JADILAH PEWARIS DHAMMA, BUKAN PEWARIS MATERI
(Berdasarkan Dhammadayada Sutta MN.3)
Oleh : Upa. Amaro Tanhadi
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa.
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa.
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa.
Saudara-saudari se-Dhamma,
Dalam kehidupan ini, banyak orang sibuk menyiapkan warisan bagi anak cucunya. Rumah, tanah, tabungan, bisnis—semuanya dipikirkan agar diwariskan kepada keturunan. Tetapi dalam Dhammadayada Sutta, Sang Buddha mengajarkan kepada para bhikkhu dan juga kepada kita semua:
“Dhammadayada me bhikkhave hothatha, ma amisadayada.”
“Jadilah pewarisku di dalam Dhamma, bukan pewarisku di dalam hal-hal materi.” (MN.3)
Ini adalah pesan mendalam: warisan sejati bukanlah benda, tetapi kebajikan dan kebijaksanaan. Hari ini, kita akan merenungkan apa artinya menjadi pewaris Dhamma, dan bagaimana kita bisa mewariskan nilai-nilai Dhamma dalam hidup ini.
1. Pewaris Dhamma vs. Pewaris Materi
Sang Buddha membedakan dua jenis warisan:
· Pewaris materi (Amisa-dayada):
- Warisan berupa harta benda, makanan, pakaian, kekuasaan. Semua ini bisa habis, bisa dirampas, bisa membawa konflik.
· Pewaris Dhamma (Dhamma-dayada):
- Warisan berupa sila (moralitas), samadhi (konsentrasi), panna (kebijaksanaan), serta semangat untuk melatih batin dan membebaskan diri dari penderitaan.
** “Harta bisa diperebutkan, Dhamma tidak.”
** “Kekayaan bisa lenyap, tetapi sila dan kebajikan akan tetap bersama kita, bahkan sampai kehidupan selanjutnya.”
Sutta ini ditujukan kepada para bhikkhu, tetapi secara implisit menegur kecenderungan manusia untuk mencari kenyamanan dalam bentuk-bentuk luar: status, penghormatan, atau fasilitas keagamaan.
Buddha menunjukkan bahwa warisan materi — meskipun tampak mendukung — tidak membawa pada pembebasan. Justru sering kali menjadi penghalang jika tidak diiringi oleh latihan batin.
2. Mengapa Dhamma Lebih Bernilai?
Sang Buddha mengingatkan bahwa mewariskan Dhamma lebih berdampak mendalam dan kekal:
· Materi hanya menopang tubuh, tetapi Dhamma menyelamatkan batin.
· Kekayaan bisa diwariskan tanpa pengertian, tetapi Dhamma hanya bisa diwariskan lewat praktik dan teladan.
· Harta bisa membuat seseorang sombong, tetapi Dhamma menumbuhkan kerendahan hati dan cinta kasih.
“Seorang anak yang tidak mendapatkan warisan tanah bisa bertahan, tapi anak yang tidak diwarisi Dhamma akan tersesat dalam dunia yang membingungkan.”
3. Tanggung Jawab Pribadi: Meletakkan Dhamma di Batin
Sutta ini juga berbicara kepada kita secara pribadi. Tidak cukup hanya menjadi umat Buddha secara identitas, kita harus menjadi umat Buddha secara batin dan tindakan.
Menjadi pewaris Dhamma artinya:
· Mewarisi semangat kebajikan, bukan sekadar baju kebaktian
· Mewarisi kejujuran, cinta kasih, dan kesederhanaan, bukan sekadar simbol-simbol luar
· Menjalani hidup sehari-hari sebagai wujud nyata dari Dhamma itu sendiri
“Bukan siapa gurumu yang membuatmu pewaris Dhamma, tetapi seberapa dalam kamu menghidupkan ajarannya dalam dirimu.”
4. Pewaris yang Bertanggung Jawab: Meneruskan, Bukan Menyimpan
Sang Buddha menyampaikan bahwa seorang pewaris Dhamma bukan hanya menyimpan, tetapi meneruskan.
Artinya:
· Menjadi teladan hidup bagi orang lain
· Mengajarkan Dhamma lewat tindakan, bukan hanya kata-kata
· Menumbuhkan cinta kasih, etika, dan kebijaksanaan di mana pun kita berada
Dhamma tidak diwariskan seperti emas yang ditaruh di brankas. Dhamma diwariskan dengan dilatih, dihidupkan, dan dibagikan dalam keseharian.
5. Renungan: Warisan Apa yang Ingin Kita Tinggalkan?
Saudara-saudari, mari kita renungkan:
- Ketika kita tiada nanti, apa yang akan kita tinggalkan?
- Apakah hanya rumah dan kendaraan?
- Ataukah nilai-nilai kebenaran, cinta kasih, dan kebijaksanaan yang akan hidup dalam anak-anak kita?
Menjadi pewaris Dhamma berarti mewariskan kehidupan yang penuh makna, bukan penuh benda.
· Penutup:
Warisan Sejati Tak Bisa Dicuri
Saudara-saudari yang berbahagia,
Sang Buddha mengajak kita untuk membangun warisan yang tidak bisa dicuri, tidak bisa rusak oleh waktu: warisan batin.
Mari kita tekadkan:
· Untuk mewarisi dan menghidupkan Dhamma dalam diri kita.
· Untuk menularkan Dhamma dalam lingkungan kita.
· Untuk menjadi pohon yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga menaungi dan memberi buah.
Sadhu, sadhu, sadhu
Namo Buddhaya.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta.
-oOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar