Minggu, Februari 25, 2018

DHAMMA DAN VINAYA ADALAH GURU KITA

DHAMMA DAN VINAYA ADALAH GURU KITA 
Upa. Amaro Tanhadi


Bila kita perhatikan lebih jauh di forum-forum diskusi ajaran Buddha yang bertebaran di internet, ternyata masih sangat banyak orang yang mengaku sebagai umat Buddhis tapi sangat minim pengetahuannya tentang ajaran Buddha (Dhamma dan Vinaya). Ini adalah fakta yang menyedihkan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa, " Membaca/mempelajari Sutta-sutta itu tidak penting, itu hanya teori, hanya sebuah konsep, yang penting adalah praktiknya, lagipula belum tentu ajaran yang di sutta itu adalah benar-benar ucapan dari Buddha sendiri ."

Orang-orang yang berpikiran sempit dan tidak memahami ajaran Buddha seperti itulah yang pada perjalanan diskusinya cenderung menggunakan penafsiran-penafsiran pribadi dan melenceng dari ajaran Buddha (adhamma), berbelit-belit dan penuh dengan pandangan salah.

Bagaimanapun juga, sebagai umat Buddhis, kita seharusnya mengenali Sutta-Sutta dan mempelajarinya dengan sebaik-baiknya. Untuk hal tersebut mari kita ingat kembali nasihat-nasihat Sang Buddha tersebut dibawah ini :

Di dalam Maha Parinibbana Sutta (Digha Nikaya Sutta 16), Sang Buddha menasihati para Bhikkhu: “Dhamma-Vinaya apapun yang telah Aku tunjukkan dan rumuskan untuk kalian, itulah yang akan menjadi Guru kalian ketika Aku tiada.”

Ini adalah pernyataan yang sangat penting, yang maknanya telah diabaikan oleh banyak umat Buddhis. Karena banyak umat Buddhis tidak pernah mendengar nasihat ini atau tidak mengerti maknanya, maka mereka lebih banyak menyenangi untuk mempelajari buku-buku belakangan ini yang berisi banyak Dhamma dan beberapa adhamma (yakni yang bertentangan dengan Dhamma) ditambahkan di sana-sini.

Dan untuk mengetahui adanya perubahan-perubahan yang tersebar di sana-sini di sepanjang teks, hanya bisa diketahui jika seseorang cukup cermat dan benar-benar mengenal kumpulan Sutta tertua. Jika tidak, seseorang akan merasa sangat sulit untuk membedakan buku-buku belakangan dari yang lebih awal.

Demikian pula, di dalam Samyutta Nikaya, sutta 20.7, Sang Buddha telah pula memperingatkan bahwa di masa depan (yakni sekarang ini), orang-orang akan menolak untuk mendengarkan khotbahNya (Sutta). Tentu saja hal itu akan berdampak merusak pada dua hal, yaitu : Sutta - Sutta akan hilang, dan
Orang-orang akan memperoleh pemahaman yang salah tentang Dhamma. 

Jika kita tidak mengenal Sutta, atas dasar apa dan bagaimana kita bisa mempraktikkan Ajaran Buddha dengan ‘Pandangan yang benar?’

Oleh karena itulah, kita sebagai umat Buddhis hendaknya mengenal Sutta, jadi kita bisa menilai apakah buku-buku Dhamma atau instruksi para bhikkhu atau beberapa guru lainnya adalah sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Inilah sebabnya mengapa kita sebagai umat Buddhis harus selalu mengingat Dhamma-Vinaya sebagai Guru kita  yang utama; khususnya bagi kita adalah kumpulan Sutta tertua di dalam Nikaya.(Th)

Semoga bermanfaat. 
Mettacittena.

MELEPAS BELENGGU BATIN

MELEPAS BELENGGU BATIN
Upa. Amaro Tanhadi

Melepaskan sesuatu yang ada di genggaman tangan kita adalah hal yang sangat mudah untuk dilakukan, tapi tidak bagi Nafsu keinginan dan kemelekatan yang ada di batin kita.

Oleh karena itulah, Sang Buddha mengajarkan Dhamma untuk mengenali, mengendalikan, menguasai dan melepaskan semua ikatan-ikatan yang membelenggu batin kita, karena nafsu keinginan dan kemelekatan itulah sumber dari segala bentuk penderitaan yang kita alami dimasa lampau, sekarang maupun di kehidupan yang  berikutnya.

Semoga bermanfaat,
Mettacittena.
    

MELAKUKAN KEBAJIKAN DALAM DHAMMA

MELAKUKAN KEBAJIKAN DALAM DHAMMA
Upa. Amaro Tanhadi

Pupuk dan kembangkanlah kebajikan sebanyak-banyaknya, soal hasilnya, itu samasekali bukan urusan kita, ia akan tumbuh subur dengan caranya sendiri. Jika kita tidak sabar dan memaksakan untuk memperoleh hasilnya, maka hal itu hanya akan menimbulkan kekecewaan dan penderitaan.

Seperti tanaman cabai yang sedang kita rawat, berikan air dan pupuk, dan ia akan menyerap nutrisinya sendiri,  biarkan ia mekar dengan sendirinya. Dan saat mulai berbunga, jangan menuntutnya segera menghasilkan cabai. Jangan memaksanya, Itu sungguh akan menimbulkan penderitaan. 

Demikian pula dengan perbuatan, ia memiliki hukumnya sendiri, terjadi secara alami. Tidak ada penjelasan teoritis dari pikiran atau keadaan-keadaaan mental secara tepat, karena disaat kita berkehendak untuk melakukan sesuatu, saat itu pula terjadi proses yang sangat cepat dan rumit dari pikiran dan faktor-faktor mental serta kondisi penyebabnya. 

Disinilah dibutuhkan keyakinan yang kokoh pada Dhamma, bahwa " Perbuatan baik akan menghasilkan kebaikan ; perbuatan buruk akan menghasilkan keburukan". Persoalan kapan hasil dari  perbuatan baik yang kita lakukan itu akan berbuah kebaikan, semua itu tidaklah penting untuk dipikirkan, cukup dengan keyakinan yang kita miliki,  praktikkan ini dengan sungguh-sungguh. Dan jika kita "ngotot" serta berusaha untuk memikirkannya lebih jauh, percayalah, kita akan mengalami kebingungan dan stres berat, itulah penderitaan.

Apabila perbuatan bajik kita saat ini bisa berbuah pada kehidupan ini, tentu itu baik, namun apabila memang harus menunggu hingga kehidupan yang akan datang, juga tak masalah. 

Demikianlah, begitu kita memahami persoalan ini, kita bakal tahu mana yang menjadi tanggung-jawab kita dan mana yang bukan. Namun apabila pikiran tidak mengerti akan perannya, ia akan memberikan masalah kepada kita, dan kita akan menderita karenanya.

Mempraktikkan Dhamma dengan cara demikian, akan memudahkan kita dan membuat hati kita terasa ringan.

Semoga bermanfaat.

Mettacittena.

 -oOo-

Kamis, Februari 22, 2018

UPOSATHA DAN CARA PELAKSANAANNYA

POINT-POINT PENTING 
DALAM MENJALANKAN UPOSATHA 


WAKTU
Mulai tengah hari hingga subuh keesokan harinya  (mulai jam 12 siang sampai dengan jam 6 pagi keesokan harinya).

CARA PELAKSANAANNYA :
Uposatha-sila atau atthasila biasanya diambil pada pagi hari sebelum makan pagi (sekitar jam 06.00). Boleh mengambilnya dari seorang bhikkhu atau orang yang memahami seluk-beluk dasa-sila. Kalau tidak memungkinkan maka boleh ber-adhitthana (bertekad) sendiri dengan mengucapkan satu per satu sila atau cukup ber-adhitthana, dengan mengucapkan: Hari ini saya akan menjalankan uposatha-sila (atau attha-sila)., kemudian dilanjutkan dengan melafalkan/membaca atthasila (atthangika-sila, 8 Sila), yaitu : (baca bahasa Palinya terlebih dahulu, kemudian baca juga terjemahannya):

1.Pānātipātā veramanī sikkhāpadam samādiyāmi.

2. Adinnādānā veramanī sikkhāpadam samādiyāmi.

3. Abrahmacariyā veramanī sikkhāpadam samādiyāmi.

4. Musāvādā veramanī sikkhāpadam samādiyāmi.

5. Surāmerayamajjappamādatthāna veramanī sikkhāpadam samādiyāmi.

6. Vikālabhojanā veramanī sikkhāpadam samādiyāmi.

7.Naccagīta-vādita-visūkadassana-mālāgandha-vilepana-dhārana-mandana-vibhūsanatthānā veramanī sikkhāpadam samādiyāmi.

8. Uccāsayana-mahāsayanā veramanī sikkhāpadam samādiyāmi.

1). Saya mengambil peraturan latihan menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2). Saya mengambil peraturan latihan menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan.
3). Saya mengambil peraturan latihan menghindari kehidupan tidak suci.
4). Saya mengambil peraturan latihan menghindari ucapan bohong.
5). Saya mengambil peraturan latihan menghindari minuman beralkohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan yang mengondisikan kelengahan.
6). Saya mengambil peraturan latihan menghindari makan pada waktu yang salah.
7). Saya mengambil peraturan latihan menghindari menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; (menghindari) pengenaan untaiaan bunga, wangi-wangian, urapan kosmetik, perhiasan, dan dandanan.
8). Saya mengambil peraturan latihan menghindari pembaringan yang tinggi dan besar.

Penjelasan :

- Sila ke-1, 2,4, dan 5 sama seperti Pancasila Buddhis. Yang berbeda hanyalah sila ke-3, 6,7, dan 8.

- Sila ke 3 : Menghindari kehidupan tidak suci, yang dimaksud adalah Tidak melakukan perbuatan seksual.

- Sila ke 6 : Menghindari makan pada waktu yang salah, yaitu :
* Makan hanya 1 x sehari dan tidak makan setelah lewat tengah hari.
* Minuman yang masih diperbolehkan selama menjalankan atthasila adalah : air putih, teh manis, jus buah tanpa ampas/disaring, yang buahnya tidak lebih besar dari kepalan tangan.

- Sila ke 8 : Menghindari pembaringan yang tinggi dan besar. (Tinggi Max. 50 Cm dari lantai)

- Uposatha-sila atau attha-sila hanya berlaku/berusia sehari. Oleh karena itu bila mau menjalankannya lagi pada keesokan harinya maka harus mengambil kembali sila tersebut. 

- Bila terjadi pelanggaran terhadap sila, seyogianya minta sila kembali atau ber-adhitthana kembali.

SELAMAT MENJALANKAN UPOSATHA !

Semoga kita senantiasa berbuat kebajikan !

Mettacittena,
(Tanhadi)


SYARAT-SYARAT MAKAN DAGING BAGI UMAT BUDDHA

SYARAT-SYARAT MAKAN DAGING BAGI UMAT BUDDHA
oleh : Upa. Amaro Tanhadi

1). Sila Buddhis pertama disebutkan : "Tidak membunuh makhluk hidup", dan apakah syarat untuk terjadinya kejahatan membunuh itu? 

i). Adanya makhluk hidup,
ii). Mengetahui bahwa makhluk itu hidup,
iii). Ada kehendak untuk membunuh,
iv). Ada usaha untuk membunuh.
v). Makhluk tersebut mati sebagai akibat dari usahanya.

2). Tiga syarat daging yang diijinkan untuk dikonsumsi :

i). Tidak melihat, 
ii). Tidak mendengar 
iii). Tidak mencurigai 
bahwa daging itu berasal dari hewan yang disembelih khusus untuk dirinya.

3). 10 Jenis daging yang dilarang untuk dikonsumsi :

i). Manusia
ii). Gajah
iii). Kuda
iv). Anjing
v). Hyena
vi). Ular
vii). Beruang
viii). Singa
ix). Harimau
x). Macan Tutul

4). 5 jenis perdagangan yang dilarang: 

1). Makhluk hidup,
2). Senjata 
3). Daging atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan makhluk hidup,
4). Minuman keras dan zat-zat lain yang dapat menimbulkan ketagihan. 
5). Racun.

Dengan 4 poin persyaratan dan larangan tersebut, umat Buddhis tradisi Theravada diijinkan untuk mengkonsumsi daging dan berdagang tanpa harus merasa khawatir, takut dan tidak akan timbul penyesalan dikemudian hari.

Semoga bermanfaat,
Mettacittena,

Tanhadi