Sabtu, Agustus 20, 2011

Dhamma Vibagha II (Penggolongan Dhamma) Kelompok Dua




DHAMMA VIBHAGA II
(PENGGOLONGAN DHAMMA)
Kelompok Dua




Sumber : Dhamma Vibhaga - Penggolongan Dhamma;
oleh: H.R.H. The Late Patriarch Prince Vajirananavarorasa;
alih bahasa : Bhikkhu Jeto, Editor : Bhikkhu Abhipanno;
Penerbit : Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta; Cetakan Pertama 2002)



KELOMPOK DUA

1.   MAKHLUK - MAKHLUK SUCI (ARIYAPUGGALA)

  1. Seorang yang masih harus belajar dan melatih diri lebih lanjut (sekha).
  2. Seorang yang sudah selesai dalam belajar dan melatih diri (asekha).

An. Du. 20/70

  • KETERANGAN

Tujuh makhluk suci (ariyapuggala) yang pertama secara kolektif disebut sekha berdasarkan atas kenyataan bahwa mereka masih harus belajar dan melatih diri lebih lanjut untuk mencapai tingkat kesucian yang lebih tinggi. Sedangkan makhluk suci kedelapan yaitu yang terakhir atau arahat, disebut asekha, karena ia telah menyelesaikan pekerjaannya (dalam proses kesempurnaan bathin).

  • CATATAN:

1.  Secara harfiah, seorang Buddha adalah Ariya atau makhluk suci, karena ia jauh (yaitu bebas) dari pengaruh-pengaruh nafsu.

2.  Perbedaan sifat dari tiap-tiap Ariya yang berkenaan dengan belenggu-belenggu bathin (samyojana) dapat dipelajari di bagian lain mengenai Ariyapuggala dalam Kelompok Empat.

3.  Kelompok makhluk suci (sekha) yang pertama dapat terdiri atas umat Buddha awam (upasaka/upasika), sedangkan kelompok kedua (asekha), pada umumnya adalah terdiri dari para bhikkhu.

4.  Meskipun mereka yang termasuk dalam kelompok kedua dikatakan telah menyelesaikan pekerjaan mereka dan tidak ada lagi yang harus dipelajari dan dipraktekkan, tetapi hal itu sama sekali tidaklah menyatakan bahwa mereka tidak lagi mempunyai tugas yang harus dikerjakan. Tugas mereka yang telah selesai adalah dalam bidang perkembangan bathin. Sekalipun demikian, mereka masih mempunyai tugas untuk membantu orang lain. Karena itulah, Sang Buddha dan para Arahat mengembara kemana-mana untuk menyebarkan Dhamma demi semua makhluk, bilamana hal itu mungkin bagi mereka untuk berbuat demikian.

5.   Juga, kenyataan bahwa para Arahat tidak mempunyai sesuatu lagi yang harus dipraktekkan tidaklah berarti bahwa mereka tidak mempraktekkan sesuatu apapun juga. Sesungguhnya, mereka dikatakan telah sempurna dalam kemoralan (silasampanno), menjaga pintu-pintu indria (indriyesu guttadvaro), bersikap sedang dalam hal makanan (bhojane mattaññu), mempertahankan semangat atau usaha untuk tetap sadar (jagariyanuyogo), dan dikaruniai dengan tujuh corak manusia luhur (sappurisadhamma).

6.  Mereka juga dikatakan telah mencapai dengan teguh lima kelompok kesucian (asekha-dhamma-kkhandha), yaitu: kemoralan (sila), meditasi (samadhi), kebijaksanaan (pañña), kebebasan (vimutti), dan pandangan terang mengenai sifat dari kebebasan (vimuttiñanadassana).


2.   PRAKTEK PERKEMBANGAN BATHIN (KAMMATTHANA)

  1. Praktek untuk mencapai ketenangan (samathakammatthana).
  2. Praktek untuk memperoleh pandangan terang (vipassana-kammatthana).

An. Du. 20/70

  • KETERANGAN

Praktek perkembangan bathin yang menitikberatkan pada pengendalian pikiran dan memusatkan mereka pada suatu obyek tertentu saja disebut Samatha. Samatha tidak ada hubungannya dengan perkembangan kebijaksanaan. Praktek perkembangan bathin yang menjurus ke arah perkembangan pandangan terang -penembusan, menyelami hakekat dari fenomena (nama dan rupa) dengan dasar tiga corak utama (samañña-lakkhana) disebut vipassana.

  • CATATAN :

1.    Hakekat dari fenomena (sabhavadhamma) meliputi; kelompok kehidupan (khanda), unsur-unsur (dhatu), organ-organ indria dan obyek-obyek indria (ayatana), kemampuan-kemampuan (indriya), sedangkan tiga corak utama adalah sifat tidak kekal (aniccata), tidak memuaskan (dukkhata), dan tidak adanya suatu pribadi yang tetap (anattata).

2. Dua macam praktek perkembangan bathin ini juga disebut bhavana, karena mereka dikembangkan oleh setiap umat Buddha. Sedangkan istilah Kammatthana digunakan karena mereka adalah dasar (thana) atau fondasi di mana bathin dapat dikembangkan.

3.    Apabila bathin telah menjadi tenang karena terbebas dari semua gangguan melalui praktek samatha, maka bathin dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat sewaktu bathin terus-menerus terganggu. Demikianlah bagaimana dua macam praktek di atas saling memberi manfaat antara satu dengan yang lain.

4.  Gangguan-gangguan yang merintangi bathin untuk melihat kebenaran yang mendalam, biasanya disebut rintangan-rintangan bathin (nivarana), yang terdiri atas lima macam.

5. Macam praktek yang pertama (samatha kammatthana) untuk mencapai ketenangan digolongkan sebagai Latihan bathin yang mulia (adhicittasikkha), sedangkan macam kedua (vipassana-kammatthana) untuk mencapai pandangan terang dapat dimasukkan dalam latihan kebijaksanaan yang mulia (adhipaññasikkha).

6.    Bila obyek meditasi bagi Vipassana adalah fenomena seperti kelompok kehidupan (khanda; lihat catatan 1 di atas), maka samatha, menurut kitab Visuddhimagga, memiliki empat puluh obyek meditasi, yakni: 10 kasina, 10 kondisi-kondisi mayat (asubha), 10 macam perenungan (anussati), perenungan terhadap hal-hal yang menjijikkan dari makanan (ahare patikkulasañña), perenungan terhadap empat unsur (catudhatuvavatthana), 4 keadaan pikiran mulia (brahma-vihara) dan 4 obyek meditasi tidak berbentuk (arupa).

7.    Masih terdapat obyek meditasi bagi praktek perkembangan bathin lainnya. Ini berdasarkan pada lima -dari tiga puluh dua- bagian badan jasmani (tacapañca-kammatthana), atau pada masa lampau terkadang disebut 'dasar dari praktek perkembangan bathin' (mulakammatthana), yang mungkin berdasarkan atas kenyataan bahwa itu adalah pokok dari semua praktek perkembangan bathin lainnya dalam agama Buddha. Lima bagian badan jasmani ini adalah: rambut kepala (kesa), rambut badan (loma), kuku (nakkha), gigi (danta) dan kulit (taco). Apakah obyek meditasi ini akan dipergunakan sebagai cara untuk mencapai ketenangan atau pandangan terang, tergantung pada tujuan orang yang mempraktekkannya dan juga pada saat praktek yang tertentu. Bila dipergunakan sebagai suatu obyek untuk memusatkan pikiran yang berhamburan, maka itu termasuk dalam kategori 'samatha' sedangkan bila digunakan selama proses mempelajari sifat-sifat mereka yang kotor, timbul dan lenyap atau sebab-sebab timbul dan lenyapnya mereka atas dasar tiga corak utama (samañña-lakkhana), maka itu termasuk ke dalam kategori vipassana atau pandangan terang.


3.   NAFSU KEINGINAN INDRIA (KAMA)

  1. Nafsu keinginan indria (kilesa kama)
  2. Obyek nafsu keinginan indria (vatthukama)

Khu. M. 29/1

  • KETERANGAN

Nafsu atau watak yang timbul dari nafsu keinginan indria disebut kilesakama, seperti hawa nafsu (raga), keserakahan (lobha), nafsu kerinduan (iccha), iri hati (issa), keinginan jahat (arati) dan ketidakpuasan (arati). Hal-hal yang menimbulkan nafsu keinginan disebut Vatthukama, yaitu bentuk-bentuk yang dapat dilihat, suara, bau, rasa dan sentuhan-sentuhan yang menyenangkan.

  • CATATAN :

  1. Sejauh berkenaan dengan lima kelompok kehidupan (pañcakkhandha), semua nafsu keinginan indria termasuk dalam kelompok pikiran (sañkhara-khanda), sedangkan obyek nafsu keinginan termasuk dalam kelompok bentuk (rupa-khanda).

  1. Nafsu keinginan telah dibandingkan dengan mara (penggoda), sedangkan obyek nafsu dikatakan sebagai tali jerat penggoda, mengikat makhluk-makhluk yang terseret oleh mereka.


4.   AJARAN-AJARAN ATAU PANDANGAN-PANDANGAN (DITTHI)

  1. Ajaran tentang kekekalan (sassataditthi)
  2. Ajaran tentang kemusnahan (ucchedaditthi)

Sam. Kha. 17/120

  • KETERANGAN

Istilah ditthi menurut arti kata yang sesungguhnya adalah 'ajaran' atau 'pandangan'. Istilah ini dapat dipergunakan baik dalam suatu arti yang netral atau negatif. Arti netral dikenal melalui awalan Samma (benar) atau Miccha (salah), atau akhiran Sampanno (diberkahi dengan) atau vipanno (disesatkan oleh). Apabila berdiri sendiri seperti judul di atas, pada umumnya menyatakan suatu pengertian yang negatif.

Ajaran kekekalan menganggap bahwa setelah kehancuran badan jasmani manusia atau binatang, apa yang disebut manas atau atman (bahasa Pali: atta) atau jiva (bahasa Pali: Cetabhuta), sebagai suatu inti yang kekal (tetap hidup kekal) mengambil kelahirannya kembali di alam kehidupan lain.

Berlawanan dengannya, ajaran kemusnahan menolak adanya suatu kehidupan baru setelah kehidupan yang sekarang, serta mengajarkan bahwa manusia dan binatang hanya hidup sekali saja, dan karenanya telah berakhir.

  • CATATAN :

1.  Sebagai penengah antara dua ajaran yang telah disebutkan diatas, Buddhisme pada satu pihak menentang Ajaran Kemusnahan dengan mengakui adanya alam-alam kehidupan setelah kehancuran badan jasmani, dan di pihak lain, menolak Ajaran Kekekalan mengenai apa yang disebut atman atau jiva, bahwa makhluk-makhluk lahir karena adanya sebab penghasil, dan pasti akan mati karena berakhirnya suatu sebab yang demikian. Karenanya, dikatakan bahwa seseorang dapat lahir di alam berbahagia atau di alam menderita (sugati atau dugati), dan juga dapat mencapai Nibbana, yaitu Pemadaman Total.

2.   Secara metafisika, pandangan Buddhis sejauh berkenaan dengan ajaran-ajaran yang telah disebutkan di atas dapat diringkas ke dalam kalimat yang terkenal yakni Dhammacakkapavattana-sutta: "Apa yang lahir pasti akan mati" -yankiñci samudayadhammam sabbantam nirodhadhammam.

3.  Teori atau pandangan salah lainnya adalah Natthikaditthi (ajaran tentang ketidakada-an atau nihilisme). Walaupun pandangan ini mempertahankan sikap ekstrim yang negatif seperti ajaran tentang kemusnahan yang menolak Hukum sebab dan akibat di masa yang akan datang, ajaran ini juga menolak hukum sebab dan akibat pada kehidupan sekarang, menolak kebenaran relatif (samutti-sacca) dan kenyataan bahwa semua makhluk terkena hukum kamma (lihat juga No. 14, Kelompok Tiga).


5.  METODE PEMBERIAN KHOTBAH (DESANA)

  1. Memberikan khotbah dengan mempergunakan contoh orang (puggaladitthana)
  2. Memberikan khotbah tanpa mempergunakan contoh orang, tetapi berdasarkan atas fenomena tanpa pribadi (Dhammaditthana)

Sad. Pati. 77

  • KETERANGAN

Untuk menggambarkan suatu cara memberikan khotbah, bila kita menggunakan suatu contoh dalam memberikan khotbah, seperti bahwa seseorang yang dikaruniai dengan keyakinan, usaha, kesadaran, meditasi, dan kebijaksanaan pasti akan mencapai suatu hasil yang tertentu. Maka cara ini disebut suatu metode memberikan khotbah dengan mempergunakan orang-orang sebagai contoh atau puggaladitthana.

Sebaliknya, bila kita memberikan suatu khotbah secara abstrak yang hanya berkenaan dengan fenomena tanpa pribadi, misalnya, menunjukkan bahwa keyakinan, usaha, kesadaran, meditasi dan kebijaksanaan menghasilkan suatu akibat tertentu, maka cara ini disebut suatu metode memberikan khotbah tanpa mempergunakan contoh orang, atau Dhammaditthana.

  • CATATAN :

Sabda-sabda Sang Buddha seperti 'Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri' -attahi attano natho- dianggap termasuk kelompok kedua, sebab istilah 'diri sendiri' atau atta tidak secara langsung menunjukkan tubuh materi seseorang. Kata ini hanya menunjukkan kebenaran umum tentang materi.


6.   SIFAT ATAU FENOMENA (DHAMMA)

  1. Materi atau bentuk (rupa)
  2. Non-materi atau tidak berbentuk (nama)

Abhi. San. 2

  • KETERANGAN

Apa yang dilihat, didengar, dicium, dirasakan atau disentuh adalah disebut materi atau dengan kata lain apa saja yang dapat dihayati oleh indria-indria. Karena itu, apa yang tidak dapat dihayati oleh indria-indria adalah non-materi, atau tidak berbentuk. Misalnya, apa yang disebut empat unsur (padat, cair, panas, udara) semuanya adalah materi; kelompok bentuk (rupa-khandha) juga materi, sedangkan empat kelompok kehidupan lain-nya adalah non-materi.


7.  SEGI LAIN DARI SIFAT ATAU FENOMENA (DHAMMA)

  1. Keduniawian-milik dunia (lokiya)
  2. Diatas keduniawian-diluar dunia (lokuttara)

Abhi. San. 2

  • KETERANGAN

Empat tingkat Sang jalan (magga), empat tingkat Sang Hasil (phala) dan pemadaman mutlak (Nibbana) adalah sifat diatas keduniawian atau fenomena di luar dunia (lokuttara). Selain dari semua hal-hal yang telah disebutkan diatas tadi, adalah termasuk keduniawian (lokiya).

  • CATATAN :

1.    Tingkat pengetahuan tertinggi yang berturut-turut dengan rintangan-rintangan (sanyojana) tertentu, untuk seketika dan untuk selamanya dihancurkan disebut Sang Jalan, melalui mana makhluk-makhluk bergerak kearah kesempurnaan bathin.

2. Pandangan terang atau kebijaksanaan yang merupakan hasil langsung dari tingkat pengetahuan tertinggi yang berturut-turut seperti yang telah disebutkan di atas adalah disebut Sang hasil atau Phala (lihat juga: Empat macam Sang Jalan dan Sang Hasil, No.22 dan 23, kelompok Empat)

3.  Kecuali sembilan hal yang telah disebutkan diatas, semua fenomena lainnya, baik materi maupun non-materi, adalah keduniawian, milik dunia, terkena hukum dunia, yaitu anicca, dukkha dan anatta.


8.  SEGI LAIN DARI SIFAT ATAU FENOMENA (DHAMMA)

  1. Apa yang berkondisi atau berbentuk (sankhata)
  2. Apa yang tidak berkondisi atau tidak terbentuk (asankhata)

An. Ca. 21/44

  • KETERANGAN

Apa yang berkondisi atau terbentuk dapat diketahui dengan tiga tingkatan yang berturut-turut, dimulai dengan timbul, diikuti dengan perubahan dan berakhir dengan kehancuran. Dengan kata lain, itu adalah apa yang dihasilkan oleh satu sebab atau oleh banyak sebab. Jadi Nibbana (pemadaman mutlak), tidak dihasilkan oleh suatu sebab apapun, adalah a sankhata-dhamma.

  • CATATAN :

1.    Di dalam sankhata, berkondisi atau terbentuk dapat dimasukkan ke semua kondisi-kondisi keduniawian (lokiya), ditambah delapan bagian pertama kondisi di atas keduniawian (lokuttara). Tidak termasuk Nibbana, bagian terakhir yang mana hanya Nibbana saja yang termasuk asankhata, tidak berkondisi, tidak terbentuk.

2.  Jadi, empat tingkat Sang Jalan (magga) dan empat tingkat Sang Hasil (phala) masing-masing di atas keduniawian atau diluar dunia masih tetap berkondisi dan terbentuk. Hanya Nibbana yang di atas keduniawian terakhir dapat digolongkan sebagai tidak berkondisi dan tidak berbentuk.

3.  Menurut Aggappasada-sutta, tingkat yang terbaik atau tertinggi dari semua sankhata (berkondisi atau terbentuk) adalah Delapan-rangkaian Jalan Mulia.


9.  NIBBANA, SECARA ETIMOLOGIS BERARTI HABISNYA PENDERITAAN.

  1. Secara harfiah, dengan sisa (kelompok kehidupan) - saupadisesa.
  2. Secara harfiah, tanpa sisa (kelompok kehidupan) - anupadisesa.

Khu. Iti. 25/258; Añ. Na. 23/394.

  • KETERANGAN

Seorang Arahat, karena telah menghancurkan semua kekotoran bathin (kilesa), dikatakan telah mencapai macam Nibbana yang pertama (saupadisesa-nibbana) walaupun ia masih hidup. Setelah kematiannya maka ia akan memasuki kedalam macam Nibbana yang terakhir (anupadisesa-nibbana).

Selanjutnya, juga disebutkan (dalam Anguttara Nikaya Vol. 25 halaman 258, 259), bahwa seorang Arahat yang masih mengalami perasaan-perasaan jasmani yang menyakitkan dan menyenangkan (seperti manusia-manusia lain, sejauh hanya berkenaan dengan kondisi badan jasmani), dikatakan telah mencapai macam nibbana yang pertama. Apabila ia menghindarkan dari perasaan-perasaan jasmani yang demikian (mungkin masuk kedalam suatu Samapatti atau pencapaian yang disebut: Sañña-vedayita-nirodha, di mana semua pencerapan dan perasaan berhenti, ia dikatakan telah mencapai macam Nibbana yang terakhir (anupadisesa-nibbana).

Akan tetapi, di dalam Navakanipata dari Anguttara Nikaya (Vol. 23, halaman 394), diterangkan bahwa macam Nibbana yang pertama (saupadisesa-nibbana) adalah dimiliki oleh para sekha, yaitu, para siswa Ariya yang belum mencapai Penerangan Sempurna secara mutlak, masih harus belajar dan melatih diri lebih lanjut untuk pencapaian yang lebih tinggi; sedangkan macam Nibbana yang terakhir (anupadisesa-nibbana), dimiliki oleh para Asekha, yaitu Arahat, tidak memiliki sesuatu apa lagi yang harus dikerjakan untuk mencapai Penerangan Sempurna. Di sini Upadi (sisa-sisa) berarti belenggu-belenggu (samyojana), beberapa diantaranya masih belum dihilangkan seluruhnya oleh para siswa Ariya yang lebih rendah, sekha.

  • CATATAN:

Dari kalimat-kalimat di atas, dapat dilihat bahwa kata upadi (arti sebenarnya: sisa-sisa) dapat dipergunakan untuk menyatakan:

1.    Sisa lima kelompok kehidupan (tanpa kemelekatan, paragraf 1).

2.  Perasaan-perasaan pengalaman jasmaniah (dari rasa panas, dingin, dan lain-lain) serta perasaan-perasaan yang menyenangkan atau menyakitkan, seperti dalam paragraf 2.

3.    Sisa rintangan-rintangan bathin (samyojana), seperti dalam paragraf 3.


10. CARA-CARA PEMUJAAN (PUJA)

  1. Memuja secara materi (Amisapuja)
  2. Memuja secara praktek (patipattipuja)
An. Du. 20/117

  • CATATAN :

1.    Dari dua macam cara memuja tersebut, macam yang kedua dianggap sebagai yang terbaik, tertinggi dan mutlak yakni mengikuti ajaran Sang Buddha secara sungguh-sungguh dan bersemangat. Meskipun cara memuja Sang Buddha yang pertama dengan mempersembahkan bunga-bungaan, dupa, dan persembahan-persembahan lainnya tidak dilarang atau dihalang-halangi, akan tetapi harus selalu diingat bahwa umat Buddhis tidak boleh merasa puas semata-mata dengan bentuk-bentuk luar, karena tanpa suatu praktek yang penuh semangat dan sungguh-sungguh terhadap ajaran Sang Buddha tidak akan ada kemajuan atau perkembangan yang nyata bagi umat Buddha dalam arti yang sesungguhnya.

2.  Mungkin contoh yang paling baik untuk menggambarkan bahwa agama Buddha tidak pernah condong pada cara pemujaan melalui persembahan-persembahan dalam kegiatan-kegiatan dan tugas sehari-hari adalah kata-kata Sang Buddha sendiri kepada Ananda, dan para bhikkhu lainnya tepat sebelum Beliau meninggal dunia, sebagai berikut:

"Pohon sala kembar di kiri-kanan ini penuh dengan bunga-bungaan, walaupun bukan musimnya dan mereka jatuh serta menaburi keatas tubuh Sang Tathagata. Tetapi, Ananda, bukan dengan cara demikian Sang Tathagata dihormati dan disembah secara benar. Seorang bhikkhu, bhikkhuni atau seorang umat awam, lelaki atau perempuan, yang menjalankan tugas-tugasnya dengan pantas, penuh tanggungjawab dan bijaksana dikatakan telah menghormat, memuja dan menyembah Sang Tathagata dengan bentuk pemujaan yang tertinggi".


11. CARA-CARA MENYAMBUT ATAU MENERIMA TAMU (PATISANTHARA)

  1. Menyambut dengan barang-barang (amisapatisanthara)
  2. Menyambut dengan sikap hormat (dhammapatisanthara)

An. Du. 20/116

  • KETERANGAN

Patisanthara berarti menyambut atau menerima seorang tamu. Cara yang pertama berarti berbuat dengan, memberikan barang-barang seperti makanan dan minuman. Akan tetapi, cara yang kedua, biasanya dimengerti sebagai pembicaraan mengenai Dhamma atau Ajaran Sang Buddha. Tetapi itu jelas bukan suatu cara untuk menyambut seorang tamu. Itu seharusnya berarti menyambut seorang tamu sesuai dengan status kedudukannya, disamping menyuguhi tamu dengan makanan dan minuman. Yang terkadang meminta si tuan rumah untuk bangkit atau berjabat tangan sebagai pernyataan hormat atau menyambut dalam cara-cara lain yang pantas.

Meskipun bermaksud baik, suatu cara penyambutan yang tidak pantas dapat menyakitkan hati kedua belah pihak. Seorang tamu yang berkedudukan tinggi akan merasa terhina apabila disambut dengan cara yang biasa atau cara yang nampaknya tidak sepenuh hati, sedangkan seorang tamu biasa akan menjadi malu dihadapan suatu sambutan yang seharusnya diperuntukkan bagi seorang tamu agung. Disamping itu, si Tuan Rumah dengan berbuat demikian telah menunjukkan kebodohannya sendiri. Jadi, di samping barang-barang seperti makanan dan minuman, sikap Tuan Rumah dalam penyambutan tidak kalah pentingnya dalam hal seni menyambut seorang tamu.

  • CATATAN :

1. Mengetahui cara menyambut seorang tamu yang pantas juga berguna bagi pelaksanaan sila, karena dalam hal itu seseorang dituntut untuk bersikap ramah-tamah dan bermurah hati dalam kata-kata dan perbuatannya.

2.  Almarhum Supreme Patriarch Prince Vajirañanavangsa dari Vihara Bovoranives memberikan pendapat pribadinya berkenaan dengan cara menyambut tamu yang kedua (dhammapatisanthara), sehingga dapat diterangkan secara lebih umum. Ini berarti, fungsi dari kesadaran dan kebijaksanaan (sati dan pañña) digabungkan untuk memungkinkan seorang siswa pemeditasi mengetahui bagaimana untuk bertindak secara tepat dengan Dhamma atau fenomena bathinnya sendiri. Misalnya, ketika nafsu muncul dalam bathinnya, ia dengan segera mengetahui bagaimana cara mengurangi atau menghalang-halangi pengaruhnya melalui perenungan pada hal-hal yang merugikan atau kekotoran dari badan jasmani dan juga berbuat sesuai dengan hal tersebut. Contoh lainnya, pada saat mengalami penderitaan atau kebahagiaan, ia mengetahui bagaimana cara mengarahkan pikirannya demi perkembangan kebaikan dan meninggalkan kejahatan serta berbuat sesuai dengan hal tersebut. Maka, ini memerlukan gabungan dari kesadaran dan kebijaksanaan serta dengan usaha-usaha yang sesuai dengan itu.


12. PENCAHARIAN (PARIYESANA)

  1. Pencaharian mulia (ariya pariyesana)
  2. Pencaharian tidak mulia (anariya pariyesana)

Ma. Mu. 12/314

  • KETERANGAN :

Suatu cara penghidupan yang benar (samma-ajiva) disebut sebagai suatu pencaharian mulia, sedangkan suatu cara penghidupan yang salah (miccha-ajiva) adalah suatu cara pencaharian yang tidak mulia.

Menurut sutta, mencari apa yang tidak mengalami kelahiran, kelapukan, dan kematian, seperti Nibbana, adalah suatu pencaharian mulia;

  • CATATAN :

Peraturan kedisiplinan bagi umat awam disebut Agariyavinaya (peraturan kedisiplinan bagi para perumah tangga), sedangkan peraturan bagi para bhikkhu disebut Anagariyavinaya (peraturan kedisiplinan bagi mereka yang menempuh kehidupan tanpa rumah).


13. DOKTRIN (PAVACANAM)

  1. Hukum-hukurn (dhamma)
  2. Peraturan-peraturan kedisiplinan (vinaya)

Di. M. 10/178

  • KETERANGAN :

Sebagai kombinasi dengan pasangannya, yaitu vinaya, Dhamma di sini berarti praktik-praktik, tidak termasuk peraturan kedisiplinan yang membawa pada penyempurnaan kelakuan atau watak seseorang. Sedangkan vinaya menyatakan bahwa peraturan-peraturan kedisiplinan yang dibuat baik untuk para individu - umat awam juga para bhikkhu - maupun sebagai peraturan ke-vihara-an adalah untuk mengatur urusan-urusan Persaudaraan Sangha. Mengenai peraturan-peraturan kedisiplinan untuk para bhikkhu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: bagian-bagian larangan (sikkhapada) dalam Hukum Kedisiplinan (patimokkha) dan abhisamacara atau peraturan-peraturan kecil yang secara tidak langsung termasuk Hukum Kedisiplinan (patimokkha).

  • CATATAN :

Peraturan kedisiplinan bagi umat awam disebut Agariya-vinaya (peraturan kedisiplinan bagi para perumah tangga), sedangkan peraturan bagi para bhikkhu disebut Anagariya-vinaya (peraturan kedisiplinan bagi mereka yang menempuh kehidupan tanpa rumah).


14. BENTUK ATAU MATERI (RUPA)

  1. Bentuk-bentuk besar atau dasar (mahabhuta-rupa)
  2. Bentuk-bentuk tambahan (upadaya-rupa)

Khu. P. 31/275; Ma. U. 14/75

  • KETERANGAN :

Sebagai salah satu dari khandha atau kelompok kehidupan, rupa (bentuk) menyatakan hal-hal yang sampai pada jangkauan pencerapan lima indria (mata, telinga, hidung, lidah dan badan) sedangkan sebagai salah satu dari ayatana luar atau rangsangan indria, rupa (bentuk) menunjukkan pada hal-hal yang di dalam jangkauan pencerapan mata (pandangan) saja. Perbedaan pengertian ini perlu diingat.

Bentuk-bentuk besar atau dasar (mahabhuta-rupa) ada empat macam: tanah, air, panas, udara. Dengan kata lain, empat macam bentuk ini adalah nama lain dari apa yang disebut empat unsur-unsur.

Upadaya-rupa berarti bagian tambahan dari bentuk-bentuk besar atau dasar. Di dalam abhidhammatthasangaha, hal ini diuraikan sebagai berikut:

1.   Lima fungsi dari lima organ indria atau apa yang memungkinkan kemampuan untuk melihat, mendengar, mencium, mengecap dan menyentuh. Suatu fungsi demikian disebut pasada.

2.    Lima obyek indria atau arammana, atau gocara: obyek yang terlihat, suara, bau, rasa, dan sentuhan.

3.    Dua jenis kelamin (bhava) - lelaki dan perempuan.

4.    Kedudukan pikiran atau apa yang memungkinkan timbulnya pikiran yang disebut hadayam, secara harfiah berarti: hati.

5.    Kemampuan hidup atau kekuatan hidup - (jivitindriya)

6.    Sari-sari makanan (ahara)

7.    Ether - suatu media yang dianggap mengisi ruang (akasa; secara harfiah berarti: udara)

8.  Dua macam gerakan (viññatti): gerakan jasmani atau kemampuan dari suatu makhluk untuk bekerja, dan gerakan verbal atau kemampuan suatu makhluk untuk berbicara.

9.  Tiga sifat membedakan (vikara) dari suatu makhluk, yaitu: sifat ringan (lahuta) sebagai lawan dari sifat berat sebuah mayat; sifat lunak (muduta) sebagai lawan dari sifat kaku sebuah mayat; dan sifat aktif (kammaññata) sebagai lawan dari sifat  tidak bergerak atau sebuah mayat.

10.  Empat sifat atau corak (lakkhana):

·         Uccaya atau sifat mengumpul sendiri didalam proses pertumbuhan, sebagai lawan dari kurangnya suatu pertumbuhan sengaja atau sadar dalam sel-sel yang tidak hidup (inorganik).

·  Santati atau kelangsungan dalam proses pergantian pertumbuhan misalnya pertumbuhan rambut baru dalam tempat rambut yang telah rusak atau rontok.

·         Jarata atau sifat menyusut, kelapukan.

·         Aniccata atau sifat ketidak-kekalan, kehancuran.

Bentuk-bentuk tambahan ini seluruhnya berjumlah dua puluh lima.


15. KEBEBASAN (VIMUTTI)

  1. Kebebasan melalui kekuatan bathin (cetovimutti)
  2. Kebebasan melalui kekuatan kebijaksanaan (paññavimutti)

An. Du. 20/78; An. Na. 32/437

  • KETERANGAN

Dalam artinya yang mutlak, kebebasan berarti perbuatan membebaskan pikiran dari cengkeraman nafsu-nafsu keinginan dan sebagai akibat dari kesucian sempurna.

Kebebasan yang berdasarkan pada meditasi termasuk pada kelompok pertama. Ini berarti bahwa siswa Ariya mengembangkan pandangan terang (vipassana) setelah pencapaian jhana (meditasi pencerapan), sedangkan kebebasan yang telah dicapai melalui pandangan terang disebut Paññavimmuti. Kelompok pertama dimiliki oleh seorang Arahat yang telah mencapai Tiga Pengetahuan (vijja) dan juga telah mencapai enam kekuatan-kekuatan bathin (abhiñña); kelompok kedua dimiliki oleh seorang Arahat yang hanya mencapai kebebasan dari cengkeraman nafsu-nafsu tanpa mencapai suatu hasil sampingan apapun. Ini disebut Sukkhavipassaka, lihat juga keterangan mengenai empat macam Arahat.

Akan tetapi, (didalam Dukanipata Anguttara Nikaya 20/38) kadang-kadang disebutkan bahwa dua istilah itu hanyalah nama kehormatan bagi Arahat secara umum atas dasar bahwa seorang Arahat yang telah terbebas disebut dengan istilah pertama (cetovimutti) karena keadaannya yang telah bebas dari ikatan nafsu (raga), sedangkan ia dapat juga disebut terbebas dengan istilah kedua (paññavimutti), karena keadaannya yang telah bebas dari kebodohan.

Navakanipata dari Anguttara Nikaya, Vol. 23, halaman 437, menerangkan bentuk kebebasan yang kedua dalam dua tingkat dimiliki oleh para Arahat yang memasuki jhana-jhana tertentu. Jadi seorang Arahat yang memasuki jhana dengan atau tanpa bentuk (rupa jhana atau arupa-jhana) dan mengetahui dengan kebijaksanaannya adalah dikatakan telah memiliki sebagian kebebasan melalui kebijaksanaan. Sedangkan yang memasuki suatu jhana yang disebut Sañña-vedayita-nirodha, (di mana semua pencerapan dan perasaan berhenti) dan mencapai penghancuran nafsu-nafsu melalui kebijaksanaannya, adalah dikatakan telah memiliki suatu tingkat kebebasan mutlak melalui kebijaksanaan.

Terdapat istilah lain yang sedikit banyak berhubungan dengan dua macam kebebasan ini. Yakni disebutkan dalam mettanisamsa-sutta dalam Ekadasakanipata dari Anguttara nikaya (vol. 24, halaman 370) sebagai Mettacetovimutti, berarti kebebasan bathin melalui kekuatan metta atau cinta kasih.


16. BENDA-BENDA GABUNGAN ATAU TERBENTUK (SAÑKHARA)

  1. Benda-benda hidup gabungan atau terbentuk (upadinnakasañkhara)
  2. Benda-benda mati gabungan atau terbentuk (anupadinnakasañkhara)

Vis. Kha. Ta. 20

  • KETERANGAN :

Istilah Sañkhara di sini adalah apa yang secara alamiah terbentuk dari empat unsur-unsur, seperti: badan jasmani dan pohon, dan juga apa yang dengan sengaja dibuat dari unsur-unsur alamiah, seperti sebuah rumah dan sebuah mobil.

Kelompok pertama mencakup makhluk-makhluk (manusia, binatang), makhluk-makhluk lebih tinggi (seperti para deva), dan makhluk-makhluk lebih rendah seperti hantu-hantu atau setan-setan (amanussa). Kelompok kedua menyatakan benda-benda seperti gunung, mobil, rumah.

  • CATATAN :

1.    Lihat juga Sankhara dengan pengertian-pengertian lainnya dalam Kelompok Tiga, No.6 dan No. 33.

2.  Sebagai salah satu dari lima kelompok kehidupan (khandha), istilah Sankhara ini masih mempunyai arti lain. Lihat Kelompok Lima, Jilid I.

3.   Istilah Sankhara dengan arti yang dimaksudkan di sini adalah sinonim dengan Sankhata-Dhamma di dalam dua macam Dhamma (No. 8 dalam bagian ini). Untuk perbandingan lebih jauh, maka Asankhata-Dhamma adalah sama artinya dengan istilah Visankhara (tidak tergabung atau keadaan tidak terbentuk).

4.  Harus diingat bahwa istilah Sankhara, di manapun dipergunakan, selalu mempunyai arti utamanya yaitu keadaan terbentuk atau tergabung atau berkondisi. Akan tetapi, arti lain di dalam tiap-tiap hal dapat berubah dengan hubungan kalimat tertentu di mana kata tersebut dipergunakan. Ini adalah salah satu dari kata-kata yang memerlukan perhatian dan pengertian khusus dalam menafsirkan artinya.

5.   Juga penting untuk dicatat bahwa istilah 'penderitaan' (dukkha), yang merupakan pokok dari Empat Kebenaran Mulia yang berkenaan dengan makhluk hidup tampaknya tekanan diletakkan pada penderitaan bathin atau cetasika-dukkha, walaupun penderitaan jasmaniah atau Kayika-dukkha tidak dikesampingkan sama sekali. Tetapi di dalam Tiga Corak Umum yang mempunyai suatu arti lebih luas (yang berkenaan dengan benda-benda, peristiwa-peristiwa dan penomena), nampaknya tekanan lebih diletakkan pada penderitaan alamiah dari benda-benda mati (inorganik) daripada terhadap makhluk hidup. Karenanya, dianjurkan untuk mempergunakan kata-kata 'Dapat mengalami kehancuran' atau 'Keadaan berubah terus menerus' untuk kata dukkha dalam Tiga Corak Umum, dan sebaliknya dari kata 'penderitaan' untuk kata dukkha dalam Empat Kebenaran Mulia. Terdapat juga kata-kata Pali lainnya yang dapat dipergunakan dengan arti-arti lain yang berbeda, pada kesempatan-kesempatan yang berbeda atau di dalam hubungan-hubungan kalimat yang berbeda. Beberapa diantaranya adalah Uddhacca, Upekkha, Pañña, dan bermacam-macam kata Nibbana yang berbeda.


17. MEDITASI (SAMADHI)

  1. Konsentrasi pendekatan atau permulaan (upacara-samadhi)
  2. Konsentrasi-penuh (appana-samadhi)

Vis. Sa. Du. 194; Ma. Mu. 12/381

  • KETERANGAN :

Apa yang dimaksud dengan meditasi (Samadhi) adalah terpusatnya bathin pada satu titik, yaitu, bathin atau perhatian yang terpusat pada satu benda khusus atau suatu faham sampai semua pikiran-pikiran yang berhamburan dihentikan. Apabila bathin untuk sementara telah bebas dari pikiran yang berhamburan dan dekat dengan kondisi yang tidak tergoyahkan, maka dikatakan berada di dalam Upacara-samadhi. Apabila keadaan ini mencapai pemusatan yang mendalam, benar-benar seimbang dan tidak tergoncangkan, maka dikatakan telah memasuki keadaan appana-samadhi atau konsentrasi penuh.

  • CATATAN :

1.    Menurut pandangan agama Buddha, suatu bathin yang terkonsentrasikan dapat diketahui dengan keadaannya yang terbebas dari lima rintangan-rintangan bathin (pañca-nivarana, lihat Jilid I), apakah untuk sementara waktu saja atau untuk jangka waktu yang lebih lama, sebagaimana diinginkan.

2.  Meditasi salah (miccha-samadhi) dapat pula terjadi di samping meditasi benar (samma-samadhi). Pada bentuk yang pertama, kekuatan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri, apakah untuk keuntungan materi atau untuk tujuan yang merugikan. Pada bentuk yang kedua, itu dikembangkan hanya untuk penyucian bathin dan sebagai dasar-dasar pencapaian Jhana yang kemudian dapat dipergunakan untuk melatih Pandangan Terang.

3.  Tidak semua bagian dari empat puluh pokok meditasi dapat menghasilkan pencapaian Appana-samadhi (konsentrasi penuh). Pokok meditasi yang berdasarkan pada suatu bentuk nyata tunggal seperti rambut atau sebuah mayat dapat menghasilkan tingkat yang lebih tinggi, sedangkan pokok meditasi yang memerlukan suatu pikiran atau faham-faham, seperti perenungan terhadap sifat-sifat mulia Sang Buddha, tidak dapat memberikan suatu hasil yang demikian.

4.    Menurut kitab yang disebut 'Jalan Kesucian' (Visuddhimagga) terdapat, empat puluh pokok untuk meditasi, sebagai berikut:

a.    Sepuluh kasina adalah obyek-obyek bagi meditasi: air, udara, api, warna biru, kuning, merah, putih, sinar, ruang (terbatas).

b.  Sepuluh macam proses kehancuran sebuah mayat: mayat menggembung, berwarna kebiru-biruan, bernanah, membelah, tersobek-sobek, terpisah-pisah, terpotong dan terpisah-pisah, berlumuran darah, dikerumuni cacing dan sebuah rangka.

c.  Sepuluh perenungan: perenungan terhadap sifat-sifat mulia Sang Buddha, Dhamma, Sangha, kemoralan, kemurahan hati, makhluk-makhluk agung (devata), kematian, badan jasmani, pernafasan dan kedamaian.

d. Empat keadaan pikiran yang luhur: Cinta-kasih, Kasih-sayang, Simpatik dan Keseimbangan.

e.    Empat keadaan tidak berbentuk, lihat Kelompok Empat, No.7.

f.     Keadaan-keadaan yang menjijikkan dari makanan.

g.    Badan jasmani sebagai gabungan dari empat unsur.

5. Daftar dari empat puluh pokok meditasi di atas nampaknya telah dikumpulkan dari bermacam-macam tempat. Ini menunjukkan bermacam-macam kemungkinan dari perkembangan meditasi seperti yang dipraktekkan pada masa itu. Sepuluh kasina di dalam kelompok pertama bukan merupakan ajaran meditasi Buddhis yang sebenarnya, dan sebenarnya menggambarkan apa yang secara tradisi telah dipraktekkan oleh lingkungan non-Buddhis, yang kemudian telah digabungkan untuk membuat lengkap uraian, bukan untuk menunjukkan bentuk-bentuk praktek umat Buddhis.


18. KEBAHAGIAAN (SUKHA)

a.    Kebahagiaan jasmaniah - berdasarkan atas indria-indria jasmani (kayikasukha)
b. Kebahagiaan bathin - merupakan hasil dari sumber-sumber yang ada di dalam bathin (cetasika-sukha)

An. Du. 101

  • KETERANGAN :

Apabila badan jasmani berada dalam keadaan sehat, tidak terganggu oleh rasa lapar atau haus, dan tidak menderita penyakit-penyakit organis, maka dikatakan berada di dalam suatu kondisi kebahagiaan. Kondisi demikian disebut kebahagiaan jasmaniah (kayika-sukha).

Apabila pikiran terserap di dalam kegembiraan, apakah karena terpenuhinya keinginan-keinginan indria atau karena telah melakukan suatu perbuatan baik, atau pun karena kegiuran yang timbul dari Pandangan Terang, maka pikiran dikatakan berada dalam keadaan kebahagiaan. Keadaan demikian disebut kebahagiaan bathin (cetasika-sukha).


19. PENGERTIAN LAIN DARI KEBAHAGIAAN (SUKHA)

1.    Kebahagiaan dengan mata kail berumpan (samisa-sukha)
2.    Kebahagiaan tanpa mata kail berumpan (niramisa-sukha)

An. Du. 101

  • KETERANGAN :

Kebahagiaan yang timbul karena terpenuhinya keinginan-keinginan indria, yaitu yang berdasarkan pada hal-hal luar atau benda-benda materi, disebut kebahagiaan dengan mata-kail berumpan, karena kebahagiaan tersebut berhubungan dengan kemelekatan. Hal ini memiliki keburukan-keburukan tersembunyi (seperti kesedihan, ratap tangis, bahaya-bahaya dan lain-lain) apabila benda materi tersebut hilang atau lenyap.

Kebahagiaan yang timbul dari perasaan-perasaan keagamaan, seperti kegiuran dan pandangan terang atau peninggalan kesenangan-kesenangan indria, adalah disebut kebahagiaan tanpa mata-kail berumpan.

Menurut komentar, kebahagiaan dengan mata-kail berumpan adalah kebahagiaan yang menjadikan seseorang tenggelam dalam arus roda perputaran kelahiran dan kematian (samsara) dengan penderitaan yang tidak dapat dipisahkan sebagai mata-kail berumpan. Sedangkan kebahagiaan tanpa mata-kail berumpan adalah kebahagiaan yang memungkinkan seseorang untuk menghancurkan roda perputaran kelahiran dan kematian, memberikan padanya suatu pandangan terang diatas keduniawian.

20. PENDERITAAN (DUKKHA)

1.    Penderitaan jasmaniah (kayika-dukkha)
2.    Penderitaan bathiniah (cetasika-dukkha)

An. Du. 101

  • KETERANGAN :

Ini berlawanan dengan kebahagiaan seperti yang telah diterangkan pada No. 18. Karena itu, penderitaan jasmaniah menyatakan kondisi jasmani sewaktu terganggu oleh penyakit, rasa lapar atau haus, atau sewaktu terganggu oleh unsur-unsur yang merangsang, seperti panas dan dingin yang luar biasa.

Penderitaan bathiniah berarti penderitaan yang disebabkan oleh kesedihan, dukacita, kekecewaan, ratap tangis, penyesalan dan sebagainya.


21. PENGERTIAN LAIN DARI PENDERITAAN (DUKKHA)

1.    Penderitaan dengan mata-kail berumpan (samisa-dukkha)
2.    Penderitaan tanpa mata-kail berumpan (niramisa-dukkha)

An. Du. 101

  • KETERANGAN :

Ini berlawanan dengan kebahagiaan seperti yang telah diterangkan pada No. 19. Jadi, penderitaan dengan mata-kail berumpan berarti penderitaan yang timbul karena hilang atau lenyapnya obyek-obyek kesenangan indria. Dapat berupa penderitaan jasmaniah, seperti terserang penyakit, terluka, kematian; atau dapat juga berupa penderitaan bathiniah, seperti kesedihan, duka-cita, penyesalan karena hilang atau lenyapnya obyek-obyek kesenangan indria.

Penderitaan tanpa mata-kail berumpan berarti penderitaan yang timbul dari suatu usaha untuk berbuat baik, seperti kesukaran-kesukaran, gangguan-gangguan, kesakitan dan bahkan bahaya yang timbul dari pelaksanaan kemoralan, mempraktekkan meditasi dan sebagainya.


22. KESUCIAN (SUDHI)

1.    Kesucian yang belum sempurna (pariyaya-sudhi)
2.    Kesucian mutlak (nippariyaya-sudhi)

Mano. Pu. Du. 14/4

  • KETERANGAN :

Yang pertama menunjukkan bermacam-macam tingkat dalam proses pembersihan pikiran, perkastaan, dan perbuatan apabila masih ada sesuatu yang harus ditinggalkan dan dikembangkan untuk pencapaian tingkat yang lebih tinggi.

Yang kedua adalah tingkat kesucian terakhir dimana tak ada lagi sesuatu yang harus ditinggalkan atau dikembangkan, merupakan kesucian dari seorang Arahat.

  • CATATAN :

1.   Karenanya, kesucian dari seorang duniawi (puthujjana) yang luhur dari siswa-siswa ariya yang lebih rendah (dari seorang arahat) adalah sama disebut kesucian yang belum sempurna.

2.    Juga sebagai perbandingan lihat lima macam kebebasan, No. 9, Kelompok lima.

3.    Juga lihat tujuh tingkat-tingkat kesucian, Kelompok Tujuh, No.4



Tidak ada komentar:

Posting Komentar