkar di atas tempat tidur. Ketika raja hendak mengambil kecapinya dan melihat ular itu, baru beliau mempercayai kata-kata Magandiya bahwa Samavati berusaha untuk membunuhnya.
       
Raja sangat marah. Beliau memerintahkan Samavati untuk berdiri, dengan semua pengiringnya berbaris di belakangnya.
       
"Pengawal, ambil busur dan anak panahku!" teriak raja.
       
Tetapi Samavati dan pengiringnya tak gentar. Mereka semua tetap berdiri sambil memancarkan cinta kasih kepada raja.
       
Raja menarik busurnya dengan anak panah yang telah dilumuri racun. Samavati dibidiknya baik-baik, dan kemudian anak panah dilepaskan.
       
Dengan suara berdesir anak panah itu melaju secepat kilat mendekati sasarannya, Samavati. Semua yang melihat menahan nafasnya.
       
Ajaib, begitu akan menyentuh Samavati anak panah itu kelihatan seolah-olah terpental, menyeleweng arahnya, melewati Samavati dan para pengiringnya, dan akhirnya menghunjam ke dinding di belakangnya.
       
Raja semakin murka, dikiranya bidikannya meleset. Sekali lagi raja menarik busurnya dan Samavati dibidiknya dengan lebih hati-hati.
       
Sekali lagi anak panah itu seolah-olah mengenai perisai yang keras, menyeleweng arahnya dan menghunjam lagi ke dinding.
       
Lagi, dan lagi raja berusaha membidik Samavati maupun pengiringnya, tetapi kejadian seperti tadi tetap berulang lagi.
       
Raja tercenung memikirkan kejadian yang baru dialaminya. Seolah-olah Samavati dan pengiringnya ada yang melindungi. Dan kalau benar demikian, niscaya Samavati tidak bersalah. Maka kemarahannya mereda. Bahkan pada akhirnya ia memberi ijin kepada Samavati untuk mengundang Sang Buddha dan murid-muridnya ke istana untuk menerima dana makanan dan untuk menyampaikan khotbah.
       
Magandiya menyadari bahwa tidak satupun dari rencananya terlaksana.
       
"Kalau Baginda tak mampu membunuh Samavati, maka aku sendiri yang akan turun tangan membunuhnya!" pikirnya.
       
Oleh karenanya ia membuat rencana akhir, rencana yang sempurna. Magandiya mengirimkan suatu pesan kepada pamannya dengan petunjuk-petunjuk lengkap untuk pergi ke istana Samavati dan membakar istananya bersamaan dengan semua orang yang ada di dalamnya.
       
Ketika istana tersebut terbakar, Samavati dan pengiringnya, yang berjumlah 500 orang, tetap bermeditasi. Kemudian, beberapa dari mereka mencapai tingkat kesucian sakadagami dan yang lain berhasil mencapai tingkat kesucian anagami.
       
Berita kebakaran tersebut segera menyebar, raja segera pergi ke tempat kejadian, tetapi beliau terlambat. Beliau mencurigai bahwa hal ini dilakukan oleh Magandiya, tetapi raja tidak menunjukkan kecurigaannya.
       
Untuk mengetahui hal yang sebenarnya, beliau berkata, "Ketika Samavati masih hidup, saya selalu khawatir kalau-kalau dia akan mencelakan saya. Sekarang, pikiranku lebih tenang. Siapa yang telah melakukan ini semua? Hal ini pasti hanya dilakukan oleh seseorang yang sangat mencintaiku".
       
Mendengar kata-kata itu, Magandiya segera mengakui bahwa dia yang telah memerintahkan pamannya untuk melakukan hal itu semua. Untuk hal itu, raja sangat puas dan mengatakan bahwa beliau akan memberikan penghargaan pada Magandiya dan seluruh keluarganya. Kemudian, seluruh keluarga Magandiya diundang ke istana untuk menghadiri perjamuan.
       
Magandiya, pamannya, dan seluruh kerabatnya datang ke istana dengan gembira.
       
Setelah mereka berkumpul semua, raja segera berdiri dan berteriak. "Hei, para pengawal, tangkap mereka semua!"
       
Setelah semuanya ditangkap raja segera memerintahkan, "Masukkan mereka semuanya ke dalam istana Magandiya. Jangan sampai ada yang lolos. Kemudian bakar seluruh istana itu, seperti apa yang telah mereka lakukan terhadap Samavati!"
       
Ketika Sang Buddha mendengar dua kejadian tersebut, Beliau mengatakan bahwa seseorang yang waspada tidak akan mati; tetapi mereka yang lengah akan merasa mati meskipun dia masih hidup.
       
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 21, 22 dan 23 berikut ini:

Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan;
kelengahan adalah jalan menuju kematian.
Orang yang waspada tidak akan mati,
tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati. (21)

Setelah mengerti hal ini dengan jelas,
orang bijaksana akan bergembira dalam kewaspadaan
dan bergembira dalam praktek para ariya. (22)

Orang bijaksana yang tekun bersamadhi,
hidup bersemangat dan selalu berusaha dengan sungguh-sungguh,
pada akhirnya mencapai nibbana (kebebasan mutlak). (23)

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.