Jumat, Desember 31, 2010

HAPPY NEW YEAR 2011

SELAMAT TAHUN BARU 2011

Detik-detik waktu berlalu seiring dengan Perubahan yang senantiasa terjadi.
Hari kemarin telah berlalu dan tak mungkin dapat kembali,
Hari esok hanyalah sketsa harapan yang belum terjadi.
Maka hidup dan berjuanglah pada saat ini,
karena hanya saat inilah sebuah ‘kenyataan sebenarnya’ yang sedang kita hadapi.

Tahun Baru hanyalah ilusi dari persepsi tentang adanya waktu,
ia tidak mampu merubah apapun terhadap kehidupan, nasib dan kebahagiaan kita,
karena sesungguhnya,
hanya diri kita sendirilah yang harus memperjuangkannya.

Olehkarenanya, mari kita terus bergerak maju dan berjuang tiada henti,
hingga sketsa harapan benar-benar terwujud menjadi kenyataan-
bersama dengan perubahan tahun 2010 yang sebentar lagi berlalu.


Dan pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ucapkan :

“ Selamat datang Tahun 2011,
Selamat Tahun Baru bagi semuanya!”


Semoga semua makhluk berbahagia !

*** Tanhadi ***

Sabtu, November 13, 2010

Ciri-Ciri Agama Buddha


CIRI-CIRI AGAMA BUDDHA

 Oleh : Tanhadi

1. Para umatnya Berlindung pada Tiga Permata (Tiratana): yaitu : Buddha, Dhamma dan Sangha .

2. Tidak mempercayai bahwa dunia ini diciptakan dan diatur oleh ‘sosok makhluk Adikuasa’ atas kehendaknya.

3. Agamanya mengajarkan tentang Empat Kebenaran Mulia yang diajarkan oleh Sang Buddha sendiri; dimana faktor pembebasan dan keselamatan dapat dicapai melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan yang mendorong ke arah kesempurnaan akan kemoralan (sila), disiplin mental (samadhi), dan kebijaksanaan (panna).

4. Mengajarkan tentang hukum semesta sebab akibat yang terdapat dalam Paticcasamuppada (Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan) .

5. Mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terkondisi (sankhara) adalah tidak kekal (anicca), tidak sempurna dan tidak memuaskan (dukkha), dan segala sesuatu yang terkondisi dan tidak terkondisi (dhamma) adalah bukan diri/ tanpa ‘Aku’ (anatta).

6. Mengajarkan tentang Tigapuluh Tujuh kualitas yang berguna bagi pencapaian Pencerahan (Bodhipakkhiya Dhamma) sebagai beragam aspek yang berbeda dari Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha yang mendorong ke arah Pencerahan.

7. Mengajarkan tentang Toleransi terhadap semua agama maupun kepercayaan serta praktik, upacara, ritual-ritual, seremonial, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat dan hukum negara yang bersifat umum.

oooOOooo


ABHINNA ( Kemampuan batin )

Disusun oleh : Tanhadi


Abhinna adalah kemampuan batin yang lebih tinggi, yang hanya dapat dimiliki oleh mereka yang berhasil dalam meditasi, bila kehidupan yang lampau maupun saat ini ia sukses dalam meditasi, maka sisa kemampuan itu masih dapat terlihat dalam kehidupan yang sekarang.

Pencapaian Abhinna sangat beragam bagi setiap orang, karena berkaitan dengan obyek meditasi yang digunakannya ketika bermeditasi.

Contoh : Bila kita menggunakan obyek zat padat (pathavi), maka kita dapat membuat segala sesuatu menjadi padat, walaupun orang lain melihatnya sebagaimana adanya, misalnya seseorang yang dapat berjalan diatas air, baginya air itu telah menjadi padat, tetapi orang lain mengatakan/melihat ia sedang berjalan diatas air.

Dalam pencapaian kemampuan batin ini, Karma pada kehidupan yang lampau sangat kuat pengaruhnya, ada seseorang yang belum lama bermeditasi telah mencapai keadaan ini,tetapi bagi karmanya yang kurang baik, akan sangat kesulitan untuk bermeditasi dan kemampuannyapun sangat terbatas.

MACAM-MACAM ABHINNA

Memiliki Abhinna adalah sangat berguna bagi seseorang untuk memperluas dan memperdalam pandangan kita tentang kehidupan, alam semesta serta dapat menembus “ Pengertian “ yang selama ini belum dimengerti.

Penggunaan Abhinna ini harus sesuai dengan Sila, karena kemampuan ini bisa merosot dan lenyap jika kita melanggar sila.

Ada enam macam Abhinna, yaitu :

1). Kemampuan batin fisik ( Iddhividhi/iddhividha)
Yaitu : seseorang mengarahkan pikirannya pada bentuk iddhi, ia bisa menjadi banyak orang, dari banyak orang kembali menjadi satu lagi, ia berjalan menembus dinding, benteng atau gunung, ia dapat menyelam dan muncul melalui tanah, ia dapat menghilang, berjalan diatas air, dengan duduk bersila ia dapat melayang- layang diangkasa, dengan tangan ia menyentuh matahari, ia juga dapat dengan tubuhnya mengunjungi alam-alam dewa.

Manfaatnya :
Dengan kemampuan ini; kita dapat melakukan banyak perbuatan baik untuk menolong orang lain yang letaknya jauh dari keramaian/terpencil, sehingga ketika orang tersebut membutuhkan bantuan kita  (emergency), dengan segera/ secepat itu pula kita sudah berada disana untuk memberikan pertolongan kepadanya.


Yaitu : kemampuan mendengar suara-suara manusia maupun dewa, yang jauh atau dekat.

Manfaatnya :
Dengan kemampuan ini; kita dapat mendengar percakapan makhluk-makhluk disekitar kita ataupun yang jaraknya jauh, sehingga kita bisa mendapatkan informasi dengan cepat.

3). Membaca Pikiran (cetopariyanana/paracittavijanana )

Yaitu : kemampuan untuk mengetahui pikiran makhluk lain, termasuk pikiran orang lain.

Manfaatnya :
Dengan kemampuan ini kita dapat membaca/mengetahui pikiran orang lain, sehingga memungkinkan kita dapat memecahkan persoalan orang lain, walalupun orang tersebut tidak mau membuka rahasianya. Demikian pula dengan memiliki kemampuan batin ini, kita tidak dapat ditipu orang lain yang hendak berbuat jahat. 

      ( Pubbenivasanusatti/pubbenivasanussatinana )

Yaitu : Kemampuan untuk mengingat kehidupan yang lampau dari satu kelahiran sampai ribuan kelahiran secara lengkap, tempat, keluarga, nama, suku bangsa, kebahagiaan, penderitaan, batas umur, banyak masa perkembangan dan kehancuran bumi.dsb.

Manfaatnya :
Dengan kemampuan  ini ; kita dapat menjawab banyak masalah yang berkaitan dengan kehidupan masa lampaunya ataupun riwayat hidup para Buddha dan para siswanya. Dengan Abhinna inipun kebenaran kitab suci dapat diuji.


Yaitu : kemampuan untuk melihat apa yang bakal terjadi dimasa yang akan datang , memungkinkan seseorang untuk melihat benda-benda atau makhluk-makhluk surgawi dan duniawi, jauh atau dekat, yang tak kasat mata. Kemampuan untuk mengetahui tentang kematian dan kelahiran makhluk, mengapa ada makhluk yang terlahir sengsara, menderita, atau makhluk terlahir dialam neraka, terlahir menyenangkan, bahagia atau terlahir dialam surga.


Dengan Mata dewa ( Dibbacakkhu ); kita dapat membantu seseorang untuk melihat kelahiran-kelahiran makhluk-makhluk, mengapa seseorang bernasib seperti ini dan itu, mengapa seseorang berwajah buruk, ganteng, cantik, sehat dsb. Kitapun dapat mengetahui kehidupan seseorang dimasa yang akan datang, melacak keberadaan seseorang setelah meninggal dan kemana ia akan terlahir kembali sesuai dengan karmanya sekarang ini. Kita juga dapat membuktikan sendiri apakah 31 alam kehidupan itu betul atau tidak dsb.


 Yaitu : kemampuan yang hanya dimiliki oelh seorang arahat, Pacceka Buddha atau samma sambuddha. Kemampuan ini tidak dapat dihasilkan oleh Samatha bhavana atau dengan mencapai jhana, kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan melaksanakan Vipassana Bhavana.

Manfaatnya :
Adalah lenyapnya semua kekotoran batin, ia mencapai penerangan agung (bodhi) dalam pengertian sebagai orang suci yang bila meninggal dunia tidak akan terlahir kembali.

Bahayanya :

Seseorang yang memiliki Abhinna sering dikenal sebagai orang sakti , Orang sakti belum tentu suci ia telah mencapai kesucian, dan ada kemungkinan masih mempunyai keinginan untuk memuaskan nafsu-nafsunya, sehingga dapat merugikan orang lain. Orang sakti yang tidak bermoral, kesaktiannya dapat luntur, tetapi kesaktian orang suci tak akan pernah luntur karena orang suci tidak akan melakukan perbuatan yang melanggar sila.

Kemampuan-kemampuan batin ini seolah-olah mustahil bagi pikiran manusia modern ( No. 1 s/d 5 ). Tapi perlu diingat bahwa semua kemampuan 1 s/d 5 ini bukanlah merupakan Tujuan dari ajaran Sang Buddha, namun yang terpenting adalah kemampuan no.6, yaitu melenyapkan kekotoran batin secara mutlak atau mencapai nibbana.

Sumber bacaan :
- Buku pedoman guru pendidikan agama Buddha.- team penyusun
- Sang Buddha dan Ajaran- ajaranNya.- Ven. Narada mahathera

TEORI DAN KENYATAAN

oleh : Tanhadi



(Cuplikan Pilihan) Art. 005

Sang Buddha tidak mengajarkan mengenai pikiran dan faktor-faktor mentalnya untuk kita lekati sebagai konsep.

Satu-satunya tujuan Beliau hanyalah agar kita memahami bahwa semua ini tidak-kekal, tak memuaskan dan tiada-diri. Kemudian: biarkanlah berlalu... Letakkan.

Sadar dan ketahuilah saat kemunculannya. Pikiran ini memang sudah sangat begitu terkondisinya.
Ia terlalu lama dilatih dan terkondisi untuk selalu lari, meleset dari keadaan kesadaran-murni (pure awareness).

Dan ketika ia menggelincir, ia menciptakan fenomena terkondisi yang selanjutnya mempengaruhi suasana pikiran, demikianlah seterusnya ia beranak-pinak.

Proses inilah yang melahirkan baik, buruk serta segala hal di muka bumi ini ( Dualitas: alam samsara ).

Sang Buddha mengajarkan kita untuk meninggalkan semua itu. Di awal, tentu saja anda harus membiasakan diri mempelajari pelbagai teori supaya nantinya anda mampu meninggalkan semuanya.
Ini sekedar proses alamiah saja. Ya demikianlah pikiran ini. Demikian pula faktor-faktor mental.

Ambil sebagai contoh: Jalan Mulia Berunsur Delapan. Manakala kebijaksanaan (wisdom) memandang segala sesuatu secara benar dengan wawasan-kebijaksanaan (insight), maka pandangan-benar ini akan membawa kepada pemikiran benar, ucapan-benar, tindakan-benar dan seterusnya. Semua ini meliputi pelbagai kondisi psikologis yang timbul dari hasil pengetahuan-kesadaran-murni (pure knowing awareness).

Pengetahuan ini bagaikan sebuah lentera yang menerangi jalan setapak di hadapan kita di kegelapan malam. Bila pengetahuan ini (the knowing) sudah benar, yakni sesuai dengan kenyataan (truth), ia bakal menyebar serta menerangi setiap langkah pada jalan berikutnya.

Apapun yang kita alami, semuanya muncul dari dalam pengetahuan ini. Apabila pikiran ini tidak eksis, pengetahuan tersebut juga tidak akan ada. Semua ini adalah fenomena pikiran. Seperti yang dikatakan Sang Buddha, pikiran adalah cuma sekedar pikiran. Ia bukanlah makhluk, orang, diri ataupun diri-anda. Juga bukan diri kita maupun mereka.

Dhamma itu adalah sekedar Dhamma, begitu saja titik. Ia alami, berlangsung dengan sendirinya tanpa ada “diri” yang terlibat. Ia bukanlah kepunyaan kita atau siapapun. Ia bukan pula sesuatu (“It’s not anything”). Apapun yang dialami seseorang tak lain adalah lima gugus fundamental (khandha): tubuh, perasaan, pencerapan (persepsi), bentukbentuk pemikiran dan kesadaran. Sang Buddha mengatakan: biarkanlah semua itu berlalu.


(Cuplikan pilihan dari buku “ Damai tak tergoyahkan”- oleh YM. Ajahn Chah)

PIKIRAN YANG TERKONDISI

Oleh : Tanhadi


(Cuplikan Pilihan) Art. 004

Seluruh alasan untuk mempelajari Dhamma, ajaran Sang Buddha, adalah guna menyelidiki cara mengatasi penderitaan serta mencapai kedamaian dan kebahagiaan.

Apakah kita mau mempelajari fenomena fisik atau mental, pikiran (citta) atau faktor-faktor psikologikal-nya (cetaskas), hanya manakala kita menjadikan pembebasan dari penderitaan sebagai tujuan utama kitalah, maka itu berarti kita ada di jalur yang benar, tak lebih, tak kurang. Penderitaan mempunyai sebab dan kondisi bagi keberadaannya.

Harap dipahami dengan jelas bahwa sesungguhnya saat pikiran ini diam, ia ada dalam keadaan alami-nya, keadaan normalnya. Namun begitu pikiran ini bergerak, ia menjadi terkondisi (sankhâra). Ketika pikiran terpikat pada suatu hal, ia menjadi terkondisi (conditioned)1. Saat kebencian timbul, ia menjadi terkondisi. Dorongan untuk goyang kesana kemari ini timbul dari pengkondisian. Jika ke-awas-an (awareness) kita kalah cepat dengan munculnya keadaan mental yang segera berentet berkembang-biak itu, maka pikiran ini akan goyah, larut membuntuti serta terkondisi olehnya. Kapanpun pikiran bergerak, pada saat itu, ia menjadi sebuah realitas-konvensional2.

Oleh karenanya, Sang Buddha mengajarkan kita untuk merenungkan kondisi yang mengacaukan pikiran itu. Kapanpun pikiran bergerak, ia menjadi tidak stabil dan tak permanen (anicca), tak memuaskan (dukkha) dan bukan sebuah diri (anattâ). Ini merupakan tiga corak universal dari semua fenomena yang terkondisi. Sang Buddha mengajarkan kita mengamati serta mengkontemplasikan (merenungkan) pergerakan pikiran ini.

Demikian pula halnya dengan ajaran mengenai sebab-musabab saling bergantungan (paticca-samuppâda): kekelirutahuan (avijja) merupakan sebab dan kondisi timbulnya bentuk-bentuk karma kehendak (sankhâra); yang mana kemudian menjadi sebab dan kondisi bagi munculnya kesadaran (viññana); lalu merupakan sebab dan kondisi bagi munculnya bathin dan jasmani (nâma-rûpa) dan seterusnya, sebagaimana yang kita pelajari dalam kitab suci.

Sang Buddha memilah setiap mata-rantai agar membuatnya lebih mudah dipelajari. Sebenarnya ini merupakan penjelasan yang akurat dan teliti tentang realita, tetapi ketika hal ini sungguh terjadi di kehidupan nyata, [pikiran] para cendekiawan kalah sigap, tak mampu mengikuti proses ini.

Bagai jatuh terjerembab dari atas pohon hingga menghantam tanah. Kita tak lagi tahu berapa banyaknya ranting yang telah kita lewati sepanjang proses jatuh itu. Sama seperti tatkala pikiran ditubruk oleh suatu kesan mental apabila tergiur olehnya, maka pikiran ini segera melayang-layang ke dalam suasana bathin yang menyenangkan; ia menganggapnya sebagai suatu hal yang baik tanpa menyadari rantai kondisi yang menyebabkannya. [Urutan] proses ini memang berjalan sesuai dengan uraian dalam teori, namun pada saat yang sama ia juga melampaui batas-batas teori tersebut.

Tidak ada yang mengumumkan, “Ini lho kebodohan. Ini lho bentuk-bentuk karma, dan inilah kesadaran”. Proses tersebut manakala sungguh sedang terjadi [berlangsung begitu cepat] tak lagi memberi kesempatan bagi para cendekiawan untuk membaca tabel itu. Walaupun Sang Buddha telah menganalisa dan menjelaskan urutan momen-momen pikiran dengan amat rinci, namun bagi saya kejadiannya lebih mirip seperti jatuh dari pohon. Tiada lagi kesempatan bagi kita untuk memperkirakan berapa meter kita telah terjatuh. Apa yang kita ketahui cuma: kita menubruk tanah dengan keras dan itu menyakitkan!

Begitu juga dengan pikiran ini. Saat ia terjatuh untuk suatu hal, apa yang kita sadari hanyalah rasa-sakitnya. Dari manakah datangnya semua penderitaan ini, rasa sakit, kesedihan dan keputus-asaan? Mereka tidak datang dari teori yang ada dalam buku. Tiada dimanapun jua tempat rincian penderitaan ini dituliskan. Penderitaan kita takkan sama persis dengan teori, tetapi keduanya melintasi jalan yang sama. Jadi sekedar kecendekiawanan itu saja tidaklah bakal mampu mengikuti kenyataan. Itulah sebabnya Sang Buddha mengajarkan kita untuk mengembangkan pemahaman yang jelas (clear knowing)3 bagi diri kita sendiri. Apapun yang muncul, muncul dengan diketahui. Manakala “yang-mengetahui” mengetahuinya sejalan dengan kebenaran (truth), maka pikiran ini beserta faktor-faktor mentalnya pun bakal dikenali sebagai: bukan-milik-ku. Dan pamungkasnya, semua fenomena itu adalah cuma untuk ditinggalkan, dibuang layaknya sampah. Kita mesti jangan melekat atau memberi arti apapun padanya.

_________
1 Terkondisi (conditioned): bersyarat, hasil bentukan — berubah, tidak abadi — tidak memuaskan — ed.
2 Realitas konvensional (conventional reality) yang bersifat ilusi/palsu, dukkha [merujuk ke pengertian two truths dalam Buddhism] — kontras dengan realitas ultimit yang bersifat sejati, membebaskan (nibbana) —ed. 
3 Knowing: mengetahui, memahami, menyadari — merujuk ke pikiran-murni kita (mind of awareness); sifat dari pikiran yang clear and knowing — ed.

(Cuplikan pilihan dari buku “ Damai tak tergoyahkan”- oleh YM. Ajahn Chah)

CARA BERLATIH MEDITASI

Oleh : Tanhadi


(Cuplikan pilihan ) Art. 003

1.     Tinggalkan keragu-raguan terhadap metode-metode meditasi yang dianjurkan oleh beberapa pakar, guru maupun bacaan/petunjuk buku meditasi.

2.    Jangan berpikir terlalu banyak, jika ingin berpikir, lakukanlah dengan kesadaran, tinggalkan semua pikiran-pikiran yang ada dirumah, kantor ataupun pikiran rutinitas sehari-hari .

3.    Tenangkan pikiran dengan kesadaran dan tidak perlu lagi menanggapi bentuk-bentuk pikiran, maka secara otomatis kesadaran akan timbul, inilah yang kemudian akan menjadi kebijaksanaan (panna).

4.    Jangan berpikir terlalu jauh, cukup dengan tekad bahwa saat ini adalah saatnya melatih pikiran dan tugas kita satu-satunya saat ini adalah melatih kesadaran pada pernafasan , ingat bahwa saat ini satu-satunya tugasmu hanyalah mengamati masuk keluarnya nafas. Jangan memaksakan nafas menjadi lebih panjang atau lebih pendek dari biasanya, biarkanlah saja, jangan menekan nafas, biarkanlah ia mengalir dengan teratur, berlatihlah tarikan dan hembusan nafas.

5.    Sewaktu melakukan ini, kalian harus mengerti bahwa kalian melepas, tetapi harus tetap ada kesadaran, kalian harus terus menjaga kesadaran ini, biarkan nafas masuk dan keluar dengan leluasa dan wajar. Pertahankan keteguhan hati bahwa saat ini kalian tidak punya kewajiban dan tanggung jawab yang lain, selain memusatkan perhatian pada obyek meditasi. Pikiran tentang apa yang akan terjadi atau gambaran-gambaran apa yang akan timbul selama meditasi akan terus bermunculan, tetapi biarkan mereka menghilang sendiri, jangan terpengaruh.

6.    Selama meditasi kalian tidak perlu memperhatikan kesan indera. Kapan saja pikiran dipengaruhi oleh perasaan, lepaskanlah. Apakah sensasi-sensasi itu baik atau buruk tidak penting, tidak perlu membuat asumsi apapun dari sensasi-sensasi itu, biarkanlah berlalu dan kembalikan perhatianmu pada pernafasan, jagalah kesadaran pada pernafasan yang masuk dan keluar. Jangan menciptakan penderitaan dengan membuat nafas lebih panjang atau pendek, amati saja tanpa mencoba mengatur atau menekannya dengan cara apapun, dengan kata lain: jangan melekat. Biarkanlah pernafasan berjalan apa adanya dan pikiranpun akan menjadi tenang, kemudian pikiranpun akan meletakkan segalanya dan beristirahat. Nafas menjadi lebih ringan dan terenergi, yang tertinggal hanyalah 'mengetahui secara terpusat'. Kalian dapat mengatakan bahwa pikiran telah berubah dan mencapai suatu keadaan tenang.

7.    Jika pikiran terganggu, tingkatkan kesadaran dan tarik nafas dalam-dalam sampai tidak ada rongga yang tersisa, kemudian hembuskanlah sampai tidak ada yang tersisa. Ikutilah ini dengan tarikan nafas yang dalam lagi, kemudian hembuskan. Lakukan ini dua sampai tiga kali, kemudian susun kembali konsentrasi. Pikiran akan kembali tenang. Jika ada gangguan lagi, ulangi proses itu kembali. Sama halnya dengan meditasi jalan, jika sewaktu berjalan muncul bentuk pikiran yang lain dan mengganggu maka tenangkan pikiran, pusatkan konsentrasi dan kemudian teruskan berjalan. Meditasi duduk dan berjalan pada intinya adalah sama, perbedaannya hanya dalam postur fisik saja.

8.    Kadang kala ada keraguan, jadi kalian harus mempunyai sati (perhatian), mempunyai penyadaran jeli terus-menerus mengikuti dan mengawasi pikiran yang resah dalam bentuk apapun. Begitulah untuk mempunyai sati, sati mengawasi dan menjaga pikiran. Kalian harus tetap menjaga pengetahuan ini dan tidak sembrono atau serampangan, bagaimanapun kondisi pikiranmu.

9.    Tekniknya biarkan sati mengatur dan menguasai pikiran, sekali pikiran telah terpadu dengan sati, semacam kesadaran baru akan muncul. Pikiran yang telah mengembangkan ketenangan senantiasa diawasi oleh ketenangan itu, sama seperti seekor ayam yang terkurung di kandangnya... ayam itu tidak dapat berkeliaran di luar, tetapi masih dapat mondar-mandir dalam kandangnya. Mondar-mandir itu tidak akan menimbulkan masalah karena dibatasi oleh kandang. Demikian juga kesadaran yang timbul saat pikiran mempunyai sati dan tenang tidak akan menimbulkan masalah. Pemikiran atau sensasi yang terjadi pada pikiran yang tenang tidak dapat menyebabkan ganggauan atau kerusakan.

10. Beberapa orang tidak ingin mengalami pikiran atau perasaan sama sekali. Ini keterlaluan, perasaan tetap timbul sekalipun pada waktu pikiran tenang. Pikiran mengalami sekaligus perasaan maupun ketenangan, tanpa terganggu, pada saat ada ketenangan semacam ini tidak akan ada akibat yang merugikan. Masalah timbul saat "ayam" lepas dari "kandangnya". Sebagai contoh, kalian mungkin sedang mengamati nafas kalian ketika tiba-tiba pikiran kalian melayang kembali ke rumah atau mengembara ke tempat lain, yang mungkin setelah setengah jam atau lebih baru kalian sadari bahwa sebenarnya kalian harus berlatih meditasi. Kemudian kalian menyesali diri karena kurangnya sati dalam dirimu, di sinilah kalian harus hati-hati, karena di sinilah ayam meninggalkan kandangnya-pikiran meninggalkan basis ketenangan.

11. Kalian harus terus menjaga kesadaran dengan sati dan menarik pikiran kalian kembali. Meskipun saya menggunakan kata-kata "menarik kembali", sebenarnya pikiran itu tidak pergi kemana-mana. Hanya obyek kesadarannya yang telah berubah. Kalian harus membuat pikiran tinggal di sini saat ini. Sepanjang ada sati maka pikiran akan hadir, tampaknya kalian menarik balik pikiran tetapi sebenarnya pikiran itu tidak pergi hanya sedikit berubah. Tampaknya pikiran pergi dari satu tempat ke tempat yang lain, tetapi sebenarnya perubahan itu terjadi tepat pada satu titik. Ketika sati ditegakkan kembali, dengan sekejap kalian akan kembali pada pikiran tanpa harus menariknya dari manapun.

12. Bila ada pengetahuan total, berarti ada suatu kesadaran yang terus-menerus serta tidak terpatahkan, inilah yang disebut kehadiran pikiran. Jika perhatian kalian beralih dari nafas ke tempat yang lain, pengetahuan itu terpatahkan. Kapanpun ada kesadaran pada pernafasan, pikiran ada di situ, hanya dengan nafas dan kesadaran yang terus-menerus ini kalian mempunyai kehadiran pikiran.

13. Harus ada sati dan sampajañña, sati adalah perhatian dan sampajañña adalah kesadaran diri. Saat ini kalian dengan jelas sadar akan pernafasan. Latihan mengamati nafas ini membantu sati dan sampajañña berkembang bersama. Mereka saling bagi tugas. Mempunyai sati dan sampajañña itu sama halnya seperti mempunyai dua orang pekerja untuk mengangkat kayu yang berat. Misalkan ada dua orang yang mencoba mengangkat kayu yang sangat berat, tetapi begitu beratnya sampai-sampai mereka merasa tidak kuat lagi. Kemudian ada orang lain yang dikaruniai niat baik, melihat mereka dan cepat-cepat menolong. Demikian pula, bila ada sati dan sampajañña, maka pañña (kebijaksanaan) akan muncul di tempat yang sama untuk membantu, kemudian ketiganya saling mendukung.

14. Dengan pañña akan didapatkan pengertian mengenai obyek sensasi. Misalnya, selama meditasi obyek sensasi muncul dan menyebabkan timbulnya perasaan dan suasana hati. Kalian mungkin mulai memikirkan seorang teman, tetapi kemudian pañña harus segera muncul dan mengatakan, "tidak jadi masalah", "lupakan" atau "berhenti". Atau jika timbul pikiran ke mana kalian akan pergi besok, maka reaksi yang terjadi seharusnya "Saya tidak tertarik, saya tidak ingin membebani diri dengan hal-hal semacam itu". Mungkin kalian akan mulai memikirkan tentang seseorang maka kalian harus mengatakan, "Tidak, saya tidak mau terlibat", Lepaskan saja" atau "Semua ini tidak pasti dan tidak akan pernah pasti". Beginilah kalian harus menghadapi hal-hal yang timbul selama meditasi, mengenali mereka sebagai "tidak pasti, tidak pasti", dan tetap menjaga kesadaran.

15. Kalian harus melepaskan segala bentuk pemikiran, percakapan batin dan keragu-raguan. Jangan terperosok dalam hal-hal semacam ini selama meditasi. Pada akhirnya yang tinggal dalam pikiran adalah bentuk termurni dari sati, sampajañña dan pañña. Kapan saja ketiga hal ini melemah, keraguan akan muncul. tetapi cobalah untuk segera meninggalkan segala macam keraguan itu, sisakan saja sati, sampajañña dan pañña. Cobalah untuk mengembangkan sati sampai ia bisa tetap ada setiap waktu. Dengan begitu kalian akan memahami sepenuhnya sati, sampajañña dan samadhi.

16. Memusatkan perhatian pada tahap ini, kalian akan melihat sati, sampajañña, samadhi dan pañña Bersama. Setiap kali kalian terpesona atau tertarik oleh obyek sensasi luar, kalian akan mampu mengatakan "ini tidak pasti". Bagaimanapun juga mereka hanyalah halangan-halangan yang harus disingkirkan sampai pikiran menjadi bersih. Yang harus tertinggal hanyalah sati-perhatian, sampajañña-kesadaran yang jernih, samadhi-pikiran yang teguh dan tidak ragu-ragu, dan pañña-kebijaksanaan. Untuk sementara waktu saya hanya akan mengatakan ini saja tentang subyek meditasi.

(Cuplikan pilihan dari buku “Meditasi” oleh : YM. Ajahn Chah)

PENGENDALIAN DIRI DAN MORALITAS (SILA)

Oleh : Tanhadi


 (Cuplikan pilihan ) Art. 002

Latihan yang berikutnya adalah ketahanan moral (sila).
Sila mengawasi dan mengasuh latihan kita dengan cara yang sama seperti orangtua yang menjaga anak-anak mereka.

Memelihara ketahanan moral berarti tidak hanya menghindari diri dari menyakiti pihak lain, tetapi juga untuk menolong dan mendukung mereka.

Kalian seharusnya menjaga sedikitnya lima aturan, yakni :

1.  Tak hanya tidak membunuh atau secara sengaja menyakiti pihak lain saja, tetapi juga menyebarkan kebaikan hati terhadap semua makhluk.

2. Jujur, menahan diri dari pelanggaran hak-hak pihak lain, dengan kata lain, tidak mencuri.

3. Mengetahui bagaimana ukuran yang moderat dalam hubungan seksual:
Dalam kehidupan rumah tangga terdapat struktur keluarga, berdasarkan pada hubungan antara suami dan istri. Mengetahui siapa suami atau istri kalian, mengetahui ukuran yang moderat, mengetahui batasan-batasan yang layak di dalam kegiatan seksual. Beberapa orang tidak tahu batas. Satu suami atau istri saja tidak cukup, mereka perlu memiliki yang kedua atau yang ketiga.  Kalau menurut saya, kalian tak akan dapat memakai bahkan satu orang pendamping pun secara penuh, jadi untuk memiliki dua atau tiga lagi hanyalah untuk menuruti hawa nafsu saja. Kalian harus mencoba untuk membersihkan pikiran dan melatihnya untuk mengetahui ukuran yang moderat. Mengetahui ukuran yang moderat adalah kemurnian yang sebenarnya, tanpanya tindak tanduk kalian tidak akan ada batasnya. Ketika memakan makanan yang enak, jangan terlalu berkutat pada bagaimana rasanya, pikirkan perut kalian dan pertimbangkan berapa jumlah yang cukup untuk keperluannya. Jika kalian makan terlalu banyak, kalian akan menghadapi masalah, jadi kalian harus mengetahui ukuran yang moderat.

4. Jujur dalam berbicara – ini juga adalah alat untuk melenyapkan kekotoran batin. Kalian harus jujur dan tulus, menyukai kebenaran dan adil.

5. Menghindarkan diri dari pemakaian zat-zat yang memabukkan. Kalian harus menahan diri dan memilih untuk melepaskan hal-hal ini sama sekali. Orang-orang telah cukup dimabukkan oleh keluarga mereka, sanak saudara dan sahabat-sahabat , kepemilikan benda-benda materi, harta kekayaan dan semua yang lain. Itu sebenarnya sudah cukup tanpa harus membuat keadaan menjadi lebih buruk lagi dengan memakai zat-zat yang memabukkan. Mereka yang memakai dengan jumlah yang banyak, seharusnya mencoba untuk secara bertahap menguranginya dan pada akhirnya melepaskannya semua. Mungkin saya seharusnya meminta maaf kepada kalian, tetapi cara saya berbicara seperti ini adalah untuk kebaikan kalian sendiri, sehingga kalian bisa memahami mana yang baik. Kalian perlu mengetahui sesuatunya itu apa. Hal-hal apa yang menindas kalian di dalam kehidupan sehari-hari kalian? Tindakan-tindakan apa yang menyebabkan kalian tertekan? Perbuatan yang baik memberikan hasil yang baik, dan perbuatan buruk memberikan hasil yang buruk pula. Inilah penyebabnya.

Begitu ketahanan mental menjadi murni, akan ada suatu perasaan jujur dan baik terhadap pihak lain. Ini akan membawa kepada kepuasan dan kebebasan dari kekhawatiran dan penyesalan. Penyesalan yang berasal dari perilaku yang agresif dan merugikan, tidak akan berada di sana. Ini adalah suatu bentuk kebahagiaan. Ia hampir menyerupai suatu keadaan surgawi. Ada kenyamanan, kalian makan dan tidur dengan nyaman, dibarengi dengan kebahagiaan yang muncul dari ketahanan moral. Inilah hasilnya; memelihara ketahanan moral adalah penyebabnya. Ini adalah prinsip dari praktek Dhamma – menahan diri dari perbuatan yang buruk sehingga kebaikan bisa muncul. Jika ketahanan moral dijaga dengan cara ini, kejahatan akan hilang dan kebaikan akan muncul pada tempatnya. Ini adalah hasil dari praktek yang benar.

Tetapi ini bukanlah akhir dari cerita.
Begitu orang-orang mencapai sedikit kebahagiaan, mereka cenderung menjadi tidak perduli dan tidak melanjutkan latihan mereka lagi. Mereka terjebak di dalam kebahagiaan. Mereka tak ingin mengalami kemajuan lagi, mereka lebih menyukai kebahagiaan “di surga”. Ia memang menyenangkan, tetapi di sana tidak ada pemahaman yang sebenarnya. Kalian harus terus merenungkannya agar tidak terperdaya. Renungkanlah lagi dan lagi, tentang kekurangan-kekurangan dari kebahagiaan yang satu ini. Ia fana, ia takkan bertahan selama-lamanya. Tidak lama lagi, kalian akan berpisah darinya. Ia bukanlah hal yang pasti, begitu kebahagiaan hilang maka penderitaan pun muncul pada tempatnya dan air mata menetes lagi. Bahkan makhluk-makhluk surgawi pun akan berakhir di dalam tangisan dan penderitaan.

Jadi, Sang Buddha mengajarkan kita untuk merenungkan kekurangan-kekurangan tersebut, bahwa ada sisi-sisi yang tidak memuaskan dari kebahagiaan. Biasanya, ketika jenis kebahagiaan seperti ini dialami, di sana tidak ada pemahaman yang sebenarnya tentangnya. Kedamaian yang benar-benar pasti dan tahan lama, telah ditutupi oleh kebahagiaan yang penuh tipu daya ini. Kebahagiaan yang satu ini bukanlah jenis kedamaian yang pasti atau kekal, melainkan suatu bentuk kekotoran batin, sejenis kekotoran batin yang lebih halus, yang kita lekati. Setiap orang ingin bahagia. Kebahagiaan muncul disebabkan oleh kesukaan kita terhadap sesuatu. Begitu rasa suka tersebut berubah menjadi ketidaksukaan, penderitaan muncul. Kita harus merenungkan kebahagiaan ini untuk memahami ketidakpastian dan keterbatasannya. Begitu segala sesuatunya berubah, penderitaan pun muncul. Penderitaan ini juga tidak pasti, janganlah berpikir bahwa ia tetap dan mutlak. Perenungan semacam ini disebut adinavakatha, perenungan terhadap ketidakcukupan dan keterbatasan dari dunia yang berkondisi. Ini artinya untuk merenungkan kebahagiaan, daripada menerimanya begitu saja. Memahami bahwa ia tidak pasti, kalian seharusnya tidak cepat-cepat melekat kepadanya. Kalian seharusnya memegangnya tetapi kemudian lepaskanlah ia, untuk melihat manfaat dan bahaya dari kebahagiaan. Untuk bermeditasi dengan terampil, kalian harus melihat kekurangan-kekurangan yang bersatu-padu di dalam kebahagiaan. Renungkan dengan cara ini. Bila kebahagiaan muncul, renungkanlah ia dengan seksama hingga kekurangan-kekurangan itu menjadi jelas.

Ketika kalian melihat bahwa segala sesuatunya itu tidak sempurna (dukkha), batin kalian akan memahami nekkhammakatha, perenungan tentang pembebasan dari hawa nafsu. Pikiran ini akan menjadi tidak tertarik dan mencari jalan keluar. Ketidaktertarikan muncul setelah melihat bagaimana bentuk-bentuk itu sebenarnya, bagaimana citarasa-citarasa itu sebenarnya, bagaimana cinta dan benci itu sebenarnya. Menjadi tidak tertarik artinya bahwa tidak ada lagi keinginan untuk melekat atau terikat pada segala sesuatunya. Ada penarikan mundur dari kemelekatan, sampai pada suatu titik di mana kalian bisa tinggal dengan nyaman, memperhatikan dengan suatu ketenangan yang bebas dari keterikatan. Inilah kedamaian yang muncul dari latihan.

(Cuplikan pilihan dari buku “Meditasi” oleh : YM. Ajahn Chah)